Arsip | 23.51

Agama Islam dan Keadilan

11 Sep

Assalaamu’alaikum wr.wb.

Pernahkan anda merasakan bahwa hidup ini tidak adil? Anda merasa dirugikan oleh pihak lain yang membuat sistem hidup ini menjadi tidak adil? Melalui berbagai macam aturan yang dibuat manusia yang hanya menguntungkan segelintir manusia?

Saya pernah mendengar cetusan seorang yang mengatakan: “Orang miskin itu salah sendiri, dia malas berusaha…”
Maka kalau kita tafsirkan maka secara jelas dia juga mengatakan demikian: “Nih contohnya aku yang rajin berkarya dan berinovasi jadi kaya dan sukses…”

Cobalah renungkan. Ada manusia yang dengan kepiawaiannya menipu dan licik membuat tatanan yang sengaja mempersempit peluang seseorang untuk maju [dengan cara yang tidak fair]. Mereka bekerja sepanjang masa dan bergenerasi yang masing-masing berpesan tentang idealisme mereka bahwa hidup ini adalah menguasai dunia dengan membangun sistem-sistem yang memarjinalkan fihak lain. Setelah melalui era yang panjang maka generasi berikutnya akan berkata seperti di atas tadi.

Sesungguhnya dalam Islam sudah ada jawabannya. Bahwa barangsiapa yang berbuat kebaikan maka ia akan dibalas kebaikan pula dan barangsiapa berbuat keburukan maka baginya keburukan pula. Dan semua itu akan mutlak terjadi ketika dunia ini sudah berakhir karena semua manusia akan diadili mengenai apa-apa yang telah diusahakannya selama hidup di dunia ini. Inilah keadilan Tuhan Yang Maha Esa.

Bahwa sistem Islam itu telah dikhianati manusia, akan tetapi sesungguhnya Allah pemilik seluruh alam ini tidak akan lengah mencatat amal mereka. Manusia mengira hidup ini hanya di dunia saja. Dan itu adalah puncak kebodohan dalam sejarah manusia. Karena sikap demikian itu tidaklah mencerminkan sebagai sikap makhluk yang mulia, akan tetapi sejajar dengan hewan buas yang hidup dalam hukum rimba. Tidak mengikuti aturan sebagai species makhluk yang telah dimuliakan oleh Tuhan….

Ilmiah

11 Sep

Assalaamu ‘alaikum wr.wb.

Apakah anda seorang ilmuwan? Mengerjakan segala sesuatu dengan cara yang ilmiah? Yakni memiliki dasar argumentasi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan? Lalu anda akan bertindak berdasarkan dalil-dalil itu demi kata “kebenaran”? Sejauh mana hal itu bisa dipertahankan?

Ingatlah, jika anda seorang pencari kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu sudah ada sejak manusia ini mendiami muka bumi. Bahkan jauh sebelum bumi dan alam semesta ini diciptakan. Hanya saja yang menjadi masalah adalah manusia tidak serta merta menerima kenyataan itu. Kenapa ? Karena “hawa nafsu” manusia mengalahkan “ilmu”.

Islam sudah jelas kebenarannya. Berbagai macam bukti yang sederhana terpampang jelas di alam semesta ini, bahkan ada pada diri manusia itu sendiri. Rasa ego yang merupakan cerminan “Hawa nafsu” telah menyesatkan manusia dari pencarian itu. Banyak manusia memproklamasikan kemerdekaan berfikirnya dengan cara mengingkari wahyu Tuhan yang sesungguhnya adalah justru memenjarakan akal fikirannya pada kehinaan dan sama sekali tidak ilmiah. Betapa tidak. Dengan bermodalkan keterbatasan daya fikirnya, manusia berusa mengkudeta kekuasaan dan kewenangan Tuhan dalam menetapkan hukum dan mengatur alam ini.

Maka lihatlah, kehancuran tata kehidupan terjadi dimana-mana. Fitnah merajalela. Namun sesungguhnya dalam Islam semua itu tampak hitam dan putihnya. Yang jadi masalah adalah, sudikah kita mencari tahu jawabannya pada tuntunan ajaran Islam? Dan kita akan mendapatkan bahwa segala dalil dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, semuanya bersifat ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Muaranya jelas, berasal dari Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah yang semua itu adalah berasal dari wahyu. Dan wahyu itu adalah dari Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya…..

