Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus sabil, jika kamu beriman ‘kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) dihari al-Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfaal: 41)
Allah menjelaskan rincian mengenai apa yang telah Allah syari’atkan secara khusus untuk umat yang mulia ini daripada seluruh umat terdahulu, yaitu penghalalan harta rampasan perang. Kata ghanimah berarti harta benda yang diambil dari orang-orang kafir, dengan mengerahkan kuda dan para penunggangnya (setelah berperang). Sedangkan al fai’ adalah harta benda yang diperoleh dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan terlebih dahulu, misalnya harta benda yang diserahkan dengan jalan damai atau ditinggal mati dan tidak ada pewarisnya, jizyah, pajak dan lain sebagainya, demikian menurut madzhab Imam asy-Syafi’i dan seluruh ulama Salaf dan Khalaf.
Di antara ulama ada yang mengartikan fai’ sama seperti pengertian yang diberikan pada ghanimah, demikian juga sebaliknya.
Orang yang membedakan antara pengertianfai’ dan ghanimah mengatakan, surah al-Hasyr ayat 6-8 diturunkan berkenaan dengan harta benda fai’, sedangkan al-Anfaal ayat 41 diturunkan berkenaan dengan ghanimah.
Adapun orang yang menyerahkan masalah ghanimah dan fai’ kepada pendapat Imam (pemimpin), ia mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara al-Hasyr dan ayat yang membahas tentang pembagian harta rampasan menjadi lima bagian, jika ditentukan melalui pandangan Imam. Wallahu a’lam.
Dengan demikian, firman Allah: wa’lamuu anna maa ghanimtum min syai-in fa anna lillaaHi khumusaHu (“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kalian peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlima untuk Allah,”) merupakan penekanan untuk membagi harta rampasan perang menjadi lima bagian, berapa pun jumlahnya, meskipun hanya benang dan jarum.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat kelak ia akan datang membawa apa yang dikhinatinya itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan atas apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali-‘Imraan: 161)
Dan firman-Nya: fa anna lillaaHi khumusaHuu wa lir rasuuli (“Maka sesungguhnya seperlima untuk Allah dan Rasul.”) Dalam hal ini, para’ulama telah berbeda pendapat.
Adh-Dhahhak menceritakan dari Ibnu `Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah jika mengirim pasukan, lalu mereka kembali dengan membawa harta rampasan perang, maka beliau membagi ghanimah itu menjadi lima dan yang seperlima dibagi lima, setelah itu beliau membaca ayat: wa’lamuu anna maa ghanimtum min syai-in fa anna lillaaHi khumusaHu wa lir rasuuli (“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kalian peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlima untuk Allah dan Rasul,”) Dengan demikian, kalimat: “Bagian untuk Allah adalah seperlima,” merupakan kata kunci. (Karena): lillaaHi maa fis samaawaati wa maa fil ardli (“Hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS. Al-Bagarah: 284).
Sehingga dengan demikian, bagian Allah dan bagian Rasul dijadikan satu.
Demikian juga pendapat Ibrahim an-Nakha’i, Hasan bin Muhammad bin al-Hanafiyyah, al-Hasan al-Bashri, asy-Sya’bi, `Atha’ bin Abi Rabah, Abdullah bin Buraidah, Qatadah, Mughirah dan beberapa ulama lainnya, bahwa bagian Allah dan Rasul-Nya adalah satu. Dan hal itu diperkuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi dengan isnad shahih, dari `Abdullah bin Syaqiq, dari seseorang, di mana ia mengatakan: Aku pernah mendatangi Nabi saw. ketika beliau berada di lembah al-Qura dan beliau sedang menawarkan seekor kuda. Lalu kukatakan: “Ya Rasulallah, bagaimana pendapatmu mengenai ghanimah?” Beliau menjawab: “Seperlimanya untuk Allah dan empat seperlimanya untuk yang ikut perang.” Kutanyakan: “Apakah tidak ada seseorang yang lebih berhak atasnya dari yang lain?” Beliau menjawab: “Tidak, dan tidak juga bagian yang engkau keluarkan dari sakumu, maka engkau tidak lebih berhak dari saudaramu yang muslim.”
Ibnu Jarir menceritakan, `Imran bin Musa memberitahu kami, kami diberitahu oleh `Abdul Warits, kami diberitahu oleh Abban, dari al-Hasan, ia mengatakan bahwa al-Hasan pernah mewasiatkan seperlima dari hartanya seraya berkata: “Ketahuilah, aku merelakan hartaku pada apa yang Allah ridha terhadap diri-Nya sendiri.”
