Arsip | 17.24

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 98-100

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 98-100“Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS. 16:98) Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. (QS. 16:99) Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS. 16:100)” (an-Nahl: 98-100)

Ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Nabi-Nya, Muhammad, yaitu jika mereka akan membaca al-Qur’an, maka hendaklah mereka meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Perintah ini bersifat anjuran, bukan kewajiban. Kesepakatan mengenai hal itu diceritakan oleh Abu Ja’far bin Jarir dan imam-imam lainnya. Hadits yang berkenaan dengan permohonan perlindungan ini telah kami kemukakan sebelumnya pada pembahasan pertama. Segala puji dan sanjungan hanya milik Allah.

Firman-Nya: innaHuu laisa laHuu sulthaanun ‘alal ladziina aamanuu wa ‘alaa rabbiHim yatawakkaluun (“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya.”) Ats-Tsauri mengatakan bahwa syaitan itu tidak
memiliki kekuasaan atas mereka (orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya) untuk menjatuhkan mereka ke dalam dosa yang mereka tidak bisa bertaubat darinya. Sedangkan yang lainnya mengatakan, artinya, tidak ada hujjah bagi syaitan atas mereka. Yang lain lagi mengatakan, yang demikian itu sama seperti firman-Nya: “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlish di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 40)

innamaa sulthaanuHuu ‘alal ladziina yatawallaunaHu (“Sesungguhnya kekuasaannya [syaitan] banyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin.”) Mujahid mengatakan: “Yakni, mentaatinya [syaitan].” Ulama lainnya mengatakan: “Mereka menjadikannya sebagai pelindung selain Allah:
walladziina Hum biHii musyrikuun (“Dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”) Maksudnya, mereka menyekutukan syaitan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Huruf ba’ bisa jadi sebagai ba’ sababiyyah, artinya, karena ketaatan mereka kepada syaitan, mereka menjadi musyrik kepada Allah Ta’ala.
Uama lainnya mengatakan bahwa artinya, syaitan itu bersekutu dengan mereka dalam harta benda dan anak-anak.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 97

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 97“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97)

Ini merupakan janji dari Allah Ta’ala bagi orang yang mengerjakan amal shalih, yaitu amal yang mengikuti Kitab Allah Ta’ala (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya, Muhammad, baik laki-laki maupun perempuan yang hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Amal yang diperintahkan itu telah disyari’atkan dari sisi Allah, yaitu Dia akan memberinya kehidupan yang baik di dunia dan akan memberikan balasan di akhirat kelak dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya. Kehidupan yang baik itu mencakup seluruh bentuk ketenangan, bagaimanapun wujudnya.

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari `Abdullah bin `Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sungguh beruntung orang yang berserah diri, yang diberi rizki dengan rasa cukup, dan diberikan perasaan cukup oleh Allah atas apa yang telah Dia berikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari `Anas bin Malik, dia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mendhalimi suatu kebaikan seorang mukmin yang Dia berikan di dunia dan diberikan balasan atasnya di akhirat kelak. Sedangkan orang kafir, maka dia akan diberi makan di dunia karena berbagai kebaikannya di dunia sehingga apabila datang di alam akhirat, maka tiada satu pun kebaikan yang mendatangkan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 93-96

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 93-96“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS. 16:93) Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia)dari jalan Allah, dan bagimu adzab yang besar. (QS. 16:94) Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. 16:95) Apa yang dari sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. 16:96)” (an-Nahl: 93-96)

Allah berfirman: lay syaa-allaaHu laja’alakum (“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu,”) wahai sekalian manusia; ummataw waahidatan (“satu umat [saja].”) Yang demikian itu sama seperti firman-Nya: “Dan jika Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi ini seluruhnya.” (QS. Yunus: 99) Maksudnya, niscaya hubungan di antara kalian akan harmonis dan tidak akan terjadi perselisihan, tidak saling memusuhi dan tidak saling mendengki.

Wa laakiy yudlillu may yasyaa-u wa yaHdii may yasyaa-u (“Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”) Kemudian pada hari Kiamat kelak, Allah akan meminta pertanggung-jawaban dari seluruh perbuatan kalian, untuk selanjutnya Dia berikan balasan atas amal tersebut sekecil apa pun amal perbuatan tersebut.

Kemudian Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak menjadikan sumpah sebagai alat untuk menipu dan memperdaya agar kaki yang sudah benar-benar kokoh tidak tergelincir. Yang demikian itu merupakan perumpamaan bagi orang yang sudah istiqamah, lalu menyimpang dan tergelincir dari jalan petunjuk karena pelanggaran sumpah yang meliputi perbuatan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Sebab, jika orang kafir melihat orang mukmin melanggar sumpah yang telah dinyatakan, maka hilanglah kepercayaannya kepada agama Islam. Pelanggaran itu dianggap sebagai penghalang bagi umat manusia untuk memasuki agama Islam.