Atau anda lebih menyukai faham yang tidak jelas asal-usulnya? Monggo, jika anda tidak malu dengan fitrah anda sebagai manusia yang berakal sehat dan berpotensi untuk bekerja secara ilmiah….

Renungan Hidup

11 Sep

Assalaamu’alaikum wr.wb.
Terus terang saja, jika kita fikirkan perjalanan hidup ini, maka akan sederhana jadinya; yakni dilahirkan, tumbuh dewasa, renta lalu meninggal. Lalu segalanya berakhir kontrak hidup di dunia ini.

Bagi mereka yang merasa hidup ini adalah peluang untuk bersenang-senang, maka akan mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya untuk meraih dunia ini. Kalau perlu dengan berbagai cara untuk meraih apa yang menjadi gejolak hati. Kuasai materi dan raih kesenangan hidup. Naif memang, akan tetapi itulah kenyataan yang banyak terjadi pada diri manusia.

Jika demikian maka manusia telah memilih kedudukannya yang tidak berbeda dengan hewan, yakni hidup hanya untuk urusan perut dan bawah perut. Ini tentu menyakitkan dan menyalahi kodratnya sebagai makhluk yang diunggulkan (baca: jadi khalifah di muka bumi) karena memposisikan sama dengan hewan.

Manusia sedikit sekali sampai pada pemahaman bahwa cita-cita tertinggi itu bukanlah sukses di dunia ini. Akan tetapi lebih dari itu. Yakni meraih kesuksesan dunia sebagai jalan/ jembatan untuk memperoleh kemuliaan di akhirat yang abadi. Dan ini hanya bisa diperoleh apabila manusia mengikuti dan mengimani ajaran Islam.

Kenapa harus Islam ? Karena hanya Islam lah yang menawarkan konsep hidup yang logis dan jelas, mudah diterima oleh akal fikiran dan tidak bertentangan dengan kodrat manusia. Islam adalah mudah dan menuntun pada jalan keselamatan. Akan tetapi tentu syaitan tidak akan rela membiarkan manusia berjalan menuju Tuhannya. Dia akan senantiasa bekerja siang dan malam untuk menjerumuskan manusia hingga menjadi sesat dari tujuan itu. Dan syaitan pun mempunyai grup atau agen-agen yang mengusung visi dan misi yang menentang agama Islam.

Itulah mengapa dunia ini penuh dengan gejolak. Tidak lain adalah karena pertentangan antara keimanan pada Allah swt versus syaitan yang memaksakan jalan pada manusia, yakni jalan selain tuntunan Allah…..

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 16

11 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 16“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Israa’: 16)

Para ahli qira-at masih berbeda pendapat tentang bacaan: amarnaa (“Kami perintahkan.”) Tetapi yang masyhur adalah bacaan takhfif. Dan para ahli tafsir juga masih berbeda pendapat tentang arti kata tersebut. Ada yang menyatakan bahwa kata tersebut berarti, “Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu suatu perintah yang sudah menjadi takdir, tetapi justru mereka berbuat kedurhakaan di negeri tersebut. Yang demikian itu
seperti firman-Nya: “Tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami pada waktu malam dan siang.” (QS. Yunus: 24)

Sesungguhnya Allah tidak menyuruh berbuat hal yang keji. Lebih lanjut mereka mengatakan, kalimat itu berarti bahwa Allah menarik mereka untuk melakukan perbuatan keji sehingga mereka layak mendapatkan adzab. Ada juga yang berpendapat, kalimat itu berarti, Kami (Allah) telah perintahkan mereka supaya berbuat ketaatan, namun mereka justru mengerjakan perbuatan keji, sehingga mereka layak untuk mendapatkan siksaan. Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Ibnu `Abbas. Dan dikemukakan pula oleh Said bin Jubair.

Sedangkan Ibnu Jarir mengemukakan: “Mungkin juga berarti, Kami jadikan mereka itu sebagai umara’ (penguasa), lalu mereka berbuat durhaka.” Berkenaan dengan hal tersebut, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Pengertian itu didasarkan pada bacaan orang yang membaca: amarnaa mutra fiiHaa (“Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu.”)

