Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (QS. al-Israa’: 15)
Allah memberitahukan bahwa barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk dan mengikuti kebenaran serta mengikuti jejak kenabian, maka yang demikian itu akan berakhir dengan hasil yang terpuji bagi dirinya sendiri.
Wa man dlalla (“Dan barangsiapa yang sesat,”) yakni menyimpang dari kebenaran serta keluar dari jalan petunjuk, berarti ia telah berbuat jahat terhadap dirinya sendiri, dan akibatnya juga akan kembali pada dirinya sendiri.
Setelah itu, Allah Ta’ala berfirman: wa laa taziru waaziratuw wizra ukhraa (“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.”) Maksudnya, seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, dan tidaklah seseorang itu berbuat jahat melainkan akan berakibat pada dirinya sendiri. Sebagaimana yang difirmankan Allah ini: “Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.” (QS. Faathir: 18)
Penggalan firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala yang terakhir ini tidak bertentangan dengan firman-Nya yang berikut ini: “Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri.” (QS. Al-‘Ankabuut: 13)
Demikian juga dengan firman-Nya, “Dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan).” (QS. Al-Nahl: 25)
Maka sesungguhnya para penyeru, yang mereka pikul itu adalah dosa kesesatan mereka sendiri, dan dosa lainnya adalah yang disebabkan oleh tindakan mereka menyesatkan orang yang tidak menyadari bahwa dirinya disesatkan tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka itu, dan mereka sama sekali tidak akan pernah dipikulkan dosanya oleh orang lain. Dan demikian itu merupakan bentuk keadilan Allah dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya secara keseluruhan.
Demikian halnya dengan firman Allah Ta’ala: wa maa kunnaa mu’adzdzibiina hattaa nab’atsa rasuulan (“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”) Yang demikian itu merupakan pemberitahuan tentang keadilan Allah, di mana Dia tidak akan pernah mengadzab seorang pun melainkan setelah disampaikannya hujjah kepadanya, yakni dengan pengutusan Rasul kepadanya.
Oleh karena itu, sekelompok ulama membantah lafazh yang masih bersifat mubham yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, dalam pembahasan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raaf: 56), `Abdullah memberitahu kami, dari al-A’raj dengan sanad yang disandarkan kepada Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Surga dan neraka pernah berbantah-bantahan.”
Kemudian disebutkan matan hadits tersebut hingga sampai pada sabda: “Sedangkan surga, maka tidak ada seorang pun di dalamnya yang didhalimi oleh Allah. Dan sesungguhnya Dia telah menciptakan untuk neraka beberapa makhluk, di mana mereka akan dilemparkan ke dalamnya, yang kemudian neraka itu bertanya, ‘Apakah masih ada tambahan?’ sampai tiga kali.”
Dan kemudian disebutkan hadits tersebut secara lengkap.
Yang demikian itu terjadi di dalam surga, karena ia merupakan tempat yang penuh dengan karunia dan keutamaan. Sedangkan neraka adalah tempat pengadilan, yang tidak dimasuki oleh seorang pun melainkan setelah dinyatakan bersalah dan setelah diberikan hujjah kepadanya.
Ada sebuah kelompok huffazh yang telah berbicara tentang lafazh di atas. Mereka mengatakan: “Mungkin saja atas perawi hadits tersebut terjadi keterbalikan dalam meriwayatkannya.” Yang demikian itu dikemukakan dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka, dengan lafazh al-Bukhari, dari hadits `Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Hamam, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Surga dan neraka pernah berbantah-bantahan…” Kemudian disebutkan hadits selanjutnya sampai pada sabda beliau: “Sedangkan neraka tidak penuh sehingga diletakkan kaki-Nya ke dalarnnya, lalu neraka itu berkata: ‘Cukup, cukup.’ Di sanalah neraka itu penuh, dari sebagian sudutnya sampai kesudut yang lain. Dan Allah tidak mendhalimi satu pun dari makhluk-Nya. Adapun surga, bahwasanya Allah telah menciptakan makhluk untuk mengisinya.”
Masih ada satu masalah lagi yang tersisa, di mana para imam telah berbeda pendapat tentangnya, baik pada zaman dulu maupun sekarang, yakni mengenai anak-anak yang meninggal dunia ketika masih kecil sedang orang tua mereka kafir, bagaimanakah kedudukan hukum mereka? Demikian juga dengan orang yang tidak waras, orang tuli, orang yang sudah lanjut usia, serta orang yang meninggal dunia pada masa di mana ia belum pernah memperoleh
seruan dakwah (masa fatrah). Dan mengenai keadaan orang-orang tersebut, telah ada beberapa hadits Rasulullah saw. yang membahasnya.
Hadits pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari al-Aswad bin Sari’, bahwa Rasululah saw. telah bersabda: “Ada empat kelompok yang akan mengemukakan alasan pada hari Kiamat kelak, yaitu orang tuli yang tidak mendengar sesuatu apa pun, orang bodoh, orang yang sudah lanjut usia, dan orang yang meninggal dunia pada masa fatrah (di mana ia belum pernah mendapat seruan dakwah). Adapun orang tuli akan berkata: `Ya Rabbku, Islam telah datang, tetapi aku tidak mendengar suatu apa pun.’ Sedangkan orang bodoh akan berkata: ‘Ya Rabbku, Islam telah datang, sedang anak-anak melempariku kotoran unta.’ Dan orang yang sudah lanjut usia akan mengatakan: ‘Ya Rabbku, Islam telah datang, sedang aku tidak dapat berpikir apa-apa.’ Sedangkan orang yang meninggal pada masa fatrah (di mana ia belum pernah memperoleh seruan dakwah) akan mengatakan: ‘Ya Rabbku, belum datang kepadaku seorang Rasul utusan-Mu.’