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: wa tadzuuqus suu-a bimaa shadadtum ‘an sabiilillaaHi walakum ‘adzaabun ‘adhiim (“Dan kamu rasakan kemelaratan [di dunia] karena kamu menghalangi [manusia] dari jalan Allah, dan bagimu adzab yang besar.”)

Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman: wa laa tasytaruu bi-aayaatillaaHi tsamanan qaliilan (“Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit [murah],”) Maksudnya, janganlah kalian menukar sumpah dengan nama Allah dengan barang kehidupan dunia dan perhiasannya. Sebab, semuanya itu sangat sedikit jumlahnya. Jika dunia dengan semua isinya ini dimiliki oleh seorang anak Adam, niscaya apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik baginya. Artinya, pahala dan balasan Allah itu tetap lebih baik bagi orang yang mengharap, orang yang beriman kepadanya, orang yang mencarinya, orang yang memelihara janjinya dengan harapan mendapatkan apa yang dijanjikan-Nya.

Oleh karena itu, Dia berfirman: in kuntum ta’lamuuna. Maa ‘indakum yanfad (“Jika kamu mengetahui. Apa yang dari sisimu akan lenyap.”) Yakni, akan habis, karena masanya berlangsung untuk waktu yang ditentukan, diukur dan ditetapkan batas akhirnya. Wa maa ‘indallaaHi baaq (“Dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.”) Maksudnya, pahala yang diberikan kepada kalian di Surga akan abadi, tiada pernah terputus dan tiada pernah akan habis.

Wa lanajziyannal ladziina shabaruu ajraHum bi ahsani maa kaanuu ya’maluun (“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”) Hal itu merupakan sumpah Allah yang dikuatkan dengan huruf lam, yaitu, sesungguhnya Dia akan membalas berbagai amal perbuatan baik orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari amal mereka dan menghapus berbagai keburukan mereka.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 91-92

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 91-92“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. 16:91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya mengujimu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (QS. 16:92)” (an-Nahl: 91-92)

Hal ini merupakan bagian yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, yaitu menepati janji dan ikatan serta memelihara sumpah yang telah dikuatkan. Oleh karena itu, Dia berfirman: walaa tanqudlul aimaana ba’da taukiidiHaa (“Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah [kamu] itu sesudah meneguhkannya.”) janganlah anda mempertentangankan ayat ini dengan ayat berikut ini: “Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang,” dan ayat seterusnya. (QS. Al-Baqarah: 224)
Dan dengan ayat ini: “yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.” (QS. Al-Maa-idah: 89). Artinya, janganlah kalian meninggalkannya tanpa kifarat.

Serta dengan sabda Rasulullah yang disebutkan dalam kitab ash-Shahihain, di mana beliau telah bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya, insya Allah, aku tidak akan bersumpah atas suatu sumpah, lalu aku melihat yang lainnya lebih baik darinya melainkan aku akan memilih yang lebih baik dan aku membayar kifaratnya. [-dalam sebuah riwayat disebutkan-] dan aku memberi kifarat atas sumpahku itu.”

Janganlah Anda mempertentangkan semua hal di atas dengan ayat yang disebutkan dalam Surat an-Nahl ini: walaa tanqudlul aimaana ba’da taukiidiHaa (“Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah [kamu] itu sesudah meneguhkannya.”)
Sebab, yang dimaksud dengan al-aiman ini adalah yang masuk ke dalam perjanjian dan ikatan, bukan sumpah-sumpah yang diucapkan untuk memberi perintah atau larangan.

Oleh karena itu, mengenai firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-
sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya,” yakni al-half, sumpah Jahiliyyah.

Hal itu diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jubair bin Muth’im, dia bercerita, Rasulullah bersabda: “Tidak ada sumpah dalam Islam! Sumpah apa pun yang terdapat pada masa Jahiliyyah, maka Islam semakin mengokohkannya.” (HR. Muslim).
Artinya, bahwa Islam tidak memerlukan sumpah yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada masa Jahiliyyah, sebab dengan memegang teguh Islam berarti tidak diperlukan lagi apa yang dilakukan orang jahiliyyah.

Ada pula yang disebutkan di dalam kitab ash-Shahihain, dari `Ashim al-Ahwal, dari Anas, dia bercerita: “Rasulullah telah mengambil sumpah antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam rumah-rumah kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Artinya, bahwa beliau telah mengikatkan tali persaudaraan di antara mereka, sehingga mereka bisa saling mewarisi sebelum hal itu mansukh (dihapuskan) oleh Allah. Wallahu a’lam.

