Arsip | 00.22

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 64-66

9 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 64-66“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Tangan Allah terbelenggu,’ sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu, dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Allah menafkahkan sebagaimana Allah kehendaki. Dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan, dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya, dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. (QS. 5:64) Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertaqwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka, dan tentulah Kami masukan merekake dalam Surga-surga yang penuh kenikmatan. (QS. 5:65) Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (bukum) Taurat, Injil dan (al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yangdikerjakan oleh kebanyakan mereka. (QS. 5:66)” (al-Maa-idah: 64-66)

Allah memberitahukan tentang orang-orang Yahudi, -semoga mereka dikutuk secara terus menerus oleh Allah sampai hari Kiamat- bahwa mereka secara sombong menyifati Allah sebagai Rabb yang bakhil, sebagaimana mereka juga menyifati-Nya sebagai Rabb yang miskin, sedang diri mereka sendiri sebagai orang-orang kaya. Mereka mengungkapkan kebakhilan Allah itu dengan mengatakan: yadullaaHi maghluulatun (“Tangan Allah terbelenggu.”)

Mengenai kata “maghluulatun” Ibnu `Abbas mengatakan: “Berarti bakhil.” Dan Allah Ta’ala telah menungkapkan arti kebakhilan itu dalam firman-Nya: wa laa taj’al yadaka maghluulatan ilaa ‘unuqika (“Dan Janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu [bakhil] ke lehermu.”) Dan pengertian itu pula yang dimaksudkan oleh orang-orang Yahudi, semoga Allah melaknat mereka.

Dan Allah Ta’ala telah membantah tentang apa yang mereka tuduhkan kepada-Nya, dan membantah mereka atas tuduhan yang dibuat-buat oleh mereka, dan atas rekayasa mereka dalam membuat pendustaan terhadap-Nya, Allah berfirman: ghullat aidiiHim wa lu’inuu bimaa qaaluu (“Sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu, dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.”) Dan demikian itulah yang terjadi bagi mereka suatu urusan yang besar, sebab sebenarnya mereka itulah yang diliputi dengan kebakhilan, kedengkian, sikap pengecut, dan kehinaan.

Lebih lanjut Allah berfirman: bal yadaaHu mabsuuthataani yunfiqu kaifa yasyaa-u (“Tetapi kedua tangan Allah terbuka, Allah menafkahkan sebagaimana yang Allah kehendaki.”) Maksudnya, justru Allah itu Mahaluas karunia-Nya, yang sangat banyak pemberian-Nya, tidak ada suatu perkara pun melainkan hanya pada Allah perbendaharaannya, semua kenikmatan yang dianugerahkan kepada semua makhluk ini tidak lain hanyalah dari-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Allah telah menciptakan untuk kita segala sesuatu yang kita butuhkan, pada siang maupun malam hari, di kediaman atau dalam perjalanan kita, dan dalam segala keadaan kita, sebagaimana Allah berfirman yang artinya:

“Allah telah memberikan kepadamu (keperluanmu), dari segala apa yang kamumohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat dhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34). Dan ayat-ayat al-Qur’an yangmembahas tentang hal itu sangat banyak.

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, Allah berfirman: “Berinfaklah, niscaya Aku akan memberikan infak kepadamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih keduanya).

Firman Allah Ta’ala: wa layaziidanna katsiiram minHum maa unzila ilaika mir rabbika tughyaanaw wa kufran (“Dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka.”) Maksudnya, kenikmatan yang diberikan Allah kepadamu, hai Muhammad, hanya akan menjadi kesengsaraan bagi musuh-musuhmu dari kalangan kaum Yahudi dan sebangsanya. Sebagaimana hal itu menambah keyakinan, amal shalih, dan pengetahuan yang bermanfaat bagi orang-orang mukmin, makahal itu bagi orang-orang kafir yang dengki terhadapmu dan umatmu akan menambah: tughyaanan (“Kedurhakaan.”) Yaitu melampaui batas dalam segala sesuatu. Wa kufran (“Dan kekufuran.”) Maksudnya, pendustaan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala yang artinya:

“Katakanlah, ‘Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.’ Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka terdapat sumbatan, sedang al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fushshilat: 44)

Firman-Nya: wa alqainaa baina Humul ‘adaawata wal baghdlaa-a ilaa yaumil qiyaamati (“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebenciaan di antara mereka sampai hari Kiamat.”) Maksudnya, hati mereka tidak akan bersatu, justru permusuhan akan senantiasa terjadi di antara berbagai golongan di antara mereka, dikarenakan mereka tidak bersatu dalam kebenaran, dan bahkan mereka menyelisihi dan mendustakanmu.

Mengenai firman-Nya ini, Ibrahim an-Nakha’imengatakan: “Yaitu, pertengkaran dan jidal (perdebatan) dalam masalah agama.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim)

Firman-Nya: kullamaa auqaduu naaral lilharbi athfa-aHallaaHu (“Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.”) Maksudnya, setiap kali mereka mengadakan berbagai sarana untuk melakukan tipu daya terhadapmu, dan setiap kali mereka melancarkan berbagai muslihat untuk memerangimu, maka Allah menggagalkan, dan membalikkan muslihat dan makar jahat mereka itu menimpa mereka sendiri.

Wa yas’auna fil ardli fasaadaw wallaaHu laa yuhibbul mufsidiin (“Dan mereka berbuat ke-rusakan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”) Maksudnya, merupakan watak mereka bahwa mereka selalu berusaha untuk melakukan kerusakan di muka bumi, dan Allah Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang menghiasi diri dengan sifat ini.

Kemudian Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: walau anna aHlal kitaabi aamanuu wattaqau (“Dan sekiranya Ahlul Kitab beriman dan bertakwa.”) Maksudnya, seandainya mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut terhadap berbagai perbuatan dosa dan larangan yang selalu mereka kerjakan:

Lakafarnaa ‘anHum sayyi-aatiHim wa la-adkhalnaaHum jannaatin na’iim (“Tentulah Kami tutup [hapus] kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam Surga-surga yang penuh kenikmatan.”) Maksudnya, niscaya Kami akan melenyapkan apa yang mereka takutkan dan mengantarkan mereka kepada tujuan.

Walau annaHum aqaamut tauraata wal injiila wa maa unzila ilaiHim mir rabbiHim (“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan [hukum] Taurat, Injil dan apa yang diturunkan kepada mereka dari Rabb mereka.”) Ibnu `Abbas dan ulama lainnya mengatakan: Makna “wa maa unzila ilaiHim mir rabbiHim” (Dan apa yang diturunkan kepada mereka dan Rabb mereka) yaitu ‘al-Qur’an.

Wa la akaluu min fauqiHim wa min tahti arjuliHim (“Niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.”) Maksudnya, seandainya mereka mengerjakan apa yang terdapat di dalam kitab-kitab yang berada di tangan mereka dari para Nabi sebagaimana adanya, tanpa melakukan penyimpangan, pergantian, dan perubahan, maka hal itu akan menuntun mereka untuk mengikuti kebenaran dan berbuat amal shalih sesuai dengan tuntunan al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sebab sesungnya kitab-kitab mereka telah membenarkan beliau (Nabi Muhammad), danmenyuruh untuk mengikutinya sebagai suatu kewajiban yang pasti.

Firman-Nya: Wa la akaluu min fauqiHim wa min tahti arjuliHim (“Niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.”) Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah, melimpahnya rizki yang diturunkan kepada mereka dari langit dan juga yang tumbuh dari bumi.

