Arsip | November, 2015

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 144-145

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 144-145“Allah berfirman: ‘Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.’ (QS. 7:144) Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): ‘Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan perintahkanlah kaummu untuk berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, kelak Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik.’ (QS. 7:145)” (al-A’raaf: 144-145)

Allah menyebutkan, bahwa Dia telah berfirman langsung dengan Musa, karena Dia telah melebihkan dirinya atas semua orang pada zamannya, berupa pemberian risalah dan berfirman langsung dengannya. Dan tidak diragukan lagi bahwa Muhammad adalah pemimpin anak keturunan Adam dari orang-orang golongan awal hingga golongan akhir. Oleh karena itu, Allah mengkhususkan beliau dengan dijadikan sebagai penutup para Nabi dan Rasul, yang syari’at-Nya terus berlaku sampai hari Kiamat. Para pengikut beliau juga lebih banyak daripada semua pengikut para Nabi dan Rasul sebelumnya.

Dalam urutan kemuliaan dan kelebihan, setelah beliau adalah Nabi Ibrahim al-Khalil as. lalu Musa bin ‘Imran kalimurrahman as.

Untuk itu Allah berfirman kepadanya: fa khudz maa aataituka (“Sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu.”) Yaitu berupa firman dan munajatnya.
Wa kum minasy syaakiriin (“Dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.”) Yakni, atas semuanya itu dan janganlah engkau menuntut apa yang di luar kemampuanmu.

Setelah itu Allah memberitahukan, bahwa Dia telah menuliskan bagi Musa di dalam alwah, yang mencakup segala sesuatu, sebagai peringatan dan penjelasan mengenai segala hal. Ada yang mengatakan, alwah itu terbuat dari batu permata, di mana Allah telah menuliskan di dalamnya berbagai pesan dan hukum yang menerangkan hal-hal yang halal dan yang haram.

Alwah ini pun mencakup juga Taurat, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk serta rahmat, agar mereka ingat.” (QS. Al-Qashash: 43)

Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa alwah itu diberikan kepada Musa sebelum Kitab Taurat. Wallahu a’lam.
Bagaimana pun, berdasarkan semua perkiraan di atas, maka alwah ini adalah seperti pengganti baginya dari permintaan untuk dapat melihat Allah, namun ditolak-Nya. Wallahu a’alam.

Firman-Nya: fa khudzHaa biquwwatin (“Berpeganglah kepadanya dengan teguh.”) Yakni dengan kemauan keras untuk taat.
Wa’mur qaumaka ya’khudzuu bi-ahsaniHaa (“Dan suruhlah kaummu berpegang kepada [perintah perintahnya] dengan sebaik-baiknya,”)

Sufyan bin `Uyainah mengatakan, Abu Sa’ad menceritakan kepada kami, dari `Ikrimah, dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Musa diperintahkan untuk berpegang sekuat tenaga pada apa yang diperintahkan kepada kaumnya.”

Firman-Nya: fa uuriikum daaral faasiqiin (“Nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik.”) Maksudnya, kalian akan menyaksikan akibat orang-orang yang menentang perintah-Ku dan menolak taat kepada-Ku, bagaimana mereka akan menunju kebinasaan, kehancuran dan kemusnahan.
&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 143

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 143“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: ‘Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman.’” (QS. al-A’raaf: 143)

Allah memberitahukan tentang Musa as, bahwasanya ketika ia datang untuk bermunajat kepada Allah pada waktu yang telah ditentukan oleh-Nya dan langsung dapat mendengar firman dari-Nya, maka ia pun memohon kepada-Nya agar dapat melihat-Nya.

la berkata: rabbi arinii andhur ilaika qaala lan taraanii (“Ya Rabbku nampakkanlah [DiriMu] kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu.”) Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.”

Kata “lan” (tidak akan) dalam ayat tersebut telah menjadi perdebatan di kalangan para ulama, karena ia berfungsi sebagai penekanan untuk meniadakan. Kaum Mu’tazilah menjadikannya sebagai dalil atas pendapatnya, bahwasanya manusia tidak dapat melihat-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Dan pendapat kaum Mu’tazilah tersebut merupakan pendapat yang paling lemah, karena banyak sekali hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa orang-orang yang beriman itu akan melihat Allah di akhirat kelak.

Hal itu akan kami uraikan lebih lanjut dalam firman Allah yang artinya:
“Dan wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyaamah: 22-23)
Juga dalam firman Allah yang memberitahukan tentang keadaan orang-orang kafir: “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (QS. Al-Muthaffifiin: 15)

Ada juga yang mengatakan, bahwasanya kata “lan” pada ayat ini adalah penekanan kepastian untuk tidak dapat melihat Allah di dunia selamanya, sebagai penggabungan antara ayat ini dan dalil qath’i (pasti) yang menunjukkan kebenaran penglihatan (terhadap Allah) di akhirat kelak.

Ada juga yang menyatakan, bahwa pembicaraan dalam masalah ini sama seperti pembicaraan dalam firman Allah berikut ini:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Dan Dia yang Mahahalus lagi Mahamengetahui.” (QS. Al-An’aam: 103) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya pada penafsiran surat al-An’aam.

