Arsip | 00.45

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 156

3 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 156“Allah berfirman: ‘Siksaku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. al-A’raaf: 156)

Dengan maksud memberikan jawaban bagi firman-Nya yang sebelumnya yaitu: in Hiya illaa fitnatuka (“Itu tidak lain banyalah cobaan dari-Mu,”) Allah berfirman: ‘adzaabii ushiibu biHii man asyaa-u wa rahmatii wasi’at kulla syai-in (“Siksa-Ku akan Ku-timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki Ilan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”) Maksudnya, Aku dapat berbuat apa saja yang Aku kehendaki dan menetapkan apa saja yang Aku inginkan. Dan Aku mempunyai hikmah dan keadilan dalam semuanya itu. Mahasuci Allah, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia.

Firman Allah: wa rahmatii wasi’at kulla syai-in (“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu,”) merupakan ayat yang sangat agung kandungan dan cakupannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang memberitahukan tentang para Malaikat pemikul ‘Arsy dan Malaikat-malaikat lain yang berada di sekelilingnya, di mana mereka mengatakan:
“Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-Mu’min: 7)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Salman, dari Nabi saw, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah mempunyai seratus rahmat, di antaranya satu rahmat yang menyebabkan makhluk saling berkasih sayang, dan dengannya binatang-binatang buas mengasihi anak-anaknya. Dan sembilan puluh Sembilan ditangguhkan sampai hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad, hadits tersebut keluarkan pula oleh Muslim)

Firman Allah selanjutnya: fa sa aktubuHaa lilladziina yattaquun (“Maka akan Aku tetapkan ahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.”) Yakni, akan Aku pastikan tercapainya rahmat itu dari-Ku sebagai karunia dan kebaikan dari-Ku kepada mereka. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat yang lain:
“Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang [rahmat].” (QS. Al-An’aam: 54)

Firman-Nya: lilladziina yattaquun (“Untuk orang-orang yang bertakwa.”) maksudnya, Aku akan jadikan rahmat itu bagi orang-orang yang menghiasi din dengan sifat-sifat ini, mereka adalah umat Muhammad saw.
Alladziina yattaquun (“Yaitu yang bertakwa,”) yaitu (orang-orang yang) menjaga diri dari kemusyrikan dan dosa-dosa besar.

Firman-Nya: wa yu’tuunaz zakaata (“Yang menunaikan zakat.”) Ada pendapat yang mengatakan, yang dimaksudkan adalah zakaatun nufuus (penyucian diri). Ada juga yang mengatakan zakaatul amwaal. Namun bisa mencakup makna keduanya secara umum. Karena ayat ini adalah Makkiyyah (diturunkan di Makkah);
Wal ladziina Hum bi-aayaatinaa yu’minuun (“Dan orang-orang yang beriman kepada Kami,”) yakni yang membenarkannya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 155

3 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 155“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: ‘Ya Rabbku, kalau Engkau kehendaki tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Mu, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya. (QS. 7:155) Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada-Mu.” (al-A’raaf: 155)

Ibnu ‘Abbas, Qatadah, Mujahid dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa mereka ditimpa gempa bumi karena mereka tidak mau melepaskan diri/meninggalkan kaumnya dalam penyembahan terhadap anak lembu di samping tidak mencegah mereka. Dasar pendapat ini adalah ucapan Musa as:
A fataHlikunaa bimaa fa’alas sufaHaa-u minnaa (“Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami?”)

Dan firman-Nya: in Hiya illaa fitnatuka (“Itu tidak lain hanyalah cobaan dari-Mu”) Maksudnya (hal itu) adalah ujian dan cobaan dari-Mu. Demikian dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Abul `Aliyah, ar-Rabi’ bin dan beberapa ulama salaf dan khalaf lainnya, tidak ada makna lain selain Maksud dari perkataan Musa adalah: “(Tidaklah) semua urusan melainkan berada di tangan-Mu dan segala keputusan hanyalah milik-Mu semata, yang Engkau kehendaki pasti akan terjadi. Engkau sesatkan siapa saja Engkau kehendaki dan Engkau tunjuki siapa saja yang Engkau kehendaki. Tidak ada yang dapat memberi petunjuk bagi siapa yang Engkau sesatkan dan tidak ada yang dapat menyesatkan siapa yang Engkau tunjuki. Tidak ada yang dapat memberi kepada siapa yang Engkau cegah dan tidak akan ada seorang pun yang dapat menghalangi apa yang Engkau beri. Semua kerajaan adalah niilik-Mu semata. Semua ketetapan, perintah dan penciptaan adalah hak-Mu.”

