Arsip | 01.37

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 94-95

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 94-95“Kami tidaklah mengutus seseorang Nabi pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dan merendahkan diri. (QS. 7:94) Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasai penderitaan dan kesenangan,’ maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya. (QS. 7:95)” (al-A’raaf: 94-95)

Allah memberitahukan tentang ujian dengan berbagai penderitaan dan kesempitan yang telah ditimpakan kepada umat-umat terdahulu yang kepada mereka telah diutus para Nabi. Penderitaan itu berupa berbagai macam penyakit yang menimpa anggota tubuh mereka, sedangkan kesempitan itu berwujud kemiskinan, kebutuhan dan lain sebagainya, agar mereka mau tunduk. Yaitu mau berdo’a, khusyu’ dan memohon kepada Allah agar semua penderitaan dan kesempitan itu dihilangkan.

Maksud firman-Nya itu, Dia menguji mereka dengan berbagai penderitaan, agar mereka tunduk merendahkan diri. Namun mereka sama sekali tidak mengerjakan apa yang Dia kehendaki dari mereka. Maka Allah pun membalikkan keadaan mereka dari penderitaan menjadi kesenangan, dengan tujuan untuk menguji mereka pula. Karena itu Allah berfirman:

Tsumma baddalnaa makaanas sayyi-atil hasanata (“Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan”) artinya Kami ganti keadaan mereka, dari kesusahan menjadi kesenangan, dari sakit menjadi sehat, dari miskin menjadi kaya, supaya dengan itu mereka mau bersyukur. Namun mereka tidak juga melakukannya.

Firman Allah selanjutnya: hattaa ‘afau (“Sehingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak.”) yakni harta kekayaan dan anak mereka bertambah banyak. Jika disebutkan “’afaa lisyai-in” hal itu bermakna jika bertambah banyak.

Wa qaaluu qad massa aabaa-anadl dlarraa-u was sarraa-u fa akhadznaaHum baghtataw wa Hum laa yasy’uruun (“Dan mereka berkata, ‘Sesungguhnya nenek moyang kami telah merasakan penderitaan dan kesenangan,’ maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.”) Artinya, Kami uji mereka dengan ini dan itu, supaya mereka tunduk merendahkan diri dan kembali kepada Allah.

Namun semuanya itu tidak berarti sama sekali bagi mereka baik ujian berupa kesusahan maupun kesenangan dan tidak juga mereka menghentikan diri, bahkan mereka mengatakan, “Kami telah merasakan penderitaan dan kesempitan, dan setelah itu kami pun merasakan kesenangan seperti yang pernah dialami oleh nenek moyang kami pada zaman dulu.” Dan bahkan mereka sama sekali tidak memahami urusan Allah dan tidak pula menyadari ujian Allah
yang diberikan kepada mereka dalam dua keadaan di atas.

Hal ini berbeda dengan keadaan orang-orang yang beriman, yang senantiasa bersyukur kepada Allah pada saat merasakan kesenangan dan bersabar jika berada dalam kesusahan. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain (Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh mengagumkan keadaan orang mukmin itu, tidaklah Allah menetapkan takdir baginya melainkan kebaikan baginya. Jika tertimpa kesusahan lalu ia bersabar, maka hal itu adalah baik untuknya. Dan jika diberikan kesenangan lalu ia bersyukur, maka hal itu adalah baik baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, gambaran tersebut diiringi dengan firman-Nya: fa akhadznaaHum baghtataw wa Hum laa yasy’uruun (“Maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.”) Maksudnya, Kami timpakah siksaan secara tiba-tiba, yaitu tanpa mereka sadari.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 93

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 93“Maka Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir.’” (QS. al-A’raaf: 93)

Maka Nabi Syu’aib pun meninggalkan mereka setelah mereka ditimpa adzab, penderitaan dan siksaan. Nabi Syu’aib berkata kepada mereka, yang mana merupakan sebuah celaan dan kecaman:
Yaa qaumi laqad ablaghtukum risaalaati rabbii wa nasahtu lakum (“Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku telah memberi nasehat kepadamu.”) Artinya, aku telah menyampaikan kepada kalian, risalah yang diamanatkan kepadaku, untuk itu tidak ada penyesalan (kesedihan) untuk kalian, karena kalian telah ingkar terhadap apa yang aku bawa kepada kalian.