Mengenai firman Allah: falammaa tajalla rabbuHuu liljabali (“Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu,”) dari Anas bin Malik, dari Nabi saw. ia berkata: “Nabi bersabda: ‘Demikianlah,’ -yaitu beliau mengeluarkan ujung jari kelingking-. Imam Ahmad mengatakan: “Mu’adz mempraktekkan kepada kami.” Maka Humaid ath-Thawil bertanya kepadanya: “Apa yang engkau maksudkan dengan itu, hai Abu Muhammad?” Kemudian ia memukul dadanya dengan keras seraya berkata: “Siapa dan apa kedudukanmu, hai Humaid? Anas bin Maliklah yang menceritakan hal itu kepadaku dari Nabi saw. lalu engkau berkata, ‘Apa yang engkau maksudkan?’”

(Demikian pula diriwayatkan at-Tirmidzi dalam penafsiran ayat ini. Kemudian at-Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini derajatnya hasan shahih gharib yang kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Hammad. Demikian pula diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, melalui beberapa jalan, dari Hammad bin Salamah, dan ia mengatakan: “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya”)

(Dan masih mengenai finnan Allah): falammaa tajalla rabbuHuu liljabali ja’alaHuu dakkaw wa kharra muusaa sha’iqan (“Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan,”) ar-Rabi’ bin Anas berkata: “Hal itu ialah, bahwa gunung itu langsung hancur luluh seperti tanah yang rata, ketika tabir penutup dibukakan, lalu ia melihat cahaya.”

Mengenai firman Allah: walaakinindhur ilal jabali fa-inis taqarra makaanaHuu fasaufa taraanii (“Tetapi lihatlah ke gunung itu, maka jika ia tetap di tempatnya [sebagai sediakala] niscaya kamu dapat melihat-Ku.”) Mujahid berkata: “(Maksudnya) bahwasanya gunung itu lebih besar darimu dan makhluk yang paling keras.”

Firman-Nya: fa lammaa tajalla rabbuHuu lil jabali (“Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu.”) Kemudian Musa melihat gunung itu tidak dapat mengendalikan diri, lalu hancur luluh seketika. Dan Musa as. menyaksikannya sendiri apa yang dialami oleh gunung itu, lalu jatuh pingsan.

Kata sha’iq berarti pingsan, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya, tidak seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah, di mana ia menafsirkannya dengan mati, meskipun penafsiran itu benar menurut bahasa, sebagaimana firman Allah:
Wa nufikha fish shuuri fa sha’iqa….. (“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuall siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu [putusannya masing-masing].”) (Az-Zumar: 68)

Karena qarinah (konteks pembicaraan) dalam ayat ini menunjukkan makna kematian, sebagaimana di sana terdapat juga qarinah yang menunjukkan makna pingsan, yaitu firman-Nya: fa lammaa afaqa (“Dan setelah Musa sadar kembali”) Dan kata “al afaaqa” (kesadaran kembali) itu tidak terjadi kecuali dari pingsan.

Firman-Nya: qaala subhaanaka (“Dia berkata, `Mahasuci Engkau.’”) Hal ini sebagai penyucian, pemuliaan dan pengagungan bahwasanya tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah di dunia ini melainkan ia mati.

Dan firman-Nya selanjutnya: tubtu ilaika (“Aku bertaubat kepada-Mu”) Mujahid berkata: “Yaitu, aku bertaubat dari meminta agar dapat melihat-Mu.”
Wa ana awwalul mu’miniin (“Dan aku orang yang pertama-tama beriman.”) Mengenai firman-Nya ini, Ibnu ‘Abbas dan Mujahid berkata: “Maksudnya, dari kalangan Bani Israil.” Dan pendapat ini merupakan pilihan Ibnu Jarir.

Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu ‘Abbas: Wa ana awwalul mu’miniin (“Dan aku orang yang pertama-tama beriman.”) Bahwasanya tidak ada seorang pun yang dapat melihat-Mu. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Abul ‘Aliyah.
Menurutnya, telah ada sebelumnya orang-orang yang beriman, namun ia mengatakan: “Aku adalah orang yang pertama-tama beriman kepada-Mu, bahwasanya tidak ada seorang pun dari makhluk-Mu yang dapat melihat-Mu sampai hari Kiamat kelak.” Pendapat ini pun baik dan mempunyai alasan.

Firman Allah: wa kharra muusaa sha’iqan (“Dan Musa pun jatuh pingsan.”) Dalam kitab Shahihnya, al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri berkata: “Ada seseorang dari kaum Yahudi datang kepada Nabi saw, dalam keadaan wajahnya telah ditampar. Orang itu berkata: ‘Hai Muhammad, salah seorang dari Sahabatmu dari kaum Anshar telah menampar wajahku.’ ‘Panggilah ia,’ sahut Rasulullah saw. Maka para Sahabat pun memanggil Sahabat yang dimaksudkan orang Yahudi itu. Lalu beliau bertanya: ‘Mengapa engkau menampar wajahnya?’ Sahabat itu menjawab: ‘Ya Rasulullah, sungguh aku sedang berjalan melewati Yahudi ini, lalu aku mendengarnya ia mengatakan, ‘Demi Yang melebihkan Musa atas umat manusia.’ Lalu kutanyakan: `Juga atas diri Muhammad?’ ‘Ya, juga atas diri Muhammad,’ jawabnya. Maka emosiku memuncak hingga aku menamparnya.’ Lalu Rasulullah bersabda: ‘Janganlah kalian melebihkan diriku atas diri para Nabi, karena sesungguhnya manusia akan pingsan pada hari Kiamat kelak, dan aku adalah orang yang pertama kali sadarkan diri, ternyata aku bersama Musa dalam keadaan berpegang pada salah satu kaki ‘Arsy. Dan aku tidak mengetahui, apakah ia sadarkan diri sebelum diriku ataukah ia sudah diberi balasan dengan pingsan ketika berada di gunung Thur?”‘ (HR. Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, dan Muslim juga dalam Shahihnya [pada bab] tentang cerita para Nabi, serta Abu Dawud dalam kitab [bab] Sunnah, dalam Sunannya).