Firman Allah Ta’ala: innallaaHa ya’lamu maa taf’aluun (“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”) Yang demikian itu merupakan tekanan sekaligus ancaman bagi orang-orang yang melanggar janji setelah dia menguatkannya.

Firman-Nya labih lanjut: wa laa takuunuu kal latii naqadlat ghazlaHaa mim ba’di quwwatin ankaatsan (“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya
yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali.”) Mujahid, Qatadah, dan Ibnu Zaid mengatakan: “Ayat ini merupakan perumpamaan bagi orang yang melanggar janjinya setelah dia menguatkannya.”

Firman-nya: “ankaatsan” bisa merupakan isim mashdar, yang berarti menguraikan pintalan atau membatalkannya. Bisa juga berfungsi sebagai pengganti khabar kaana, yang berarti janganlah kalian menjadi tercerai-berai. Oleh karena itu, pada ayat berikutnya Allah Ta’ala berfirman: tattakhidzuuna aimaanakum dakhalam bainakum (“Kamu menjadikan sumpah [perjanjian]mu sebagai alat penipu di antaramu,”) yakni, penipuan dan tipu daya.

An takuuna ummatun Hiya arbaa min ummatin (“Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.”) Maksudnya, kalian bersumpah kepada orang-orang jika jumlah mereka lebih banyak daripada jumlah kalian, agar mereka bersikap tenang kepada kalian. Jika sudah memungkinkan untuk berkhianat, kalian pun mengkhianati mereka. Maka Allah melarang perbuatan itu agar kelompok atas memperhatikan kelompok bawah. Jika kelompok atas saja dilarang melanggar perjanjian dengan kelompok bawah, maka larangan melanggar janji oleh kelompok bawah terhadap pihak yang memiliki kekuatan tentu lebih kuat lagi.

Mengenai firman Allah Ta’ala: An takuuna ummatun Hiya arbaa min ummatin (“Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.”) Ibnu `Abbas mengatakan: “Yaitu yang lebih banyak.” Sedangkan Mujahid mengatakan: “Mereka bersumpah kepada para khalifah, lalu mereka mendapatkannya lebih banyak dan lebih mulia dari mereka sehingga mereka membatalkan sumpah mereka. Mereka bersumpah kepada mereka yang berjumpah lebih banyak dan lebih mulia. Lalu mereka pun dilarang melakukan hal tersebut.”

Firman-Nya: innamaa yablukumullaahi biHii (“Sesungguhnya Allah hanya mengujimu dangan hal itu.”) Ibnu Jarir mengatakan: “Yakni, dengan perintah memenuhi janji.” Wa layubayyinanna lakum yaumal qiyaamati maa kuntum fiiHi takhtalifuun (“Dan sesungguhnya di hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”) Setiap orang akan dibalas atas perbuatan itu, yang baik maupun yang buruk.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 90

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 90“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. an-Nahl: 90)

Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat adil, yakni mengambil sikap tengah dan penuh keseimbangan, serta menganjurkan untuk berbuat kebaikan. Yang demikian itu senada dengan firman-Nya yang lain:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syuura: 40)

`Ali bin Abi Thalhah mengatakan, dari Ibnu `Abbas: innallaaHa ya’muru bil ‘adl (“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil,”) dia mengatakan: “Yaitu kesaksian, bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah.”
Sufyan bin`Uyainah mengatakan: “Adil di sini adalah sikap sama dalam melakukan amal untuk Allah, baik amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ihsan adalah, seseorang yang bathinnya itu lebih baik dari yang nampak (dhahirnya).
Al fahsya dan al-munkar adalah, seseorang yang dhahirnya itu lebih baik dari bathinnya.

Firman Allah Ta’ala: wa iitaa-i dzil qurbaa (“Dan memberi kepada kaum kerabat,”) maksudnya, Dia memerintahkan untuk menyambung silaturahmi, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam ayat yang lain: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan serta janganlah bersikap mubadzir.” (QS. Al-Israa’: 26)

Firman-Nya: wa yanHaa ‘anil fahsyaa-i wal munkar (“Dan Allah melarang dari perbuatan keji dan munkar.”) Kata fawaahisy berarti berbagai perbuatan yang diharamkan. Sedangkan munkaraat berarti perbuatan haram yang tampak dilakukan seseorang. Karena itu, di tempat lain, Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan berbagai macam faahisyah (omongan keji), baik yang tampak maupun yang tersembunyi.’” (QS. Al-A’raaf: 33)

Sedangkan al-baghyu berarti permusuhan terhadap umat manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Tidak ada dosa yang paling layak untuk disegerakan Allah siksanya di dunia di samping siksa yang disiapkan untuk pelakunya di akhirat, selain al-baghyu (sikap permusuhan) dan pemutusan silaturahmi.”

