Arsip | 14.35

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 126-127

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 126-127“Dan inilah jalan Rabbmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran. (QS. 6:126) Bagi mereka (disediakan) Darussalam (Surga) pada sisi Rabbnya, dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-aural saleh yang selalu mereka kerjakan. (QS. 6:127)” (al-An’aam: 126-127)

Setelah Allah menyebutkan jalan orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya, Allah mengingatkan kemuliaan ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya berupa petunjuk dan agama yang benar, lalu Allah berfirman:

Haadzaa shiraatu rabbika mustaqiiman (“Dan inilah jalan Rabbmu. [jalan] yang lurus.”) Kalimat ini berkedudukan manshub sebagai hal. Maksud (ayat ini adalah): “Inilah agama yang telah Kami tetapkan bagimu, ya Muhammad, melalui apa-apa yang telah Kami wahyukan kepadamu di dalam al-Qur’an ini adalah jalan Allah yang lurus.”

Sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits al-Harits dari `Ali, mengenai penyifatan terhadap al-Qur’an: “Dia (al-Qur’an itu) merupakan jalan Allah yang lurus, tali Allah yang sangat kuat, dan kitab yang penuh hikmah.” (Hadits ini selengkapnya diriwayatkan Imam Ahmad dan at-Tirmidzi)

Firman-Nya: qad fash-shalnal aayaati (“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat [Kami].”) Maksudnya, Kami telah menerangkan, dan menafsirkannya; liqaumiy yadzdzakkaruun (“Kepada orang-orang yang mengambil pelajaran.”) Yaitu kepada orang-orang yang memiliki pemahaman, kesadaran dan akal tentang Allah dan Rasul-Nya.

laHum daarus salaami (“Bagi mereka [disediakan] Darussalam.”) Yakni, Surga. ‘inda rabbiHim (“Di sisi Rabb mereka.”) Maksudnya, pada hari Kiamat kelak. Allah menyifati Surga pada ayat ini dengan sebutan “Darussalam” adalah, karena keselamatan mereka dalam perjalanan melewati jalan yang lurus dengan mengikuti jejak dan cara para Nabi. Sebagaimana mereka telah selamat dari bahaya jalan-jalan yang bengkok, maka mereka pun sampai kepada “Darussalam”.

Wa Huwa waliyyuHum (“Dan Dialah pelindung mereka.”) Artinya, Allah adalah penjaga, penolong, dan pendukung mereka. Bimaa kaanuu ya’maluun (“Disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.”) Yakni, sebagai balasan atas amal saleh mereka, Allah melindungi dan memberikan kepada mereka pahala Surga karena kemurahan dan karunia-Nya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 125

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 125“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-An’aam: 125)

Allah Ta’ala berfirman: famay yuridillaaHu ay yaHdiyaHuu yasyrah shadraHuu lil islaam (“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan nemberikan kepadanya petunjuk, niscaya Allah melapangkan dadanya untuk [memeluk agama] Islam.”)
Artinya, Allah akan memudahkan, menguatkan, dan meringankan dirinya kepada hal itu. Inilah tanda-tanda menuju kepada kebaikan, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al-Hujuraat: 7).

Mengenai firman-Nya: famay yuridillaaHu ay yaHdiyaHuu yasyrah shadraHuu lil islaam (“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan nemberikan kepadanya petunjuk, niscaya Allah melapangkan dadanya untuk [memeluk agama] Islam.”) Ibnu `Abbas berkata: “Allah melapangkan hatinya untuk bertauhid dan beriman kepada-Nya.” Demikian juga dikatakan oleh Abu Malik dan yang lainnya, dan pengertian inilah yang jelas.

Firman-Nya: wa may yurid ay yudlillaHuu yaj’al shadraHuu dlayyiqan harajan (“Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.”) Kata “dlayyiqan” dibaca dengan fathah di atas huruf “dlad” dan sukun di atas huruf “ya”. Ini merupakan dua aksen seperti “Hainun” dan “Hayyinun”.

Sebagian lainnya membaca “harijan” dengan fathah di atas huruf “ha” dan “ra”, berarti sesuatu yang tidak dapat menerima petunjuk, serta tidak dapat menyerap sesuatu yang bermanfaat dari keimanan juga melaksanakannya.

