Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Kami tidaklah mengutus seseorang Nabi pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dan merendahkan diri. (QS. 7:94) Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasai penderitaan dan kesenangan,’ maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya. (QS. 7:95)” (al-A’raaf: 94-95)
Allah memberitahukan tentang ujian dengan berbagai penderitaan dan kesempitan yang telah ditimpakan kepada umat-umat terdahulu yang kepada mereka telah diutus para Nabi. Penderitaan itu berupa berbagai macam penyakit yang menimpa anggota tubuh mereka, sedangkan kesempitan itu berwujud kemiskinan, kebutuhan dan lain sebagainya, agar mereka mau tunduk. Yaitu mau berdo’a, khusyu’ dan memohon kepada Allah agar semua penderitaan dan kesempitan itu dihilangkan.
Maksud firman-Nya itu, Dia menguji mereka dengan berbagai penderitaan, agar mereka tunduk merendahkan diri. Namun mereka sama sekali tidak mengerjakan apa yang Dia kehendaki dari mereka. Maka Allah pun membalikkan keadaan mereka dari penderitaan menjadi kesenangan, dengan tujuan untuk menguji mereka pula. Karena itu Allah berfirman:
Tsumma baddalnaa makaanas sayyi-atil hasanata (“Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan”) artinya Kami ganti keadaan mereka, dari kesusahan menjadi kesenangan, dari sakit menjadi sehat, dari miskin menjadi kaya, supaya dengan itu mereka mau bersyukur. Namun mereka tidak juga melakukannya.
Firman Allah selanjutnya: hattaa ‘afau (“Sehingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak.”) yakni harta kekayaan dan anak mereka bertambah banyak. Jika disebutkan “’afaa lisyai-in” hal itu bermakna jika bertambah banyak.
Wa qaaluu qad massa aabaa-anadl dlarraa-u was sarraa-u fa akhadznaaHum baghtataw wa Hum laa yasy’uruun (“Dan mereka berkata, ‘Sesungguhnya nenek moyang kami telah merasakan penderitaan dan kesenangan,’ maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.”) Artinya, Kami uji mereka dengan ini dan itu, supaya mereka tunduk merendahkan diri dan kembali kepada Allah.
Namun semuanya itu tidak berarti sama sekali bagi mereka baik ujian berupa kesusahan maupun kesenangan dan tidak juga mereka menghentikan diri, bahkan mereka mengatakan, “Kami telah merasakan penderitaan dan kesempitan, dan setelah itu kami pun merasakan kesenangan seperti yang pernah dialami oleh nenek moyang kami pada zaman dulu.” Dan bahkan mereka sama sekali tidak memahami urusan Allah dan tidak pula menyadari ujian Allah
yang diberikan kepada mereka dalam dua keadaan di atas.
Hal ini berbeda dengan keadaan orang-orang yang beriman, yang senantiasa bersyukur kepada Allah pada saat merasakan kesenangan dan bersabar jika berada dalam kesusahan. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain (Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh mengagumkan keadaan orang mukmin itu, tidaklah Allah menetapkan takdir baginya melainkan kebaikan baginya. Jika tertimpa kesusahan lalu ia bersabar, maka hal itu adalah baik untuknya. Dan jika diberikan kesenangan lalu ia bersyukur, maka hal itu adalah baik baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, gambaran tersebut diiringi dengan firman-Nya: fa akhadznaaHum baghtataw wa Hum laa yasy’uruun (“Maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.”) Maksudnya, Kami timpakah siksaan secara tiba-tiba, yaitu tanpa mereka sadari.
Bersambung