Dan firman Allah Ta’ala: anta waliyyunaa faghfirlanaa warhamnaa anta khairul ghaafiriin (“Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya.”) Al-ghafru berarti penutupan dan penghapusan hukuman atas dosa. Disandingkannya kata ar-rahmah dengan al-ghafru dalam ayat tersebut dimaksudkan, bahwa ia tidak akan melakukan hal yang sama pada masa yang akan datang.

Wa anta khairul ghaafiriin (“Dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya.”) Maksudnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Waktubnaa fii HaadziHid dun-yaa hasanataw wa fil aakhirati (“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat.”) Maksud do’a ini yaitu, penggalan do’a yang pertama untuk menghindari apa yang ditakutkan, sedang penggalan yang ini untuk mencapai apa yang diinginkan: Waktubnaa fii HaadziHid dun-yaa hasanataw wa fil aakhirati (“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat.”) Maksudnya yaitu, pastikan dan tetapkanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat.

Mengenai penafsiran kata al-hasanah telah diuraikan sebelumnya dalam surat ai-Bagarah ayat 201.

Firman-Nya: innaa Hudnaa ilaika (“Sesungguhnya kami kembali [bertaubat] kepada-Mu.”) Artinya, kami bertaubat dan kembali kepada-Mu. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Abul `Aliyah, adh-Dhahhak, Ibrahim at-Taimi, as-Suddi, Qatadah dan beberapa ulama lainnya. Demikian pula maknanya menurut bahasa.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 154

3 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 154“Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) alwah (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Rabbnya.” (QS. al-A’raaf: 154)

Firman Allah: wa lammaa sakata ‘am muusal ghadlabu (“Sesudah amarah menjadi reda,”) yaitu amarahnya terhadap kaumnya. Akhadza alwaaH (“Lalu diambilnya [kembali] alwah [Taurat] itu.”) Yaitu alwah yang dilemparkannya itu, karena amarahnya yang teramat sangat atas tindakan kaumnya menyembah anak lembu, yaitu marah demi Allah Ta’ala dan kecemburuan karena-Nya.

Wa fii nuskhatiHaa Hudaw wa rahmatul lilladziinaHum li rabbiHim yarHabuun (“Dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Rabbnya.”) Banyak dari ahli tafsir yang mengatakan bahwa setelah dilemparkan, alwah itu pun pecah berserakan, lalu Musa mengumpulkannya.

Oleh karena itu, sebagian ulama salaf mengatakan bahwa Musa as. mendapatkan petunjuk dan rahmat di dalamnya. Adapun rinciannya sudah lenyap. Mereka berpendapat bahwa beberapa pecahan alwah itu masih ada di tempat penyimpanan raja-raja Bani Israil sampai pada masa Daulah Islamiyyah. Dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahui kebenaran hal ini.

Sedangkan dalil nyata yang menunjukkan bahwa alwah, yang berasal dari permata Surga itu pecah setelah dilemparkan, adalah bahwa Allah memberitahukan, setelah Musa mengambil kembali alwah yang telah dilemparnya itu, maka ia mendapatkan di dalamnya: Hudaw wa rahmatul lilladziinaHum li rabbiHim yarHabuun (“Dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Rabbnya.”)

Kata rahbah (takut) itu mencakup juga makna ketundukan. Karena itu, ditambahkan dengan huruf lam.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 152-153

3 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 152-153“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Rabb mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. (QS. 7:152) Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Rabbmu, sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 7:153)” (al-A’raaf: 152-153)

Mengenai kemurkaan yang menimpa Bani Israil akibat penyembahan mereka terhadap anak lembu itu adalah, bahwa Allah Ta’ala tidak menerima taubat mereka sehingga sebagian mereka membunuh sebagian yang lain, sebagaimana telah diuraikan sebelurnnya dalam surat al-Baqarah ayat 54. Sedangkan kehinaan menimpa mereka setelah itu, yaitu kehinaan dan kerendahan dalam kehidupan dunia.

