Arsip | 00.43

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 51-53

8 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 51-53“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim. (QS. 5:51) Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS. 5:52) Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: ‘Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?’ Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS. 5:53)” (al-Maa-idah: 51-53)

Allah Tabaraka wa Ta ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan musuh para pemeluknya, semoga Allah membinasakan mereka. Selanjutnya’Allah Ta’ala memberitahu-kan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian lainnya. Dan setelah itu Allah mengancam, dan menjanjikan siksaan bagi orang yang mengerjakan hal tersebut.

Allah berfirman: wa may yatawallaHum minkum fa innaHuu minHum (“Barang-siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”) Ibnu Abi Hatim mengatakan dari ‘Iyadh, “Bahwa ‘Umar pernah menyuruh Abu Musa al-Asy’ari untuk melaporkan kepadanya pemasukan dan pengeluaran (yang dicatat) pada selembar kulit yang telah disamak.

Pada waktu itu, Abu Musa al-Asy’ari mempunyai seorang sekretaris beragama Nasrani. Kemudian sekretarisnya itu menghadap `Umar untuk memberikan laporan, maka `Umar sangat kagum seraya berujar, `Ia benar-benar orang yang sangat teliti. Apakah engkau bisa membacakan untuk kami di masjid, satu surat yang baru kami terima dari Syam.’ Maka Abu Musaal-Asy’ari mengatakan, bahwa ia tidak bisa. Maka `Umar bertanya: `Apakah ia junub?’ Ia menjawab: `Tidak, tetapi ia seorang Nasrani.’

Maka `Umar pun menghardikku dan memukul pahaku, lalu berkata: `Keluarkanlah orang itu.’ Selanjutnya ‘Umar membaca: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa’ (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin pemimpin[mu]/sahabat karib.”)

Firman Allah: fa taral ladziina fii quluubiHim maradlun (“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya.”) Yaitu berupa keraguan dan kemunafikan. Mereka dengan cepat mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (kerabat), dan mencintai mereka, baik secara lahir maupun batin.

Yaquuluuna nakhsyaa an tushiibanaa daa-iratun (“Seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’”) Mereka melakukan hal itu, yaitu dalam kecintaan dan loyalitas mereka adalah karena mereka takut akan terjadinya kemenangan kaum kafir atas kaum muslimin, jika hal ini terjadi, maka mereka mendapatkan perlindungan dari Yahudi dan Nashrani, maka hal itu bermanfaat bagi mereka. Mengenai hal tersebut Allah berfirman: fa ‘asallaaHu ay ya’tiya bil fat-hi (“Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan [kepada Rasul-Nya].”)

As-Suddi mengatakan: “Yaitu Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah).” Sedangkan ulama lainnya menafsirkan: “Yaitu ketetapan dan keputusan.”

Au amrim min ‘indiHii (“Atau suatu keputusan dari sisi-Nya.”) As-Suddi berkata: “Yaitu berupa pemberlakuan jizyah terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Fa yushbihuu (“Maka karena itu, mereka.”) Yakni orang-orang munafik yang mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. ‘alaa maa asarruu fii anfusiHim (“Terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”) Yaitu atas pengangkatan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Naadimiin (“Menyesal.”) Yaitu atas tindakan mereka, di mana mereka tidak mendapatkan sesuatu pun dari mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani), bahkan mereka pun tidak memperoleh perlindungan, justru mereka malah mendapatkan keburukan dari mereka.

Maka rahasia mereka pun terungkap dan Allah pun memperlihatkan urusan mereka di dunia kepada orang-orang mukminin setelah sebelumnya urusan itu mereka rahasiakan, di mana tidak ada seorang pun yang mengetahui keadaan mereka sebenarnya. Tatkala rahasia mereka terbongkar, orang-orang mukmin pun melihat secara jelas jati diri mereka yang sesungguhnya. Maka mereka pun merasa heran, bagaimana mereka memperlihatkan bahwa mereka orang-orang yang beriman, bahkan bersumpah untuk itu. Maka tampaklah dengan jelas kebohongan dan kemunafikan mereka itu.

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: wa yaquulul ladziina aamanuu a Haa-ulaa-il ladziinaqsamuu billaaHi jaHda aimaaniHim innaHum lama’akum habithat a’maaluHum fa ash-bahuu khaasiriin (“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: `Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?’ Hapuslah semua amal perbuatan mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.”)

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sebab turunnya ketiga ayat tersebut di atas. As-Suddi menyebutkan, “Bahwa ayat-ayat itu turun berkenaan dengan dua orang yang salah satunya berkata kepada yang lainnya, yaitu setelah terjadinya perang Uhud: `Adapun aku, sesungguhnya aku akan pergi kepada orang Yahudi dan berlindung kepadanya, serta memeluk agama Yahudi bersamanya, mudah-mudahan dia akan bermanfaat bagiku jika terjadi sesuatu.’ Sedangkan yang lainnya berkata: `Adapun aku, aku akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di Syam, lalu aku berlindung kepadanya dan memeluk agama Nasrani bersamanya.’ Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa’ (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin[mu]/sahabat karib.”)

Muhammad bin Ishaq mengatakan dari ‘Ubadah bin al-Walid bin Ubadah bin Shamit, ia berkata: “Ketika bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw, ‘Abdullah bin Ubay berpihak pada mereka dan mendukung mereka. Kemudian Ubadah bin Shamit pergi menuju Rasulullah, ‘Ubadah bin Shamit adalah salah seorang dari Bani ‘Auf bin al-Khazraj yang terikat perjanjian dengan orang-orang Yahudi, seperti misalnya Bani Qainuga’ yang menjadi mitra ‘Abdullahbin ‘Ubay. Lalu ‘Ubadah menyuruh Bani ‘Auf supaya menghadap Rasulullah dan melepaskan diri dari sumpah orang-orang Yahudi dan Nasrani, untuk selanjutnya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya. `Ubadah berkata: “Ya Rasulullah, aku melepaskan dini dari sumpah mereka dan bertolak menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan aku hanya menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin sebagai penolong, dan aku melepaskan diri dari sumpah orang-orang kafir dan perwalian kepada mereka.”