`Umar bin al-Khaththab pernah bertanya kepada seorang Badui dari Mudlij mengenai “harajah”, maka orang itu menjawab: “Yaitu sebatang pohon yang terletak di antara pepohonan yang tidak dapat dijangkau oleh hewan gembalaan, binatang liar ataupun yang lainnya.” Lalu `Umar bin Khaththab pun berkata: “Demikian juga hati orang munafik, tidak dapat dijangkau sama sekali oleh suatu kebaikan.”

Mengenai firman-Nya: ka annamaa yash-sha’-‘adu fis samaa-i (“Seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.”) As-Suddi berkata: “Karena kesempitan pada dadanya.”
Imam Abu Ja’far bin Jarir berkata: “Inilah perumpaan yang diberikan Allah untuk hati orang kafir yang benar-benar amat sempit untuk sampainya keimanan kepadanya. Perumpamaannya dalam menolak dan kesempitannya dari sampainya keimanan kepadanya, seperti penolakan dirinya dan ketidakmampuannya untuk menaiki langit, karena yang demikian itu di luar kemampuan dan kesanggupannya.”

Mengenai firman-Nya: kadzaalika yaj’alullaaHur rijza ‘alal ladziina laa yu’minuun (“Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”) Abu Ja’far bin Jarir berkata: “Sebagaimana Allah telah menjadikan hati orang-orang yang dikehendaki-Nya tersesat menjadi sesak lagi sempit, maka demikian juga Allah menjadikan syaitan berkuasa terhadapnya dan terhadap orang-orang sejenisnya yang menolak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, hingga syaitan itu menyesatkan dan menghalanginya dari jalan Allah.”

Menurut Ibnu Abi Thalhah berkata dari Ibnu `Abbas: “Ar-rijsu adalah syaitan.” Sedangkan Mujahid berkata: “Ar-rijsu adalah, segala sesuatu yang tidak ada kebaikannya.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 123-124

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 123-124“Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. (QS. 6:123) Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.’ Allah lebih mengetahui di mana Allah menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras, disebabkan mereka selalu membuat tipu daya. (QS. 6:124)” (al-An’aam: 123-124)

Allah berfirman, “Wahai Muhammad, sebagaimana Kami telah menjadikan di negerimu penjahat-penjahat, para pemimpin, serta penyeru kepada kekufuran dan menghalangi jalan Allah, dan (menyeru) kepada penentangan, dan permusuhan kepadamu, demikian pula para Rasul sebelummu, mereka mendapatkan cobaan-cobaan seperti itu, kemudian kesudahan yang baik bagi mereka.”

Firman-Nya: akaabira mujrimiiHaa liyamkuruu fiiHaa (“Penjahat penjahat yang terbesar, agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.”) Ibnu Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Kami menjadikan orang-orang jahat berkuasa atas mereka, lalu mereka berbuat jahat di negeri itu. Jika mereka telah melakukan hal itu, maka Kami pun membinasakan mereka dengan adzab.”

Mujahid dan Qatadah berkata: akaabira mujrimiiHaa (“Penjahat penjahat yang terbesar-[nya].”) Maksudnya adalah, pembesar-pembesarnya (negeri tersebut). Menurut penulis (Ibnu Katsir), “Demikianjuga firman-Nya yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus menyampaikannya.’ Dan mereka berkata: ‘Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu), dan kami sekali-kali tidak akan diadzab.’” (QS. Saba’: 34-35).

Yang dimaksud dengan “tipu daya” di sini adalah seruan mereka kepada kesesatan dengan memperindah kata-kata dan juga perbuatan.

Sedangkan firman-Nya: wa maa yamkuruuna illaa bi-anfusiHim wa maa yasy-‘uruun (“Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.”) Artinya, akibat tipu daya dan penyesatan mereka terhadap orang lain yang mereka sesatkan itu, tidak akan kembali kecuali kepada diri mereka sendiri.

Firman-Nya: wa idzaa jaa-atHum aayatun qaaluu lan nu’mina hattaa nu’ta mitsla maa uutiya rusulullaaH (“Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.’”) Yakni, jika datang kepada mereka ayat, bukti, dan hujjah yang pasti, maka mereka mengatakan:
lan nu’mina hattaa nu’ta mitsla maa uutiya rusulullaaH (“Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.”) Maksudnya, sehingga datang kepada kami Malaikat-Malaikat membawakan risalah dari Allah, sebagaimana para Malaikat itu telah membawanya kepada para Rasul, sebagaimana firman Allah jallaa wa ‘Alaa yang artinya:

“Berkatalah orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami: ‘Mengapakah tidak diturunkan kepada kita Malaikat atau [mengapa] kita [tidak melihat] Rabb kita?’” (Al-Furqaan: 21).

