Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Rabb mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. (QS. 7:152) Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Rabbmu, sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 7:153)” (al-A’raaf: 152-153)
Mengenai kemurkaan yang menimpa Bani Israil akibat penyembahan mereka terhadap anak lembu itu adalah, bahwa Allah Ta’ala tidak menerima taubat mereka sehingga sebagian mereka membunuh sebagian yang lain, sebagaimana telah diuraikan sebelurnnya dalam surat al-Baqarah ayat 54. Sedangkan kehinaan menimpa mereka setelah itu, yaitu kehinaan dan kerendahan dalam kehidupan dunia.
Dan firman-Nya: wa kadzaalika najzil muftariin (“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.”) diriwayatkan oleh Ayyub as-Sakhtayani dari Abu Qilabah al-Jarmi, bahwasanya ia membaca ayat ini: wa kadzaalika najzil muftariin (“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.”) lalu ia mengatakan: “Demi Allah, yang demikian itu berlaku bagi semua orang yang membuat-buat kebohongan sampai hari Kiamat.”
Sedangkan Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Setiap pelaku bid’ah itu hina.”
Selanjutnya Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya dan menunjukkan mereka bahwa Dia akan menerima taubat mereka dari segala macam dosa, meskipun dosa akibat kekafiran atau kemusyrikan, kemunafikan atau kedurhakaan. Oleh karena itu, setelah kisah itu, Dia mengikutinya dengan firman-Nya: walladziin ‘aamilus sayyi-aati tsumma taabuu mim ba’diHaa wa aamaanuu inna rabbaka (“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Rabbmu,”) wahai Muhammad, Rasul pembawa taubat, Nabi pembawa rahmat; mim ba’diHaa (“Sesudah itu,”) yaitu sesudah perbuatan itu (taubat yang disertai dengan iman) laghafuurur rahiim (“Adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari `Abdullah bin Masud, bahwa ia pernah ditanya tentang seseorang yang berbuat zina dengan seorang wanita lalu menikahinya. Maka ia pun membacakan ayat ini:
walladziin ‘aamilus sayyi-aati tsumma taabuu mim ba’diHaa wa aamaanuu inna rabbaka laghafuurur rahiim (“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Rabbmu, sesudah itu taubat yang disertai dengan iman itu, adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) ‘Abdullah bin Masud membacanya sepuluh kali dan ia tidak memerintahkannya kepada mereka dan tidak melarangnya.
&
Tinggalkan Balasan