Maka berkaitan dengan’Ubadah bin Shamit dan juga Abdullah bin ‘Ubay turunlah ayat-ayat di dalam surat al-Maa-idah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa-a ba’dluHum auliyaa-u ba’dlin…. wa may yatawallallaaHa wa rasuulaHuu wal ladziina aamanuu fa inna hizballaaHi Humul ghaalibuun (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin pemimpin[mu]/sahabat karib. Sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. -sampai dengan firman-Nya- Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 48-50

8 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 48-50“Dan Kami telab turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putus-kanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS. 5:48) dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti bawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telab diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari bukum yang telab diturunkan Allah), maka ketahuilah babwa sesungguhnya Allah mengbendaki akan menimpakan musibab kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesunggubnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5:49) Apakah hukum jabiliyah yang mereka kebendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. 5:50)” (al-Maa-idah: 48-50)

Setelah Allah menceritakan kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa Kalimullah, dan Allah telah memuji dan menyanjung kitab tersebut, serta memerintahkan untuk mengikuti isi kitab Taurat itu, karena ia merupakan kitab yang pantas diikuti, dan juga menceritakan kitab Injil, memuji, dan memerintahkan pemeluknya menegakkan dan mengikuti semua yang di-kandungnya, sebagaimana yang telah dijelaskan, maka Allah mulai menceritakan al-Qur’anul ‘Adhim yang diturunkan kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya.

Allah berfirman: wa anzalnaa ilaikal kitaaba bil haqqi (“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran.”) Yaitu, dengan kebenaran yang tidak diragukan lagi, bahwa ia benar-benar berasal dari sisi Allah.

Mushaddiqal limaa yadaiHi minal kitaab (“Yang membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab.”) Yaitu, kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya yang memuat penyebutan dan pemujian terhadap kitab al-Qur’an, bahwasanya kitab itu akan diturunkan dari sisi Allah kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, Muhammad saw.

Maka turunnya al-Qur’an itu adalah sesuai dengan apa yang diberitakan di dalam kitab-kitab tersebut, yang mana hal itu akan menambah kebenarannya bagi pembacanya, dari kalangan orang-orang yang berpikir, yang tunduk kepada perintah Allah, dan mengikuti syari’at-syari’at-Nya, serta membenarkan para Rasul-Nya.

Firman-Nya: wa muHaiminan ‘alaiHi (“Dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.”) Sufyan ats-Tsauri dan ulama lainnya berkata, dari Ibnu `Abbas: “Yakni yang menjaminnya.” Dan dari al-Walibi, dari Ibnu `Abbas, mengenai firman-Nya, wa muHaiminan ‘alaiHi (“Dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.”) Iamengatakan: “Yakni yang menjadi saksi baginya.” Hal yang sama juga di-kemukakan Mujahid, Qatadah, dan as-Suddi. Al-‘Aufi berkata dari Ibnu `Abbas: wa muHaiminan ‘alaiHi (“Dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.”) “Yaitu, yang menentukan (memutuskan) terhadap kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.”

Semua pendapat di atas mempunyai pengertian yang berdekatan, karena istilah al-muhaimin mencakup semua pengertian di atas. Maka, al-Qur’an itu yang dapat dipercaya, yang menjadi saksi, dan sebagai hakim atas kitab-kitab yang turun sebelumnya. Allah menjadikan al-Qur’an yang agung ini diturunkan paling akhir, dan sebagai penutup kitab-kitab-Nya. Sebagai kitab yang paling lengkap, paling agung, dan paling sempurna dari kitab-kitab se-belumnya, tatkala Allah mengumpulkan di dalamnya berbagai kebaikan yang ada pada kitab-kitab sebelumnya, dan menambahkannya dengan berbagai kesempurnaan yang tidak dijumpai dalam kitab-kitab lainnya. Oleh karena itu, Allah menjadikan al-Qur’an sebagai saksi, penjamin, dan yang menghakimi kitab-kitab sebelumnya secara keseluruhan.

Firman-Nya: fahkum bainakum bimaa anjalallaaH (“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.”) Maksudnya hai Muhammad, berikanlah keputusan di antara umat manusia, baik bangsa Arab maupun non-Arab, yang buta huruf maupun yang pandai membaca, menurut apa yang diturunkan Allah Ta’ala kepadamu di dalam kitab yang agung ini, dan menurut apa yang Allah tetapkan bagimu berupa hukum bagi para Nabi sebelummu, yang belum dinasakh di dalam syari’atmu.

Demikianlah makna yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata, “Nabi mempunyai dua pilihan: Jika beliau berkehendak, beliau akan memberikan keputusan kepada mereka, dan jika beliau tidak berkehendak, maka beliau menolak memberikan putusan kepada mereka, sehingga beliau mengembalikan mereka kepada hukum mereka sendiri, maka turunlah ayat:

Wa anihkum bainakum bimaa anzalallaaHu walaa tattabi’ aHwaa-aHum (“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”) Dengan demikian, Allah memerintahkan Rasulullah untuk memberikan putusan di antara mereka menurut apa yang terdapat di dalam kitab kita (al-Qur’an).”

