Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. 6:121)
Ayat di atas dijadikan dasar oleh orang-orang yang berpendapat, bahwa binatang sembelihan itu tidak halal jika tidak disebutkan nama Allah pada saat menyembelihnya, meskipun yang menyembelihnya itu seorang muslim. Mengenai masalah ini para imam telah berbeda pendapat menjadi tiga kelompok.
Pertama, mereka yang berpendapat bahwa binatang sembelihan yang bersifat seperti ini (disembelih dengan tidak menyebut nama Allah), maka tidak halal dimakan, baik tidak disebutkannya nama Allah itu karena kesengajaan, maupun karena terlupa. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu `Umar, Nafi’, `Amir asy-Sya’bi, dan Muhammad bin Sirin, juga salah satu riwayat dari Imam Malik, dan riwayat dari Ahmad bin Hanbal, yang didukung oleh sekelompok dari kalangan pengikut beliau yang terdahulu maupun yang datang belakangan.
Pendapat ini merupakan pilihan Abu Tsaur, Dawud azh-Zhahiri, juga pilihan Abul Futuh Muhammad bin Muhammad bin `Ali ath-Tha’i, salah seorang pengikut Imam asy-Syafi’i yang datang belakangan dalam bukunya yang berjudul al-Arba iin. Pendapat mereka ini didasarkan pada ayat di atas, dan pada ayat tentang perburuan binatang yang artinya: “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).” (QS. Al-Maa-idah: 4).
Kemudian ayat tersebut dipertegas dengan firman-Nya: wa innaHuu lafisqun (“Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”) Ada yang mengatakan, bahwa dhamir (kata ganti) pada kata “innaHuu lafisqun” kembali kepada tindakan memakan, ada Pula pendapat yang mengatakan kembali kepada penyembelihan dengan tidak menyebut nama Allah.
Selain itu, pendapat tersebut juga didasarkan pada hadits-hadits tentang perintah menyebut nama Allah pada saat menyembelih binatang, dan pada saat melepas binatang penangkap buruan. Misalnya hadits dari `Adiy bin Hatim dan hadits Abu Tsa’labah, dalam ash-Shahihain, Rasulullah saw. bersabda:
“Jika kamu melepas anjingmu yang sudah terlatih dan kamu telah menyebut nama Allah atasnya, maka makanlah binatang yang berhasil ditangkapnya untukmu.”
Juga hadits dari Rafi’ bin Khadij, Rasulullah saw. bersabda:
“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan telah dibacakan nama Allah atasnya, maka makanlah binatang itu.” (Hadits ini pun terdapat di dalam ash-Shahihain).
Juga (berdasarkan) hadits Ibnu Masud, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada para jin: “Untuk kalian semua tulang binatang yang disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.” (HR. Muslim).
Juga (berdasarkan) hadits dari Jundab bin Sufyan al-Bajali, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menyembelih kurban sebelum mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menyembelih lagi sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih sampai kita selesai mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menyembelih dengan menyebut nama Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa penyebutan nama Allah itu bukan suatu yang disyaratkan melainkan hanya disunnahkan saja, sehingga jika ditinggalkan baik secara sengaja maupun karena lalai tidak apa-apa. Pendapat ini adalah madzhab Imam asy-Syafi’i dan seluruh pengikutnya, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad seperti dinukil oleh Hanbal. Juga merupakan salah satu riwayat dari pendapat Imam Malik, seperti dinyatakan oleh Asyhab bin `Abdul `Aziz salah seorang pengikutnya. Pendapat ini disebutkan dari Ibnu `Abbas, Abu Hurairah, dan `Atha’ bin Abi Rabah, wallahu a’lam.
Imam asy-Syafi’i memahami ayat ini: wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullaaHi ‘alaiHi wa innaHuu lafisqun (“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”) Adalah mengenai binatang yang disembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Atau suatu kefasikan, (yaitu binatang) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’aam: 145).
Mengenai ayat: wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullaaHi ‘alaiHi wa innaHuu lafisqun (“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”) Ibnu Juraij mengatakan dari `Atha’, ia berkata: “Allah melarang memakan binatang yang disembelih orang-orang Quraisy untuk berhala-berhala. Serta melarang memakan binatang yang disembelih orang-orang Majusi. Dan jalan yang ditempuh oleh Imam asy-Syafi’i ini cukup kuat.” Wallahu a’lam.
(Masih) mengenai ayat: wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullaaHi ‘alaiHi wa innaHuu lafisqun (“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”) Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu `Abbas berkata: “Yaitu bangkai.” Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Zur’ah, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Ibnu Lahi’ah, dari `Atha’ bin as-Saib.
Madzhab ini menggunakan dalil hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab al-Maraasil (hadits-hadits mursal), dari hadits Tsaur bin Yazid, dari ash-Shalt as-Sadusi, maula Suwaid bin Maimun, salah seorang tabi’in yang disebutkan Abu Hatim bin Hibban dalam kitab ats-Tsiqaat, dia berkata:
“Rasulullah bersabda: ‘Sembelihan orang muslim itu halal, baik disebutkan nama Allah maupun tidak disebutkan. Karena sesungguhnya jika is menyebut, maka dia tidak menyebut melainkan nama Allah.’”
(Hadits ini mursal, diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Ibnu `Abbas, bahwa ia berkata: “Jika seorang muslim menyembelih binatang sedang dia tidak menyebut nama Allah, maka hendaklah dia memakannya, karena sesungguhnya di dalam dirinya terdapat sesuatu nama dari nama-nama Allah.”)