Dan firman-Nya: wa kadzaalika najzil muftariin (“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.”) diriwayatkan oleh Ayyub as-Sakhtayani dari Abu Qilabah al-Jarmi, bahwasanya ia membaca ayat ini: wa kadzaalika najzil muftariin (“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.”) lalu ia mengatakan: “Demi Allah, yang demikian itu berlaku bagi semua orang yang membuat-buat kebohongan sampai hari Kiamat.”

Sedangkan Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Setiap pelaku bid’ah itu hina.”

Selanjutnya Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya dan menunjukkan mereka bahwa Dia akan menerima taubat mereka dari segala macam dosa, meskipun dosa akibat kekafiran atau kemusyrikan, kemunafikan atau kedurhakaan. Oleh karena itu, setelah kisah itu, Dia mengikutinya dengan firman-Nya: walladziin ‘aamilus sayyi-aati tsumma taabuu mim ba’diHaa wa aamaanuu inna rabbaka (“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Rabbmu,”) wahai Muhammad, Rasul pembawa taubat, Nabi pembawa rahmat; mim ba’diHaa (“Sesudah itu,”) yaitu sesudah perbuatan itu (taubat yang disertai dengan iman) laghafuurur rahiim (“Adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari `Abdullah bin Masud, bahwa ia pernah ditanya tentang seseorang yang berbuat zina dengan seorang wanita lalu menikahinya. Maka ia pun membacakan ayat ini:
walladziin ‘aamilus sayyi-aati tsumma taabuu mim ba’diHaa wa aamaanuu inna rabbaka laghafuurur rahiim (“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Rabbmu, sesudah itu taubat yang disertai dengan iman itu, adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) ‘Abdullah bin Masud membacanya sepuluh kali dan ia tidak memerintahkannya kepada mereka dan tidak melarangnya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 150-151

3 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 150-151“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati, berkatalah dia: ‘Alangkah buruknya perbuatan yang engkau kerjakan sesudah kepergianku! Apakah engkau hendak mendahului janji Rabb-mu?’ Dan Musa melemparkan alwah (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: ‘Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka akan membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dhalim.’ (QS. 7:150) Musa berdo’a: ‘Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu, dan Engkau adalah Mahapenyayang di antara para penyayang.’ (QS. 7:151)” (al-A’raaf: 150-151)

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa setelah Musa as. kembali kepada kaumnya dari bermunajat kepada Allah dan bersedih hati. Abu Darda’ mengatakan: Kata “al asifu” berarti marah yang teramat sangat.” Musa berkata: qaala bi’samaa khalaftumuunii mim ba’dii (“Alangkah buruknya perbuatan yang engkau kerjakan sesudah kepergianku.”) maksudnya betapa buruk apa yang telah kalian lakukan dalam penyembahan kalian terhadap anak lembu setelah kepergianku meninggalkan kalian.

Dan firman Allah: a ‘ajiltum amra rabbakum (“Apakah engkau hendak mendahului janji Rabb-mu?”) artinya apakah kalian tidak sabar menungguku di tengah-tengah kalian, padahal yang demikian itu telah ditentukan oleh Allah Ta’ala.

Firman-Nya: wa alqa alwaaha wa akhadza bi ra’si akhiiHi yajurruHuu ilaiHi (“Dan Musa pun melemparkan alwah [Taurat] itu dan memegang [rambut] kepala saudaranya [Harun] sambil menariknya ke arahnya.”) Secara jelas konteks ayat ini menerangkan bahwa Musa melemparkan alwah itu karena marah terhadap kaurnnya. Demikian menurut pendapat jumhurul ulama, baik salaf maupun khalaf.

Firman-Nya: “wa akhadza bi ra’si akhiiHi yajurruHuu ilaiHi (“Dan Musa pun melemparkan alwah [Taurat] itu dan memegang [rambut] kepala saudaranya [Harun] sambil menariknya ke arahnya.”) Karena ia khawatir Harun telah lalai untuk melarang mereka melakukan hal tersebut. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain yang artinya:

“Musa berkata: ‘Hai Harun, apa yang menghalangimu ketika engkau melthat mereka telah sesat, sehingga engkau tidak mengikuti aku? Maka apakah engkau telah sengaja mendurhakai perintahku?’ Harun menjawab: ‘Hai putera ibuku, janganlah engkau pegang janggutku dan jangan pula kepalaku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan berkata kepadaku: ‘Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanahku.’” (QS. Thaahaa: 92-94)

Dan dalam Surat ini dinyatakan:
imnal umma innal qaumas tadl’afuunii wa kaaduu yaqtuluunanii falaa tusymit biyal a’daa-a walaa taj’alnii ma’al qaumidh dhaalimiin (“Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka akan membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dhalim.”)