Dan mengenai firman Allah: amarnaa mutra fiiHaa fafasaquu fiiHaa (“Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya mentaati Allah] tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,”) ‘Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas, ia mengatakan, artinya, Kami jadikan orang-orang jahat di negeri itu berkuasa, sehingga mereka berbuat durhaka di negeri tersebut. Dan jika mereka telah melakukan hal itu, maka Allah akan membinasakan mereka dengan adzab. Itulah makna firman Allah: “Dan demikianlah Kami adakan pada setiap negeri penjahat penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.” (QS. Al-An’aam: 123)

Demikian pula yang dikemukakan oleh Abul `Aliyah, Mujahid dan ar-Rabi’ bin Anas, dan dari Malik dari az-Zuhri, mengenai firman-Nya: amarnaa mutra fiiHaa (“Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu,”) hal itu berarti, Kami perbanyak mereka yang mendapatkan kemewahan.

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 15

11 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 15“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (QS. al-Israa’: 15)

Allah memberitahukan bahwa barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk dan mengikuti kebenaran serta mengikuti jejak kenabian, maka yang demikian itu akan berakhir dengan hasil yang terpuji bagi dirinya sendiri.

Wa man dlalla (“Dan barangsiapa yang sesat,”) yakni menyimpang dari kebenaran serta keluar dari jalan petunjuk, berarti ia telah berbuat jahat terhadap dirinya sendiri, dan akibatnya juga akan kembali pada dirinya sendiri.

Setelah itu, Allah Ta’ala berfirman: wa laa taziru waaziratuw wizra ukhraa (“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.”) Maksudnya, seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, dan tidaklah seseorang itu berbuat jahat melainkan akan berakibat pada dirinya sendiri. Sebagaimana yang difirmankan Allah ini: “Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.” (QS. Faathir: 18)

Penggalan firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala yang terakhir ini tidak bertentangan dengan firman-Nya yang berikut ini: “Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri.” (QS. Al-‘Ankabuut: 13)
Demikian juga dengan firman-Nya, “Dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan).” (QS. Al-Nahl: 25)

Maka sesungguhnya para penyeru, yang mereka pikul itu adalah dosa kesesatan mereka sendiri, dan dosa lainnya adalah yang disebabkan oleh tindakan mereka menyesatkan orang yang tidak menyadari bahwa dirinya disesatkan tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka itu, dan mereka sama sekali tidak akan pernah dipikulkan dosanya oleh orang lain. Dan demikian itu merupakan bentuk keadilan Allah dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya secara keseluruhan.

Demikian halnya dengan firman Allah Ta’ala: wa maa kunnaa mu’adzdzibiina hattaa nab’atsa rasuulan (“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”) Yang demikian itu merupakan pemberitahuan tentang keadilan Allah, di mana Dia tidak akan pernah mengadzab seorang pun melainkan setelah disampaikannya hujjah kepadanya, yakni dengan pengutusan Rasul kepadanya.

Oleh karena itu, sekelompok ulama membantah lafazh yang masih bersifat mubham yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, dalam pembahasan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raaf: 56), `Abdullah memberitahu kami, dari al-A’raj dengan sanad yang disandarkan kepada Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Surga dan neraka pernah berbantah-bantahan.”

Kemudian disebutkan matan hadits tersebut hingga sampai pada sabda: “Sedangkan surga, maka tidak ada seorang pun di dalamnya yang didhalimi oleh Allah. Dan sesungguhnya Dia telah menciptakan untuk neraka beberapa makhluk, di mana mereka akan dilemparkan ke dalamnya, yang kemudian neraka itu bertanya, ‘Apakah masih ada tambahan?’ sampai tiga kali.”
Dan kemudian disebutkan hadits tersebut secara lengkap.

Yang demikian itu terjadi di dalam surga, karena ia merupakan tempat yang penuh dengan karunia dan keutamaan. Sedangkan neraka adalah tempat pengadilan, yang tidak dimasuki oleh seorang pun melainkan setelah dinyatakan bersalah dan setelah diberikan hujjah kepadanya.

Ada sebuah kelompok huffazh yang telah berbicara tentang lafazh di atas. Mereka mengatakan: “Mungkin saja atas perawi hadits tersebut terjadi keterbalikan dalam meriwayatkannya.” Yang demikian itu dikemukakan dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka, dengan lafazh al-Bukhari, dari hadits `Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Hamam, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Surga dan neraka pernah berbantah-bantahan…” Kemudian disebutkan hadits selanjutnya sampai pada sabda beliau: “Sedangkan neraka tidak penuh sehingga diletakkan kaki-Nya ke dalarnnya, lalu neraka itu berkata: ‘Cukup, cukup.’ Di sanalah neraka itu penuh, dari sebagian sudutnya sampai kesudut yang lain. Dan Allah tidak mendhalimi satu pun dari makhluk-Nya. Adapun surga, bahwasanya Allah telah menciptakan makhluk untuk mengisinya.”