Mengenai firman-Nya: la akaluu min fauqiHim (“Niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka.”) Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: “Yakni, niscaya Aku akan menurunkan hujan yang sangat deras dari langit kepada mereka; wa min tahti arjuliHim (“Dan dari bawah kaki mereka.”) Yakni mengeluarkan keberkahan-keberkahan dari dalam bumi.” Demikian juga yang dikemukakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Qatadah dan as-Suddi. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raaf: 96)

Dari Ziyad bin Labid, ia berkata: “Nabi saw. menyebutkan sesuatu hal, lalu beliau bersabda: “Hal itu terjadi ketika lenyapnya ilmu.” Lalu kami bertanya: “Ya Rasulallah, bagaimana ilmu itu bisa lenyap, sedang kami senantiasa membaca al-Qur’an dan mengajarkannya kepada anak-anak kami, dan mereka pun mengajarkan kepada anak-anak mereka sampai hari Kiamat.” Maka beliau pun menjawab: “Ibumu kehilangan engkau hai Ibnu Labid, sekalipun aku memandangmu sebagai penduduk Madinah yang paling faqih, tidakkah engkau mengetahui bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani itu pun membaca Taurat dan Injil, tetapi mereka tidak mengambil manfaat sama sekali dari keduanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad dari Ziyad bin Labid, dan isnad hadits ini shahih).

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 59-63

9 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 59-63“Katakanlah: ‘Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang yang fasik?’ (QS. 5:59) Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi (dan orang yang) menyembah Taghut.’ Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. 5:60) Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman,’ padahal mereka datang kepada kamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (daripada kamu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (QS. 5:61) Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. (QS. 5:62) Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (QS. 5:63)” (al-Maa-idah: 59-63)

Allah berfirman: hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang dari kalangan Ahlul Kitab yang menjadikan agamamu sebagai bahan ejekan dan permainan: Hal tanqimuuna minnaa illaa an aamannaa billaaHi wa maa unzila ilainaa wa maa unzila min qablu (“Apakah kamu memandang kami salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya.”) Maksudnya, apakah kalian memang mempunyai hak untuk mencela dan melontarkan aib kepada kami hanya karena ini? Yang demikian itu bukanlah aib dan tidak pula tercela. Dengan demikian, istitsna’ (pengecualian) dalam ayat tersebut merupakan istitsna’ mungathi’ seperti yang terdapat dalam firman Allah yang artinya: “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu, melainkan hanya karena orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.” (QS. Al-Buruuj: 8)

Istitsna’ munqathi’ adalah: Pengecualian yang disusun bukan dari jenis yang dikecualikan. Contoh: (Telah terbakar rumah itu kecuali buku-buku),-Ed.

Dan dalam sebuah hadits muttafaq `alaih (al-Bukhari dan Muslim) disebutkan, Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah Ibnu Jamil disakiti, melainkan karena beliau dalam keadaan miskin, lalu Allah menjadikannya kaya.”

Firman-Nya: wa anna aktsarakum faasiquun (“Sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik.”) (Ayat ini) di’athafkan (dihubungkan) kepada firman-Nya: an aamannaa billaaHi wa maa unzila ilainaa wa maa unzila min qablu (“Karena kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya.”) Maksudnya, kami yakin bahwa mayoritas kalian adalah fasik, yaitu keluar dari jalan yang lurus.

Selanjutnya Allah berfirman: qul Hal unabbi-ukum bisyarrim min dzaalika matsuubatan ‘indallaaHi (“Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari [orang-orang fasik itu di sisi Allah] ?’”) Maksudnya, maukah aku akan beritahukan kepada kalian tentang pembalasan yang lebih buruk di sisi Allah pada hari Kiamat kelak, yang kalian menganggap bahwa pembalasan itu akan ditimpakan kepada kami? Ataukah (siksa itu akan menimpa) kalian, yang mana kalian telah disifati dengan sifat-sifat berikut, yaitu dalam firman-Nya: mal la’anaHullaaHu (“Yaitu orang yang dilaknat Allah.”) Yaitu yang dijauhkan dari rahmat-Nya; wa ghadliba ‘alaiHi (“Dan yang dimurkai-Nya.”) Yakni, dimurkai yang setelah itu tidak akan diridhai untuk selamanya.