Firman-Nya: ya’idhukum (“Dia memberi pengajaran kepadamu,”) yakni, Dia menyuruh kalian berbuat kebaikan dan melarang kalian berbuat keburukan. La’allakum tadzakkaruun (“Supaya kamu dapat mengambil pelajaran.”) Asy-Sya’bi mengungkapkan, dari Basyir bin Nuhaik, aku pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya ayat al-Qur’an yang paling komprehensif (mencakup) terdapatdi dalam surat an-Nahl, yaitu: innallaaHa ya’murukum bil ‘adl wal ihsaani (“Sesungguhnya Allah menyuruhmu berlaku adil dan berbuat kebaikan,”) dari ayat seterusnya. Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarir.

Mengenai sebab turunnya ayat al-Qur’an ini, telah disebutkan sebuah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Nadhar memberitahu kami, `Abdul Hamid memberitahu kami, Syahr memberitahuku, `Abdullah bin `Abbas memberitahuku, dia bercerita, ketika Rasulullah duduk-duduk di beranda rumahnya, tiba-tiba `Utsman bin Mazh’un berjalan melewati beliau seraya memberi senyum kepada beliau, maka Rasulullah bertanya: “Tidakkah engkau duduk sejenak?” `Utsman pun menjawab: “Ya.” Kemudian Rasulullah pun duduk menghadap ke kiblat, dan ketika beliau tengah berbincang dengan `Utsman, tiba-tiba beliau membuka matanya ke langit seraya memandangnya, lalu sejenak beliau memandang ke langit. Kemudian beliau mengarahkan pandangan beliau ke sebelah kanan di tanah, lalu beliau berpaling dari teman duduknya, `Utsman, menuju ke tempat yang menjadi objek pandangan beliau, selanjutnya beliau meggerakkan kepalanya seolah-olah ia sedang memahami apa yang dikatakan kepadanya, sedang Ibnu Mazh’un memperhatikannya.

Setelah selesai mengerjakan keperluannya dan ia memahami apa yang dikatakan kepadanya, maka beliau pun mengarahkan pandangannya ke langit sebagaimana beliau telah melakukannya pertama kali, lalu pandangannya mengikutinya sampai menghilang di langit. Kemudian beliau menghadap kepada `Utsman, teman duduknya semula. Lalu `Utsman bin Mazh’un mengatakan: “Hai Muhammad, selama aku menemanimu duduk, tidak pernah aku melihatmu melakukan perbuatan seperti perbuatanmu pada pagi hari.” Maka beliau bertanya: “Apa yang engkau telah lihat dari apa yang aku kerjakan?” Dia menjawab: “Aku melihat engkau mengarahkan pandanganmu ke langit kemudian engkau menjatuhkannya di sebelah kananmu, lalu engkau berpaling kepadanya dan membiarkanku, engkau menggerakkan kepalamu seolah-olah engkau sedang memahami apa yang dikatakan kepadamu.

Beliau bertanya: “Apakah engkau mengetahui hal tersebut?” `Utsman menjawab: “Ya.” Maka Rasulullah bersabda: “Tadi aku telah didatangi oleh utusan Allah, sedang engkau dalam keadaan duduk.” `Utsman bertanya: “Apakah utusan Allah Jibril as ?” “Ya,” jawab Rasulullah. `Utsman bertanya: “Lalu apa yang dikatakannya kepadamu?” Beliau menjawab: innallaaHa ya’murukum bil ‘adl wal ihsaani (“Sesungguhnya Allah menyuruhmu berlaku adil dan berbuat kebaikan,”) dan ayat seterusnya. Kemudian `Utsman berkata: “Yang demikian itu terjadi ketika iman telah benar-benar bersemayam di dalam hatiku, dan aku sungguh mencintai Muhammad.”

Sanad hadits tersebut jayyid muttashil hasan. Yang di dalamnya telah dijelaskan pendengaran yang bersambung.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 89

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 89“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. an-Nahl: 89)

Dengan menunjukkan pembicaraan kepada hamba sekaligus Rasul-Nya, Muhammad saw, Allah Ta’ala berfirman: wa yauma nab’atsu fii kulli ummatin syaHiidan ‘alaiHim min anfusiHim wa ji’naa bika syaHiidan ‘alaa Haa-ulaa-i (“[Dan ingatlah] akan hari [ketika Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu [Muhammad] menjadi saksi atas seluruh umat manusia.”) Yakni, umatmu (Muhammad). Artinya, ingatlah akan hari tersebut dan berbagai hal mengerikan yang ada padanya, juga kemuliaan yang besar dan kedudukan yang tinggi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu.