Dan perkataan dalam sabda Rasulullah saw, “Janganlah kalian melebihkan diriku atas diri para Nabi,” adalah sama seperti perkataan dalam sabda beliau: “Janganlah kalian melebihkan diriku atas para Nabi dan juga atas diri Yunus bin Matta.”

Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang demikian itu termasuk ke dalam hal tawadhu’ (merendahkan diri). Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hal itu sebelum beliau mengetahuinya. Dan ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa beliau melarang membeda-bedakan di antara para Nabi dalam keadaan marah atau karena rasa ta’ashshub (fanatik). Dan ada juga yang menyatakan bahwasanya perkataan beliau itu hanya berdasarkan pada pendapat
dan keinginan beliau semata. Wallahu a’lam.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 142

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 142“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empatpuluh malam. Dan berkatalah Musa kepada saudaranya yaitu Harun: ‘Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.’” (QS. al-A’raaf: 142)

Allah Ta’ala mengingatkan Bani Israil akan apa yang telah mereka peroleh, yaitu hidayah, berupa firman-Nya langsung kepada Musa as. dan pemberian Taurat oleh-Nya, yang di dalamnya terdapat beberapa ketentuan dan keterangan mengenai hukum bagi mereka. Dia menyebutkan bahwa Dia telah menjanjikan kepada Musa tiga puluh malam. Para ahli tafsir mengatakan, Musa berpuasa selama tiga puluh malam tersebut. Setelah sampai pada batas waktu yang ditentukan itu, Musa as. menggosok gigi dengan kulit pohon.

Kemudian Allah menyuruhnya untuk menyempurnakan dengan sepuluh malam hari, sehingga menjadi empat puluh hari. Mengenai maksud sepuluh malam itu, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir. Tetapi mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa, “Tiga puluh malam itu adalah bulan Dzulqa’dah, sedangkan yang sepuluh malam adalah bulan Dzulhijjah.” Demikian yang dikatakan oleh Mujahid, Masruq, dan Ibnu Juraij. Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya: “Atas dasar ini berarti Musa telah menyempumakan miqat (waktu yang ditentukan) pada hari raya kurban dan pada saat itulah telah terjadi firman Allah Ta’ala langsung kepada Musa as. Dan pada hari itu juga, Allah menyempurnakan agama bagi Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya yang artinya:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa-idah: 3)

Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan tersebut, lalu Musa bermaksud pergi ke gunung (Thur), sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Hai Bani Israil, sungguhnya Kami telah menyelamatkanmu dari musuhmu dan Kami telah mengadakan perjanjian denganmu (untuk munajat) di sebelah kanan gunung itu.” (QS. Thaahaa: 80)

Maka pada saat itu Musa as. meminta saudaranya, Harun, memimpin Bani Israil, serta berpesan kepadanya agar melakukan perbaikan, bukan kerusakan. Dan ini merupakan peringatan dan penekanan semata, karena Harun sendiri adalah seorang Nabi mulia bagi Allah, memiliki kedudukan dan kehormatan. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan Allah kepadanya dan kepada para Nabi lainnya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 140-141

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 140-141“Musa menjawab: ‘Patutkah aku mencari ilah untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat. (QS. 7:140) Dan (ingatlah hai Bani Israil), ketika Kami menyelamatkanmu dari (Fir’aun) dan kaumnya, yang mengadzabmu dengan adzab yang sangat jahat, yaitu mereka membunuh anak-anak lelakimu dan membiarkan hidup wanita-wanitamu. Dan pada yang demikian itu cobaan yang besar dari Rabbmu. (QS. 7:141)” (al-A’raaf: 140-141)

Penafsiran ayat ini telah diuraikan sebelumnya pada Surat al-Baqarah ayat 49-50 sebagai berikut:

“Dan (ingatlab) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabb-mu.” (QS. Al-Baqarah: 49) “Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (QS. Al-Baqarah: 50)

Allah berfirman: “Hai Bani Israil, ingatlah nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian, yaitu ketika Kami selamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, yang telah menimpakan siksaan yang sangat berat.”
Yaitu, Aku telah menyelamatkan kalian dari mereka dan membebaskan kalian dari tangan mereka, dengan ditemani Musa as, padahal dahulu Fir’aun dan para pengikutnya menimpakan adzab yang sangat hebat kepada kalian.

Hal itu mereka lakukan karena Fir’aun yang dilaknat Allah itu pernah bermimpi yang sangat merisaukannya. la bermimpi melihat api yang keluar dari Baitul Maqdis. Kemudian api itu memasuki rumah orang-orang Qibti di Mesir kecuali rumah Bani Israil. Makna mimpi tersebut adalah bahwa kerajaannya akan lenyap binasa melalui tangan seseorang yang berasal dari kalangan Bani Israil. Kemudian disusul laporan dari orang-orang dekatnya saat membicarakan hal itu, bahwa Bani Israil sedang menunggu lahirnya seseorang bayi laki-laki di antara mereka, yang karenanya mereka akan meraih kekuasaan dan kedudukan tinggi.

Demikianlah yang diriwayatkan dalam hadits yang membahas tentang fitnah. Sejak saat itu, Fir’aun pun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil yang dilahirkan setelah mimpi itu, dan membiarkan bayi-bayi perempuan tetap hidup. Selain itu, Fir’aun juga memerintahkan agar mempekerjakan Bani Israil dengan berbagai pekerjaan berat dan hina.