Firman-Nya: walaa tattabi’ aHwaa-aHum (“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”) Yaitu, pandangan-pandangan mereka yang telah mereka sepakati, dan karenanya mereka meninggalkan apa yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Rasul-rasul-Nya. Oleh karena itu Allah M berfirman: walaa tattabi’ aHwaa-aHum ‘ammaa jaa-akum minal haqqi (“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”) Maksudnya, janganlah engkau berpaling dari kebenaran yang telah diperintahkan Allah kepadamu, menuju kepada hawa nafsu orang-orang bodoh lagi celaka tersebut.

Firman Allah: li kulli ja’alnaa minkum syir’ataw wa minHaajan (“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”) Al-‘Aufi meriwayat-kan dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman-Nya, syir’ataw wa minHaajan (“Syari’at dan manhaj.”) “Yaitu jalan dan sunnah (tuntunan).” Karena syir’ah itu adalah syari’at itu sendiri, yaitu sesuatu yang menjadi permulaan dalam menuju kepada sesuatu. Dan dari kata itu juga muncul kalimat: syara’a fii kadzaa; yang berarti ia memulai dari sana. Sedangkan manhaj berarti jalan yang jelas lagi mudah, dan kata sunan itu juga berarti jalan-jalan (cara-cara).

Yang demikian itu merupakan berita tentang umat-umat yang menganutagama yang berbeda, di mana Allah Ta’ala mengutus beberapa Rasul yang muliadengan syari’at yang berbeda-beda dalam hukum-hukum, dan tetapi sama dalam tauhid. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Kami para Nabi adalah saudara satu bapak berlainan ibu, sedangkan agama kami adalah satu.”

Yang dimaksudkan adalah ajaran tauhid (yang satu) yang dibawa oleh setiap Rasul yang Allah utus, dan yang dikandung oleh setiap kitab yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan yang sebenarnya melainkan Aku, maka sembahlah Aku.’” (QS. Al-Anbiyaa’: 25).

Sedangkan syari’at yang berkaitan dengan perintah dan larangan adalah beraneka-ragam. Bisa jadi sesuatu itu diharamkan menurut syari’at ini, tetapi dihalalkan oleh syari’at yang lain, atau sebaliknya, atau sesuatu itu bersifat ringan menurut syari’at yang satu, tetapi diberatkan bagi syari’at yang lain. Yang demikian itu, karena di dalamnya Allah mempunyai hikmah yang sangat besar, dan hujjah yang tepat.

Sa’id bin Abi ‘Arubah berkata dari Qatadah mengenai firman-Nya: li kulli ja’alnaa minkum syir’ataw wa minHaajan (“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”) la berkata, “Yaitu jalan dan sunnah, dan sunnah itu berbeda-beda, di dalam Taurat terdapat syari’at tertentu, didalam Injil terdapat syari’at tertentu dan di dalam al-Qur’an pun terdapat syari’at tertentu. Di dalamnya Allah menghalalkan apa yang Allah kehendaki, dan mengharamkan apa saja yang Allah kehendaki, guna mengetahui siapa yang menaati-Nya, dan siapa yang mendurhakai-Nya.”

Allah Ta’ala berfirman: walau syaa-allaaHu laja’alakum ummataw waahidataw walaakil liyabluwakum fii maa aataakum (“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat [saja], tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu.”) Maksud-nya, Allah mensyari’atkan berbagai macam syari’at untuk menguji hamba-hamba-Nya, dengan apa yang Allah syari’atkan kepada mereka, guna memberikan pahala atau siksaan kepada mereka, atas ketaatan atau kedurhakaan yang telah mereka lakukan, atau yang telah mereka rencanakan untuk berbuat semua itu.

Mengenai firman-Nya: fii maa aataakum (“Terhadap pemberian Nya kepadamu.”) ‘Abdullah bin Katsir berkata: “Yaitu berupa kitab.”

Selanjutnya Allah menganjurkan mereka untuk cepat dan segera menuju kepada kebaikan, di mana Allah berfinnan: fastabiqul khairaat (“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”) Yaitu taat kepada Allah, dan mengikuti syari’at yang Allah jadikan sebagai penasakh (yang menghapus) bagi syari’at-syari’at sebelumnya, serta membenarkan kitab-Nya, yaitu al-Qur’an, yang merupakan kitab yang terakhir kali diturunkan-Nya.

Kemudian Allah Ta’ala berfirman: ilallaaHi marji’ukum (“Hanya kepada Allahlah kamu semua kembali.”) Maksudnya, tempat kembali kalian pada hari Kiamat kelak kepada Allah, hai sekalian manusia.

Fa yunabbi-ukum bimaa kuntum fiiHi takhtalifuun (“Lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”) Artinya, Allah Ta’ala akan memberitahukan kebenaran yang kalian perselisihkan.
Maka orang-orang yang bersikap benar, akan diberikan pahala atas kejujuran mereka itu, dan menyiksa orang-orang kafir yang sangat ingkar lagi mendustakan kebenaran, serta cenderung kepada kebatilan tanpa dalil dan bukti (petunjuk), bahkan mereka benar-benar menentang bukti yang sudah pasti.

Firman Allah: Wa anihkum bainakum bimaa anzalallaaHu walaa tattabi’ aHwaa-aHum (“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”) Penggalan ayat ini merupakan penekanan bagi perintah melakukannya, yang disampaikan sebelumnya dan larangan menyalahinya.

Setelah itu Allah berfirman: wahdarHum ay yaftinuuka ‘am ba’di maa anzalallaaHu ilaika (“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”) Maksudnya, berhati-hatilah terhadap musuh-musuhmu dari kalangan orang-orang Yahudi, jangan sampai mereka memalsukan kebenaran melalui apa yang mereka larang kepadamu dari berbagai perkara. Maka janganlah engkau tertipu oleh mereka, karena sesungguhnya mereka itu pendusta, kafir, dan pengkhianat.

