Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati, berkatalah dia: ‘Alangkah buruknya perbuatan yang engkau kerjakan sesudah kepergianku! Apakah engkau hendak mendahului janji Rabb-mu?’ Dan Musa melemparkan alwah (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: ‘Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka akan membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dhalim.’ (QS. 7:150) Musa berdo’a: ‘Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu, dan Engkau adalah Mahapenyayang di antara para penyayang.’ (QS. 7:151)” (al-A’raaf: 150-151)
Allah Ta’ala mengabarkan bahwa setelah Musa as. kembali kepada kaumnya dari bermunajat kepada Allah dan bersedih hati. Abu Darda’ mengatakan: Kata “al asifu” berarti marah yang teramat sangat.” Musa berkata: qaala bi’samaa khalaftumuunii mim ba’dii (“Alangkah buruknya perbuatan yang engkau kerjakan sesudah kepergianku.”) maksudnya betapa buruk apa yang telah kalian lakukan dalam penyembahan kalian terhadap anak lembu setelah kepergianku meninggalkan kalian.
Dan firman Allah: a ‘ajiltum amra rabbakum (“Apakah engkau hendak mendahului janji Rabb-mu?”) artinya apakah kalian tidak sabar menungguku di tengah-tengah kalian, padahal yang demikian itu telah ditentukan oleh Allah Ta’ala.
Firman-Nya: wa alqa alwaaha wa akhadza bi ra’si akhiiHi yajurruHuu ilaiHi (“Dan Musa pun melemparkan alwah [Taurat] itu dan memegang [rambut] kepala saudaranya [Harun] sambil menariknya ke arahnya.”) Secara jelas konteks ayat ini menerangkan bahwa Musa melemparkan alwah itu karena marah terhadap kaurnnya. Demikian menurut pendapat jumhurul ulama, baik salaf maupun khalaf.
Firman-Nya: “wa akhadza bi ra’si akhiiHi yajurruHuu ilaiHi (“Dan Musa pun melemparkan alwah [Taurat] itu dan memegang [rambut] kepala saudaranya [Harun] sambil menariknya ke arahnya.”) Karena ia khawatir Harun telah lalai untuk melarang mereka melakukan hal tersebut. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain yang artinya:
“Musa berkata: ‘Hai Harun, apa yang menghalangimu ketika engkau melthat mereka telah sesat, sehingga engkau tidak mengikuti aku? Maka apakah engkau telah sengaja mendurhakai perintahku?’ Harun menjawab: ‘Hai putera ibuku, janganlah engkau pegang janggutku dan jangan pula kepalaku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan berkata kepadaku: ‘Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanahku.’” (QS. Thaahaa: 92-94)
Dan dalam Surat ini dinyatakan:
imnal umma innal qaumas tadl’afuunii wa kaaduu yaqtuluunanii falaa tusymit biyal a’daa-a walaa taj’alnii ma’al qaumidh dhaalimiin (“Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka akan membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dhalim.”)
Maksudnya, janganlah engkau memasukkanku ke dalam kumpulan mereka, dan jangan pula mencampurkan diriku bersama mereka.
Ucapan Harun, “Putera ibuku” itu dimaksudkan supaya lebih lembut dan menyentuh hati Musa, karena mereka berdua adalah saudara kandung dari ayah dan ibu yang lama.
Setelah Musa as. mengetahui benar bahwa Harun bersih dari apa yang dikerjakan kaumnya itu, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: ‘Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Rabbmu adalah (Allah) yang Mahapemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” (QS. Thaahaa 90), pada saat itu, Musa berdo’a:
Rabbighfirlii wa li-akhii wa adkhilnaa fii rahmatika wa anta arhamur raahimiin (“Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu dan Engkau adalah Mahapenyayang di antara para penyayang.”)
&
Tinggalkan Balasan