Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 189-190
6 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya mengandung kandungan yang ringan dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Rabb keduanya seraya berkata: ‘Sesungguhnya jika Engkau memberi anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.’ (QS. 7:189) Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. 7:190).” (al-A’raaf: 189-190)
Allah mengingatkan bahwa Dia telah menciptakan umat manusia ini secara keseluruhan dari diri Adam as. Dan darinya pula Allah menciptakan isterinya, Hawa. Kemudian dari keduanya, bermunculanlah umat manusia, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (al-Hujuraat: 13)
Dan firman-Nya yang artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan isterinya.” (QS. An-Nisaa’: 1)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah berfirman: wa ja’ala minHaa zaujaHaa liyaskuna ilaiHaa (“Dan darinya Allah menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.”) Maksudnya, agar ia merasa senang dan tenang dengannya. Yang demikian itu seperti firman-Nya yang artinya:
“Dan antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Allah menciptakan untukmu dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Ruum: 21)
Dengan demikian, tidak ada ikatan antara dua ruh yang lebih agung daripada ikatan antara suami isteri. Oleh karena itu, Allah menyebutkan, mungkin saja seorang penyihir melalui sihirnya dapat memisahkan antara seorang suami dengan isterinya.
Fa lammaa taghasy-syaaHaa (“Maka setelah dicampuri.”) Artinya, setelah digaulinya; hamalat hamlan khafiifan (“Isterinya itu mengandung kandungan yang ringan.”) Yaitu awal kehamilan, pada saat itu seorang wanita tidak merasakan sakit, karena kehamilan itu baru berupa nuthfah lalu menjadi segumpal darah dan kemudian berubah menjadi segumpal daging.
Dan firman-Nya: fa marrat biHii (“Dan teruslah dia merasa ringan [beberapa waktu]”) Mujahid mengatakan: “la melanjutkan kehamilannya itu.” Dari Ibnu Abbas, “Lalu ia meneruskan masa kehamilannya itu, sehingga ia ragu, apakah ia hamil atau tidak.”
Fa lammaa atsqalat (“Kemudian tatkala dia merasa berat,”) maksudnya, ia merasa berat dengan kehamilannya itu. As-Suddi mengatakan: “Maksudnya, anak itu semakin membesar dalam perutnya.”
Da’awallaaHa rabba Humaa la-in aataitanaa shaalihan (“Keduanya [suami isteri] bermohon kepada Allah, Rabb keduanya seraya berkata: ‘Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna.’”) yaitu seorang anak yang normal, sebagaimana dikatakan adh-Dhahhak. Dari Ibnu ‘Abbas, “Keduanya merasa takut jika kandungannya itu berupa binatang.” Demikian juga yang dikatakan oleh Abu Bukhturi dan Abu Malik, “Kedua orang tuanya itu khawatir kandungannya itu tidak berupa manusia.”
Al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Jikalau Engkau mengaruniakan kami seorang anak:
Lanakuunanna minasy syaakiriin. Falammaa aataa Humaa shaalihan ja’alaa laHuu syurakaa-a fiimaa aataa Humaa fa ta’aalallaaHu ‘ammaa yusyrikuun (“Tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur. Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya mejadikan sekutu bagi Allah terhadap anak-anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
la (al-Has an al-Bashri) mengatakan, yang dimaksudkan dengan hal itu adalah anak keturunan Adam dan siapa di antara mereka yang menyekutukan-Nya setelah itu, yaitu: “Keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak-anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu.”
Basyar telah menceritakan kepada kami, Yazid telah menceritakan kepada kami, Said telah menceritakan kepada kami, dari Qatadah, ia berkata bahwa al-Hasan al-Bashari berkata: “Mereka itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka dikaruniai anak oleh Allah, lalu mereka menjadikannya Yahudi dan Nasrani.”
Semua sanad di atas shahih dari al-Hasan al-Bashri, bahwa ia telah menafsirkan ayat tersebut demikian, dan ini merupakan penafsiran terbaik dan pengertian yang lebih tepat mengenai maksud ayat tadi. Oleh karena itu Allah berfirman: fa ta’aalallaaHu ‘ammaa yusyrikuun (“Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.”)