Firman-Nya: allaaHu a’lamu haitsu yaj’alu risaalataHu (“Allah lebih mengetahui di mana Allah meletakkan tugas kerasulan.”) artinya Allah lebih mengetahui kemana risalah [tugas kerasulan] itu ditempatkan, dan siapa hamba-Nya yang layak mengembannya, sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang (yang) besar
dari salah satu dari dua negeri (Makkah dan Tha-if) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu?” (QS. Az-Zukhruf: 31-32).

Padahal mereka mengakui keutamaan, kemuliaan, nasab, kesucian keluarga, tempat di mana Rasulullah dididik dan dibesarkan, -semoga Allah melimpahkan shalawat kepada beliau, juga bershalawat kepada beliau para Malaikat, serta orang-orang yang beriman kepadanya-, sampai mereka menyebut beliau sebelum menerima wahyu sebagai “al-amin.”

Hal itu juga diakui oleh pemimpin orang-orang kafir, Abu Sufyan, yaitu ketika dia ditanya oleh Heraclius, seorang raja Romawi: “Bagaimana nasabnya di tengah-tengah kalian?” Abu Sufyan menjawab: “Di kalangan kami, dia adalah seorang yang bernasab terhormat.” Lebih lanjut Heraclius menanyakan: “Apakah kalian menuduhnya pendusta sebelum dia menyampaikan dakwahnya itu?” “Tidak,” jawabnya. (Dan seterusnya).

Kesucian sifat-sifat beliau inilah yang dijadikan dalil oleh raja Romawi atas kebenaran kenabiannya, serta kebenaran ajaran yang dibawanya.

Imam Ahmad berkata dari Watsilah bin al-Alqa’ bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah memilih Ismail dari keturunan Ibrahim, memilih Bani Kinanah dari anak-anak Isma’il, memilih Quraisy dari Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari kaum Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim.” (Hadits seperti ini hanya diriwayatkan oleh Muslim dari hadits al-Auza’i, dia adalah `Abdurrahman bin `Amr, Imam kaum muslimin di Syam).

Disebutkan dalam ash-Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
“Aku diutus pada masa terbaik dari masa kehidupan bani Adam [setelah berlalu] masa demi masa, sehingga aku diutus dimana aku berada.”

Firman Allah: sayushiibul ladziina ajramuu shaghaarun ‘indallaaHi wa ‘adzaabun syadiid (“Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras.”) Ini merupakan ancaman yang sangat keras dan tegas dari Allah, bagi orang yang angkuh mengikuti dan mematuhi Rasul-Rasul-Nya terhadap apa yang dibawa mereka, bahwa pada hari Kiamat kelak di hadapan Allah, dia akan ditimpa kehinaan yang abadi, dikarenakan mereka telah menyombongkan diri di dunia, maka Allah menimpakan siksa kepada mereka sebagai kehinaan pada hari Kiamat kelak.

Seperti firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku, akan masuk Neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60).
Artinya, mereka sangat hina, rendah dan tidak berharga.

Firman Allah: wa ‘adzaabun syadiidum bimaa kaanuu yamkuruun (“Dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.”) Karena seringkali tipu daya itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan halus, maka mereka pun mendapatkan adzab yang sangat keras dari Allah pada hari Kiamat kelak, sebagai balasan yang setimpal.

Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan, dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
“Akan diberi tanda bagi setiap orang yang berkhianat sebuah bendera pada pantatnya pada hari Kiamat kelak, lalu dikatakan: ‘Inilah pengkhianatan Fulan bin Fulan.’”

Hikmah dari hal tersebut adalah karena pengkhianatan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, yang tidak terlihat oleh orang lain, maka pada hari Kiamat kelak akan terlihat sebagai tanda yang jelas pada pelakunya, akibat perbuatannya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 122

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 122“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan, dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita, yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-An’aam: 122)

Ini merupakan perumpamaan yang diberikan Allah bagi orang mukmin, yang sebelumnya dalam keadaan mati, maksudnya dalam kesesatan, ia binasa dan bingung, lalu Allah menghidupkannya kembali, yakni menghidupkan hatinya dengan iman, serta menunjuki dan menuntunnya untuk mengikuti para Rasul-Nya.