Al-Baihaqi juga menggunakan argumentasi dengan hadits dari `Aisyah bahwasanya ada beberapa Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, ada suatu kaum yang dekat dengan masa jahiliyah mendatangi kami dengan membawa daging, yang kami tidak mengetahui apakah penyembelihannya disertai dengan menyebut nama Allah atau tidak?” Beliau bersabda: “Bacalah oleh kalian bismillah dan makanlah.” (HR. Al-Bukhari.)
Lebih lanjut dia mengatakan: “Jika penyebutan bismillah (pada saat menyembelih) itu merupakan syarat, niscaya tidak akan diberikan keringanan bagi mereka untuk memakannya, kecuali dengan adanya realisasi dari hal tersebut, wallahu a’lam.”
Ketiga, pendapat yang menyatakan, jika tidak membaca bismillah itu karena terlupa (tidak disengaja), maka tiada masalah baginya, tetapi jika dengan sengaja, maka binatang yang disembelih itu tidak halal dimakan. Inilah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Hanifah dan Para pengikutnya, serta Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini diriwayatkan juga dari `Ali, Ibnu `Abbas, Said bin al-Musayyab, `Atha’, Thawus, al-Hasan al-Bashri, Abu Malik, `Abdurrahman bin Abu Laila, Ja’far bin Muhammad, dan Rabi’ah bin Abi `Abdir Rahman.
Imam Abul Hasan al-Marghinani dalam kitabnya al-Hidaayah telah menukil ijma’, sebelum Imam asy-Syafi’i, atas pengharaman memakan binatang yang disembelih dengan tidak menyebutkan nama Allah secara sengaja. Oleh karena itu Abu Yusuf dan Para syaikh mengatakan: “Jika seorang hakim memutuskan diperbolehkan penjualannya, maka tidak boleh dilaksanakan keputusannya itu, karena bertentangan dengan ijma’.”
Namun apa yang dikatakannya ini aneh sekali, sebagaimana telah dikemukakan tadi, mengenai adanya perbedaan pendapat sejak sebelum Imam asy-Syafi’i, wallahu a’lam.
Pendapat (yang ketiga) ini menggunakan dalil hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, melalui beberapa jalan, dari Ibnu `Abbas, Abu Hurairah, Abu Dzar, ‘Uqbah bin `Amir, dan `Abdullah bin `Amr, dari Nabi saw:
“Sesungguhnya Allah memberikan maaf bagi umatku atas kesalahan dan kelupaan, serta apa yang dilakukan karena terpaksa.” Tetapi pendapat ini perlu ditinjau lagi, wallahu a alam.
Abu Dawud berkata dari Ibnu `Abbas, mengenai firman Allah: wa innasy syayaathiina layuuhuuna ilaa auliyaa-iHim (“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.”) (Artinya), mereka (syaitan) mengatakan: ‘Apa yang disembelih Allah, maka janganlah kalian memakannya, tetapi makanlah apa yang kalian sembelih sendiri.”
Lalu Allah menurunkan firman-Nya: wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullaaHi ‘alaiHi wa innaHuu lafisqun (“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”)
(Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim dari `Amr bin `Abdullah, dari Waki’, dari Israil. Dan isnad hadits ini shahih).
Ibnu Juraij mengatakan, “’Amr bin Dinar berkata dari `Ikrimah: ‘Sesungguhnya orang-orang musyrik dari kaum Quraisy, menulis surat kepada Persia untuk melawan Romawi. Lalu Persia mengirim surat kepada mereka, bahwa Muhammad dan para Sahabatnya mengaku mengikuti perintah Allah, bahwa apa yang disembelih Allah dengan pisau (maksudnya bangkai,-Ed.), mereka tidak memakannya, sedang apa yang disembelih oleh mereka sendiri, maka mereka pun memakannya. Setelah itu orang-orang musyrik mengirim surat kepada para Sahabat Rasulullah saw. tentang hal tersebut, lalu hal itu mempengaruhi sebagian kaum muslimin, maka Allah pun menurunkan ayat:
“Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Dan turun pula firman-Nya yang artinya: “Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu [manusia].” (QS. Al-An’aam: 112)
Firman Allah: wa in atha’tumuuHum (“Dan jika kamu menuruti mereka”) yaitu dalam memakan bangkai; innakum lamusyrikuun (“Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”)
Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Mujahid, adh-Dhahhak dan beberapa orang dari kalangan ulama salaf.
Firman Allah: wa in atha’tumuuHum innakum lamusyrikuun (“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”) artinya, jika kalian berpaling dari perintah, dan syari’at Allah bagi kalian, kepada ucapan selain-Nya, lalu kalian mendahulukan ucapan yang dari selain-Nya itu, maka yang demikian itu adalah perbuatan syirik. Seperti firman-Nya yang artinya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah.” (QS. At-Taubah: 31).
Mengenai penafsiran ayat ini, at-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, bahwa dia berkata: “Ya Rasulullah, mereka itu tidak menyembah mereka (orang-orang alim dan para rahib).” Maka beliau pun menjawab: “Tidak demikian, sesungguhnya orang-orang alim dan para rahib menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal bagi mereka, lalu mereka mengikuti orang-orang alim dan para rahib itu, maka yang demikian itu merupakan penyembahan kepada orang-orang alim dan para rahib tersebut.”
&
Tag:121, 6, agama islam, al-an'am, Al-qur'an, ayat, bahasa indonesia, ibnu katsir, islam, religion, surah, surat, surat al an’am, tafsir, tafsir alquran, tafsir ibnu katsir