&
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 188
6 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan, kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kernudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raaf: 188)
Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah agar menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Selain itu, beliau juga diperintahkan agar mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui hal ghaib yang akan datang dan tidak juga pengetahuan tentang hal itu sedikit pun, kecuali apa yang diperlihatkan oleh Allah kepadanya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
“(Dialah) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.” (QS. Al Jinn: 26)
Dan firman-Nya: wa lau kuntu a’lamul ghaiba lastaktsartu minal khairi (“Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya,”) yakni harta benda. Dalam sebuah riwayat disebutkan, niscaya aku akan mengetahui jika aku membeli sesuatu yang tidak menguntungkan, maka aku tidak akan menjual sesuatu melainkan menguntungkanku, sehingga aku tidak tertimpa kemiskinan.
Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata: “Hal itu berarti, jika aku mengetahui alam ghaib, niscaya aku akan mempersiapkan diri satu tahun musim paceklik dengan menyimpan hasil dari masa subur dan untuk masa mahal dengan membeli barang-barang pada masa murah.”
Dan mengenai firman-Nya: wamaa massani-as suu-i (“Dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan,”) ‘Abdurrahman bin Zaidbin Aslam mengatakan: “Niscaya aku (Rasulullah saw) akan menjauhi dan menghindarkan diri dari keburukan sebelum terjerumus ke dalamnya.”
Selanjutnya, Nabi saw memberitahukan bahwa beliau adalah seorang pemberi peringatan dan juga berita gembira. Yaitu peringatan terhadap adzab dan pemberi berita gembira bagi orang-orang yang beriman berupa Surga. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Maka sesungguhnya, Kami telah mudahkan al-Qur an itu dengan bahasamu, agar engkau dapat memberi kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa dan agar engkau memberi peringatan dengannya kepada kaum. yang membangkang.” (QS. Maryam: 97)
&
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 187
6 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabbku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” (QS. al-A’raaf: 187)
Firman Allah: yas-aluunaka ‘anis saa’ati (“Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’”) Ayat ini sama seperti firman-Nya yang artinya: “Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit.”) (Al-Ahzaab: 63)
Ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang Quraisy. Mereka bertanya tentang waktu hari kebangkitan, dengan maksud untuk menafikan terjadinya peristiwa tersebut dan untuk mendustakan kejadiannya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Orang-orang yang tidak beriman kepada hari Kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-benar dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Asy-Syuura: 18)
Dan firman-Nya: ayyaana mursaaHaa (“Bilakah terjadinya?”) ‘Ali bin Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Berarti batas waktunya, maksudnya kapan berakhirnya dan kapan batas akhir masa kehidupan dunia yang merupakan awal dari hari kebangkitan itu?”
Qul innamaa ‘ilmuHaa ‘inda rabbii laa yujalliiHaa liwaqtiHaa illaa Huwa (“Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabbku. Tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Allah.’”) Allah memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw, jika ditanya tentang waktu datangnya Kiamat, agar mengembalikan ilmunya kepada Allah Ta’ala, karena hanya Allah yang mampu menjelaskan waktunya, atau mengetahui kejelasan masalah itu. Dan mengenai waktunya secara tepat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah semata.
Oleh karena itu, Allah berfirman: tsaqulat fis samaawaati wal ardli (“Kiamat itu amat berat [huru haranya bagi makhluk] yang di langit dan di bumi.”) Mengenai firman-Nya ini, `Abdur Razzaq mengatakan dari Ma’mar, dari Qatadah, ia berkata: “Ilmu mengenai hari Kiamat itu terasa berat diketahui oleh penghuni langit dan bumi ini.” Sedangkan Ma’mar mengatakan dari al-Hasan, ia berkata: “Jika hari Kiamat itu tiba, maka terasa berat bagi penghuni langit dan bumi.”
Sedangkan Ibnu Jarir memilih bahwa yang dimaksudkan adalah, terlalu berat ilmu tentang waktunya untuk diketahui oleh penduduk langit dan bumi ini, sebagaimana dikatakan oleh Qatadah. Perkataan keduanya sama seperti firman-Nya: laa ta’tiikum illaa baghtatan (“Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.”) Dan hal itu tidak menafikan beratnya waktu kedatangannya bagi penghuni langit dan bumi. Wallahu a’lam.