Maksudnya, janganlah engkau memasukkanku ke dalam kumpulan mereka, dan jangan pula mencampurkan diriku bersama mereka.

Ucapan Harun, “Putera ibuku” itu dimaksudkan supaya lebih lembut dan menyentuh hati Musa, karena mereka berdua adalah saudara kandung dari ayah dan ibu yang lama.

Setelah Musa as. mengetahui benar bahwa Harun bersih dari apa yang dikerjakan kaumnya itu, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: ‘Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Rabbmu adalah (Allah) yang Mahapemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” (QS. Thaahaa 90), pada saat itu, Musa berdo’a:
Rabbighfirlii wa li-akhii wa adkhilnaa fii rahmatika wa anta arhamur raahimiin (“Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu dan Engkau adalah Mahapenyayang di antara para penyayang.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 148-149

3 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 148-149“Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat ber-bicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang dhalim. (QS. 7:148) Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka sesat, mereka pun berkata: ‘Sungguh jika Rabb kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi.’ (QS.7:149)” (al-A’raaf: 148-149)

Allah memberitahukan tentang kesesatan orang-orang yang sesat dari kalangan Bani Israil dalam penyembahan mereka terhadap anak lembu yang telah dibuat untuk mereka oleh Samiri dari perhiasan orang-orang Qibthi yang mereka pinjam. Kemudian Samiri membentuknya menjadi anak lembu. Lalu ia meletakkan padanya segenggam tanah yang ia ambil dari tanah bekas injakan kuda Malaikat Jibril as, sehingga menjadi anak lembu yang bertubuh dan mempunyai suara. Al-Khuwar berarti suara lembu (sapi).

Yang demikian itu mereka lakukan setelah kepergian Musa as. memenuhi waktu yang telah ditentukan Rabbnya, kemudian Allah Ta’ala memberitahukan hal itu kepadanya, ketika Musa sedang berada di bukit, dimana Allah Ta’ala berfirman memberitahukan tentang dirinya yang mulia:
“Allah berfirman: ‘Maka sesungguhnya Kami telah menguji kaummu sesudah engkau tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.” (QS. Thaahaa: 85)

Para ahli tafsir telah berbeda pendapat mengenai anak lembu itu, apakah benar-benar berubah menjadi berdaging dan berdarah yang juga dapat bersuara atau tetap menjadi anak lembu yang terbuat dari emas. Tetapi yang jelas Samiri memasukkan ke dalam patung anak lembu itu udara sehingga dapat bersuara seperti sapi.

Mengenai hal itu terdapat dua pendapat. Disebutkan, ketika anak lembu itu bersuara, mereka pun menari-nari di sekelilingnya dan tertipu olehnya seraya mengatakan: “Inilah ilahmu dan ilah Musa, tetapi Musa telah lupa.” (QS. ThaaHaa: 88) Karena itu Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka dan tidak dapat memberi kemudlaratan dan manfaat kepada mereka?”(QS. Thaahaa: 89)

Dan mengenai ayat tersebut di atas, Allah berfirman: alam yarau annaHuu laa yukallamuHum wa laa yaHdiiHim sabiilan (“Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat menunjukan jalan kepada mereka?”) Allah Ta’ala mengingkari kesesatan mereka berupa penyembahan terhadap anak lembu dan kelengahan mereka terhadap Pencipta langit dan bumi, Rabb dan Penguasa segala sesuatu, karena mereka mempersekutukan-Nya dengan anak lembu yang bertubuh dan mempunyai suara, padahal anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak juga dapat menunjukkan jalan kepada kebaikan.