Oleh karena itu Syu’aib berkata: fa kaifa aasaa ‘alaa qaumin kaafiriin (“Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?”)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 90-92

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 90-92“Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata (kepada sesamanya): ‘Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi.’ (QS. 7:90) Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka. (QS. 7:91) (Yaitu) orang-orang yang mendustakan Syu’aib seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu; orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. 7:92)” (al-A’raaf: 90-92)

Allah memberitahu tentang kerasnya kekufuran, kesombongan dan keangkuhan mereka. Juga memberitahukan tentang kesesatan yang melanda din mereka serta sikap hati mereka yang menolak terhadap kebenaran. Oleh karena itu, mereka bersumpah seraya mengatakan:

La-init taba’ta syu’aiban innakum idzal lakhaasiruun (“Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika berbuat demikian [menjadi] orang-orang yang merugi.”)

Oleh karena itu, Allah mengiringi hal itu dengan firman-Nya: fa akhadzatHumur rajfatu fa ashbahuu fii daariHim jaatsimiin (“Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.”) di sini Allah memberitahukan, bahwa mereka ditimpa gempa yang sangat dahsyat, sebagaimana mereka menggoncangkan Syu’aib dan para pengikutnya serta mengancam mereka dengan pengusiran, sebagaimana firman-Nya dalam surat Huud yang artinya:

“Dan ketika datang adzab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengannya dengan rahmat dari Kami. Dan orang yang dhalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Huud: 94)

Adapun sebabnya [-Allahu a’lam-] bahwa tatkala mereka mencela Syu’aib melalui ucapan mereka, “Apakah agamamu yang menyuruhmu.” (QS. Huud: 87) maka pada saat itu datanglah suara keras yang menjadikan mereka terdiam.

Dan Allah juga berfirman memberitahukan keadaan mereka dalam surat asy-Syu’araa’ sebagai berikut: “Kemudian mereka mendustakan Sy’u’aib, lalu mereka ditimpa adzab pada hari mereka dinaungi awan, sungguhnya adzab itu adalah adzab hari yang sangat besar.” (QS. Asy-Syu’araa’: 189)

Yang demikian itu tidak lain karena mereka menantang Syu’aib seraya berucap: “Maka jatuhkanlah atas kami gumpalan dari langit.” (QS. Asy-Syu’araa’: 187)

Allah memberitahukan, bahwa Dia telah menimpakan kepada mereka adzab pada hari mereka dinaungi awan. Semua awan itu berkumpul dan jatuh menimpa mereka pada hari itu juga, yaitu awan yang mengandung jilatan api yang menyala-nyala dan sangat panas. Kemudian datang suara dari langit dan gempa bumi yang sangat dahsyat dari bawah mereka, sehingga nyawa mereka pun melayang dan jasad-jasad mereka pun berserakan.
Fa ashbahuu fii daariHim jaatsimiin (“Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan dalam rumah-rumah mereka.”)

Setelah itu Allah berfirma: ka allam yaghnau fiiHaa (“Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu.”) Maksudnya, seakan-akan mereka yang timpa adzab itu, tidak pernah mendiami kota, di mana mereka menginginkan pengusiran terhadap Rasul dan para pengikutnya dari kota itu.

Selanjutnya, sebagai bantahan atas ucapan mereka, Allah berfirman: alladziina kadzdzabuu syu’aiban kaanuu Humul khaasiruun (“Orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka itulah orang-orang yang merugi.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 88-89

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 88-89“Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: ‘Sesungguhnya kami akan mengusirmu, hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami.’ Berkata Syu’aib: ‘Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendati pun kami tidak menyukainya? (QS. 7:88) Sungguh kami telah mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami daripadanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Rabb kami menghendaki(nya). Pengetahuan Rabb kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.’ (QS. 7:89)” (al-A’raaf: 88-89)

Ini merupakan berita dari Allah mengenai ancaman orang-orang kafir yang ditujukan kepada Nabi-Nya, Syu’aib dan orang-orang inukmin yang bersamanya. Yaitu ancaman mereka dengan pengusiran Nabi Syu’aib dan orang-orang mukmin dari kampung mereka atau paksaan untuk kembali kepada agama mereka dan masuk bersama mereka dalam ajaran mereka.