Dan firman-Nya: laa ta’tiikum illaa baghtatan (“Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.”) Hari Kiamat itu akan datang secara tiba-tiba dan mendatangi manusia ketika mereka dalam keadaan lengah.
Al-Bukhari mengatakan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Hari Kiamat itu tidak datang sehingga matahari terbit dari arah barat, maka apabila matahari itu telah terbit dan manusia melihatnya, mereka akan beriman semuanya. Yang demikian itu tatkala tidak bermanfaat lagi keimanan seseorang yang belum pernah beriman sebelumnya, atau belum berbuat kebaikan dalam keimanannya. Hari Kiamat itu akan datang saat dua orang telah membentangkan pakaian mereka, maka tidak sempat lagi mereka berjual-beli dan tidak juga sempat melipat pakaian itu. Kiamat itu akan datang ketika ada seseorang telah kembali membawa susu perahannya dan ia tidak sempat meminumnya. Kiamat akan datang ketika ada seseorang telah memperbaiki kolam aimya dan ia tidak sempat mengairinya. Dan hari Kiamat akan datang pada saat seseorang telah mengangkat suapan makanan ke mulutnya dan ia tidak sempat memakannya.” (HR. Al-Bukhari)
Dan firman-Nya: yas-aluunaka ka-annaka hafiyyun ‘anHaa (“Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinnya.”) Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, seolah-olah engkau (Muhammad) mengetahuinya, padahal Allah telah menyembunyikan ilmunya atas semua makhluk-Nya. Lalu ia membaca firman-Nya: innallaaHa ‘indaHuu ‘ilmus saa’ati (“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya saja pengetahuan tentang hari Kiamat.”) (QS. Luqman: 34)
Oleh karena itu, Allah berfirman: qul innamaa ilmuHaa ‘indallaaHi wa laakinna aktsaran naasi laa ya’lamuun (“Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”)
Maka tatkala Jibril datang dengan menyerupai seorang Arab untuk mengajarkan kepada mereka tentang agama mereka. la duduk di hadapan Rasulullah seperti duduknya orang yang bertanya sambil memohon bimbingan. Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah mengenai Islam, lalu iman, setelah itu ihsan, kemudian ia bertanya: “Kapankah hari Kiamat tiba?” Lalu Rasulullah saw berkata kepadanya: “Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya.”
Maksudnya, aku tidak lebih tahu darimu dan tidak seorang pun lebih tahu dari yang lainnya. Kemudian Nabi membaca ayat: innallaaHa ‘indaHuu ‘ilmus saa’ati (“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya saja pengetahuan tentang hari Kiamat.”) (QS. Luqman: 34)
Dalam riwayat lain disebutkan, lalu bertanya kepada beliau tentang tanda-tanda hari Kiamat. Maka beliau menjelaskan tanda-tanda hari Kiamat, kemudian berkata: “Ada pada lima hal yang tidak diketahui, kecuali hanya oleh Allah saja.” Selanjutnya beliau membacakan ayat tersebut. Setiap jawaban yang disampaikan oleh Rasulullah saw, orang itu (Jibril) berkata: shadaqta (“Engkau benar”). Oleh karena itu, Para Sahabat merasa heran terhadap orang yang bertanya kepada beliau ini, ia bertanya kepada beliau dan ia pun membenarkannya. Kemudian setelah orang itu pergi, Rasulullah a bersabda: “la itu adalah Jibril, yang datang untuk mengajarkan kepada kalian agama kalian.”
Dan dalam sebuah riwayat disebutkan, beliau bersabda: “la (Jibril) tidak mendatangiku dalam suatu bentuk melainkan aku mengenalinya, kecuali dalam wujudnya yang ini.”
Hadits ini telah aku (Ibnu Katsir) sebutkan melalui beberapa jalan dan berbagai lafazh baik yang shahih, maupun hasan, pada bagian awal Syarh al-Bukhari. Dan segala puji dan kebaikan hanya milik Allah.