Dalam ayat ini al-‘adzab ditafsirkan dengan penyembelihan anak laki-laki. Sedangkan pada surat Ibrahim, disebutkan dengan kata sambung “wa” (dan), sebagaimana pada firman-Nya: “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan anak-anakmu yang perempuan tetap hidup.” (QS. Ibrahim: 6). Penafsiran mengenai hal ini akan dikemukakan pada awal surat al-Qashash, insya Allah, dengan memohon pertolongan dan bantuan-Nya.

Kata “yaasuumuunakum” artinya menimpakan kepada kalian, demikian dikatakan Abu Ubaidah. Dikatakan: saamaHu khuththatun khasfin, artinya perkara/urusan yang hina (aib) telah menimpanya.
Amr bin Kaltsum mengatakan: Jika sang raja menimpakan kehinaan kepada manusia, kita enggan dan menolak kehinaan di tengah kita.

Yasuumuunakum; Ada juga yang mengartikan dengan memberikan siksaan yang terus menerus. Sebagaimana kambing yang terus digembala disebut “saa-imatal ghanami”. Demikian yang dinukil oleh al-Qurthubi.

Di sini Allah berfirman, “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan,” tiada lain sebagai penafsiran atas nikmat yang diberikan kepada mereka yang terdapat dalam firman-Nya, “Mereka menimpakan kepada kamu siksaan yang seberat-beratnya.” Ditafsirkan demikian karena di sini Allah berfirman, “Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu.”

Sedang dalam surat Ibrahim, ketika Dia berfirman, “Dan-ingatlah mereka kepada hari-hari Allah.” Maksudnya, berbagai nikmat-Nya yang telah diberikan ke ada mereka. Maka tepatlah jika disebutkan disana, “Mereka menimpakan keadan kalian siksaan yang seberat-beratnya. Mereka meyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan anak-anakmu yang perempuan tetap hidup.” Disambungkannya hal itu dengan penyembelihan untuk menunjukkan betapa banyak nikmat yang telah diberikan kepada Bani Israil.

Fir’aun merupakan gelar bagi setiap raja Mesir yang kafir, baik yang berasal dari bangsa Amalik maupun lainnya. Sebagaimana Kaisar merupakan gelar bagi setiap raja yang menguasai Romawi dan Syam dalam keadaan kafir. Demikian halnya dengan Kisra yang merupakan gelar bagi Raja Persia. Juga Tubba’ bagi penguasa Yaman yang kafir. Najasyi bagi Raja Habasyah. Dan Petolemeus yang merupakan gelar Raja India.

Dikatakan, bahwa Fir’aun yang hidup pada masa Musa as bernama Walid bin Mush’ab bin Rayyan. Ada juga yang menyebut, Mush’ab bin Rayyan. Ia berasal dari silsilah Imlik bin Aud bin Iram bin Sam bin Nuh, julukannya adalah Abu Murrah, aslinya berasal dari Persia, dari ‘Asthakhar. Bagaimanapun, Fir’aun adalah dilaknat Allah.

Firman-Nya, “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian yang besar dari Rabbmu,” Ibnu Jarir mengatakan: “Artinya, dalam tindakan Kami menyelamatkan nenek moyang kalian dari siksaan Fir’aun dan para pengikutnya mengandung ujian yang besar dari Rabb kalian. Ujian itu bisa berupa kebaikan dan bisa juga keburukan.” Sebagaimana firman Allah keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (QS. Al-Anbiyaa’: 35)

Demikian juga dengan firman-Nya: “Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik–baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). ” (QS. Al-A’raaf: 168).

Ibnu Jarir mengatakan, kata yang sering digunakan untuk menyatakan ujian dengan keburukan adalah balautuHu, ab-luuHu, bilaa-an. Yang digunakan untuk ujian dengan kebaikan adalah ib-liiHi, ib-laa-an, wa balaa-an. Zuhair bin Abi Salma pernah bersyair:

Allah akan memberikan balasan kebaikan atas apa yang mereka berdua
perbuat terhadap kalian.
Dan membalas mereka berdua dengan sebaik-baik balasan yang menguji.

Di sini dia menggabungkan dua versi bahasa, yang mengandung makna bahwa Allah mengaruniai mereka berdua sebaik-baik nikmat yang Dia ujikan kepada para hamba-Nya.

Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud dengan firman Allah “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian.” Merupakan isyarat pada keadaan di mana mereka menerima siksaan yang menghinakan dengan disembelihnya anak laki-laki, dan dibiarkan hidup anak bayi perempuan. Al-Qurthubi mengatakan: ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Firman Allah: “Dan ingatlah ketika Kami belah lautan untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan para pengikutnya, sedang kamu sendiri menyaksikannya.”

Artinya, setelah Kami menyelamatkan kalian dari Fir’aun dan para pengikutnya, lalu kalian berhasil keluar dan pergi dari Mesir bersama Musa as, maka Fir’aun pun pergi mencari kalian. Kemudian Kami belah lautan untuk kalian. Sebagaimana hal itu telah diberitahukan Allah swt. secara rinci, yang insya Allah akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya antara lain di Surat Asy-Syu’ara’.