Wa ja’ala minHumul qiradata wal khanaaziira (“Di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi.”) Sebagaimana penjelasannya telah dikemukakan sebelumnya dalam surat al-Baqarah, dan sebagaimana keterangan lebih luasnya akan disajikan dalam pembahasan surat al-A’raaf.

Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari Ibnu Masud, ia berkata: “Rasulullah saw pernah ditanya mengenai kera dan babi, `Apakah ia adalah makhluk yang irubah wajahnya oleh Allah?’ Maka beliau menjawab: ‘Tidaklah Allah membinasakan suatu kaum -atau beliau mengatakan: ‘Tidak-lah Allah merubah rupa suatu kaum,’- lalu menjadikan bagi mereka keturunan dan anak-cucu. Dan sesungguhnya kera dan babi itu sudah ada sebelum itu.’” (Muslim meriwayatkan pula hadits ini).

Firman-Nya: wa ‘abadath thaaghuuta (“Dan [orang yang] menyembah thaghut?”) Penggalan ayat ini dibaca “Wa ‘abadat thaghuta, ” dalam kedudukannya sebagai fi’il madhi (kata kerja lampau) dan kata thaghut, manshub (berharakat fathah) karenanya. Maksudnya, dan Allah jadikan di antara mereka itu orang-orang yang menyembah thaghut.

Dan dibaca pula ” Wa ‘abadat thaghuti” dengan idhafah, yang mana hal itu bermakna, bahwa Allah menjadikan dari mereka itu budak-budak thaghut. Namun semua bacaan tersebut bermakna, “Hai Ahlul Kitab yang mencela agama kami, yaitu agama yang mengesakan Allah dan mengkhususkan ibadah kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya, bagaimana mungkin tuduhan ini muncul dari diri kalian, sedang di dalam diri kalian terdapat semua yang disebutkan itu?”

Oleh karena itu Alah Ta’ala berfirman: ulaa-ika syarrum makaanan (“Mereka itu lebih buruk tempatnya.”) Yaitu dari apa yang kalian kira akan ditimpakan kepada kami; wa adlallu ‘an sawaa-as sabiil (“Dan lebih tersesat dart jalan yang lurus.”) Penggalan ayai ini merupakan pemakaian tingkat perbandingan, tanpa menyebutkan perkara yang dibandingkan, seperti yang terdapat pada firman Allah Ta’ala:
Ash-haabul jannati yauma-idzin khairum mustaqarraw wa ahsanu maqiilan (“Penghuni-penghuni Surga pada hari itu paling baik rumah tinggalnya, dan paling indah tempat istirahatnya.”)

Firman Allah Ta’ala: wa idzaa jaa-uukum qaaluu aamannaa wa qaddakhaluu bil kufri wa Hum qad kharajuu biHi (“Dan apabila orang-orang [Yahudi atau Munafik] datang kepadamu, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman, ‘ padahal mereka datang kepadamu dengan kekafirannya dan mereka pergi [darimu] dengan kekafirannya pula.”) Yang demikian itu merupakan sifat orang-orang munafik di antara mereka, di mana mereka berpura-pura beriman secara lahiriyah sedang, hati mereka mengandung kekafiran.

Oleh karena itu, Allah berfirman: wa qaddakhaluu (“Padahal mereka datang.”) Yaitu di hadapanmu, hai Muhammad; bil kufri (“Dengan kekafirannya.”) Yakni, dengan hati yang penuh kekafiran. Lalu mereka pergi sedang kekafiran itu tersembunyi di dalam hati mereka. Dan mereka tidak mengambil manfaat dari ilmu yang telah mereka dengar darimu, dan tidak pula nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan itu berarti bagi mereka. Oleh karena itu Allah ber-firman: wa Hum qad kharajuu biHii (“Dan mereka pergi [darimu] dengan kekafirannya pula.”) Dengan demikian, Allah telah mengkhususkan hal itu hanya pada diri mereka.