Dan tatkala ada seorang Arab Badui menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw. dan memanggil beliau dengan suara lantang: “Hai Muhammad!” Lalu beliau mengatakan kepadanya: “Ya, apa?” Dengan suara selantang suaranya. Kemudian orang itu bertanya: “Kapan hari Kiamat itu tiba?” Maka Rasulullah AW, berkata kepadanya: “Celaka engkau, sesungguhnya hari Kiamat itu pasti datang, lalu apa yang sudah engkau persiapkan untuk menyambutnya?” la menjawab: “Aku tidak mempersiapkan untuknya berupa shalat dan puasa yang banyak, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Setelah itu, Rasulullah berkata kepadanya: “Seseorang itu akan bersama dengan yang dicintai.”
Dan tidaklah kaum muslimin berbahagia dengan sesuatu, sebagaimana bahagianya mereka dengan hadits tersebut. (Hadits ini mempunyai berbagai jalan dalam ash-Shahihain [Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim] dan kitab-kitab lainnya, dari sejumlah Sahabat, dari Rasulullah saw., di mana beliau bersabda: “Seseorang itu akan bersama dengan yang dicintai.” Menurut para huffazh yang teliti, hadits tersebut mutawatir.
Di dalamnya disebutkan, bahwa Rasulullah jika ditanya tentang hal ini (Kiamat), yang mana mereka tidak perlu mengetahui tentang ilmunya, maka beliau akan membimbing mereka kepada suatu yang lebih penting bagi mereka, yaitu mempersiapkan diri untuk menghadapi hart Kiamat itu sebelum tibanya, meskipun mereka tidak mengetahui waktu kedatangannya secara pasti.
Oleh karena itu Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, dari ‘Aisyah, ia berkata: “Ketika orang-orang Arab Badui menghadapRasulullah saw, mereka bertanya kepada beliau mengenai hari Kiamat: ‘Kapankah hari Kiamat itu tiba?’ Lalu beliau melihat ke arah orang yang paling muda di antara mereka, lalu beliau bersabda: ‘Jika orang ini hidup, maka ia belum mencapai masa tua sehingga telah tiba Kiamat kalian kepada kalian.’”
Maksud dari kata “Kiamat kalian” adalah, kematian mereka yang membawa mereka ke alam barzakh, alam akhirat.
Selanjutnya Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw mengenai hari Kiamat, maka Rasulullah menjawab: “Jika anak ini hidup, mudah-mudahan ia belum mencapai usia tua sehingga telah datang Kiamat.” (Hanya Muslim saja yang meriwayatkannya)
Diriwayatkan pula dari Anas bin Malik, ia berkata: Ada seorang budak milik al-Mughirah bin Syu’bah yang sebaya denganku sedang lewat, lalu Nabi saw. bersabda: “Jika dia ini dipanjangkan umurnya, maka dia belum mencapai usia tua sehingga datang Kiamat.” (Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab [bab] al-Adab dalam Shahihnya)
Penyebutan Kiamat secara mutlak dalam riwayat-riwayat tadi, hendaklah dipahami secara muqayyad (terbatas). Yaitu, “Kiamat kalian.” Sebagaimana dalam hadits `Aisyah ra.
Inilah Nabi yang ummi, penghulu dan penutup para Rasul, Muhammad shalawaatullaah alaihi wa Salaamuh. Seorang Nabi pembawa rahmat dan pintu taubat, Nabi yang mengobarkan perjuangan, Nabi terakhir dan yang dimuliakan, dihadapannya dikumpulkan umat manusia. Di mana beliau menyatakan. dalam hadits shahih dari Arias, dan Sahl bin Sa’ad:
“Jarak waktu antara aku diutus dan terjadinya Kiamat, adalah seperti ini.” Seraya beliau mendekatkan kedua jarinya, jari telunjuk dan jari tengah.