Wa ja’alnaa laHuu nuuray yamsyii biHii fin naasi (“Dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.”) Artinya, dia mendapatkan petunjuk bagaimana harus berjalan dan bertindak dengan cahaya itu. Cahaya tersebut adalah al-Qur’an, sebagaimana yang diriwayatkan al-‘Aufi dan Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu `Abbas. Sedangkan menurut as-Suddi (adalah) Islam. Dan semuanya itu benar.

Kamam matsaluHuu fidh dhulumaaati (“Serupa keadaannya dengan orang yang berada dalam gelap gulita.”) Yaitu kebodohan, hawa nafsu, dan kesesatan yang beraneka ragam. Laisa bikhaarijiina minHaa (“Yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?”)
Artinya, tidak mendapatkan petunjuk kepada jalan keluar dan juga jalan menuju keselamatan.

Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni Neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257). Ayat-ayat mengenai hal ini sangat banyak.

Letak kesesuaian perumpamaan dengan cahaya, dan kegelapan di sini terdapat pada permulaan surat al-An’aam. Allah berfirman: wa ja’aladh dhulumaati wan nuur (“Dan menjadikan gelap dan terang.”) Dan yang benar adalah, bahwa ayat ini bersifat umum tercakup di dalamnya orang mukmin dan orang kafir.

Firman-Nya: kadzaalika zuyyina lil kaafiriina maa kaanuu ya’maluun (“Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”) Maksudnya, Kami menjadikan kebodohan dan kesesatan mereka itu sesuatu yang indah. bagi mereka, sebagai ketentuan dan hikmah yang sempurna dari Allah, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia, Yang Esa, (dan) tidak ada sekutu bagi-Nya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 121

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 121“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. 6:121)

Ayat di atas dijadikan dasar oleh orang-orang yang berpendapat, bahwa binatang sembelihan itu tidak halal jika tidak disebutkan nama Allah pada saat menyembelihnya, meskipun yang menyembelihnya itu seorang muslim. Mengenai masalah ini para imam telah berbeda pendapat menjadi tiga kelompok.

Pertama, mereka yang berpendapat bahwa binatang sembelihan yang bersifat seperti ini (disembelih dengan tidak menyebut nama Allah), maka tidak halal dimakan, baik tidak disebutkannya nama Allah itu karena kesengajaan, maupun karena terlupa. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu `Umar, Nafi’, `Amir asy-Sya’bi, dan Muhammad bin Sirin, juga salah satu riwayat dari Imam Malik, dan riwayat dari Ahmad bin Hanbal, yang didukung oleh sekelompok dari kalangan pengikut beliau yang terdahulu maupun yang datang belakangan.

Pendapat ini merupakan pilihan Abu Tsaur, Dawud azh-Zhahiri, juga pilihan Abul Futuh Muhammad bin Muhammad bin `Ali ath-Tha’i, salah seorang pengikut Imam asy-Syafi’i yang datang belakangan dalam bukunya yang berjudul al-Arba iin. Pendapat mereka ini didasarkan pada ayat di atas, dan pada ayat tentang perburuan binatang yang artinya: “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).” (QS. Al-Maa-idah: 4).

Kemudian ayat tersebut dipertegas dengan firman-Nya: wa innaHuu lafisqun (“Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”) Ada yang mengatakan, bahwa dhamir (kata ganti) pada kata “innaHuu lafisqun” kembali kepada tindakan memakan, ada Pula pendapat yang mengatakan kembali kepada penyembelihan dengan tidak menyebut nama Allah.

Selain itu, pendapat tersebut juga didasarkan pada hadits-hadits tentang perintah menyebut nama Allah pada saat menyembelih binatang, dan pada saat melepas binatang penangkap buruan. Misalnya hadits dari `Adiy bin Hatim dan hadits Abu Tsa’labah, dalam ash-Shahihain, Rasulullah saw. bersabda:
“Jika kamu melepas anjingmu yang sudah terlatih dan kamu telah menyebut nama Allah atasnya, maka makanlah binatang yang berhasil ditangkapnya untukmu.”

Juga hadits dari Rafi’ bin Khadij, Rasulullah saw. bersabda:
“Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan telah dibacakan nama Allah atasnya, maka makanlah binatang itu.” (Hadits ini pun terdapat di dalam ash-Shahihain).