Konteks pembicaraan ini ditujukan kepada Rasul, sedangkan yang dimaksud adalah para pengikutnya yang memeluk agama bersamanya.

Dan firman Allah: a walau kunnaa kaariHiin (“Kendatipun kami tidak menyukainya?”) Nabi Syu’aib bertanya kepada mereka: “Apakah kalian akan memaksa kami meskipun kami enggan dan tidak menyukai apa yang kalian serukan itu. Sesungguhnya jika kami kembali ke agama kalian dan masuk bersama kalian dalam ajaran kalian, berarti kami telah mengadakan kebohongan besar terhadap Allah dengan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya.” Ini adalah lontaran jelek yang ditujukan kepada para pengikut mereka.

Wa maa yakuunu lanaa an na’uudu fiiHaa illaa ay yasyaa-allaaHu rabbunaa (“Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Rabb kami menghendaki[nya].”) Dan ini adalah pengembalian yang benar lagi lurus kepada Allah, karena sesungguhnya Dia-lah yang mengetahui segala sesuatu dan ilmu-Nya pun meliputi segala sesuatu.

‘alallaaHi tawakkalnaa (“Kepada Allah sajalah kami bertawakkal.”) Maksudnya, dalam segala urusan kami, yang akan kami lakukan maupun yang kami tinggalkan.

Rabbanaftah bainanaa wa baina qauminaa bilhaqqi (“Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil).”) Artinya, berikanlah keputusan antara kami dan mereka dan menangkanlah kami atas mereka.

Wa anta khairul faatihiin (“Dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.”) Maksudnya, sebaik-baik pemberi keputusan. Karena sesungguhnya Engkau Mahaadil, yang tidak akan pernah melakukan kedhaliman sama sekali.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 86-87

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 86-87“Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlahmu. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 7:86) Jika ada segolongan daripadamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita; dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya. (QS. 7:87)” (al-A’raaf: 86-87)

Nabi Syu’aib as. melarang mereka merampok, baik bersifat hissy (material) maupun maknawi (immaterial), melalui ucapannya: wa laa taq’uduu bikulli shiraathin tuu’iduuna (“Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakuti-nakuti.”) Yaitu dengan cara mengancam orang akan membunuhnya, jika tidak mau memberikan hartanya kepada kalian.
As-Suddi dan ulama lainnya mengatakan, “Mereka itu adalah para pembegal.”

Mengenai firman Allah: wa laa taq’uduu bikulli shiraathin tuu’iduuna (“Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakuti-nakuti.”) dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan beberapa orang ulama berkata, bahwa mereka menakut-nakuti orang-orang mukmin yang datang kepada Nabi Syu’aib dengan maksud untuk mengikuti ajarannya. Tetapi pendapat yang pertama lebih jelas, karena firman-Nya: bikulli shiraathin (“Di tiap-tiap shirath”) yang berarti jalan.

Sedangkan pendapat yang kedua itu dikaitkan dengan firman Allah selanjutnya: wa tashudduuna ‘an sabiilillaaHi man aamana biHii wa yabghuunaHaa ‘iwajan (“Dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok.”) Maksudnya, kalian menginginkan supaya jalan Allah itu menjadi bengkok dan menyimpang.

Wadzkuruu idz antum qaliilan fakatstsarakum (“Dan ingatlah pada waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlahmu.”) Artinya, dahulu kalian dalam keadaan lemah, karena sedikitnya jumlah kalian, kemudian kalian menjadi kuat karena banyaknya jumlah kalian. Maka ingatlah nikmat Allah atas kalian dalam hal ini.