Kemudian Allah Ta’ala mengambil janji mereka supaya mentaati-Nya. Lalu Dia mengirim utusan kepada mereka (untuk menyampaikan perintah), ‘Masuklah kalian ke neraka.’ Demi Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya mereka memasukinya, neraka itu akan terasa dingin dan aman sentosa baginya.’”
Dan dalam kitab ash-Shahihain juga diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana binatang itu dilahirkan dengan lengkap. Apakah kalian melihat binatang-binatang itu lahir dengan terputus-putus (hidung, telinga dan lain-lainnya secara terpisah)?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain disebutkan, mereka bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan seseorang yang mati ketika masih kecil?” Maka beliau pun menjawab: “Allah lebih tahu terhadap apa yang mereka kerjakan.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi mengenai apa yang lebih mengetahui keraguan Musa, beliau bersabda: “Anak keturunan kaum muslimin berada di surga di bawah pemeliharaan Ibrahim as.”
Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari `Iyadh bin Hammad, dari Rasulullah saw, dan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, di mana Dia telah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah ciptakan hamba-hamba-Ku ini dalam keadaan hanif (lurus).”
Dan dalam riwayat yang lain juga disebutkan: almuslimiina (Dalam keadaan sebagai) “Orang-orang muslim.”
Al-Hafizh Abu Bakar al-Burqani, dalam kitabnya al-Mustakhraj ‘alal Bukhari, dari Samurah, dari Nabi saw, di mana beliau bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.” Kemudian para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, juga termasuk anak orang-orang musyrik?” Beliau menjawab: “Ya, juga termasuk anak orang-orang musyrik.”
Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Samurah ra. ia menceritakan: Kami pernah bertanya kepada Rasululah mengenai anak orang-orang musyrik, maka beliau menjawab: “Mereka adalah para pelayan bagi penghuni surga.”
Di antara ulama ada yang tidak menetapkan (mengeluarkan) pendapat terhadap mereka. Tetapi, ada juga dari kalangan ulama tersebut yang menyatakan bahwa mereka pasti masuk surga. Yang demikian itu didasarkan hadits Samurah bin Jundab dalam Shahih al-Bukhari, bahwasanya Rasulullah dalam keseluruhan mimpi tersebut, yaitu ketika beliau berjalan melewati seorang yang sudah tua di bawah sebatang pohon yang di sekelilingnya terdapat anak-anak kecil. Maka Jibril berkata kepada beliau: “Ini adalah Ibrahim as., sedang mereka adalah anak-anak kaum muslimin dan juga anak-anak kaum musyrikin.” Para sahabat bertanya: “Termasuk juga anak-anak kaum musyrikin?” “Ya, termasuk juga anak-anak kaum musyrikin,” demikian sahut Rasulullah saw.
Di antara para ulama itu ada juga yang menyatakan bahwa anak-anak orang-orang kafir itu sudah pasti masuk neraka. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw: “Mereka bersama orang tua mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Juga diriwayatkan Imam Ahmad dengan lafazh: “Mereka itu ikut bersama orang tua mereka.”)
Ada juga ulama yang berpendapat lain, bahwasanya anak-anak itu akan diuji pada hari Kiamat terlebih dahulu di sebuah tempat. Barangsiapa yang taat, maka ia akan masuk surga. Dan pengetahuan Allah menyingkap tentang mereka atas ketetapan sebelumnya untuk menetapkan kebahagiaan. Dan barangsiapa durhaka, maka ia akan masuk neraka, dan pengetahuan Allah menyingkap tentang ketetapan terdahulu bahwa mereka akan mendapatkan kecelakaan.
Pendapat yang terakhir ini dipadukan antara dalil-dalil di atas secara keseluruhan. Dan hadits-hadits yang saling bertentangan di atas secara gambling mengemukakan syahid sebagian pada sebagian lainnya. Pendapat itu pula yang diceritakan oleh Syaikh Abul Hasan `Ali bin Isma’il al-Asy’ari dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan pendapat itu pula yang didukung oleh Abu Bakar al-Baihaqi dalam kitab al-I’tiqaad. Demikian juga oleh para ulama, huffazh dan para kritikus, wallahu a’lam.
Jika hal itu telah menjadi ketetapan, maka pada diri orang-orang telah berbeda pendapat mengenai anak-anak kaum musyrikin, dan mengenai hal itu terdapat beberapa pendapat. Pertama, bahwa mereka berada di dalam surga.
Pendapat kedua, bahwa mereka bersama orang tua mereka di dalam neraka.
Dan yang ketiga, tidak memberikan keputusan tentang diri mereka dan bersandar pada sabda Rasulullah yang terdapat dalam kitab ash-Shahihain: “Allah yang lebih mengetahui apa yang pernah mereka kerjakan.”
Perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat ini hanya khusus berkisar tentang anak-anak kaum musyrikin saja. Sedangkan anak-anak orang-orang yang beriman, maka tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama, sebagaimana yang diceritakan oleh al-Qadhi Abu Ya’la bin al-Farra’ al-Hanbali, dari Imam Ahmad, di mana ia berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat tentang diri mereka, bahwa mereka termasuk penghuni surga. Dan itulah yang masyhur di tengah-tengah umat manusia.
Bersambung
Tag:15, agama islam, al isra', al-israa', Al-qur'an, ayat, bahasa indonesia, ibnu katsir, islam, religion, surah, surat, tafsir, tafsir alquran, tafsir ibnu katsir, Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 15