Juga (berdasarkan) hadits Ibnu Masud, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada para jin: “Untuk kalian semua tulang binatang yang disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.” (HR. Muslim).

Juga (berdasarkan) hadits dari Jundab bin Sufyan al-Bajali, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menyembelih kurban sebelum mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menyembelih lagi sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih sampai kita selesai mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menyembelih dengan menyebut nama Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam.

Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa penyebutan nama Allah itu bukan suatu yang disyaratkan melainkan hanya disunnahkan saja, sehingga jika ditinggalkan baik secara sengaja maupun karena lalai tidak apa-apa. Pendapat ini adalah madzhab Imam asy-Syafi’i dan seluruh pengikutnya, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad seperti dinukil oleh Hanbal. Juga merupakan salah satu riwayat dari pendapat Imam Malik, seperti dinyatakan oleh Asyhab bin `Abdul `Aziz salah seorang pengikutnya. Pendapat ini disebutkan dari Ibnu `Abbas, Abu Hurairah, dan `Atha’ bin Abi Rabah, wallahu a’lam.

Imam asy-Syafi’i memahami ayat ini: wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullaaHi ‘alaiHi wa innaHuu lafisqun (“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”) Adalah mengenai binatang yang disembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Atau suatu kefasikan, (yaitu binatang) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’aam: 145).

Mengenai ayat: wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullaaHi ‘alaiHi wa innaHuu lafisqun (“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”) Ibnu Juraij mengatakan dari `Atha’, ia berkata: “Allah melarang memakan binatang yang disembelih orang-orang Quraisy untuk berhala-berhala. Serta melarang memakan binatang yang disembelih orang-orang Majusi. Dan jalan yang ditempuh oleh Imam asy-Syafi’i ini cukup kuat.” Wallahu a’lam.

(Masih) mengenai ayat: wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullaaHi ‘alaiHi wa innaHuu lafisqun (“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”) Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu `Abbas berkata: “Yaitu bangkai.” Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Zur’ah, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Ibnu Lahi’ah, dari `Atha’ bin as-Saib.

Madzhab ini menggunakan dalil hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab al-Maraasil (hadits-hadits mursal), dari hadits Tsaur bin Yazid, dari ash-Shalt as-Sadusi, maula Suwaid bin Maimun, salah seorang tabi’in yang disebutkan Abu Hatim bin Hibban dalam kitab ats-Tsiqaat, dia berkata:
“Rasulullah bersabda: ‘Sembelihan orang muslim itu halal, baik disebutkan nama Allah maupun tidak disebutkan. Karena sesungguhnya jika is menyebut, maka dia tidak menyebut melainkan nama Allah.’”

(Hadits ini mursal, diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Ibnu `Abbas, bahwa ia berkata: “Jika seorang muslim menyembelih binatang sedang dia tidak menyebut nama Allah, maka hendaklah dia memakannya, karena sesungguhnya di dalam dirinya terdapat sesuatu nama dari nama-nama Allah.”)

Al-Baihaqi juga menggunakan argumentasi dengan hadits dari `Aisyah bahwasanya ada beberapa Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, ada suatu kaum yang dekat dengan masa jahiliyah mendatangi kami dengan membawa daging, yang kami tidak mengetahui apakah penyembelihannya disertai dengan menyebut nama Allah atau tidak?” Beliau bersabda: “Bacalah oleh kalian bismillah dan makanlah.” (HR. Al-Bukhari.)

Lebih lanjut dia mengatakan: “Jika penyebutan bismillah (pada saat menyembelih) itu merupakan syarat, niscaya tidak akan diberikan keringanan bagi mereka untuk memakannya, kecuali dengan adanya realisasi dari hal tersebut, wallahu a’lam.”

Ketiga, pendapat yang menyatakan, jika tidak membaca bismillah itu karena terlupa (tidak disengaja), maka tiada masalah baginya, tetapi jika dengan sengaja, maka binatang yang disembelih itu tidak halal dimakan. Inilah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Hanifah dan Para pengikutnya, serta Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini diriwayatkan juga dari `Ali, Ibnu `Abbas, Said bin al-Musayyab, `Atha’, Thawus, al-Hasan al-Bashri, Abu Malik, `Abdurrahman bin Abu Laila, Ja’far bin Muhammad, dan Rabi’ah bin Abi `Abdir Rahman.