Firman-Nya: wallaaHu a’lamu bimaa kaanuu yaktumuun (“Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”) Yakni, mengetahui berbagai rahasia mereka, dan segala yang disembunyikan oleh hati kecil mereka, meskipun mereka telah menampakkan kebalikan dari apa yang mereka sembunyikan tersebut, serta memperlihatkan apa yang sebenarnya tidak terdapat pada diri mereka, namun sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala hal yang ghaib dan yang tampak, bahkan Allah lebih mengetahui diri mereka daripada diri mereka sendiri, dan Allah akan memberikan balasan atas semuanya itu dengan balasan yang sempurna.

Firman-Nya: wa taraa katsiiram minHum yusaari’uuna fil itsmi wal ‘udwaani wa akliHimus suhta (“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka [orang-orang Yahudi] bersegera berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram.”) Maksudnya, mereka bersegera mengerjakan berbagai perbuatan dosa, hal-hal yang haram, serta memusuhi umat manusia, dan mereka pun memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

Wa labi’sa maa kaanuu ya’maluun (“Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.”) Maksudnya, seburuk-buruk perbuatan adalah perbuatan mereka, dan seburuk-buruk pelanggaran adalah pelanggaran mereka.

Firman Allah Ta’ala lebih lanjut: lau laa yanHaa Humur rabbaaniyyuuna wal ahbaaru ‘an qauliHimul itsma wa akliHimus suhta labi’sa maa kaanuu yashna’uun (“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”) Yakni, mengapa orang-orang alim (rabbaniyyun) dan pendeta (ahbar) mereka itu tidak melarang mereka melakukan hal itu? Rabbaniyyun adalah para ulama yang memiliki posisi ke-kuasaan/mempunyai jabatan, sedangkan al-ahbar adalah ulama saja.

Labi’sa maa kaanuu yashna’uun (“Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”) “Yakni, atas tindakan mereka meninggalkan hal itu.” Demikian yang dikatakan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas. Sedangkan adh-Dhahhak mengatakan: “Di dalam al-Qur’an tidak terdapat ayat yang lebih saya takuti daripada ayat ini, yaitu kita tidak melarang.” (Diriwayatkan olehIbnu Jarir.)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 57-58

9 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 57-58“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (QS. 5:57) Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. 5:58)” (al-Maa-idah: 57-58)

Yang demikian itu merupakan peringatan agar kaum muslimin tidak berlindung kepada musuh-musuh Islam, dan sekutunya dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrikin yang menjadikan syari’at Islam yang suci, muhkam (tegas), dan mencakup segala kebaikan dunia dan akhirat, sebagai bahan ejekan dan permainan menurut keyakinan dan pandangan mereka yang rusak, dan fikiran mereka yang beku. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar.
Sebenarnya hal itu berpangkal dari pemahaman yang salah.

Firman Allah: minal ladziina uutul kitaaba min qablikum wal kuffaara (“[Yaitu] di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, serta orang-orang yang kafir [orang-orang musyrik]”) Kata “min” (dari), dalam penggalan ayat ini dimaksudkan untuk menerangkan jenis, hal itu sama seperti firman-Nya yang artinya:
“Maka jauhilah olehmu yang najis itu dari jenis berhala.” (QS. Al-Hajj: 30). Yang dimaksud “orang-orang kafir” di sini adalah orang-orang musyrik.

Firman-Nya: wattaqullaaHa in kuntum mu’miniin (“Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”) Maksudnya, takutlah kepada Allah dari menjadikan musuh-musuh kalian dan agama kalian sebagai pelindung, jika kalian memang benar-benar orang-orang yang beriman kepada syari’at Allah, yang mereka (musuh-musuh Islam) telah menjadikannya sebagai bahan ejekan dan permainan.