Firman-Nya: wa nazzalnaa ‘alaikal kitaaba tibyaanal likulli syai-in ( “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab [al-Qu r”an] untuk menjelaskan segala sesuatu.”) Ibnu Mas’ud mengatakan: “Di dalam al-Qur’an ini telah dijelaskan kepada kita segala ilmu dan segala hal.” Sedangkan Mujahid mengemukakan: “Yakni, segala yang halal dan segala yang haram.” Ungkapan Ibnu Mas’ud lebih umum dan lebih komprehensif.

Wa Hudan (“Dan petunjuk,”) yakni bagi hati; wa rahmataw wa busyraa lil muslimiin (“Serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”)

Mengenai firman Allah Ta’ala: wa nazzalnaa ‘alaikal kitaaba tibyaanal likulli syai-in ( “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab [al-Qur’an] untuk menjelaskan segala sesuatu.”) al-Auza’i mengatakan: “Yakni dengan Sunnah.”

Letak kesamaan firman Allah: wa nazzalnaa ‘alaikal kitaaba (“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab”) dengan firman-Nya: wa ji’naa bika syaHiidan ‘alaa Haa-ulaa-i (“Dan Kami datangkan kamu [Muhammad] menjadi saksi atas seluruh umat manusia,”) bahwa maksudnya wallahu a’lam, sesungguhnya yang diwajibkan kepadamu hanyalah menyampaikan al-Qur’an yang Dia turunkan kepadamu, yang Dia akan mintai pertanggung-
jawaban kepadamu mengenai hal tersebut kelak pada hari Kiamat:

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang ie[ah diutus para Rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) Para Rasul (Kami).” (QS. Al-A’raaf: 6)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 84-88

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 84-88“Dan (ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan dari tiap-tiap umat seorang saksi (Rasul), kemudian tidak diizinkan kepada orang-orang yang kafir (untuk membela diri) dan tidak (pula) mereka dibolehkan meminta uaaf. (QS. 16:84) Dan apabila orang-orang dhalim telah menyaksikan adzab, maka tidaklah diringankan adzab bagi mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh. (QS. 16:85) Dan apabila orang-orang yang mempersekutukan (Allah) melihat sekutu-sekutu mereka, mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, mereka inilah sekutu-sekutu kami yang mereka dahulu kami sembah selain dari Engkau.’ Lalu sekutu-sekutu mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang dusta.’ (QS. 16:86) Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan. (QS. 16:87) Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan. (QS. 16:88)” (an-Nahl: 84-88)

Allah Ta’ala menceritakan tentang keadaan orang-orang musyrik pada hari kembali mereka di akhirat kelak. Bahwasanya Dia akan membangkitkan dari tiap-tiap umat seorang saksi, yaitu Nabi dari masing-masing umat. Nabi akan menjadi saksi bagi kaumnya berkenaan dengan respon mereka terhadap apa yang disampaikannya dari Allah Ta’ala. Tsumma laa yu’dzanu lilladziina kafaruu (“Kemudian tidak diizinkan kepada orang-orang yang kafir,”) untuk berdalih, sebab mereka sendiri mengetahui kebathilan dan kebohongan dalihnya.

Yang demikian itu sama dengan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Ini adalah hari yang mereka tidak dapat berbicara (pada hari itu), dan tidak diizinkan kepada mereka minta udzur sehingga mereka (dapat) minta udzur.” (QS. Al-Mursalaat: 35-36)

Oleh karena itu, Allah berfirman: wa laa Hum yusta’tabuuna wa idzaa ra-al ladziina kafaruu (“Dan tidak pula mereka dibolehkan meminta maaf. Dan apabila orang-orang dhalim telah menyaksikan,”) yakni, orang-orang yang berbuat syirik: al-‘adzaaba falaa yukhaffafu ‘anHum (“Adzab, maka tidaklah diringankan adzab bagi mereka,”) yakni, tidak dihentikan sesaat pun; wa laa Hum yundharuun (“Dan tidak pula mereka diberi tangguh.”) Maksudnya, tidak akan diakhirkan dari mereka, bahkan mereka segera disiksa sejak berada di temp at berdiri, tanpa dihisab lagi.

Hal itu karena ketika Jahannam didatangkan, ia dikendalikan oleh 70.000 kendali, yang setiap kendali dipegang oleh 70.000 Malaikat sehingga seluruh makhluk berada di bawah setiap kendali. Kemudian Jahannam bergolak sekali sehingga tidak ada seorang pun melainkan jatuh berlutut. Jahannam berkata: “Sesungguhnya aku diberi tugas untuk menangani setiap orang yang bengis lagi kasar yang menyekutukan Allah dengan ilah yang lain, dan dengan ini dan itu.”