Kemudian orang-orang yang mengatakan hal di atas berbeda pendapat. Telah diriwayatkan oleh `Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu `Abbas, ia mengatakan, ghanimah itu dibagi menjadi lima bagian. Empat dari seperlima itu diserahkan kepada orang yang berperang, satu dari seperlima lainnya dibagi lagi menjadi empat perlima. Maka, seperempat untuk Allah dan Rasulullah. Apa yang menjadi bagian Allah dan Rasul-Nya diperuntukkan untuk kerabat Nabi saw. dan beliau tidak mengambil sedikit pun dari seperlima itu.
Mengenai firman Allah: wa’lamuu anna maa ghanimtum min syai-in fa anna lillaaHi khumusaHu wa lir rasuuli (“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kalian peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlima untuk Allah dan Rasul,”) Ibnu Abi Hatim menceritakan dari `Abdullah bin Buraidah, ia mengatakan: “Bagian untuk Allah adalah untuk Nabi-Nya, sedangkan bagian untuk Rasulullah adalah untuk isteri-isteri beliau.”
`Abdul Malik bin Abi Sulaiman menceritakan dari `Atha’ bin Abi Rabah, ia mengatakan: “Bagian seperlima bagi Allah dan Rasul adalah satu, beliau boleh membawa dan menggunakannya sekehendak hati beliau.”
Yang demikian ini lebih umum dan mencakup, di mana Rasulullah dapat menggunakan bagian seperlima yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai miliknya dan menyerahkannya kepada umatnya sekehendak hatinya. Yang demikian itu diperkuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari `Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, `Abdullah bin `Amr, dari Rasulullah saw, yang membahas hal yang sama tentang kisah seperlima harta rampasan dan larangan berkhianat (mengambil harta rampasan).
Dan dari `Amr bin `Anbasah, bahwa Rasulullah saw. pernah mengerjakan shalat bersama para sahabat dengan menghadap ke unta dari harta rampasan. Setelah salam, beliau mengambil satu bulu unta tersebut dan kemudian bersabda:
“Tidak dihalalkan bagiku ghanimah kalian meski hanya (sekecil bulu.P-t-) ini melainkan hanya seperlima dan seperlima itu dikembalikan kepada kalian.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i.)
Nabi saw. pernah memiliki sesuatu dari ghanimah yang dipilih untuk dirinya sendiri, berupa budak laki-laki atau budak perempuan atau kuda atau pedang atau semisalnya. Sebagaimana hal tersebut telah ditegaskan oleh Muhammad bin Sirin dan `Amir asy-Sya’bi yang diikuti oleh mayoritas ularna.
Imam Ahmad dan Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, dan at-Tirmidzi menghasankannya dari Ibnu `Abbas, bahwa Rasulullah pernah mengambil pedangnya yang bernama dzulfiqar pada waktu perang Badar dan itulah yang beliau pernah mimpikan pada perang Uhud. Oleh karena itu, banyak para ulama menjadikan hal yang demikian itu sebagai bagian dari berbagai keistimewaan untuk beliau. (=Rasulullah saw pernah bermimpi melihat keretakan pada pedangnya pada perang Uhud. Kemudian beliau menafsirkannya dengan kematian salah seorang dari anggota keluarganya. Dan itu dibenarkan dengan kematian yang dialami oleh Hamzah.)
Ulama lainnya berpendapat, bagian seperlima itu dikelola oleh Imam (pemimpin) untuk kepentingan kaum muslimin, sebagaimana ia mengelola harta fai’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Yang demikian itu merupakan pendapat Imam Malik dan mayoritas ulama salaf. Dan inilah yang paling shahih.”
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai bagian seperlima yang diterima Rasulullah, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang sepeninggal beliau terhadap bagian tersebut.
Ada ulama yang berpendapat, bahwa bagian tersebut diberikan kepada orang yang memegang tampuk kepemimpinan setelah beliau. Pendapat tersebut diriwayatkan dari Abu Bakar, `Ali, Qatadah dan sekelompok ulama. Mengenai hal tersebut, terdapat sebuah hadits marfu’.
Ulama lainnya berpendapat, bagian seperlima tersebut dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin. Sedangkan ulama yang lain lagi berpendapat, bahwa bagian tersebut dikembalikan pada ashnaf lain yang terdiri dari kaum kerabat, anak-anak yatim, orang miskin dan ibnus sabil. Pendapat terakhir inilah yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Kemudian, para ulama juga berbeda pendapat tentang kedua bagian (bagian Nabi dan kerabat Nabi) itu setelah wafatnya Rasulullah saw. Ada ulama yang berpendapat, bahwa bagian Nabi tersebut diserahkan kepada Khalifah setelah beliau. Sedangkan ulama lainnya berpendapat, bagian tersebut diserahkan kepada kerabat beliau. Dan ulama yang lain lagi berpendapat, bagian kerabat beliau diserahkan kepada kerabat Khalifah. Semua pendapat mereka itu sepakat
untuk menjadikan bagian Nabi dan bagian kerabat Nabi, untuk pengadaan kuda dan persiapan perang di jalan Allah.