Wa in tawallau (“Dan jika mereka berpaling.”) Yaitu, dari hukum yang engkau putuskan di kalangan mereka secara hak, dan mereka menentang syari’at Allah Ta’ala.

Fa’lam annamaa yuriidullaaHu ay yushiibaHum biba’dli dzunuubiHim (“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka, disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.”) Ketahuilah, bahwa hal itu terjadi sesuai dengan takdir (ketetapan) Allah Ta’ala dan hikmah-Nya terhadap mereka, di mana Allah memalingkan mereka dari petunjuk disebabkan mereka mempunyai dosa-dosa yang telah berlalu yang menyebabkan mereka disesatkan dan disiksa.

Inna katsiiram minan naasi la faasiquun (“Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”) Maksudnya mayoritas manusia ini keluar dari ketaatan kepada Rabb mereka, menyalahi dan menentang kebenaran. Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya: “Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS.Yusuf: 103).

Muhammad bin Ishaq berkata dari Ibnu `Abbas, ia berkata, “Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, `Abdullah bin Shuriya, dan Syas bin Qais mengatakan, ‘Sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya: Pergilah bersama kami menemui Muhammad, siapa tahu kita dapat memalingkannya dari agamanya.’ Maka mereka pun menemui beliau lalu berkata: ‘Hai Muhammad, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami adalah para pendeta, tokoh dan orang-orang terhormat kaum Yahudi. Sesungguhnya jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi pun akan mengikuti kami, dan mereka tidak akan membantah kami. Antara kami dan kaum kami terdapat perselisihan, maka kami meminta keputusan kepadamu mengenai mereka. Menangkanlah kami atas mereka, maka kami akan beriman dan membenarkanmu.’ Namun Rasulullah menolak tawaran tersebut, lalu Allah berfirman mengenai mereka itu:

Wa anihkum bainakum bimaa anzalallaaHu walaa tattabi’ aHwaa-aHum wahdarHum ay yaftinuuka ‘am ba’di maa anzalallaaHu ilaika …… liqaumiy yuuqinuun (“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. -sampai dengan firman-Nya- bagi orang-orang yang yakin?” (Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarirdan Ibnu Abi Hatim).

Firman Allah: afa hukmal jaaHiliyyati yabghuuna wa man ahsanu minallaaHi hukmal liqaumiy yuuqinuun (“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”) Allah mengingkari orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (yang telah ditetapkan) dan mencakup segala kebaikan, yang mencegah segala bentuk kejahatan, dan berpaling kepada selain hukum Allah dari berbagai pendapat, pemikiran, hawa nafsu, dan berbagai istilah yang dibuat oleh orang-orang dengan tidak didasarkan pada syari’at Allah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum jahiliyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang diletakkan berdasarkan pada pandangan dan hawa nafsu mereka.

Allah berfirman: afa hukmal jaaHiliyyati yabghuuna (“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki.”) Yakni,mereka menghendaki dan menginginkan hukum jahiliyah, serta mengambil selain hukum Allah,
wa man ahsanu minallaaHi hukmal liqaumiy yuuqinuun (“Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”) Maksud-nya, siapakah yang lebih adil dari Allah Ta’ala dalam hukum-Nya bagi orangyang berakal, yang memahami syari’at-Nya, beriman kepada-Nya, dan meyakini bahwa Allah adalah yang paling bijak dari semua yang bijak, yang lebih menyayangi makhluk-Nya daripada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, sesungguhnya Allah adalah Mahatinggi, Mahamengetahui segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, dan Mahaadil dalam segala hal.

Ibnu Abi Hatim mengatakan, “Ayahku menceritakan kepada Hilal bin Fayyadh menceritakan kepada kami, Abu `Ubaidah an-Naji menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Aku pernah mendengar al-Hasan berkata: ‘Barang-siapa yang berhukum selain hukum Allah, maka ia berarti berhukum dengan hukum jahiliyah.’” Al-Hafizh Abul Qasim ath-Thabrani mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda:

“Orang yang paling Allah benci adalah, orang yang menghendaki kebiasaan jahiliyah dalam Islam, dan menuntut darah orang lain tanpa alasan yang hak untuk menumpahkan darahnya.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dari Abul Yaman dengan sanadnya disertai dengan tambahan).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 46-47

8 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 46-47“Dan Kami iringkan jejak mereka (Nabi-nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya (ada) petunjukdan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk, serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. 5:46) Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5:47)” (al-Maa-idah: 46-47)

Allah berfirman: wa qaffainaa (“Dan Kami iringkan jejak mereka.”) Yakni, Kami ikutkan kepada jejak mereka, yaitu Para Nabi Bani Israil.
‘alaa aatsaariHim bi ‘iisabni maryama mushaddiqal limaa baina yadaiHi minat tauraati (“Dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat.”) Yakni, beriman kepada kitab tersebut dan berhukum kepadanya.
Wa aatainaaHul injiila fiiHi dudaw wa nuurun (“Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya [yang menerangi].”) Yaitu petunjuk kepada kebenaran dan cahaya yang menerangi, untuk melenyapkan berbagai macam syubhat (keraguan) dan memecahkan berbagai permasalahan.

Wa mushaddiqal limaa baina yadaiHi minat tauraati (“Dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat.”) Maksudnya, mengikutinya dan tidak menyalahi isi yang dikandung kitab tersebut, kecuali sedikit dari perkara yang telah dijelaskan kepada Bani Israil, yaitu beberapa perkara yang mereka perselisihkan. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam memberitahukan tentang Isa putera Maryam, bahwa ia berkata kepada Bani Israil, yang artinya: “Dan untuk menghalalkanbagimu sebagian hal yang telah diharamkan bagimu. ” (QS. Ali ‘Imraan: 50).