Selanjutnya, Jahannam merinci setiap kelompok manusia, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits. Setelah itu, Jahannam mengepung mereka dan mematukinya seperti burung mematuki biji-bijian. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Apabila neraka itu melihat mereka dart’ tempat yang jauh, niereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (QS. Al-Furqaan: 12)

Kemudian Allah Ta’ala memberitahukan tentang ilah-ilah mereka (orang-orang musyrik) yang berlepas diri dari mereka pada saat mereka sangat membutuhkannya. Allah Ta’ala berfirman: wa idzaa ra-al ladziina asyrakuu syurakaa-aHum (“Dan apabila orang-orang yang mempersekutukan [Allah] melihat sekutu-sekuti mereka,”) yakni, pihakpihak yang dahulu disembah ketika masih di dunia: qaala rabbanaa Haa-ulaa-i syurakaa-unal ladziina kunnaa nad’uu min duunika fa alqau ilaiHimul qaula innakum lakaadzibuun (“Mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, mereka inilah sekutu-sekutu kami yang mereka dahulu kami sembah selain dari-Mu.’ Lalu sekutu-sekutu mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang dusta.’”)

Maksudnya, ilah-ilah mereka itu berkata kepada mereka: “Kalian telah berdusta, karena sesungguhnya kami tidak pernah menyuruh kalian menyembah kami.”

Firman-Nya: wa alqau ilallaaHi yauma-idzinis salama (“Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu.”) Qatadah dan `Ikrimah mengatakan, mereka semua merendahkan diri dan tunduk kepada Allah, sehingga tidak ada seorang pun kecuali menjadi pendengar lagi patuh. Yang demikian itu sama seperti firman Allah Ta’ala yang artinya: “Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami.” (QS. Maryam: 38). Maksudnya, pada hari itu mereka benar-benar mendengar dan melihat dengan nyata.

Firman-Nya: wa dlalla ‘anHum maa kaanuu yaftaruun (“Hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan.”) Yakni, hilang dan lenyaplah apa yang dulu mereka ibadahi sebagai perbuatan mengada-ada terhadap Allah. Mereka tidak mempunyai penolong dan tidak juga penyelamat.

Lebih lanjut, Allah berfirman: alladziina kafaruu wa shadduu ‘an sabiilillaaHi zidnaaHum ‘adzaaban… (“Orang-orang yang kafir dan menghalangi [manusia] dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan,”) dan ayat seterusnya. Maksudnya, adzab atas kekufuran mereka sendiri dan adzab atas tindakan mereka menghalang-halangi orang lain yang hendak mengikuti kebenaran. Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan adanya beberapa tingkatan dan derajat orang-orang kafir di neraka, sebagaimana yang ada pada orang-orang mukmin.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 80-83

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 80-83“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagimu rumah-rumah (kemab-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan di waktu kamu bermukim dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu). (QS. 16:80) Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memeliharamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan sikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya). (QS. 16:81) Jika mereka tetap berpaling, maka sesungguhnya kewajiban yang dibebankan atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. 16:82) Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS. 16:83)” (an-Nahl: 80-83)

Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi menyebutkan kesempurnaan nikmat-nikmat-Nya yang telah dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya, dimana Dia telah menjadikan bagi mereka rumah-rumah sebagai tempat tinggal untuk berlindung, bernaung, dan memperoleh segala macam manfaat dengannya. Selain itu, Allah Ta’ala juga menjadikan bagi mereka rumah-rumah dari kulit binatang ternak yang mereka merasa ringan membawanya dalam perjalanan mereka maupun waktu mereka bermukim.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: tastakhiffuunaHaa yauma dha’nikum wa yauma iqaamatikum wa min ashwaafiHaa (“Yang kamu merasa ringan [membawa]nya di waktu kamu berjalan dan di waktu kamu bermukim dan [dijadikan-Nya pula] dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing,”)

Yakni, dari bulu-bulu tersebut kalian bisa membuat berbagai peralatan, yaitu harta kekayaan. Ada juga yang menyatakan, barang berharga, dan ada juga yang menyatakan, pakaian. Yang benar adalah yang lebih umum dari semuanya itu, di mana bulu-bulu itu bisa dijadikan sebagai karpet, pakaian, dan lain-lain, bahkan dijadikan sebagai kekayaan dan juga barang dagangan. Dan firman-Nya: ilaa hiin (“Sampai waktu tertentu,”) maksudnya, sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Firman Allah Ta’ala: wallaaHu ja’ala lakum mimma khalaqa dhilaalan (“Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan,”) Qatadah mengatakan, yakni pepohonan, wa ja’ala lakum minal jibaali aknaanan (“Dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung,”) yakni, benteng-benteng dan parit-parit. Wa ja’ala lakum saraabiila taqiikumul harra (“Dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas,”) yaitu, pakaian yang terbuat dari kapas, katun dan wol. Wa saraabiila taqiikum ba’sakum (“Dan pakaian [baju besi] yang memeliharamu dalam peperangan.”) Misalnya, baju besi, tameng, dan lain-lain.