Kedua bagian tersebut diputuskan demikian pada masa Khalifah Abu Bakar dan `Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhuma. Al-A’masy meriwayatkan dari Ibrahim, bahwa Abu Bakar dan `Umar menggolongkan bagian Nabi untuk persiapan pengadaan kuda dan persenjataan. Kutanyakan (al-A’masy) kepada Ibrahim: “Bagaimana pendapat `Ali bin Abi Thalib mengenai hal
Ibrahim menjawab: “‘Ali adalah orang yang paling tegas dalam masalah Yang demikian itu merupakan pendapat sekelompok ulama rahimahumullah.
Adapun bagian kaum kerabat diberikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib, karena Bani Muththalib pernah membantu, menolong Bani Hasyim pada Hasa Jahiliyah dan pada permulaan Islam. Dan mereka secara bersama-sama masuk dalam syi’ib (tempat pemboikotan kaum muslimin pada awal masa Islam) karena marah demi Rasulullah saw, juga untuk menjaga keselamatannya.
Mereka (orang-orang dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib) yang muslim, melaksanakan itu sebagai ketaatan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Sedangkan mereka yang masih kafir, melaksanakan itu untuk melindungi kaum kerabat mereka dan karena rasa simpati dan taat kepada Abu Thalib, paman Nabi saw.
Sedangkan Bani `Abdu Syams dan Bani Naufal, meskipun mereka anak-anak paman Rasulullah dan keluarganya, namun mereka tidak setuju untuk melindungi beliau dan kaum muslimin, bahkan mereka memeranginya serta mencampakkannya dan mendukung kaum Quraisy untuk bermusuhan kepada beliau.
Oleh karena itu, Abu Thalib mencela mereka dalam syairnya lebih keras daripada yang lainnya karena kedekatannya, untuk itu ia berkata tengah-tengah syairnya:
Semoga Allah membalas `Abdu Syams dan Naufal.
Dengan siksaan yang buruk dengan segera, tanpa ditunda.
Dengan timbangan yang adil, yang tidak mengurangi sebesar biji gandum pun.
Peristiwa itu sendiri cukup sebagai saksi tanpa yang lain.
Sungguh sangat bodoh akal suatu kaum yang telah berubah.
Menjadi musuh bagi keluarga sendiri.
Kami adalah inti dari keluarga Bani Hasyim.
Dan keluarga Qushay sebagai tokoh-tokoh pendahulu.
Jubair bin Muth’im bin `Adi bin Naufal bercerita: “Aku pernah bersama `Utsman bin `Affan, yakni bin Abi al-‘Ash bin Umayyah Abdu Syams menuju Rasulullah saw. Kemudian kami katakan: `Ya Rasulallah, Bani Muththalib telah engkau beri bagian seperlima Khaibar (maksudnya ghanimah dari perang Khaibar), sedang kami tidak mendapatkannya, padahal kedudukan kami dan mereka adalah sama hadapanmu.’ Maka beliau pun menjawab: ‘Bani Hasyim dan Bani Muththalib adalah satu.’” (HR. Muslim; Begitu juga yang tercantuin dalam seluruh naskah. Sebenarnya hadits itu adalah riwayat al-Bukhari dalam beberapa bab. Hal ini merupakan kelalaian atau kekeliruan dari pengarang.)
Dalam beberapa riwayat hadits ini disebutkan: “Sesungguhnya mereka (Bani Hasyim dan Bani Muththalib) tidak meninggalkan kami pada masa jahiliyah dan juga pada masa Islam.” Demikian itulah jumhurul ulama, yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Ibnu arir mengatakan, ulama lain berpendapat bahwa mereka adalah Bani Hasyim saja.
Kemudian diriwayatkan pula dari Khashif, dari Mujahid, ia mengatakan: “Allah mengetahui bahwa di kalangan Bani Hasyim terdapat orang-orang fakir, lalu Allah berikan kepada mereka bagian seperlima sebagai sedekah.”
Dalam riwayat lain, masih berasal dari Mujahid, ia mengatakan: “Mereka adalah kerabat Rasulullah yang tidak dihalalkan bagi mereka sedekah.”