Imam Abul Hasan al-Marghinani dalam kitabnya al-Hidaayah telah menukil ijma’, sebelum Imam asy-Syafi’i, atas pengharaman memakan binatang yang disembelih dengan tidak menyebutkan nama Allah secara sengaja. Oleh karena itu Abu Yusuf dan Para syaikh mengatakan: “Jika seorang hakim memutuskan diperbolehkan penjualannya, maka tidak boleh dilaksanakan keputusannya itu, karena bertentangan dengan ijma’.”

Namun apa yang dikatakannya ini aneh sekali, sebagaimana telah dikemukakan tadi, mengenai adanya perbedaan pendapat sejak sebelum Imam asy-Syafi’i, wallahu a’lam.

Pendapat (yang ketiga) ini menggunakan dalil hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, melalui beberapa jalan, dari Ibnu `Abbas, Abu Hurairah, Abu Dzar, ‘Uqbah bin `Amir, dan `Abdullah bin `Amr, dari Nabi saw:
“Sesungguhnya Allah memberikan maaf bagi umatku atas kesalahan dan kelupaan, serta apa yang dilakukan karena terpaksa.” Tetapi pendapat ini perlu ditinjau lagi, wallahu a alam.

Abu Dawud berkata dari Ibnu `Abbas, mengenai firman Allah: wa innasy syayaathiina layuuhuuna ilaa auliyaa-iHim (“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.”) (Artinya), mereka (syaitan) mengatakan: ‘Apa yang disembelih Allah, maka janganlah kalian memakannya, tetapi makanlah apa yang kalian sembelih sendiri.”

Lalu Allah menurunkan firman-Nya: wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullaaHi ‘alaiHi wa innaHuu lafisqun (“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”)
(Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim dari `Amr bin `Abdullah, dari Waki’, dari Israil. Dan isnad hadits ini shahih).

Ibnu Juraij mengatakan, “’Amr bin Dinar berkata dari `Ikrimah: ‘Sesungguhnya orang-orang musyrik dari kaum Quraisy, menulis surat kepada Persia untuk melawan Romawi. Lalu Persia mengirim surat kepada mereka, bahwa Muhammad dan para Sahabatnya mengaku mengikuti perintah Allah, bahwa apa yang disembelih Allah dengan pisau (maksudnya bangkai,-Ed.), mereka tidak memakannya, sedang apa yang disembelih oleh mereka sendiri, maka mereka pun memakannya. Setelah itu orang-orang musyrik mengirim surat kepada para Sahabat Rasulullah saw. tentang hal tersebut, lalu hal itu mempengaruhi sebagian kaum muslimin, maka Allah pun menurunkan ayat:

“Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”

Dan turun pula firman-Nya yang artinya: “Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu [manusia].” (QS. Al-An’aam: 112)

Firman Allah: wa in atha’tumuuHum (“Dan jika kamu menuruti mereka”) yaitu dalam memakan bangkai; innakum lamusyrikuun (“Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”)
Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Mujahid, adh-Dhahhak dan beberapa orang dari kalangan ulama salaf.

Firman Allah: wa in atha’tumuuHum innakum lamusyrikuun (“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”) artinya, jika kalian berpaling dari perintah, dan syari’at Allah bagi kalian, kepada ucapan selain-Nya, lalu kalian mendahulukan ucapan yang dari selain-Nya itu, maka yang demikian itu adalah perbuatan syirik. Seperti firman-Nya yang artinya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah.” (QS. At-Taubah: 31).

Mengenai penafsiran ayat ini, at-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, bahwa dia berkata: “Ya Rasulullah, mereka itu tidak menyembah mereka (orang-orang alim dan para rahib).” Maka beliau pun menjawab: “Tidak demikian, sesungguhnya orang-orang alim dan para rahib menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal bagi mereka, lalu mereka mengikuti orang-orang alim dan para rahib itu, maka yang demikian itu merupakan penyembahan kepada orang-orang alim dan para rahib tersebut.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 120

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 120“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak, dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari Kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.” (QS. al-An’aam: 120)

Mujahid berkata: “Maksud dari firman-Nya: wa dzaruu dhaaHiral itsmi wa baathinaHu (“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi.”) Yakni perbuatan maksiat, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.”

Yang benar bahwa ayat itu bersifat umum, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi.’” (QS. Al-A’raaf: 33).

Oleh karena itu Allah berfirman: innal ladziina yaksibuunal itsma sayujzauna bimaa kaanuu yaqtarifuun (“Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan [pada hari Kiamat], disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.”) Artinya, baik dosa itu dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, maka Allah akan membalasnya.