Kadzaalika yutimmu ni’mataHuu ‘alaikum (“Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu.”) Maksudnya, demikian itulah Allah menciptakan sesuatu yang dapat kalian gunakan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan kalian supaya menjadi penolong (sarana) bagi kalian dalam mentaati Allah dan beribadah kepada-Nya, la’allakum tuslimuun (“Agar kamu berserah diri [kepada-Nya].”) Demikianlah yang ditafsirkan oleh jumhur ulama.

`Atha’ al-Khurasani mengatakan: “Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan sebatas pengetahuan bangsa Arab, tidakkah engkau menyaksikan firman Allah Ta’ala: “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung,” dan Dia juga menciptakan dataran bagi mereka lebih luas dan banyak, hanya saja mereka itu tinggal di pegunungan. Tidakkah engkau membaca firman-Nya: “Dan [dijadikannya pula] dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan [yang kamu pakai] sampai waktu [tertentu].”

Dia juga menciptakan yang lain dari itu lebih besar dan lebih banyak, hanya saja mereka itu orang-orang yang memiliki banyak bulu dan rambut. Tidakkah engkau melihat firman-Nya: “Dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es da`ri langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung.” (QS. An-Nuur: 34). Niscaya mereka merasa terkagum olehnya. Dia turunkan es yang melimpah lebih banyak, hanya saja mereka tidak mengetahuinya.

Tidakkah engkau membaca firman-Nya: “Dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dart panas,” dan hal-hal yang melindungi dari rasa dingin yang lebih banyak, hanya saja mereka itu memang tinggal di daerah panas.”

Firman-Nya: fa in tawallau (“Jika mereka tetap berpaling,”) yakni, setelah penjelasan dan penganugerahan berbagai kenikmatan ini, maka tidak ada lagi kewajibanmu atas mereka, karena: fa innamaa ‘alaikal balaaghul mubiin (“Sesungguhnya kewajiban yang dibebankan atasmu [Muhammad] hanyalah menyampaikan [amanat Allah] dengan terang.”) Sesungguhnya engkau telah menyampaikannya kepada mereka.

Ya’rifuuna ni’matallaaHi tsumma yunkiruunaHaa (“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.”) Maksudnya, mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala yang melimpahkan nikmat-nikmat itu kepada mereka, serta mengutamakan hal itu untuk mereka. Namun demikian, mereka masih tetap mengingkari nikmat-nikmat tersebut, menyekutukan-Nya dengan yang lain, serta menyandarkan pertolongan dan rizki kepada selain Dia. mereka adalah orang-orang kafir. ”

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 77-79

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 77-79“Dan kepunyaan Allahlah segala apa yang tersembunyi di langit dan di bumi. Tidaklah kejadian Kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. 16:77) Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. 16:78) Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang beriman. (QS. 16:79)” (an-Nahl: 77-79)

Allah Ta’ala memberitahukan tentang kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu, dengan pengetahuan-Nya terhadap segala yang ghaib, baik di langit maupun di bumi. Ilmu ghaib itu hanya khusus ada pada-Nya. Sehingga tidak seorang pun mampu melihat hal-hal ghaib itu kecuali jika Allah Ta’ala memperlihatkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Dia menjelaskan kekuasaan-Nya yang sempurna yang tidak ditentang dan dicegah. Juga bahwasanya jika Dia menghendaki sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah,” maka is pun terjadi. Demikian itulah yang Dia firmankan di sini: wamaa amrus saa’ati illaa kalamhil bashari au Huwa aqrabu innallaaHa ‘alaa kulli syai-in qadiir (“Tidaklah kejadian Kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat [lagi]. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”)

Sebagaimana yang Dia firmankan di ayat yang lain yang artinya: “Allah menciptakan dan membangkitkanmu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” (QS. Luqman: 28)

Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan berbagai anugerah yang Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya ketika mereka dikeluarkan dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa pun. Setelah itu Dia memberikan pendengaran yang dengannya mereka mengetahui suara, penglihatan yang dengannya mereka dapat melihat berbagai hal, dan hati, yaitu akal yang pusatnya adalah hati, demikian menurut pendapat yang shahih. Ada juga yang mengatakan, otak dan akal.