Olehkarena itu, pendapat yang populer di kalangan para ulama adalah, bahwa Injil menasakh (menghapuskan) sebagian hukum Taurat.

Firman Allah Ta’ala: wa Hudaw wa mau’idhatul lil muttaqiin (“Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.”) Maksudnya, dan Kami jadikan Injil sebagai petunjuk yang dapat dijadikan pegangan, sekaligus sebagai pelajaran, yaitu larangan agar tidak melakukan hal-hal yang haram dan juga perbuatan dosa; lil muttaqiin (“Bagi orang-orang yang bertakwa.”) Yaitu orang-orang yang takut kepada Allah serta takut akan ancaman dan hukuman-Nya.

Firman-Nya: wal yahkum aHlul injiili bimaa anzalallaaHu fiiHi (“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.”) Maksudnya, agar mereka beriman kepada semua yang dikandungnya dan menjalankan semua yang Allah perintahkan kepada mereka. Dan di antara yang terdapat dalam Injil adalah berita gembira akan diutusnya Muhammad sebagai Rasul, serta perintah untuk mengikuti dan membenarkannya jika dia telah ada.

wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa-ika Humul faasiquun (“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”) Yaitu, orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Rabb mereka, dan cenderung kepada kebatilan serta meninggalkan kebenaran.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 45

8 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 45“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat), bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada gishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.” (QS. al-Maa-idah: 45)

Ayat ini pun termasuk cercaan dan celaan terhadap orang-orang Yahudi, di mana bagi mereka seperti yang tertera di dalam kitab Taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, sedangkan mereka melanggar ketentuan hukum tersebut secara sengaja dan penuh keingkaran. Mereka menuntut qishash seorang dari Bani Nadhir karena membunuh seorang dari Bani Quraizhah, tetapi mereka tidak mengqishash seseorang dari Bani Quraizhah karena membunuh seorang dari Bani Nadhir, tetapi mereka mengganti hal itu dengan diyat.

Sebagaimana mereka menyalahi hukum Taurat yang telah dinashkan bagi mereka mengenai pemberlakuan hukum rajam terhadap pezina muhshan dan menggantinya dengan apa yang mereka istilahkan dengan cambuk, dan pencorengan muka (dengan arang), serta dipertontonkan kepada khalayak ramai. Oleh karena itu, sebelumnya Allah berfirman:

wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa-ika Humul kaafiruun (“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”) Yang demikian itu karena mereka mengingkari hukum Allah secara sengaja, dan penuh pembangkangan. Sedangkan dalam ayat ini Allah berfirman:

wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa-ika Humudh dhaalimuun (“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.”) Yang demikian itu karena mereka tidak berlaku adil kepada yang didhalimi atas tindakan orang dhalim dalam perkara yang telah diperintahkan Allah untuk ditegakkan keadilan, dan (memberlakukan) secara sama di antara semua umat manusia. Namun mereka menyalahi dan berbuat dhalim.

Banyak dari ulama ahli Ushul (ushul fiqih) dan juga fugaha’ (ahli fiqih) yang menjadikan ayat ini sebagai dalil bagi pendapat mereka yang menyatakan, bahwa syari’at bagi orang-orang sebelum kita adalah syari’at bagi kita juga, jika syari’at itu dikeluarkan melalui ketetapan dan belum dinasakh. Sebagaimana yang terkenal di kalangan jumhur ulama. Dan juga seperti yang diceritakan oleh Syaikh Abu Ishaq al-Isfarayini, mengenai ketetapan asy-Syafi’i dan mayoritas pengikut beliau dengan menggunakan ayat tersebut di atas, di mana ketetapan hukum tentang tindak pidana yang ada pada kami, menurut semua imam adalah sejalan dengan ayat tersebut.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Ketentuan hukum tersebut berlaku bagi mereka dan semua umat manusia secara keseluruhan.” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim.

Dan Syaikh Abu Zakania an-Nawawi telah menceritakan tiga pendapat dari masalah ini, dan yang ketiganya adalah, “Bahwa syari’at Nabi Ibrahim adalah hujjah (bagi umat ini) adapun selain beliau syari’at Nabi mereka bukan merupakan hujjah.” Dan an-Nawawi membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa syari’at Ibrahim bukan hujjah bagi umat ini. Syaikh Abu Ishaq al-Isfarayini juga menukil beberapa pendapat dari Imam asy-Syafi’i dan mayoritas para pengikut beliau, dan ia mentarjih (menguatkan) bahwa hal itu (syari’at Ibrahim) merupakan hujjah menurut mayoritas sahabat kami (pengikut asy-Syafi’i). Wallahu a’lam.

Dalam kitabnya, asy-Syamil, Imam Abu Nashr bin ash-Shabbagh telah menyebutkan ijma’ para ulama mengenai penggunaan ayat ini sebagai hujjah. Para imam secara keseluruhan telah menjadikan keumuman ayat ini sebagai hujjah, bahwa seorang laki-laki harus dihukum mati jika ia mem-bunuh seorang wanita. Apa yang diungkapkan Ibnu Shabbagh mengenai penggunaan ayat ini sebagai hujjah, diperkuat dengan hadits berkaitan dengan masalah itu. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Anas binMalik, bahwa bibinya, Rabi’ pernah mematahkan gigi seri seorang budak wanita. Kemudian keluarganya meminta maaf kepada keluarga pemilik budak itu, namun mereka menolaknya. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah,maka beliau bersabda: “Berlakukan qishash.” Lalu saudara laki-laki Rabi’, Anas bin Nadhr berujar. “Ya Rasulullah, apakah dipatahkan pula gigi si fulanah!” Maka beliau bertutur. “Hai Anas, ketetapan Allah adalah gishash.” Maka Anas bin Nadhir berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, tidak dipatahkan gigi si fulanah.” Selanjutnya orang-orang itu meridhai dan memberikan maaf, sehingga mereka tidak menuntut hukuman qishash.