Masih ada satu masalah lagi yang tersisa, di mana para imam telah berbeda pendapat tentangnya, baik pada zaman dulu maupun sekarang, yakni mengenai anak-anak yang meninggal dunia ketika masih kecil sedang orang tua mereka kafir, bagaimanakah kedudukan hukum mereka? Demikian juga dengan orang yang tidak waras, orang tuli, orang yang sudah lanjut usia, serta orang yang meninggal dunia pada masa di mana ia belum pernah memperoleh
seruan dakwah (masa fatrah). Dan mengenai keadaan orang-orang tersebut, telah ada beberapa hadits Rasulullah saw. yang membahasnya.

Hadits pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari al-Aswad bin Sari’, bahwa Rasululah saw. telah bersabda: “Ada empat kelompok yang akan mengemukakan alasan pada hari Kiamat kelak, yaitu orang tuli yang tidak mendengar sesuatu apa pun, orang bodoh, orang yang sudah lanjut usia, dan orang yang meninggal dunia pada masa fatrah (di mana ia belum pernah mendapat seruan dakwah). Adapun orang tuli akan berkata: `Ya Rabbku, Islam telah datang, tetapi aku tidak mendengar suatu apa pun.’ Sedangkan orang bodoh akan berkata: ‘Ya Rabbku, Islam telah datang, sedang anak-anak melempariku kotoran unta.’ Dan orang yang sudah lanjut usia akan mengatakan: ‘Ya Rabbku, Islam telah datang, sedang aku tidak dapat berpikir apa-apa.’ Sedangkan orang yang meninggal pada masa fatrah (di mana ia belum pernah memperoleh seruan dakwah) akan mengatakan: ‘Ya Rabbku, belum datang kepadaku seorang Rasul utusan-Mu.’

Kemudian Allah Ta’ala mengambil janji mereka supaya mentaati-Nya. Lalu Dia mengirim utusan kepada mereka (untuk menyampaikan perintah), ‘Masuklah kalian ke neraka.’ Demi Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya mereka memasukinya, neraka itu akan terasa dingin dan aman sentosa baginya.’”

Dan dalam kitab ash-Shahihain juga diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana binatang itu dilahirkan dengan lengkap. Apakah kalian melihat binatang-binatang itu lahir dengan terputus-putus (hidung, telinga dan lain-lainnya secara terpisah)?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain disebutkan, mereka bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan seseorang yang mati ketika masih kecil?” Maka beliau pun menjawab: “Allah lebih tahu terhadap apa yang mereka kerjakan.”

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi mengenai apa yang lebih mengetahui keraguan Musa, beliau bersabda: “Anak keturunan kaum muslimin berada di surga di bawah pemeliharaan Ibrahim as.”

Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari `Iyadh bin Hammad, dari Rasulullah saw, dan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, di mana Dia telah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah ciptakan hamba-hamba-Ku ini dalam keadaan hanif (lurus).”
Dan dalam riwayat yang lain juga disebutkan: almuslimiina (Dalam keadaan sebagai) “Orang-orang muslim.”

Al-Hafizh Abu Bakar al-Burqani, dalam kitabnya al-Mustakhraj ‘alal Bukhari, dari Samurah, dari Nabi saw, di mana beliau bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.” Kemudian para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, juga termasuk anak orang-orang musyrik?” Beliau menjawab: “Ya, juga termasuk anak orang-orang musyrik.”

Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Samurah ra. ia menceritakan: Kami pernah bertanya kepada Rasululah mengenai anak orang-orang musyrik, maka beliau menjawab: “Mereka adalah para pelayan bagi penghuni surga.”

Di antara ulama ada yang tidak menetapkan (mengeluarkan) pendapat terhadap mereka. Tetapi, ada juga dari kalangan ulama tersebut yang menyatakan bahwa mereka pasti masuk surga. Yang demikian itu didasarkan hadits Samurah bin Jundab dalam Shahih al-Bukhari, bahwasanya Rasulullah dalam keseluruhan mimpi tersebut, yaitu ketika beliau berjalan melewati seorang yang sudah tua di bawah sebatang pohon yang di sekelilingnya terdapat anak-anak kecil. Maka Jibril berkata kepada beliau: “Ini adalah Ibrahim as., sedang mereka adalah anak-anak kaum muslimin dan juga anak-anak kaum musyrikin.” Para sahabat bertanya: “Termasuk juga anak-anak kaum musyrikin?” “Ya, termasuk juga anak-anak kaum musyrikin,” demikian sahut Rasulullah saw.