Namun demikian, Allah telah memerintahkan beliau agar mengembalikan ilmu tentang waktu hari Kiamat itu kepada-Nya, jika ditanya oleh umatnya. Allah berfirman: qul innamaa ilmuHaa ‘indallaaHi wa laakinna aktsaran naasi laa ya’lamuun (“Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”)
&
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 186
6 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (QS. al-A’raaf: 186)
Maksud firman Allah tersebut, barangsiapa yang telah ditetapkan baginya kesesatan, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya, meskipun ia memperhatikan dirinya dengan seksama, maka ia tidak dapat berbuat apa pun terhadapnya.
Allah berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah.” (QS. Al-Maa-idah: 41)
&
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 185
6 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka. Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada al-Qur’an itu?” (QS. al-A’raaf: 185)
Maksudnya, apakah orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami tidak memperhatikan kerajaan dan kekuasaan Allah Ta’ala di langit dan di bumi, juga tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan di antara keduanya. Sehingga dengan demikian, mereka dapat merenungkannya dan mengambil pelajaran, serta mengetahui bahwa semuanya itu hanya milik (Allah) Yang tidak mempunyai tandingan dan tidak ada pula yang menyerupai-Nya. Dan juga milik (Allah) yang tidak ada ibadah dan agama yang murni yang dilaksanakan seseorang melainkan hanya untuk-Nya. Sehingga dengan itu semua, mereka beriman kepada-Nya, membenarkan Rasul-Nya, kembali kepada ketaatan kepada-Nya, serta menyingkirkan semua sekutu dan berhala, dan benar-benar berhati-hati bahwa ajal mereka telah dekat, sehingga mereka tidak binasa dalam kekufuran dan terhindar dari adzab Allah yang pedih.
Dan firman Allah: fa bi-ayyi hadiitsim ba’daHuu yu’minuun (“Maka pada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada al-Qur’an itu?”) Maksudnya lalu dengan peringatan dan teguran apa lagi, setelah peringatan Muhammad dan teguran Muhammad yang berasal dari Allah ini mereka akan percaya, jika mereka tidak percaya dengan berita yang dibawa oleh Muhammad kepada mereka dari sisi Allah ? S
Selanjutnya Allah berfirman:
&
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 184
6 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwasanya teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.” (QS. al-A’raaf: 184)
Allah berfirman: a walam yatafakkaruu (“Apakah mereka tidak memikirkan.”) Yaitu, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami; maa bishaahibiHim (“Bahwa teman mereka.”) Yakni, Muhammad; min jinnatin (“tidak berpenyakit gila”) Maksudnya, tidak mengidap penyakit gila, justru ia adalah Rasul Allah yang sebenarnya, yang menyeru kepada kebenaran.
In Huwa illaa nadziirum mubiin (“[Muhammad itu] tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi Pemberi penjelasan.”) Maksudnya, hal itu sudah jelas bagi orang-orang yang mempunyai hati dan akal yang berfungsi dengan baik. Dan yang dimaksud dengan itu adalah, sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya: “Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila.” (QS. Takwiir: 22)
Maksud firman Allah tersebut, sesungguhnya yang Aku minta dari kalian adalah, hendaklah kalian melaksanakan (perintah Allah itu) dengan ikhlas, tanpa sikap fanatik dan keras kepala, baik berdua atau sendiri, berkelompok atau masing-masing. Kemudian berpikirlah tentang orang yang datang kepada kalian dengan membawa risalah dari Allah, apakah ada padanya ketidakwarasan atau tidak. Jika kalian telah melakukan hal itu, niscaya akan tampak oleh kalian, bahwa ia adalah Rasul Allah yang sebenar-benarnya.
Qatadah bin Di’amah mengatakan, disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah saw berada di Shafa, lalu beliau memanggil suku Quraisy, beliau memanggilnya satu-satu: “Hai bani fulan, hai bani fulan.” Dan beliau peringatkan mereka dari siksa dan hukuman-hukuman Allah. Kemudian seorang di antara mereka berkata: “Sesungguhnya teman kalian ini adalah gila, ia terus-menerus bicara sampai pagi.” Lalu Allah menurunkan firman: a walam yatafakkaruu In Huwa illaa nadziirum mubiin (“Apakah [mereka lalai], dan tidak memikirkan bahwa teman mereka [Muhammad] tidak berpenyakit gila. [Muhammad itu] tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.”)
&