Firman-Nya, “Lalu Kami selamatkan.” Artinya, Kami bebaskan kalian dari kejaran mereka dan Kami pisahkan antara kalian dengan mereka hingga akhirnya Kami tenggelamkan mereka, sedang kalian menyaksikan sendiri peristiwa tersebut, agar hal itu dapat menjadi pengobat hati kalian dan menjadi hinaan yang mendalam bagi musuh-musuh kalian.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Ibnu Abbas ra, ia menceritakan, Setelah Rasulullah sampai di Madinah, kemudian beliau menyaksikan orang-orang Yahudi mengerjakan puasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau pun bersabda:
“Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya ?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa as pun berpuasa padanya.” Rasulullah pun bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada kalian.” Kemudian beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya berpuasa padanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Majah.)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 138-139

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 138-139“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala).’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat ilah).’ (QS. 7:138) Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. 7:139)” (al-A’raaf: 138-139)

Allah memberitahukan mengenai apa yang dikatakan oleh beberapa orang Bani Israil yang bodoh kepada Musa setelah mereka berhasil menyeberangi lautan, padahal mereka telah menyaksikan sendiri ayat-ayat Allah dan keagungan kekuasaan-Nya.

Fa atau (“setelah mereka sampai”) yaitu setelah mereka melewati. ‘alaa qaumiy ya’kufuuna ‘alaa ashnaamil laHum (“suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka”) sebagian ahli mufasir mengatakan, “Mereka itu adalah dari penduduk Kan’an.”
Lalu mereka mengatakan:

Yaa muusaj’al lanaa ilaaHan kamaa laHum aaliHatan qaala innakum qaumun tajHaluun (“Hai Musa, buatkanlah kami sebuah ilah [berhala] sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah [berhala].’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’”) Artinya, tidak memahami keagungan dan kebesaran Allah serta keharusan menyucikan-Nya dari sekutu dan tandingan.

Firman-Nya: inna Haa-ulaa-i mutabbarum maa Hum fiiHi (“Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya.”) Yakni, dibinasakan. Wa baathilum maa kaanuu ya’maluun (“Dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 136-137

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 136-137“Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu. (QS. 7:136) Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telab tertindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telab Kami beri berkah padanya. Dan telab sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telab dibangun mereka. (QS. 7:137)” (al-A’raaf: 137-137)

Allah Ta’ala memberitahukan, setelah Fir’aun dan kaumnya masib tetap bertindak sewenang-wenang dan melampaui batas padahal mereka diuji dengan berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berturut-turut satu per satu, maka Dia pun menghukum mereka dengan menenggelamkan mereka ke dalam lautan. Laut yang Allah belah untuk penyeberangan Musa as. hingga ia bersama Bani Israil berhasil menyeberanginya.

Fir’aun dan kaumnya berusaha mengejar, dan ketika sampai, mereka pun ikut masuk ke dalamnya, hingga mereka tenggelam semua. Yang demikian itu disebabkan oleh pendustaan dan pengabaian mereka terhadap ayat-ayat Allah.

Dan Allah Ta’ala memberitahukan, bahwa Dia akan mewariskan bumi dari barat sampai timur kepada kaum yang ditindas, yaitu Bani Israil. Firman-Nya yang artinya: “Dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain.”) (QS. Ad-Dukhaan: 28)

Mengenai firman Allah: masyaariqal ardli wa maghaaribaHal latii baaraknaa fiiHaa (“Negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya,”) dari al-Hasan al-Bashri dan Qatadah: “Yaitu negeri Syam.”

Dan firman-Nya lebih lanjut: wa tammat kalimatu rabbakal husnaa ‘alaa banii israa-iila bimaa shabaruu (“Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik [sebagai janji] untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.”) Mujahid dan Ibnu Jarir berkata: “(Janji yang dimaksud) yaitu firman Allah yang artinya:

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” (QS. Al-Qashash: 5-6)

Firman Allah selanjutnya: wa dammarnaa maa kaana yashna’u fir’aunu wa qaumuHu (“Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya.”) Maksudnya, Kami binasakan apa yang telah dibuat oleh Fir’aun dan kaumnya, yaitu berupa bangunan dan ladang-ladang pertanian.
Wa maa kaanuu ya’risyuun (“Serta apa yang telah dibangun mereka.”) Ibnu ‘Abbas dan Mujahid berkata: “ya’risyuun” berarti: “yabnuun” (apa yang mereka bangun).”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 132-135

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 132-135“Mereka berkata: ‘Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu.’ (QS. 7:132) Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa. (QS. 7:133) Dan ketika mereka ditimpa adzab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata: ‘Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan adzab itu daripada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.’ (QS. 7:134) Maka setelah Kami hilangkan adzab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya. (QS. 7:135)” (al-A’raaf: 132-135)

Ini adalah berita dari Allah dan keingkaran kaum Fir’aun terhadap kebenaran serta tetap terus menerusnya mereka di atas kebathilan, dalam ucapan mereka: maHmaa ta’tinaa biHii min aayaatil litasharanaa biHaa famaa nahnu laka bimu’miniin (“Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan pada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu.”) Mereka berkata: “Ayat (bukti) apa pun yang engkau datangkan kepada kami serta hujjah dan dalil apa pun yang engkau kemukakan kepada kami, maka kami pasti akan menolaknya, sebab kami tidak akan pernah mau menerimanya dan tidak juga kami beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa.”

Allah berfirman: fa arsalnaa ‘alaiHimuth thuufaana (“Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan.”) Dari Ibnu ‘Abbas: “Taufan itu adalah hujan lebat yang dapat menenggelamkan dan merusak segala macam tanaman dan buah-buahan.”