Di antara para ulama itu ada juga yang menyatakan bahwa anak-anak orang-orang kafir itu sudah pasti masuk neraka. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw: “Mereka bersama orang tua mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Juga diriwayatkan Imam Ahmad dengan lafazh: “Mereka itu ikut bersama orang tua mereka.”)

Ada juga ulama yang berpendapat lain, bahwasanya anak-anak itu akan diuji pada hari Kiamat terlebih dahulu di sebuah tempat. Barangsiapa yang taat, maka ia akan masuk surga. Dan pengetahuan Allah menyingkap tentang mereka atas ketetapan sebelumnya untuk menetapkan kebahagiaan. Dan barangsiapa durhaka, maka ia akan masuk neraka, dan pengetahuan Allah menyingkap tentang ketetapan terdahulu bahwa mereka akan mendapatkan kecelakaan.

Pendapat yang terakhir ini dipadukan antara dalil-dalil di atas secara keseluruhan. Dan hadits-hadits yang saling bertentangan di atas secara gambling mengemukakan syahid sebagian pada sebagian lainnya. Pendapat itu pula yang diceritakan oleh Syaikh Abul Hasan `Ali bin Isma’il al-Asy’ari dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan pendapat itu pula yang didukung oleh Abu Bakar al-Baihaqi dalam kitab al-I’tiqaad. Demikian juga oleh para ulama, huffazh dan para kritikus, wallahu a’lam.

Jika hal itu telah menjadi ketetapan, maka pada diri orang-orang telah berbeda pendapat mengenai anak-anak kaum musyrikin, dan mengenai hal itu terdapat beberapa pendapat. Pertama, bahwa mereka berada di dalam surga.
Pendapat kedua, bahwa mereka bersama orang tua mereka di dalam neraka.
Dan yang ketiga, tidak memberikan keputusan tentang diri mereka dan bersandar pada sabda Rasulullah yang terdapat dalam kitab ash-Shahihain: “Allah yang lebih mengetahui apa yang pernah mereka kerjakan.”

Perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat ini hanya khusus berkisar tentang anak-anak kaum musyrikin saja. Sedangkan anak-anak orang-orang yang beriman, maka tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama, sebagaimana yang diceritakan oleh al-Qadhi Abu Ya’la bin al-Farra’ al-Hanbali, dari Imam Ahmad, di mana ia berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat tentang diri mereka, bahwa mereka termasuk penghuni surga. Dan itulah yang masyhur di tengah-tengah umat manusia.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ ayat 13-14

11 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 13-14“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amalperbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. (QS. 17:13) ‘Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.’ (QS. 17:14)” (QS. Al-Israa’: 13-14)

Setelah menceritakan tentang waktu dan berbagai amal perbuatan anak cucu Adam yang terjadi pada kisaran waktu tersebut, Allah berfirman: wa kulla insaanin alzamnaaHu thaa-iraHuu fii ‘unuqiHi (“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya [sebagaimana tetapnya kalung] pada lehernya.”) Yang dimaksud dengan kata Thaa-iraHu di sini adalah amal perbuatan yang pernah dikerjakan. Sebagaimana yang dikarakan Ibnu `Abbas, Mujahid dan lain-lain, yakni perbuatan baik maupun buruk. Dia akan menetapkannya dan kemudian memberikan ganjaran atasnya.

Hal itu telah difirmankan-Nya yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji dzarrah pun, niscaya akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat biji dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya pula.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8)

Maksudnya, bahwa amal perbuatan anak cucu Adam secara keseluruhan terjaga; baik yang kecil maupun yang besar dan senantiasa tercatat; baik pada malam maupun siang hari, pagi maupun sore hari.

Dan firman-Nya: wa nukhriju laHuu yaumal qiyaamati kitaabay yalqaaHu mansyuuran (“Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.”) Maksudnya, Kami kumpulkan untuknya semua amal perbuatannya dalam sebuah kitab yang akan diberikan pada hari Kiamat kelak, baik dengan tangan kanan jika ia seorang yang bahagia, atau dengan tangan kiri jika ia seorang yang celaka. Kata mansyuura berarti terbuka, yang ia atau orang lain dapat membacanya langsung semua amalnya dari sejak awal umurnya sampai akhir hayatnya.