Wandhuruu kaifa kaana ‘aaqibatul mufsidiin (“Dan perhatikanlah, bagaimana kesudahan orang-orang’yang berbuat kerusakan.”) Yaitu dari umat-umat yang terdahulu dan generasi sebelumnya. Dan perhatikan juga adzab yang telah menimpa mereka, karena keberanian mereka berbuat maksiat kepada Allah dan mendustakan para Rasul-Nya.

Dan firman Allah: wa in kaana thaa-ifatum minkum aamanuu bil ladzii ursiltu biHii wa thaa-ifatul laa yu’minuu (“Jika segolongan dari kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada [pula] segolongan yang tidak beriman.”) Maksudnya, kalian menyalahiku.

Fashbiruu (“Maka bersabarlah,”) artinya, tunggulah; hattaa yahkumallaaHu bainanaa (“Sehingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita,”) dan antara kalian, yaitu memutuskan. Wa Huwa khirul haakimiin (“Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.”) Sesungguhnya Dia akan menjadikan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa dan kehancuran bagi orang-orang yang kafir.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 85

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 85“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: ‘Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada Ilah (yang haq) bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu kurangkan dari manusia barang-barang takaran dan timbangannya. Dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raaf: 85)

Muhammad bin Ishaq mengatakan, mereka itu termasuk bagian dari Silsilah (keturunan) Madyan bin Ibrahim. Dan Syu’aib, yaitu putera Mikyal bin Yasyjar.

Menurutku (Ibnu Katsir), Madyan adalah sebutan untuk suatu kabilah dan juga suatu kota yang terletak di dekat Ma’an dari jalan al-Hijaz. Allah berfirman yang artinya: “Dan ketika ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya) di sana.” (QS. Al-Qashash: 23). Mereka itu adalah penduduk Aikah. Sebagaimana yang akan kami uraikan lebih lanjut nanti, insya Allah.

Firman Allah: qaala yaa qaumi’budullaaHa maa lakum min ilaaHin ghairuHu (“Ia [Syu aib] berkata, Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada Ilah [yang berhak untuk diibadahi] bagimu selain-Nya.’”) Ini merupakan seruan (dakwah) setiap Rasul.

Qad jaa-atkum bayyinatum mir rabbikum (“Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu.”) Maksudnya, Allah telah menegakkan berbagai macam hujjah dan bukti yang menunjukkan kebenaran apa yang aku bawa kepada kalian. Selanjutnya, Dia menasehati mereka dalam pergaulan mereka dengan orang lain, yaitu agar mereka mencukupi takaran dan timbangan, serta tidak merugikan orang lain sedikit pun. Maksudnya, janganlah kalian mengkhianati harta orang lain dan mengambilnya dengan cara mengurangi takaran dan timbangan secara diam-diam.

Sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?” (QS. Al-Muthaffifiin: 1-6). Ini adalah ancaman yang keras dan tegas. Kita berdo’a, semoga Allah memberikan perlindungan kepada kita darinya.

Setelah itu, Allah berfirman memberitahukan tentang Syu’aib, yang diberi sebutan Khathiibul Anbiyaa’ (juru bicara para Nabi), karena kefasihan dan keagungan nilai nasihatnya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 83-84

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 83-84“Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (QS. 7:83) Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (QS. 7:84)” (al-A’raaf: 83-84)

Maksud firman Allah itu, Kami selamatkan Luth dan keluarganya, dan tidak ada yang beriman kepadanya kecuali dari pihak keluarganya saja, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam surat yang lain yang artinya:
“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapatkan di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 35-36)

Kecuali isterinya, ia tidak mau beriman kepadanya, bahkan ia tetap teguh memeluk agama kaumnya. Karena itu, ia tetap membantu mereka dan memberitahukan kepada mereka tamu-tamu Luth as. dengan menggunakan isyarat-isyarat antara dirinya dengan mereka.
Oleh karena itu, ketika Allah memerintahkan Luth untuk keluar dari kampung untuk membawa keluarganya, ia diperintahkan supaya tidak memberitahu isterinya dan tidak pula mengajaknya pergi dari kampung itu.

