Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat
“Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al Asmaa’ al-Husnaa (nama-nama yang terbaik) dan jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.’ (QS. 17:110) Dan katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya.’ (QS. 17:111)” (al-Israa’: 110-111)
Allah berfirman, katakanlah hai Muhammad kepada orang-orang musyrik yang mengingkari sifat rahmat bagi Allah, dan yang menolak menamakan-Nya ar-Rahman terhadap-Nya: ud’ullaaHa awid’ur rahmaana ayyam maa tad’uu falaHul asmaa-ul husnaa (“Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaa’ al-Husnaa [nama-nama yang terbaik].”)
Maksudnya, tidak ada perbedaan antara penyebutan kalian dengan sebutan Allah atau ar-Rahman, karena Dia mempunyai Asmaa’ al-Husnaa. Telah diriwayatkan oleh Mak-hul, bahwasanya ada seseorang dari kaum musyrik yang mendengar Nabi dalam sujudnya mengucapkan: “Ya Rahmaan, ya Rahiim (wahai yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang).” Lalu orang itu beranggapan bahwa beliau telah menyeru satu orang dengan dua nama, lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat ini. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Firman-Nya: wa laa tajHar bishalaatika (“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu.”) Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia mengatakan, ayat ini turun ketika Rasulullah saw. tengah bersembunyi di Makkah;
wa laa tajHar bishalaatika walaa takhaafit biHaa (“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya.”) Ia (Ibnu `Abbas) mengatakan, jika Rasulullah mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, maka beliau membaca ayat al-Qur’an dengan suara keras. Dan ketika mendengar bacaan itu, orang-orang musyrik mencela al-Qur’an dan mencela Rabb yang menurunkan serta orang yang membawanya. Lebih lanjut, Ibnu `Abbas
menuturkan, maka Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad saw: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu,” yakni dalam bacaanmu, sehingga akan didengar oleh orang-orang musyrik, lalu mereka akan mencela al-Qur’an.
walaa takhaafit biHaa (“Dan janganlah pula merendahkannya.”) Yakni dari para sahabatmu, sehingga engkau tidak dapat memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada mereka yang akhirnya mereka tidak dapat mengambilnya darimu. Wabtaghi baina dzaalika sabiilan (“Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”)
Demikianlah hadits yang ditakhrij oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain.
Wa laa tajHar bishalaatika (“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu,”) sehingga akan bercerai berai darimu. Wa laa takhaafit biHaa (“Dan jangan pula merendahkannya,”) sehingga orang yang bermaksud mendengarnya tidak dapat mendengar, siapa tahu mereka akan mengambil pelajaran dari sebagian yang didengarnya, sehingga dengannya ia dapat mengambil manfaat.
Wabtaghi baina dzaalika sabiilan (“Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”) Hal yang sama juga dikemukakan oleh `Ikrimah, al-Hasan al-Bashri dan Qatadah: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan bacaan al-Qur’an dalam shalat.”
Syu’bah menuturkan dari Ibnu Masud, “Dan jangan pula merendahkannya,” dari orang yang telah memasang kedua telinganya guna mendengarnya.
Ibnu Jarir menceritakan dari Muhammad bin Sirin, ia bercerita, aku pernah diberitahu, jika Abu Bakar mengerjakan shalat, lalu membaca al-Qur’an, maka ia merendahkan suaranya. Dan bahwasanya `Umar mengeraskan suaranya. Kemudian dikatakan kepada Abu Bakar: “Mengapa engkau lakukan ini?” Abu Bakar menjawab: “Aku bermunajat kepada Rabbku yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, sedang Dia telah mengetahui hajatku.” Maka dikatakan kepadanya: “Engkau telah berbuat suatu hal yang baik.” Kepada `Umar juga dikatakan: “Mengapa engkau lakukan hal itu?” `Umar menjawab: “Aku mengusir syaitan dan membangunkan orang-orang yang terkantuk.” Lalu dikatakan kepadanya: “Engkau telah melakukan suatu hal yang baik.”
Ketika turun ayat, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara keduanya itu,” dikatakan kepada Abu Bakar: “Angkat suaramu sedikit.” Dan kepada `Umar dikatakan: “Rendahkanlah suaramu sedikit lagi.”
Firman-Nya: wa qulil hamdulillaaHil ladzii lam yattakhidz waladan (“Dan katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak.’”) Sebagaimana Allah telah menetapkan bagi diri-Nya al-Asmaa’ al-Husnaa (nama-nama yang baik), Dia juga mensucikan diri-Nya dari berbagai macam kekurangan. Di mana Dia telah berfirman: wa qulil hamdulillaaHil ladzii lam yattakhidz waladaw wa lam yakul laHuu syariikuun fil mulki (“Dankatakanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya.”) Melainkan Dia adalah Rabb yang Mahaesa, yang menjadi tempat bergantung, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang sebanding dengan-Nya.
Wa lam yakul laHuu waliyyum minadh-dhull (“Dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong.”) Maksudnya, Dia bukanlah seorang yang hina, sehingga membutuhkan penolong atau pembantu atau penasihat, tetapi Dia adalah Rabb yang Mahatinggi, Pencipta segala sesuatu, sendiri, tanpa membutuhkan sekutu. Dia juga yang mengatur dan menentukan sesuai dengan kehendak-Nya semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Mengenai firman-Nya ini, Mujahid berkata: “Dia tidak pernah menyalahi seseorang dan tidak pula mengharap bantuan seseorang.”
Wa kabbirHu takbiiran (“Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.”) Maksudnya, agungkan dan tinggikanlah Dia setinggi-tingginya dari apa yang dikatakan oleh orang-orang dhalim yang melampaui batas, Dia Mahatinggi lagi Mahabesar. WallaHu a’lam.
Selesai