Sedangkan al jarad (belalang) sudah biasa dikenal dan masyhur, termasukbinatang yang dapat dimakan. Sebagaimana ditegaskan dalam ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Abu Ya’fur, ia mengatakan, aku pernah bertanya kepada ‘Abdullah bin Abi Aufa tentang belalang, maka ia berkata: “Kami pernah berangkat berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, kami memakan belalang.”

Sedangkan mengenai al-qummal (kutu), diriwayatkan dari Ibnu Jarir, al-qummal adalah jamak dan mufrad (tunggal)nya adalah qummalah, yaitu binatang serupa dengan kutu yang memakan unta.

Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata: “Maka musuh Allah (Fir’aun) pun kembali pulang dalam keadaan kalah dan kecewa, ketika para ahli sihir itu beriman. Lalu ia menolak beriman dan tetap berada dalam kekafiran dan kejahatan. Maka Allah menurunkan kepadanya berbagai macam tanda kekuasaan-Nya, antara lain Allah menghukum Fir’aun dengan mendatangkan musim kemarau yang berkepanjangan serta mengirimkan angin taufan kepadanya, setelah itu belalang, lalu kutu, selanjutnya katak dan kemudian darah. Semuanya itu merupakan bukti yang memberi penjelasan yang benar-benar terang. Allah mengirim taufan, yaitu berupa air yang membanjiri permukaan bumi kemudian menggenangi, sehingga orang-orang tidak dapat bercocok tanam dan berbuat apa-apa sampai akhirnya mereka ditimpa kelaparan. Setelah kondisi mencapai demikian, maka:

Qaaluu yaa muusad’ulanaa rabbaka bimaa ‘aHida ‘indaka la-in kasyafta ‘annar rijza lanu’minanna laka wa lanursilanna ma’aka banii israa-iil (“Mereka pun berkata: `Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu dengan [perantaraan] kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan adzab itu dari kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.”)

Musa pun memanjatkan do’a kepada Rabbnya, maka Allah Ta’ala menghilangkan penderitaan itu, tetapi mereka tidak menepati janji yang telah mereka sampaikan kepada Musa.

Selanjutnya Allah mengirimkan belalang, yang memakan semua tanaman, pepohonan, bahkan menurut berita yang aku (Muhammad bin Ishaq bin Yasar) terima, belalang-belalang itu memakan paku-paku pintu yang terbuat dari besi hingga rumah dan tempat tinggal mereka hancur runtuh. Lalu mereka mengatakan seperti yang dahulu pernah mereka katakan. Maka Musa pun berdo’a kepada Rabbnya, lalu Allah menghilangkan penderitaan tersebut. Namun setelah itu mereka pun tidak memenuhi janji mereka kepada Musa.

Kemudian Allah mengirimkan kutu kepada mereka. Disebutkan kepadaku (Muhammad bin Ishaq bin Yasar), bahwa Musa as. diperintahkan pergi ke anak bukit dan memukulnya dengan tongkatnya. Maka ia pun berangkat ke suatu anak bukit yang cukup besar, lalu memukulnya dengan tongkat miliknya, hingga kutu-kutu berhamburan menghinggapi mereka sampai kutu-kutu itu memenuhi rumah dan makanan mereka dan menyebabkan mereka tidak dapat tidur dan tenang. Setelah mereka merasa kelelahan, mereka mengatakan apa yang dahulu pernah mereka katakan kepada Musa. Kemudian Musa pun berdo’a kepada Rabbnya, lalu la pun menghilangkan penderitaan mereka. Namun tidak juga mereka menepati apa yang mereka katakan.

Selanjutnya Allah mengirimkan kepada mereka katak-katak yang memenuhi rumah-rumah, makanan dan bejana-bejana mereka, sehingga tidak ada seorang pun yang membuka pakaian atau pun makanan melainkan di dalamnya sudah terdapat katak telah memenuhi tempat itu. Dan setelah mereka kelelahan dengan hal itu, mereka berkata seperti yang apa yang sebelumnya mereka katakan. Selanjutnya Musa memohon kepada Rabbnya, maka la pun menghilangkan penderitaan yang menimpa mereka. Tetapi sekali lagi mereka tidak menepati apa yang mereka katakan. Dan akhirnya Allah mengirimkan darah sehingga semua air kaum Fir’aun itu menjadi darah. Mereka tidak dapat mengambil air dari sumur dan sungai. Mereka tidak menciduk air dari bejana melainkan langsung menjadi darah segar.”

Zaid bin Aslam berkata: “Yang dimaksud dengan darah itu adalal darah yang keluar dari lubang hidung.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim; Di dalam kisah ini terdapat beberapa hal yang tidak ditegaskan dalam kitab-kitab shahih, tetapi siyaq (redaksi) penafsiran memerlukannya, karena pembahasan (ayat) ini, penulis (Ibnu Katsir) tidak menyampaikan kecuali berupa kisah-kisah dan kisah inilah di antara kisah yang terpendek.)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 130-131

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 130-131“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. 7:130) Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini adalah karena (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. 7:131)” (al-A’raaf: 130-131)

Allah berfirman: wa laqad akhadznaa aala fir’auna (“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum [Fir’aun dan] kaumnya.”) maksudnya Kami uji dan coba mereka; bis siniina (“dengan [mendatangkan] musim kemarau yang panjang.”) yaitu masa-masa kelaparan yang sangat panjang karena sedikitnya tanaman yang tumbuh; wa naqshim minats tsamaraati (“dan kekurangan buah-buahan”) Mujahid berkata: “Yaitu cobaan yang lebih ringan dari hal tersebut.”