Di antara ahli tafsir ada yang mengatakan, bahwa isterinya itu mengikutinya. Dan ketika turun adzab, ia menoleh sehingga tertimpa apa yang menimpa kaumnya.
Dan pendapat yang lebih kuat, isteri Nabi Luth itu tidak keluar dari kampung dan tidak juga diberitahu oleh Nabi Luth, tetapi ia menetap bersama kaumnya.

Oleh karena itu, Allah berfirman: illam ra-ataHuu kaanat minal ghaabiriin (“Kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal [dibinasakan].”) Maksudnya, ia termasuk orang-orang yang tetap tinggal di kampung itu. Ada juga yang mengatakan, artinya, ia temasuk orang-orang yang dibinasakan. Dan hal ini merupakan tafsiran dengan sesuatu yang lazim.

Firman Allah selanjutnya: wa amtharnaa ‘alaiHim matharan (“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan [batu].”) Penggalan ayat ini ditafsirkan oleh firman Allah dalam ayat di bawah ini yang artinya:
“Dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu dan siksaan itu tidaklah jauh dari orang-orang yang dhalim.” (QS. Huud: 82-83)

Oleh karena itu, Allah berfirman: fandhur kaifa kaana ‘aaqibatul mujrimiin (“Maka perhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.”) Maksudnya, lihatlah, hai Muhammad, bagaimana akibat orang yang berani berbuat maksiat kepada Allah dan mendustakan para Rasul-Nya.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang melakukan liwath (homoseks) dicampakkan dari tempat yang tinggi, lalu dilempari batu. Sebagaimana yang telah dilakukan terhadap kaum Luth.

Sedangkan ulama yang lain berpendapat, bahwa orang itu harus dirajam, baik ia beristeri maupun tidak. Dan ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam asy-Syafi’i.

Yang menjadi dalil adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari ad-Darawardi, dari ‘Amr bin Abi ‘Umar, dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda:
“Barangsiapa yang kalian temukan mengerjakan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan orang yang menjadi objeknya.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa orang tersebut diperlakukan sama seperti orang yang berbuat zina. Jika muhshan (telah beristeri) maka harus dirajam, dan jika bukan muhshan, maka didera seratus kali. Dan ini merupakan pendapat lain dari Imam asy-Syafi’i.

Adapun mencampuri isteri melalui dubur, maka menurut kesepakatan ulama adalah haram. Dan larangan mengenai hal ini telah disebutkan oleh banyak hadits, dari Rasulullah saw. Sedangkan mengenai hal itu telah diuraikan dalam pembahasan surat Al-Baqarah: 223.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 82

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 82“Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: ‘Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kota ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.” (QS. al-A’raaf: 82)

Maksudnya, mereka sama sekali tidak mau memenuhi seruan Luth, kecuali dengan tekad untuk mengusir dan membinasakan Luth dan para pengikutnya dari tengah-tengah mereka. Maka Allah mengeluarkan Luth (dari kota Sadum) dalam kedaan selamat dan Dia binasakan mereka [kaumnya] dalam keadaan hina dina.

Dan firman-Nya: innaHum unaasuy yatathaHHaruun (“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri”) Qatadah mengatakan, “Mereka mencela Luth dan para pengikutnya dengan celaan yang tidak mengena sama sekali.”

Sedangkan Mujahid mengatakan, “Mereka (Luth dan para pengikutnya) itu adalah orang-orang yang suci dari dubur laki-laki dan dubur perempuan.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 80-81

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 80-81“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu.’ (QS. 7:80) Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. 7:81)” (al-A’raaf: 80-81)

Allah Ta’ala berfirman: wa (“Dan,”) sungguh telah kami utus; luuthan (“Luth.”) Atau maksudnya: wa (“Dan,”) Ingatlah; luuthan idz qaala liqaumiHii (“Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya.”) Luth adalah Ibnu Haaraan bin Aazar, yaitu anak saudara (kemenakan) Ibrahim as. Ia telah beriman bersama Ibrahim dan ikut berhijrah bersamanya ke Syam. Kemudian Allah mengutus Nabi Luth kepada penduduk Sadum dan daerah sekitarnya untuk mengajak mereka supaya beriman kepada Allah serta menyuruh mereka berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran yang mereka kerjakan, baik berupa dosa, berbagai macam larangan dan perbuatan keji yang mereka lakukan yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelumnya, yaitu hubungan badan antara laki-laki dengan laki-laki (homoseks). Perbuatan ini sama sekali belum pernah dikenal, dikerjakan dan bahkan terbesit dalam hati umat manusia, anak keturunan Adam kecuali setelah dilakukan oleh penduduk Sadum.