Allah juga memberinya akal yang dengannya dia dapat membedakan berbagai hati, yang membawa mudharat dan yang membawa manfaat. Semua kekuatan dan indera tersebut diperoleh manusia secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Setiap kali tumbuh, bertambahlah daya pendengaran, penglihatan, dan akalnya hingga dewasa. Penganugerahan daya tersebut kepada manusia dimaksudkan agar mereka dapat beribadah kepada Rabbnya yang Mahatinggi.

Dia dapat meminta kepada setiap anggota tubuh dan kekuatan untuk mentaati Rabbnya, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw, dimana beliau bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku berarti dia telah menyatakan perang dengan terang-terangan kepada-Ku. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik daripada pelaksanaan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku masih terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah (sunnah) sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, tangannya yang dengannya dia memegang, dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika meminta kepada-Ku maka Aku pasti akan memberinya, dan jika berdo’a kepada-Ku, Aku pasti akan mengabulkannya, Jika memohon perlindungan kepada-Ku, Aku pasti akan melindunginya. Aku tidak pernah ragu terhadap sesuatu yang Aku akan melakukannya. Keraguan-Ku adalah, pada pencabutan nyawa seorang mukmin yang tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya, sedang kematian itu merupakan suatu keharusan baginya.’”

Makna hadits di atas adalah jika seorang hamba telah mengikhlaskan ketaatan, maka seluruh amal perbuatannya hanya untuk Allah, sehingga dia tidak mendengar kecuali karena Allah dan tidak melihat apa yang telah disyari’atkan Allah kepadanya melainkan hanya karena Allah semata, tidak memegang dan tidak pula berjalan melainkan dalam rangka mentaati Allah seraya memohon pertolongan kepada-Nya dalam melakukan semuanya itu.

Karena semuanya itu dalam beberapa riwayat hadits selain yang shahih, disebutkan setelah firman Allah, dan kakinya yang dengannya dia berjalan, “Dengan-Ku dia mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dengan-Ku dia memegang, dan dengan-Ku pula dia berjalan.”

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: wa ja’ala lakumus sam’a wal abshaara wal af-idata la’allakum tasykuruun (“Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Selanjutnya, Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk memperhatikan burung yang terkendali (terbang) antara bumi dan langit, bagaimana Dia membuatnya dapat terbang dengan dua sayap. Di sana tidak ada yang dapat menahannya kecuali Allah dengan kekuasaan-Nya yang padanya Dia telah memberikan kekuatan untuk mampu melakukan hal tersebut. Dia mengerahkan udara supaya membawa dan menerbangkan burung-burung tersebut. Sebagaimana yang Dia firmankan dalam surat al-Mulk yang artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka. Tidak ada yang menahannya [di udara] selain Yang Mahapemurah. Sesungguhnya Dia Mahamelihat segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk: 19)

Di sini Dia berfirman: inna fii dzaalika la-aayaatal liqaumiy yu’minuun (“Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar terdapat tanda-tanda [kebesaran Rabb] bagi orang-orang yang beriman.”)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 76

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 76“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dua orang lelaki yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja ia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (QS. an-Nahl: 76)

Mujahid mengatakan, ini juga merupakan perumpamaan antara berhala dan Allah yang Mahabenar. Artinya, berhala itu bisu, tidak dapat berbicara dan tidak bisa menuturkan kebaikan atau apa pun juga, serta tidak mampu melakukan apa pun; tidak ucapan dan tidak pula perbuatan. Dengan demikian, dia malah menjadi beban bagi penanggungnya.

Aina maa yuwajjiHHu laa ya’ti bikhair (“Kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun,”) dan usahanya sama sekali tidak berhasil. Hal yastawii (“Samakah orang”) yang memiliki sifat-sifat seperti itu, wa may ya’muru bil ‘adl (“Dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan,”) yakni dengan adil, artinya, ucapannya benar dan perbuatannya pun lurus. Wa Huwa ‘alaa shiraathim mustaqiim (“Dan ia berada di atas jalan yang lurus.”)

Ada juga yang mengatakan: kata `orang yang abkam (bisu)’ itu adalah budak `Utsman bin `Affan. Demikian yang dikemukakan oleh as-S uddi, Qatadah dan `Atha’ al-Khurasani, dan pendapat ini menjadi pilihan Ibnu Jarir.

Al-`Aufi mengatakan dari Ibnu `Abbas, yang demikian itu merupakan perumpamaan orang kafir dan orang mukmin juga, sebagaimana yang disampaikan sebelumnya.

Bersambung