Firman-Nya lebih lanjut: wa idzaa naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban (“Dan apabila kamu menyeru [mereka] untuk [mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan.”) Artinya, demikian pula halnya jika kalian menyeru mereka untuk mengerjakan shalat, yang merupakan amal paling baik menurut orang-orang yang berakal dan berpengetahuan dari mereka yang mempunyai hati nurani,

ittakhadzuuHaa (“Mereka menjadikannya.”) Juga sebagai: Huzuwaw wala’iban dzaalika bi-annaHum qaumul laa ya’qiluun (“Buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.”) Yaitu tidak memahami makna-makna ibadah kepada Allah dan syari’at-syari’at-Nya, dan itulah sifat-sifat para pengikut syaitan.

“Jika syaitan mendengar seruan adzan, maka ia berpaling sambil kentut, sehingga tidak mendengar seruan adzan tersebut. Dan jika adzan itu telah selesai, maka ia datang lalu menggoda seseorang yang sedang shalat. Dan apabila diiqamah-kan untuk shalat, ia pun pergi. Dan bila iqamah telah selesai, syaitan pun datang lagi, lalu membisikkan kepada hati seseorang, ia berkata: “Ingatlah hal ini dan hal itu, ” terhadap sesuatu yang belum diingat, sehingga orang itu tidak mengetahui berapa raka’at yang sudah ia kerjakan. Oleh karena itu, apabila salah seorang di antara kalian mendapatkan hal seperti itu, maka hendaklah ia bersujud (sahwi) dua kali sebelum mengucapkan salam.” (Muttafaqunalaihi).

Az-Zuhri mengatakan, “Allah Ta’ala telah menyebutkan masalah adzan (seruan untuk shalat) ini dalam kitab-Nya: wa idzaa naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban dzaalika bi-annaHum qaumul laa ya’qiluun (“Dan apabila kamu menyeru [mereka] untuk [mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. ” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim).

Mengenai firman Allah: wa idzaa naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban (“Dan apabila kamu menyeru [mereka] untuk [mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan.”) Asbath mengatakan dari as-Suddi, ia berkata: “Ada seorang Nasrani di Madinah. Jika mendengar seseorang menyerukan (adzan), ‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah,’ maka ia berkata: ‘Mudah-mudahan pendusta itu terbakar.’ Pada suatu malam, ada seorang pelayannya yang masuk ke dalam rumah dengan membawa api, ketika ia dan keluarganya sedang tidur. Kemudian ada percikan api yang jatuh, lalu mem-bakar rumah sehingga orang Nasrani dan keluarganya pun terbakar.” (Di-riwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 54-56

9 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 54-56“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Mahamengetahui. (QS. 5:54) Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. 5:55) Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS. 5:56)” (al-Maa-idah: 54-56)

Allah berfirman, mengabarkan kekuaasaan-Nya yang Mahaagung, bahwasanya barangsiapa yang berpaling dari membela agama-Nya dan menegakkan syari’at-Nya, maka Allah akan menggantinya dengan orang yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih lurus jalannya. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Dan jika kamu berpaling, niscaya Allah akan mengganti (mu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (QS. Muhammad: 38)

Sedangkan pada surat ini, Allah Ta’ala berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanuu may yartadda minkum ‘an diiniHii (“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya.”) Yaitu berpaling dari kebenaran menuju kepada kebatilan. Muhammad bin Ka’ab mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan para pemimpin dari kalangan kaum Quraisy.”
Al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Ayat ini berkenaan dengan orang-orang murtad yang ada pada masa Abu Bakar.”

Fa saufa ya’tillaaHu biqaumiy yuhibbuHum wa yuhibbuunaHu (“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”) Al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Demi Allah, mereka adalah Abu Bakar dan para Sahabatnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim).

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: “Ketika turun ayat: Fa saufa ya’tillaaHu biqaumiy yuhibbuHum wa yuhibbuunaHu (“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”) Rasulullah saw. bersabda: ‘Mereka itu adalah kaum ini.’” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.)