Mengenai firman Allah: maa sabaqakum biHaa min ahadim minal ‘aalamiin (“Yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun [di dunia ini] sebelummu?”) ‘Amr bin Dinar mengatakan, “Tidak ada seorang laki-laki berhubungan badan dengan laki-laki lain, sehingga terjadi apa yang dilakukan oleh kaum Luth.”

Al-Walid bin ‘Abdul Malik, seorang Khalifah Bani Umayyah, pembangun masjid jami’ Damaskus mengatakan, “Seandainya Allah tidak menceritakan kisah kaum Nabi Luth kepada kita, niscaya aku tidak akan membayangkan adanya laki-laki yang bersetubuh dengan laki-laki lain.”

Oleh karena itu, Nabi Luth as. mengatakan kepada mereka: a ta’tuunal faahisyata maa sabaqakum biHaa min ahadim minal ‘aalamiina innakum lata’tuunar rajula syaHwatam min duunin nisaa-i (“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah [perbutan keji] itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun [di dunia ini] sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu [kepada mereka] bukan kepada wanita.”)

Maksudnya, kalian berpaling dari wanita dan apa yang telah diciptakan Rabb kalian untuk kalian pada wanita tersebut dan justru cenderung pada sesama laki-laki. Yang demikian itu benar-benar perbuatan melampaui batas dan bodoh, karena telah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 79

15 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 79“Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: ‘Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabbku dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat.’” (QS. al-A’raaf: 79)

Ini adalah celaan keras yang disampaikan oleh Shalih as. kepada kaumnya, setelah Allah membinasakan mereka, karena penolakan mereka terhadap Shalih dan kesombongan mereka kepada-Nya, serta keengganan mereka menerima kebenaran, juga keingkaran mereka untuk menerima petunjuk dan lebih memilih kesesatan. Shalih mengatakan demikian kepada mereka setelah kebinasaan mereka, sebagai celaan sekaligus kecaman, sedang mereka mendengarnya.

Hal itu sebagaimana ditetapkan dalam sebuah hadits dalam ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), bahwa setelah Rasulullah menang dalam perang Badar, beliau menginap di sana selama tiga malam. Kemudian beliau memerintahkan supaya mempersiapkan kendaraannya setelah tiga malam berlalu. Beliau menaiki binatang tunggangannya itu, lalu berjalan hingga berhenti di sumur Badar, tempat penguburan tokoh-tokoh kaum Quraisy. Lalu beliau bersabda:

“Hai Abu Jahal bin Hisyam, hai ‘Utbah bin Rabi’ah, hai Syaibah bin Rabi’ah, hai fulan bin fulan, apakah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan Rabb kalian itu benar? Sesungguhnya aku telah mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Rabbku itu benar.” Lalu ‘Umar bertanya kepada beliau, “Ya Rasulallah, mengapa engkau berbicara dengan orang-orang yang sudah menjadi bangkai?” Kemudian Rasulullah pun menjawab: “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak lebih mendengar apa yang kukatakan itu daripada mereka, hanya saja mereka tidak dapat menjawab.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Demikian halnya dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Shalih as. di mana ia mengatakan kepada kaumnya, “Sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabbku dan aku
telah memberi nasihat kepadamu.” Artinya, tetapi kalian tidak mengambil manfaat dari semuanya itu, karena kalian tidak menyukai kebenaran dan tidak mau mengikuti nasihat.

Oleh karena itu, Nabi Shalih berkata: wa laakil laa yuhibbuunan naashihiin (“Tetapi kalian tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat.”)

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa setiap Nabi yang umatnya telah dibinasakan, pergi ke tanah suci Makkah dan tinggal di sana. Wallahu a’lam.

Bersambung