Selanjutnya, hal yang sama juga diriwayatkan pula dari `Ali bin al-Husain.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan: “Mereka itu adalah orang Quraisy semuanya.” Yunus bin `Abdul A’la memberitahuku, ‘Abdullah bin Nafi’ memberitahuku, dari Abu Ma’syar, dari Sa’id al-Maqburi, ia bercerita: “Najdah pernah mengirim surat kepada `Abdullah bin `Abbas menanyakan tentang dzawil qurba (kaum kerabat). Maka surat tersebut dibalas oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas seraya menuliskan: `Kami pernah berkata: `Sesungguhnya kami termasuk mereka, namun kaum kami menolak hal itu seraya mengatakan: Kaum Quraisy semuanya adalah kerabat.’”
Hadits terakhir ini derajatnya shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai’.
Firman Allah: wal yataamaa (“Dan anak-anak yatim.”) Yaitu, anak-anak yatim dari kaum muslimin. Para ulama masih berbeda pendapat, apakah yatim tersebut dikhususkan bagi yang fakir miskin, ataukah anak yatim secara umum yang mencakup kaya dan miskin? (Mengenai hal ini) terdapat dua pendapat.
Orang-orang miskin adalah, yang mempunyai kebutuhan dan tidak memiliki sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pakaian dan tempat tinggal mereka.
Wabnis sabiili (“Dan Ibnus Sabil.”) Yaitu, musafir atau orang yang hendak bepergian menempuh jalan dengan jarak yang membolehkannya mengqashar shalat, sedang ia tidak mempunyai biaya perjalanan. Insya Allah, mengenai hal ini akan kami uraikan lebih lanjut dalam pembahasan ayat (mengenai) sedekah yang terdapat pada surat Bara-ah (at-Taubah). Dan kepada Allah kita berserah diri.
Firman-Nya: in kuntum aamantum billaaHi wa maa anzalnaa ‘alaa ‘abdinaa (“Jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami.”) Maksudnya, laksanakanlah bagian seperlima dari ghanimah yang telah Kami syari’atkan kepada kalian, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, serta apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya.
Oleh karena itu dalam shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), diriwayatkan dalam sebuah hadits dari `Abdullah bin `Abbas mengenai utusan `Abdul Qais, bahwa Rasulullah mengatakan kepada mereka: “Aku memerintahkan kepada kalian empat perkara dan melarang kalian dari empat perkara. Aku perintahkan kepada kalian untuk beriman kepada Allah.” Kemudian beliau saw. bersabda: “Tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan iman kepada Allah itu? Yaitu kesaksian bahwa tidak ada Ilah (yang berhak untuk diibadahi) melainkan hanya Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat dan melaksanakan pembagian seperlima dari ghanimah.”
Rasulullah menjadikan pelaksanaan pembagian bagian seperlima dari ghanimah, sebagai bagian dari iman. Imam al-Bukhari sendiri telah menuliskan dalam bab tersendiri dalam kitab al-Iman, dari shahihnya yang ia beri judul, “Bab mengenai seperlima (dari ghanimah,-Ed) adalah bagian dari iman”.
Mengenai hadits ini, kami telah menguraikannya secara panjang lebar dalam buku Syarhul Bukhari, segala puji dan karunia hanya milik Allah.
Mengenai firman-Nya: wa maa anzalnaa ‘alaa ‘abdinaa yaumal furqaani (“Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari al-Furqan.” Muqatil bin Hayyan berkata: “Yaitu, pada hari pembagian ghanimah.”
Firman-Nya: yaumal furqaani yauma taqal jam’aani wallaaHu ‘alaa kulli syai-in qadiir (“Pada hari
al-Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”) Allah swt. mengingatkan akan nikmat dan kebaikan-Nya yang dikaruniakan kepada makhluk-Nya, di mana Allah telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil pada perang Badar. Diberi nama al-Furqan, karena Allah Ta’ala pada saat itu meninggikan kalimat iman di atas kalimat kebathilan. Dan itu merupakan pertempuran yang pertama kali disaksikan oleh Rasulullah. Para sahabat beliau pada saat itu berjumlah tiga ratus dan belasan orang, sedangkan orang-orang musyrik berkisar antara seribu dan Sembilan ratus orang. Dan Allah swt. menjadikan orang-orang musyrik itu kalah, dari mereka terbunuh tujuh puluh orang lebih dan sebanyak itu pula yang ditawan.
Dari `Ali, ia menceritakan: “Malam al-Furqan adalah malam bertemunya dua kelompok pada pagi di hari Jum’at, hari ketujuh belas dari bulan Ramadhan.” Itulah yang shahih menurut ahli peperangan dan sejarah.
Bersambung
Tag:41, agama islam, al anfal, Al-qur'an, ayat, bahasa indonesia, ibnu katsir, islam, religion, surah, surah al-anfaal, surat, surat al anfaal, tafsir, tafsir alquran, tafsir ibnu katsir, Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 41