La’allaHum yadzdzakkaruun. Fa idzaa jaa-atHumul hasanatun (“Supaya mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran.”) Maksudnya kesuburan dan melimpahnya rizki. Qaaluu lanaa HaadziHi (“Mereka berkata: ‘Ini adalah karena usaha kami.’”) Maksudnya, semuanya ini memang sudah menjadi hak kami.

Wa in tushibHum sayyi-atun (“Dan jika mereka ditimpa kesusahan.”) Yakni ketidak suburan dan kegersangan, maka: yathayyaruu bi muusaa wa mam ma’aHu (“Mereka melemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya.”) Maksudnya, semuanya ini disebabkan oleh mereka (Musa dan kaumnya) dan apa yang mereka bawa.

Alaa innamaa thaa-iruHum ‘indallaaHi (“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah.”) Artinya, semua bencana yang menimpa mereka itu sudah menjadi ketetapan di sisi Allah. Wa laakinna aktsaraHum laa ya’lamuun (“Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 127-129

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 127-129“Berkatalah pembesar-pembesar dart kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): ‘Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu serta ilah-ilahmu.’ Fir’aun menjawab: ‘Akan kita bunuh anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.’ (QS. 7:127) Musa berkata kepada kaumnya: ‘Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’ (QS. 7:128) Kaum Musa berkata: ‘Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: ‘Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.’ (QS. 7:129)” (al-A’raaf: 127-129)

Allah memberitahu mengenai kerjasama antara Fir’aun dengan para pembesar kaumnya serta mengenai niat jahat dan kebencian yang mereka sembunyikan terhadap Musa dan kaumnya.
Wa qaalal mala-u min qaumi fir’auna (“Para pembesar dari kaum Fir’aun berkata,”) yaitu kepada Firaun: a tadaru muusaa wa qaumaHu (“Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya.”) Maksudnya, apakah akan engkau biarkan mereka melakukan kerusakan di muka bumi. Dengan kata lain, menghancurkan rakyatmu dan menyeru mereka untuk menyembah Rabb mereka tanpa (menyembah)mu.

Ya Allah, sungguh mengherankan, mereka justru sangat takut terhadap tindakan merusak yang dilakukan oleh Musa dan kaumnya! Bukankah Fir’aun dan kaumnya itulah yang sebenarnya para perusak, tetapi mereka tidak menyadarinya? Oleh karena itu mereka mengatakan: wa yadzaraka wa aaliHataka (“Dan meninggalkanmu serta ilah-ilahmu?”)

Sebagian ulama mengatakan, huruf “wawu ” dalam ayat tersebut bersifat haliyah, dengan pengertian, apakah engkau (Fir’aun) akan membiarkan Musa dan kaumnya melakukan kerusakan di muka bumi, padahal mereka telah meninggalkan penyembahan terhadap dirimu?

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa huruf wawu itu merupakan wawu ‘athaf, dengan pengertian, apakah engkau akan membiarkan mereka berbuat kerusakan terhadap apa yang telah engkau bangun dan (membiarkan mereka) meninggalkan ilah-ilahmu?

Terhadap pertanyaan tersebut Fir’aun memberikan jawaban melalui ucapannya: sanuqattilu abnaa-aHum wa nastahyii nisaa-aHum (“Akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan hidup perempuan perempuan mereka.”) Ini merupakan tindakan Fir’aun yang kedua kalinya, di mana sebelunmya ia telah melakukan hal tersebut sebelum Musa as. dilahirkan, dengan tujuan agar tidak ada yang menggoyahkan kekuasaannya. Tetapi kenyataan menunjukkan hal yang berbeda dari apa yang diharapkan oleh Fir’aun.

Hal yang sama juga terjadi pada rencananya yang kedua kalinya itu, yaitu ketika ia hendak menghinakan dan menekan Bani Israil. Tetapi kenyataan berbicara sebaliknya, yaitu bertolak belakang dengan apa yang diinginkannya. Di mana Allah justru menguatkan mereka, serta menghinakan dan menenggelamkan Fir’aun bersama-sama dengan bala tentaranya ke dalam lautan.

Setelah Fir’aun bermaksud melancarkan niat buruknya itu kepada Bani Israil, maka: qaala muusaa liqaumiHis ta’iinuu billaaHi washbiruu (“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.”) Dan ia menjanjikan kepada mereka kesudahan yang menyenangkan dan bahwa bumi ini akan diwariskan untuk mereka, yaitu melalui firman-Nya: innal ardla lillaaHi yuuritsuHaa may yasyaa-u min ‘ibaadiHi wal ‘aaqibatu lil muttaqiina, qaaluu uudziina min qabli an ta’tiyanaa wa mim ba’di maa ji’tanaa (“’Sesungguhnya bumi [ini] kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’ Kaum Musa berkata, ‘Kami telah ditindas [oleh Fir’aun] sebelum engkau datang kepada kami dan sesudah engkau datang.’”)