Tetapi pandangan kearifan mereka telah tertutup oleh kebodohan dan kesesatan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud, dari Abu Darda’, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
“Kecintaanmu kepada sesuatu menyebabkanmu buta dan tuli.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Firman Allah selanjutnya: wa lammaa suqitha fii aidiiHim (“Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya”) maksudnya, setelah mereka benar-benar menyesali atas apa yang telah mereka kerjakan.
Wa ra-au annaHum qad dlalluu qaaluu la illam yarhamnaa rabbunaa wa yaghfirlanaa (“Dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata: ‘Sungguh jika Rabb kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami.”) Sebagian ahli tafsir ada yang membaca: la illam tarhamnaa (“Seandainya Engkau tidak merahmati kami”) ta’ dengan dua titik di atasnya; rabbanaa (“Ya Rabb kami”) adalah sebagai yang diseru; wa taghfirlanaa (“Dan [tidak] mengampuni kami”) la nakuunanna minal khaasiriin (“Pastilah Kami menjadi orang-orang yang merugi.”) Yakni, termasuk orang-orang yang binasa. Hal itu merupakan pengakuan dari mereka terhadap dosa-dosa yang telah mereka lakukan, sekaligus sebagai upaya kembali kepada Allah.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 146-147

3 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 146-147“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melibat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. (QS. 7:146) Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. 7:147)” (al-A’raaf: 146-147)

Allah berfirman: sa-ashrifu ‘an aayaatil ladziina yatakabbaruuna fil ardli bighairil haqqi (“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.”) Maksudnya, Aku akan menghalangi hati orang-orang yang menyombangkan diri; tidak mau taat kepada-Ku dan menyombongkan diri atas manusia tanpa alasan yang dibenarkan, dari pemahaman terhadap hujjah-hujjah dan dalil-dalil yang menunjukkan keagungan diri-Ku, syari’at-Ku dan hukum-hukum-Ku. Sebagaimana mereka telah menyombongkan diri tanpa alasan yang dibenarkan.

Allah pun menghinakan mereka dengan kebodohan, seperti firman-Nya yang artinya: “Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati mereka.” (QS. Ash-Shaff: 5)

Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidak akan memperoleh ilmu seorang pemalu dan seorang yang sombong.” Ulama lainnya mengatakan: “Barangsiapa yang tidak dapat bersabar sesaat atas penderitaan menuntut maka ia akan merasakan penderitaan akibat kebodohan untuk selamanya.”

Mengenai firman Allah: sa-ashrifu ‘an aayaatil ladziina yatakabbaruuna fil ardli bighairil haqqi (“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.”) Sufyan bin Uyainah mengatakan: “Maksudnya, Allah akan melepaskan dari diri mereka pemahaman terhadap al-Qur’an dan memalingkan mereka dari tanda-tanda kekuasaan-Nya.”

Ibnu Jarir mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa firman Allah ditujukan kepada umat ini.”
Menurutku (Ibnu Katsir), “Tidak harus demikian, karena Ibnu ‘Uyainah hanya bermaksud bahwa hal ini berlaku pada setiap umat, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain dalam hal ini. Wallahu a’lam.”

Firman Allah: wa iy yarau kulla aayatil laa yu’minuuna biHaa (“Jika mereka melihat ayat-ayat-[Ku, mereka tidak beriman kepadanya.” Yang demikian itu adalah seperti firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.” (QS. Yunus: 96-97)

Juga firman Allah: wa iy yarau sabiilar rusydi laa yattakhidzuuHu sabiilan (“Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya.”) Maksudnya, meskipun tampak oleh mereka jalan menuju petunjuk, yaitu jalan keselamatan, mereka tidak mau melewatinya. Dan jika tampak oleh mereka jalan kehancuran dan kesesatan, maka mereka mau menempuhnya.

Kemudian Allah menjelaskan sebab perjalanan mereka menuju keadaan seperti itu, dengan firman-Nya: dzaalika bi-annaHum kadzdzabuu bi aayaatinaa (“Yang demikian itu adalah karena mereka medustakan ayat-ayat Kami.”) Maksudnya, hati-hati mereka mendustakannya: wa kaanuu ‘anHaa ghaafiliin (“Dan mereka selalu lalai terhadapnya.”) Artinya, mereka tidak mau mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya.

Kemudian firman-Nya: wal ladziina kadzdzabuu bi aayaatinaa wa liqaa-il aakhirati habithat a’maaluHum (“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka.”) Yaitu barangsiapa dari mereka melakukan hal itu dan terus-menerus melakukannya sampai mati, maka semua amalnya akan sia-sia belaka.

Sedangkan firman-Nya: Hal yujzauna illaa maa kaanuu ya’maluun (“Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan.”) Artinya, mereka hanya akan diberi balasan sesuai dengan perbuatan yang pernah mereka kerjakan, jika baik maka akan dibalas dengan kebaikan, dan jika buruk maka akan dibalas dengan keburukan pula.

&