Oleh karena itu, Allah berfirman: iqra’ kitaabaka kafaa binafsikal yauma ‘alaika hasiiban (“Bacalah kitabmu, cukuplab dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.”) Artinya, sesungguhnya kamu akan mengetahui bahwa kamu tidak didhalimi dan tidak pula dituliskan di dalam kitab itu kecuali apa yang pernah kamu kerjakan, karena semua yang pernah kamu kerjakan pasti akan disebutkan. Tidak ada seorang pun yang lupa terhadap apa yang dulu pemah dikerjakannya. Dan setiap orang dapat membaca kitabnya, baik ia seorang yang dapat membaca maupun yang tidak dapat membaca (buta huruf).

Dan firman-Nya: alzamnaaHu thaa-iraHuu fii ‘unuqiHi (“Telah Kami tetapkan amal perbuatannya [sebagaimana tetapnya kalung] pada lehernya.”) Disebutkannya leher di sini karena ia merupakan salah satu anggota badan yang tidak ada satu pun anggota tubuh yang serupa dengannya. Barangsiapa yang telah ditetapkan sesuatu bagi dirinya, maka tiada jalan baginya untuk menghindarkan diri darinya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tidak ada suatu pun amal perbuatan sehari-hari melainkan akan dicatat. Jika seorang mukmin sakit, maka Malaikat berkata, ‘Ya Rabb kami, hamba-Mu, si fulan, penyakit telah menahannya.’ Kemudian Rabb berkata: ‘Catatlah baginya seperti apa yang telah dikerjakan sehingga ia sembuh atau meninggal.’” (Sanad hadits tersebut jayyid.)

Mengenai firman Allah Ta’ala: alzamnaaHu thaa-iraHuu fii ‘unuqiHi (“Telah Kami tetapkan amal perbuatannya [sebagaimana tetapnya kalung] pada lehernya.”) Ma’ mar, dari Qatadah mengatakan, “Yaitu amal perbuatannya.” Ma’mar berkata, al-Hasan al-Bashri membaca: ‘anil yamiini wa ‘anisy syimaali qa’iid (“seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” [Qaaf: 17]) Hai anak cucu Adam, Aku telah perlihatkan kepadamu lembar catatanmu, dan aku tugaskan kepadamu dua Malaikat yang mulia, salah satunya berada di sebalah kananmu dan lainnya berada di sebelah kirimu. Adapun yang berada di sebelah kananmu, maka ia akan senantiasa menjaga amal kebaikanmu. Sedangkan yang di sebelah kiri akan menjaga amal keburukanmu. Karenanya kerjakanlah apa yang kamu kehendaki, sedikit maupun banyak sehingga apabila kamu meninggal, maka akan dilipat dan dikalungkan lembar catatanmu itu di leher(mu) bersamamu di dalam kubur(mu) sampai kamu keluar darinya kelak pada hari Kiamat. Lalu lembar catatan itu akan keluar sebagai kitab yang engkau akan menjumpainya dalam keadaan terbuka. Iqra’ kitaabaka (“Bacalah kitabmu!”) Dan Allah menjadikanmu penghitung dirimu sendiri.

Yang demikian itu merupakan ungkapan al-Hasan al-Bashri yang paling bagus.

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ ayat 12

11 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 12“Dan Kami jadikan malam dan Siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda slang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Rabbmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.” (QS. Al-Israa’: 12)

Allah telah memberikan berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang sangat besar kepada makhluk-Nya. Di antaranya, dijadikan-Nya siang dan malam berbeda, agar mereka merasa tenteram pada malam hari dan bertebaran pada siang hari untuk menjalani kehidupan, membuat barang-barang, bekerja dan melakukan perjalanan. Selain itu, agar mereka mengetahui jumlah hari, pekan, bulan dan tahun serta mengetahui batas waktu hutang, juga waktu ibadah, mu’amalah, serta berbagai malam kontrak, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Allah berfirman: litabtaghuu fadl-lam mir rabbikum (“Agar kamu mencari karunia dari Rabbmu.”) Yakni dalam kehidupan, perjalanan dan lain sebagainya.

Wa lita’lamuu ‘adadas siniina wal hisaab (“Dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan.”) Seandainya zaman itu secara keseluruhan merupakan satu paket atau pola yang sama, maka tidak akan diketahui sesuatu pun darinya.