Maksudnya, mereka telah berbuat terhadap kami hal-hal yang seperti engkau saksikan sendiri, yaitu berupa penghinaan dan penindasan, sebelum kedatanganmu, hai Musa, juga setelahnya. Maka ia pun memperingatkan mereka terhadap kondisi mereka sekarang dan kehidupan yang kelak akan mereka jalani, Musa as. berkata: ‘asaa rabbukum ay yuHlika ‘aduwwakum (“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu.”) Ini merupakan seruan kepada mereka agar mereka senantiasa bersyukur ketika memperoleh kenikmatan dan terlepas dari segala penderitaan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 123-126

30 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 123-126“Fir’aun berkata: ‘Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu, sesungguhnya (perbuatan) ini adalah suatu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya; maka kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini); (QS. 7:123) demi, sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal-balik, kemudian sungguh-sungguh aku akan menyalib kamu semuanya.’ (QS. 7:124) Ahli-ahli sihir itu menjawab: ‘Sesungguhnya kepada Rabblah kami kembali. (QS. 7:125) Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Rabb kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.’ (Mereka berdo’a): ‘Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).’ (QS. 7:126)” (al-A’raaf: 123-126)

Allah memberitahukan tentang ancaman Fir’aun la’anahullah terhadap para ahli sihir tatkala mereka beriman kepada Musa as. serta tipuan dan muslihat yang dia perlihatkan kepada orang-orang, yaitu melalui ucapannya: inna Haadzaa lamakrum makartumuuHu fil madiinati litukhrijuu minHaa aHlaHaa (“Sesungguhnya [perbuatan] ini adalah suatu tipu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya darinya.”)

Maksudnya, sesungguhnya kemenangan Musa atas kalian pada hari ini adalah atas kesepakatan dan melalui persetujuan kalian. Seperti firman Allah dalam ayat yang lain yang artinya: “Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian.” (QS. Thaahaa: 71)

Padahal dia dan semua orang yang mempunyai akal sehat mengetahui bahwa apa yang dikatakannya itu merupakan suatu yang amat bathil, karena Musa sejak datang dari Madyan langsung mengajak Fir’aun ke jalan Allah dan memperlihatkan berbagai macam mukjizat yang mengagungkan dan hujjah-hujjah yang pasti, yang menunjukkan kebenaran apa yang dibawanya. Pada saat itu, Fir’aun langsung mengirimkan utusan ke beberapa wilayah dan daerah kekuasaannya, lalu ia mengumpulkan berbagai ahli sihir yang terpencar dari seluruh negeri di Mesir yang sudah melalui pilihannya sendiri dan para pemuka kaumnya. Kemudian ia memanggil mereka semua ke hadapannya dan menjanjikan hadiah yang besar kepada mereka. Untuk itu, mereka sangat berambisi memperoleh hadiah, dapat dikenal di lingkungan mereka, serta mendapat kedudukan mulia disisi Fir’aun. Dan Musa as. sendiri tidak mengenal seorang pun dari mereka, tidak juga melihat dan berkumpul dengannya. Sedangkan Fir’aun mengetahui hal itu. Dan ia mengatakan hal tersebut sebagai usaha menutupi kelemahan pengikutnya dan kebodohan mereka.

Sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya: “Maka Fir’aun mempengarui kaumnya (dengan perkataan itu), lalu mereka patuh kepadanya.” (QS. Az-Zukhruf: 54)

Karena suatu kaum yang membenarkan Fir’aun ketika ia mengatakan: ana rabbukumul a’laa (“Akulah rabbmu yang paling tinggi”) adalah merupakan makhluk Allah yang paling bodoh dan paling sesat.

Dan firman Allah: litukhrijuu minHaa aHlaHaa (“Untuk mengeluarkan penduduknya darinya.”) Maksudnya, kalian dan juga Musa berkumpul dan kalian akan memperoleh suatu kerajaan serta kekuasaan dan kalian akan mengusir para pembesar dan pemimpinnya dari negeri tersebut. Selanjutnya kalian dapat menguasai dan mengendalikan negeri tersebut.

Fa saufa ta’lamuun (“Maka kelak kamu akan mengetahui [akibat perbuatan kamu ini]”) Yaitu, kalian akan menyaksikan apa yang akan aku perbuat terhadap kalian.

Ancaman Fir’aun ini ditafsirkan dengan firman-Nya: la uqaththi-‘anna aidiyakum wa arjulakum min khilaafin (“Sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu dengan bersilang secara bertimbal balik.”) Yakni dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, atau sebaliknya. Dan; la ushallibannakum ajma’iin (“Aku benar-benar akan menyalib kamu semuanya.”) Dalam ayat yang lain Allah berfirman yang artinya: “Pada pangkal pohon kurma.” (QS. Thaahaa: 71) Maksudnya, di atas pangkal pohon kurma.

Ibnu ‘Abbas berkata: “Fir’aun adalah orang yang pertama kali menyalib dan memotong tangan dan kaki secara bersilang.”

Dan ucapan ahli sihir: innaa ilaa rabbinaa lamunqalibuun (“Sesungguhnya kepada Rabb-lah kami kembali.”) Maksudnya, kami benar-benar telah yakin bahwa kami pasti kembali kepada-Nya dan bahwasanya siksa-Nya lebih pedih daripada siksamu, serta balasan-Nya atas sihir yang engkau serukan dan paksakan terhadap kami pada hari ini adalah lebih hebat daripada balasanmu. Maka kami akan bersabar pada hari ini menahan siksaanmu agar kami dapat selamat dari adzab Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, mereka berkata: rabbanaa afrigh ‘alainaa shabran (“Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami.”)Maksudnya, liputilah kami dengan kesabaran agar kami tetap memeluk agama-Mu dan berpegang teguh padanya.
Wa tawaffanaa muslimiin (“Dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri [kepada-Mu]”) Maksudnya, dalam keadaan mengikuti Nabi-Mu, Musa as.

Ibnu `Abbas, `Ubaid bin `Umair, Qatadah dan Ibnu Juraij berkata: “Pada pagi harinya mereka masih sebagai tukang sihir dan pada sore harinya mereka menjadi para syuhada.”

&