Maka Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang yang jika ia bersumpah dengan nama Allah, niscaya Allah akan memperkenankannya.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)

Firman-Nya: wal juruuha qishaash (“Dan luka-luka [pun] ada gishasnya.”) `Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Seseorang dihukum mati karena membunuh orang lain, mata seseorang dicukil karena ia mencukil mata orang lain, hidung dipotong karena memotong hidung orang lain, gigi dicabut karena mematahkan gigi orang lain, dan luka-luka pun diqishash dengan luka-luka pula.” Ketentuan tersebut berlaku sama bagi kaum muslimin yang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan di antara mereka, jika perbuatan itu disengaja, baik terhadap nyawa maupun yang lainnya.

Hal yang sama juga berlaku bagi budak, baik bagi budak laki-laki maupun perempuan di antara mereka, jika perbuatan itu dilakukan secara sengaja, baik menyangkut nyawa maupun yang lainnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim.

KAIDAH PENTING

Terkadang luka itu pada persendian, maka menurut kesepakatan ijma, luka yang demikian itu wajib diberlakukan qishash, misalnya; pemotongan tangan, kaki, telapak tangan, dan telapak kaki, dan demikian seterusnya. Danjika luka itu berkaitan dengan tulang, maka Malik berpendapat: “Dalam hal itu berlaku juga hukum qishash kecuali pada paha dan yang semisalnya, karena luka pada bagian tersebut berisiko sangat tinggi.”

Sedangkan Abu Hanifah dan kedua sahabatnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani,-Ed.) berpendapat: “Pada luka yang menyangkut tulang sama sekali tidak diwajibkan qishash kecuali pada gigi.”

Imam asy-Syafi’i berpendapat: “Secara mutlak, tidak ada kewajiban qishash pada luka yang menyangkut tulang.” Yang demikian itu diriwayatkan dari `Umar bin al-Khaththab dan Ibnu `Abbas Hal yang sama juga dikemukakan `Atha’, asy-Sya’bi, al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, Ibrahim an-Nakha’i, `Umar bin `Abdul `Aziz,Sufyan ats-Tsauri, dan al-Laits bin Sa’ad. Pendapat itu pula yang populer dari pendapat Imam Ahmad.

Permasalahan :

Jika orang yang dilukai melaksanakan qishash terhadap orang yang melukai, lalu orang yang digishash mati karena qishash tersebut, maka orang tersebut tidak dibebani sesuatu. Demikian menurut pendapat Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan demikian itu Pula yang menjadi pendapat jumhur ulama, baik dari kalangan Sahabat, Tabi’in, dan yang lainnya. Sedangkan menurut Abu Hanifah: “Si penuntut hukuman qishash tersebut harus membayar diyat dari hartanya sendiri.”

Firman Allah: faman tashaddaqa biHi faHuwa kaffarraatul laHu (“Barangsiapa yang melepaskan [hak gishash]nya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya.”)

`Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu `Abbas, mengenai firman-Nya: faman tashaddaqa biHi (“Barangsiapa yang melepaskan [hak qishash]nya.”) “Yaitu, barang-siapa yang mengampuninya serta membebankan sedekah kepadanya, maka yang demikian itu merupakan kafarat bagi orang yang dituntut, sekaligus merupakan pahala bagi si penuntut.”

Ibnu Mardawaih berkata dari asy-Sya’bi, dari seorang Anshar, dari Nabi saw, mengenai firman-Nya: faman tashaddaqa biHi faHuwa kaffarraatul laHu (“Barangsiapa yang melepaskan [hak gishash]nya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya.”) Beliau bersabda: “Itu adalah mengenai seorang yang giginya pecah, tangannya terpotong atau sebagian anggota tangannya terputus, atau sebagian dari anggota tubuhnya terluka, lalu ia memaafkannya.” Nabimelanjutkan: “Maka diampunilah dosanya menurut kadar pemaafannya. Jika seperempat diat yang dilepaskannya, maka ia diampuni seperempat kesalahannya. Dan jika sepertiga yang dilepasnya, maka diampuni sepertiga kesalahannya. Dan jika seluruh diyat dilepaskannya, maka diampuni seluruh kesalahannya.”

Firman-Nya: wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa-ika Humudh dhaalimuun (“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.”) Dari Thawus dan `Atha’, keduanya mengatakan: “Yaitu kedhaliman yang tidak sampai kepada kekufuran.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 41-44

8 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 41-44“Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: ‘Kami telah beriman,’ padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: ‘Jika diberikan ini (yang sudah dirobah-robah oleh mereka) kepadamu maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah.’ Barangsiapa yang Allah menghendaki ke-sesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. 5:41) Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak me-makan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (QS. 5:42) Dan bagaimana mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu) dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman. (QS. 5:43) Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dancahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka di-perintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(QS. 5:44)” (al-Maa-idah: 41-44)

Ayat-ayat mulia yang di atas diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang segera menuju kepada kekafiran, keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Yaitu orang-orang yang mengutamakan pendapat mereka sendiri, dan hawa nafsu mereka atas syari’at Allah.

Minal ladziina qaaluu aamannaa bi afwaaHiHim wa lam tu’min quluubaHum (“Yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mudut mereka: ‘Kami telah beriman.’ Padalah hati mereka belum beriman.’”) Maksudnya, mereka menampakkan keimanan melalui lisan mereka, padahal hati mereka rusak, lagi hampa dari keimanan, mereka itu adalah orang-orang munafik.