Firman-Nya: adzillatin ‘alal mu’miniina a-‘izzatin ‘alal kaafiriin (“Yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.”) Yang demikian itu merupakan sifat-sifat orang-orang mukmin yang sempurna, yaitu bersikap merendahkan diri dan penuh kasih sayang kepada saudara-saudaranya dan para pemimpin mereka, tetapi bersikap tegas dan keras terhadap musuh-musuh mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29).

Firman Allah: yujaaHiduuna fii sabiilillaaHi wa laa yakhaafuuna lau matalaa-im (“Yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”) Maksudnya, mereka tidak pernah mundur dari berbuat taat kepada Allah dan menegakkan hukum-hukum-Nya, juga memerangi musuh-musuh-Nya, serta menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Dan dalam melakukan hal itu tidak ada yang dapat menolak mereka dan menghalangi mereka, dan tidak ada celaan seorang pencela pun yang menggoyahkan pendirian mereka.

Dzaalika fadl-lullaaHi yu’tiiHi may yasyaa-u (“Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.”) Artinya, barangsiapa yang menghiasi diri dengan sifat-sifat tersebut, maka yang demikian itu tidak lain hanyalah karunia dan taufik Allah yang Allah berikan kepadanya.
wallaaHu waasi’un ‘aliim (“Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Mahamengetahui.”) Maksudnya, Mahaluas karunia-Nya lagi Mahamengetahui siapa yang berhak mendapatkannya dan siapa pula yangtidak berhak menerimanya.

Firman-Nya: innamaa waliyyukumullaaHu wa rasuulaHuu wal ladziina aamanuu (“Sesungguhnya penolongkamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.”) Maksudnya, orang-orang Yahudi itu bukanlah penolong dan pelindung kalian, tetapi pertolongan bagi kalian tidak lain adalah dari Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.

Firman-Nya: alladziina yuqiimuunash shalaata wa yu’tuunaz zakaata (“Yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat.”) Yaitu orang-orang mukmin yang menghiasi diri dengan sifat-sifat tersebut, yakni mendirikan shalat yang merupakan rukun Islam yang paling besar, dan shalat itu hanya diperuntukkan bagi Allah Ta’ala semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, serta memberikan zakat, yang merupakan hak makhluk sekaligus sebagai pertolongan bagi orang-orang yang membutuhkan dari kalangan kaum dhu’afa’ (lemah) dan orang-orang miskin.

Adapun firman-Nya: wa Hum raaqi’uun (“Seraya mereka tunduk [kepadaAllah].”) Asbath berkata dari as-Suddi, “Bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan kaum muslimin secara keseluruhan, namun `Ali bin Abi Thalib pernah dilewati seorang pengemis, yang ketika itu ia (‘Ali) sedang dalam ke-adaan ruku’ di masjid, maka `Ali pun memberikan cincinnya.” Sedangkan`Ali bin Abi Thalhah al-Walibi mengatakan dari Ibnu `Abbas: “Barangsiapa yang memeluk Islam berarti ia telah menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin sebagai pelindung.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir).

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada hadits-hadits sebelumnya bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan ‘Ubadah bin Shamit, yaitu ketika ia melepaskan diri dari persekutuan dengan orang-orang Yahudi dan ridha terhadap perlindungan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, Allah berfirman setelah itu semua:

Wa may yatawallaaHu wa rasuulaHuu wal ladziina aamanuu fa inna hizballaaHi Humul ghaalibuun (“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang.”) Dengan demikian, semua orang yang ridha terhadap perlindungan Allah, Rasul-Nya,dan orang-orang yang beriman, berarti ia benar-benar telah beruntung didunia dan akhirat, dan ia pun akan dimenangkan di kedua alam tersebut.

Untuk itu, dalam ayat ini Allah berfirman: Wa may yatawallaaHu wa rasuulaHuu wal ladziina aamanuu fa inna hizballaaHi Humul ghaalibuun (“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang.”)

&