Selanjutnya Allah menjadikan waktu malam sebagai tanda yang dikenali, yakni gelap dan munculnya bulan. Sedangkan siang juga mempunyai tanda yaitu sinar terang dan terbitnya matahari yang bersinar terang. Dengan demikian, cahaya bulan sebagai tanda malam sedangkan sinar matahari sebagai tanda siang. Sebagaimana yang difirmankan Nya yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan’sabit, katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji…’” dan ayat seterusnya. (QS. Al-Baqarah: 189)

Ibnu Juraij mengemukakan, dari Mujahid, “Matahari sebagai tanda siang dan bulan sebagai tanda malam.” Fa mahaunaa aayatal laili (“Lalu Kami hapuskan tanda malam.”) la mengatakan, yakni kehitaman yang terdapat pada bulan. Dan demikianlah Allah Ta’ala menciptakannya. Ibnu Juraij menceritakan, Ibnu `Abbas mengemukakan, “Bulan itu bersinar sebagaimana matahari bersinar. Bulan itu merupakan tanda malam dan matahari sebagai tanda siang. Lalu Kami (Allah) menghapuskan tanda malam, yakni kehitaman yang menutupi bulan.

Abu Ja’far bin Jarir telah meriwayatkan melalui beberapa jalan dan baik, bahwa Ibnul Kuwa’ pernah bertanya kepada Amirul Mukminin, `Ali bin Abi Thalib: “Wahai Amirul Mukminin, apakah cemong yang terdapat pada bulan itu?” `Ali pun menjawab: “Celaka kamu, tidakkah engkau membaca al-Qur’an? ‘Lalu Kami hapuskan tanda malam,’ dan itulah salah satu bentuk penghapusannya. “Dan Kami jadikan tanda siang itu terang,” yakni terang benderang dan Dia ciptakan matahari lebih terang dan lebih besar daripada bulan.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ ayat 11

11 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 11“Dan manusia berdo’a untuk kejahatan sebagaimana ia berdo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Israa’: 11)

Allah swt. menceritakan tentang ketergesaan umat manusia dan do’anya yang buruk berupa kematian, kebinasaan, kehancuran, laknat dan lain sebagainya yang mereka panjatkan pada beberapa kesempatan, terhadap diri mereka, anak, atau harta kekayaan mereka sendiri. Karena jika seandainya Rabb mereka mengabulkan, niscaya mereka akan binasa karena do’anya tersebut. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah yang artinya berikut ini: “Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia… ” dan ayat seterusnya. (QS. Yunus: 11)

Demikian juga yang ditafsirkan Ibnu `Abbas, Mujahid dan Qatadah, bahwa yang membawa anak cucu Adam kepada yang demikian itu adalah kegoncangan dan ketergesaan mereka. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: wa kaanal insaanu ‘ajuulan (“Dan adalah manusia itu bersifat tergesa-gesa.”)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ ayat 9-10

11 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 9-10“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (QS. 17:9) dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat, Kami sediakan bagi mereka adzab yang pedih. (QS. 17:10)” (al-Israa’: 9-10)

Allah memuji Kitab-Nya yang mulia yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. Dan Kitab itu adalah al-Qur’an, yaitu sebuah Kitab yang memberi petunjuk ke jalan yang luas dan jelas serta memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal shalih sesuai dengan ketetapannya, maka bagi mereka pahala yang besar pada hari Kiamat kelak. Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, al-Qur’an itu memberikan peringatan kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih pada hari Kiamat kelak. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala: fa basysyirHum bi’adzaabin aliim (“Maka sampaikan kabar gembira kepada mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.”) (QS. Ali ‘Imran: 21)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ ayat 4-8

11 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 4-8“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ (QS. 17:4) Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. (QS. 17:5) Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kelompok yang lebih besar. (QS. 17:6) Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat bukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. (QS. 17:7) Mudah-mudahan Rabbmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengadzabmu) dan Kami jadikan neraka jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. 17;8)” (al-Israa’: 4-8)

Allah mengabarkan bahwa Dia telah memberikan ketetapan terhadap Bani Israil di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh). Maksudnya, ketetapan yang telah mendahului mereka dan Allah swt. memberitahukan kepada mereka dalam Kitab (Taurat) yang Allah turunkan kepada mereka bahwa mereka akan membuat kerusakan di muka bumi sebanyak dua kali serta menyombongkan diri, berbuat sewenang-wenang, dan melakukan perbuatan keji terhadap orang lain.