Wa minal ladziina Haaduu (“Dan juga di antara orang orang Yahudi.”) Mereka adalah musuh-musuh Islam dan para pemeluknya. Mereka itu semua adalah orang-orang yang: sammaa’uuna lil kadzibi (“Sangat suka mendengar kebohongan.”) Yaitu, mereka menanggapi kebohongan tersebut dan aktif mendengarkanya.

Sammaa’uuna liqaumin aakhiriina lam ya’tuuka (“Dan sangat suka pula mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu.”) Maksudnya, mereka memenuhi seruan kaum lain dan tidak mendatangi majelismu, hai Muhammad. Ada yang mengatakan, yang dimaksudkan adalah bahwa mereka mendengarkan pembicaraan itu dan menyampaikannya kepada orang-orang yang tidak hadir dalam majelismu dari kalangan musuh-musuhmu.

Yuharrifuunal kalima mim ba’di mawaadli’iHi (“Mereka merubah perkataan-perkataan [Taurat] dari tempat-tempatnya.”) Maksudnya, mereka menafsirkannya dengan penafsiran yang bukan sebenarnya, dan merubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.

Yaquuluuna in uutiitum Haadzaa fakhudzuuHu wa il lam tu’tauHu fahdzaruu (“Mereka mengatakan: ‘Jika diberikan ini [yang sudah dirubah-rubah oleh mereka] kepadamu, maka terimalah dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka berhati-hatilah.’”) Ayat ini diturunkan bekenaan dengan dua orang Yahudi yang berzina. Mereka mengubah kitab Allah yang berada di tangan mereka yang di dalamnya terdapat perintah rajam bagi pezina muhshan. Lalu mereka mengubah perintah tersebut, dan membuat peristilahan sendiri di antara mereka, yaitu menjadi cambuk seratus kali, pencorengan muka (dengan arang), dan menaikkan pelaku di atas keledai dengan menghadap ke belakang.

Maka ketika peristiwa tersebut terjadi, yaitu setelah hijrah, mereka berkata kepada kalangan mereka sendiri: “Marilah kita berhukum kepadanya [Rasulullah], jika ia memutuskan hukuman cambuk dan pencorengan muka, maka terimalah keputusan itu darinya, dan jadikanlah hal itu sebagai hujjah antara kalian dengan Allah, bahwa ada salah seorang Nabi Allah yang telah menetapkan hal itu di antara kalian. Namun jika ia memutuskan hukuman rajam, maka janganlah kalian mengikutinya.”

Telah banyak hadits yang dikemukakan mengenai hal itu. Imam Malik mengatakan dari Nafi’, dari `Abdullah bin `Umar: Bahwasanya ada beberapa orang Yahudi yang datang kepada Rasulullah saw, lalu mereka menceritakan kepada beliau, bahwasanya ada seorang laki-laki dan seorang perempuan dari kalangan mereka yang berbuat zina. Kemudian beliau berkata kepada mereka: ‘Bagaimana dengan hukuman rajam yang kalian dapatkan di dalam kitab Taurat?’ Mereka menjawab: ‘Kami mempermalukan mereka dan mereka pun dipukul cambuk.’ `Abdullah bin Salam berkata: ‘Kalian bohong, sesungguhnya di dalam Taurat itu terdapat hukuman rajam.’ Kemudian mereka membawa kitab Taurat dan membukanya, lalu salah seorang dari mereka meletakkan tangannya (menutupinya) pada ayat rajam. Selanjutnya ia hanya membaca ayat sebelum dan sesudah ayat rajam. Maka ‘Abdullah bin Salam berkata kepadanya: ‘Angkat tanganmu!’ Maka orang itu pun mengangkat tangannya, dan ternyata yang ditutupi itu adalah ayat rajam. Selanjutnya mereka berkata: ‘Hai Muhammad, engkau benar, di dalam Taurat terdapat ayat rajam.’ Kemudian Rasulullah memerintahkan agar keduanya dirajam. Maka keduanya akhirnya dirajam. Lalu aku melihat laki-laki pezina itu membungkuk melindungi wanita itu dari lemparan batu.”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafazh hadits di atas adalah menurut riwayat al-Bukhari.).

Az-Zuhri mengatakan, “Telah sampai kepada kami bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang ini: innaa anzalnat tauraata fiiHaa Hudaw wa nuuruy yahkumu biHan nabiyyuuunal ladiina aslamuu (“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya [ada] petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah.”) Sebab Nabi Muhammad saw. adalah salah seorang dari mereka (Nabi-nabi itu,-Ed-).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, hadits di atas adalah menurut lafazh Abu Dawud, dan Ibnu Jarir)

Wa may yuridillaaHu fitnataHu falan tamlika laHuu minallaaHi syai-an ulaa-ikal ladziina lam yuridillaaHu ay yuthaHHira quluubaHum laHum fid dun-yaa khizyuw wa laHum fil aakhirati ‘adzaabun ‘adhiim. Sammaa’uuna lil kadzibi (“Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamutidak akan mampu menolak sesuatu pun [yang datang] daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka memperoleh kehinaan di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar kebohongan.”) Yaitu, kebathilan.

Akkaaluuna lis suhti (“Banyak memakan yang haram.”) Yaitu suap. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud dan beberapa ulama lainnya. Maksudnya, barangsiapa yang memiliki sifat demikian itu, maka bagaimana Allah akan mensucikan hatinya, dan bagaimana mungkin Allah mengabulkan do’anya.

Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya: fa in jaa-uuka (“Jika mereka [orang-orang Yahudi] datang kepadamu.”) Yaitu, untuk berhukum kepadamu; fahkum bainaHum au a’ridl ‘anHum wa in tu’ridl ‘anHum falay yadlurruuka syai-an (“Maka putuskanlah [perkara itu] di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka. Jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun.”) Maksudnya, engkau tidak bersalah jika tidak memberikan keputusan di antara mereka, karena tujuan mereka berhukum (meminta keputusan) kepadamu itu bukan untuk mengikuti kebenaran, tetapi untuk mencari hal yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Ibnu `Abbas, Mujahid, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, Zaid bin Aslam, `Atha’ al-Khurasani, al-Hasan dan beberapa ulama lainnya mengatakan, “Ayat tersebut dinasakh dengan firman Allah yang artinya: ‘Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.’ (QS. Al-Maa-idah: 49).”

Wa in hakamta fahkum bainaHum bil qisthi (“Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah [perkara itu] di antara mereka dengan adil.”) Yakni dengan hak dan adil, meskipun mereka adalah orang-orang dhalim yang keluar dari jalan keadilan. innallaaHa yuhibbul muqsithiin (“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”)

Kemudian Allah Ta’ala berfirman mengingkari pendapat-pendapat mereka yang rusak dan tujuan-tujuan mereka yang menyimpang dalam meninggalkan isi kitab yang mereka yakini kebenarannya yang berada di tangan mereka, dan mereka mengakui diperintah untuk berpegang teguh padanya untuk selama-lamanya. Lalu mereka menyimpang dari hukum yang terkandung di dalamnya dan beralih pada hukum lainnya, yang di sisi lain mereka yakini kesalahannya dan ketidak layakannya untuk diikuti.

Maka Allah berfirman: wa kaifa yuhakkimuunaka wa ‘aindaHumut tauraatu fiiHaa hukmullaaHi tsumma yatawallauna mim ba’di dzaalika wa maa ulaa-ika bil mu’miniin (“Dan bagaimana mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya [ada] hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu [dari putusanmu, dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.”)

Selanjutnya, Allah memuji Taurat yang diturunkan kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, Musa bin `Imran, di mana Allah berfirman: innaa anzalnat tauraata fiiHaa Hudaw wa nuuruy yahkumu biHan nabiyyuunal ladziina aslamuu lil ladziina Haaduu (“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya [ada] petunjuk dan cahaya [yang menerangi], yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah.”) Maksudnya, mereka tidak menyimpang dari hukum kitab tersebut, tidak mengubah, dan tidak menyelewengkannya.

War rabbaaniyyuuna wal ahbaar (“Oleh orang-orang alim mereka da npendeta-pendeta mereka.”) Artinya, demikian halnya dengan rabbaniyun diantara mereka, yaitu orang-orang alim yang ahli ibadah, sedangkan al-ahbaar adalah orang-orang alim.
Bimastahfidhuu min kitaabillaaH (“Disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah.”) Yakni, disebabkan mereka dipercayakan kitab Allah yang mereka diperintahkan untuk menjelaskan dan mengamalkannya.

Wa kaanuu ‘alaiHis syuHadaa-a falaa takhsyawun naasa wakhsyauni (“Dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku.”) Maksudnya, janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku.
wa laa tasytaruu bi-aayaaati tsamanan qaliilaw wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa-ika Humul kaafiruun (“Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”) Dalam masalah itu terdapat dua pendapat, sebagaimana penjelasannya akan dikemukakan lebih lanjut.

wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa-ika Humul kaafiruun (“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”) Berkata Bara bin `Azib, Hudzaifah Ibnul Yaman, Ibnu `Abbas, Abu Mijliz, Abu Raja’ al-‘Utharidi, `Ikrimah, `Ubaidillah bin`Abdullah, al-Hasan al-Bashri dan selain mereka: “Ayat ini turun berkenaan dengan Ahli Kitab.” Al-Hasan al-Bashri menambahkan keterangan: “Dan Ayat itu suatu kewajiban pula bagi kita.”

Berkata Ibnu Jarir, dari al-Qamah dan Masruq, mereka berdua pernah bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang “risywah” (korupsi dan uang pelicin), beliau menjawab: “Itu termasuk penghasilan haram.” Keduanya bertanya pula: “Bagaimana dalam masalah hukum?” Beliau menjawab: “Tidak menggunakan hukum Allah itu adalah kufur.” Lalu beliau membaca ayat: wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa-ika Humul kaafiruun (“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”)

Berkata as-Suddi mengenai firman-Nya ini: “Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Aku turunkan, dan ia meninggalkan secara sengaja atau secara aniaya, padahal ia mengetahui, maka ia termasuk golongan orang-orang kafir.”

Ali bin Abi Thalhah mengatakan, dari Ibnu `Abbas mengenai firman-Nya ini: “Yaitu, barangsiapa yang mengingkari apa yang telah diturunkan Allah, berarti ia benar-benar kafir, dan barangsiapa mengakuinya, tetapi tidak menjalankannya, maka ia sebagai orang dhalim lagi fasik.” (Di-riwayatkan oleh Ibnu Jarir).

Lebih lanjut Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan, bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah Ahlul Kitab atau orang yang mengingkari hukum Allah yang diturunkan di dalam kitab. `Abdur Razzaq berkata dari ats-Tsauri, dari Zakaria, dari asy-Sya’bi: wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu (“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,”) Ia (asy-Sya’bi) berkata: `Ayat ini diturunkan Allah kepada kaum muslimin.”

Sedangkan Waki’ mengatakan dari Sa’id al-Makki, dari Thawus, mengenai firman-Nya tersebut: wa mal lam yahkum bimaa anzalallaahu fa ulaa-ika Humul kaafiruun (“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”) Ia mengatakan: `Yaitu, kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.’”

&