Dan firman-Nya: fa idzaa jaa-a wa’du uulaa Humaa (“Maka apabila datang saat hukuman bagi [kejahatan] pertama dari kedua itu.”) Maksudnya, pertama dari kedua tindakan pengrusakan itu. Ba’atsnaa ‘alaikum ‘ibaadal lanaa ulii ba’sin syadiidin (“Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar.”) Maksudnya, Kami perkuat kalian dengan pasukan dari makhluk Kami yang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Yakni kekuatan dan perbekalan serta daya yang dahsyat, lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Maksudnya, mereka menguasai kalian dan berjalan melewati jalan-jalan dan gang-gang rumah-rumah kalian, pulang dan pergi dengan tidak takut kepada seorang pun, dan yang demikian itu merupakan ketetapan yang pasti terlaksana.

Para ahli tafsir dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf telah berbeda pendapat mengenai orang-orang yang mempunyai kekuatan yang besar tersebut, siapakah mereka sebenarnya?

Dan ‘ Ibnu `Abbas dan Qatadah, mereka adalah Jalut al-Jazari dan Bala tentaranya. Yang menguasai mereka sebagai bencana yang pertama. Tetapi setelah itu mereka dijadikan lemah. Hingga akhirnya Dawud berhasil membunuh Jalut. Oleh karena itu, Allah berfirman: tsumma radadnaa kumul karrata ‘alaiHim (“Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka.”)

Dan dari Sa’id bin Jubair, bahwa yang dimaksudkan adalah raja Moshil, Sanjarib dan Bala tentaranya. Juga dari Sa’id Jubair dan ulama lainnya, bahwa yang dimaksudkan dengan mereka adalah Bukhtanashar, raja Babil (Babilonia). Wallahu aalam.

Setelah itu, Allah berfirman: in ahsantum ahsantum li anfusikum wa in asa’tum falaHaa (“Jika kamu berbuat baik berarti kamu telah berbuat baik bagi diri kamu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, berarti kejahatan itu adalah bagi kamu sendiri.”)

Yang demikian itu adalah sama seperti firman-Nya yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka dosanya untuk dirinya sendiri.” (QS. Fushshilat: 46)

Firman-Nya lebih lanjut: fa idzaa jaa-a wa’dul aakhirati (“Dan apabila datang saat hukuman bagi [kejahatan] yang kedua.”) Yakni, giliran yang terakhir, yaitu jika kalian merusak giliran yang kedua dan datang musuh-musuh kalian.
Liyasuu-uu wujuuHakum (“[Kami datangkan orang-orang lain] untuk menyuramkan wajah-wajahmu.”) Yakni menghinakan dan mengalahkan kalian.
Wa liyadkhulul masjida (“Dan mereka masuk ke dalam masjid,”) yakni, Baitul Maqdis,
kamaa dakhaluuHu awwala marratin (“Sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama,”) yakni pada giliran di mana mereka merajalela di kampung-kampung.
Wa liyutabbiruu (“Untuk membinasakan,”) yakni, menghancurkan dan meluluh lantakkan; maa ‘alau (“Apa saja yang mereka kuasai.”) Yakni, apa yang tampak oleh mereka.
Tatbiiran. ‘asaa rabbukum ay yarhamakum (“Sehabis-habisnya. Mudah-mudahan Rabbmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu,”) sehingga Dia akan memalingkan mereka dari kalian.

Wa in ‘udtum (“Dan sekiranya kamu kembali,”) yakni, kapan kalian kembali kepada kerusakan; ‘udnaa (“Niscaya Kami kembali,”) yakni, kembali mengadzab kalian di dunia dengan tetap menyediakan adzab dan siksaan bagi kalian di akhirat.

Oleh karena itu Allah berfirman: wa ja’alnaa jaHannama lil kaafiriina hashiiran (“Dan Kami jadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.”) Maksudnya, tempat tinggal, tempat kekangan dan penjara, yang tidak ada jalan bagi mereka untuk melarikan diri darinya.

Ibnu `Abbas mengemukakan, “Kata hashiiran berarti penjara.” Sedangkan Mujahid mengatakan, “Mereka ditahan di dalamnya.” Hal yang senada juga dikemukakan oleh ulama lainnya. Qatadah menyebutkan, “Bani Israil telah kembali melakukan kerusakan sehingga Allah Ta’ala mengalahkan mereka melalui Nabi Muhammad dan para sahabat beliau. Beliau dan Para sahabatnya mengambil jizyah dari mereka dan mereka pun membayarnya dengan patuh sedang mereka dalam keadaan hina dina.

Bersambung