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari an-Nawwas bin Sam’an, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai perbuatan dosa maka beliau bersabda: ‘Perbuatan dosa itu adalah sesuatu yang merisaukan di dalam hatimu, dan engkau tidak menyukai orang lain mengetahuinya.” (HR. Muslim dan Ahmad).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 118-119

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 118-119“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya. (QS. 6:118) Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. 6:119)” (al-An’aam: 118-119)

Inilah pembolehan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu mereka diperbolehkan memakan binatang-binatang yang disembelih dengan menyebut nama-Nya. Pengertian dari itu, bahwa binatang-binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, sama sekali tidak diperbolehkan untuk dimakan. Sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy mereka memperbolehkan memakan bangkai, dan binatang-binatang yang disembelih atas nama berhala dan lain-lainnya.

Selanjutnya Allah menyerukan agar memakan binatang-binatang yang disembelih dengan menyebut nama-Nya. Allah berfirman:
Wa maa lakum allaa takuuluu mimmaa dzukirasmullaaHi ‘alaiHi wa qad fashshala lakum maa harrama ‘alaikum (“Mengapa kamu tidak mau memakan [binatang-binatang yang halal] yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.”) Artinya, Allah telah menjelaskan dan menerangkan kepada kalian apa-apa yang diharamkan kepada kalian.

Sebagian ulamas’ membaca kata “fashshala” dalam ayat tersebut dengan menggunakan tasydid dan sebagian lainnya tidak menggunakannya, dan kedua-duanya bermakna menjelaskan dan menerangkan.

Illaa madl thurrirtum ilaiHi (“Kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”) Artinya, kecuali dalam keadaan terpaksa, maka diperbolehkan bagi kalian memakan apa yang kalian dapatkan. Setelah itu Allah Ta’ala menerangkan kebodohan orang-orang musyrik dalam pendapat mereka yang salah, yang menghalalkan bangkai-bangkai dan binatang-binatang yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah Ta’ala, Allah berfirman:

Wa inna katsiiral layudlilluuna bi afwaaHiHim bighairi ‘ilmin inna rabbaka Huwa a’lamu bil mu’tadiin (“Dan sesungguhnya kebanyakan [dari manusia] benar-benar hendak menyesatkan [orang lain] dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”) Maksudnya, Allah lebih mengetahui akan pelanggaran, kebohongan dan kedustaan mereka.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 116-117

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 116-117“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. 6:116) Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 6:117)” (al-An’aam: 116-117)

Allah memberitahukan tentang keadaan mayoritas penghuni bumi ini dari kalangan anak cucu Adam, bahwa mereka berada dalam kesesatan. Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya:
“Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang terdahulu.” (QS. Ash-Shaaffaat: 71). Keberadaan mereka dalam kesesatan tersebut bukanlah atas dasar keyakinan, melainkan persangkaan dusta dan bathil.

Iy yattabi’uuna illadh dhanna wa in Hum illaa yakhrushuun (“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan’belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta [terhadap Allah]”).
Al-kharshu sinonim dengan al-hazru yang berarti dugaan/ perkiraan.
Dikatakan “kharashan nakhla” yaitu menaksir buah kurma yang ada di pohon. Dan semua keadaan di atas itu adalah berdasarkan takdir dan kehendak Allah swt.

Huwa a’lamu may yadlillu ‘an sabiiliHi (“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya.”) Maka Dia memudahkan orang itu ke arah kesesatan itu.
Wa Huwa a’lamu bil muHtadiin (“Dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat jetunjuk.”) Maka Dia pun memudahkan mereka kepada petunjuk itu, dan setiap orang dimudahkan sesuai dengan yang telah ditakdirkan untuknya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 114-115

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 114-115“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. (QS. 6:114) Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya, dan Dialah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui. (QS. 6:115)” (al-An’aam: 114-115)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Katakanlah kepada orang-orang yang berbuat syirik kepada Allah yang beribadah kepada selain-Nya: a fa ghairillaaHi abghii hakaman (“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah.”) Yaitu (untuk memutuskan) antara diriku dan kalian.
Wa Huwal ladzii anzala ilaikumul kitaaba mufashshalan (“Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab [al-Qur’an] kepadamu dengan terperinci?”) Yaitu secara jelas dan gamblang.

Wal ladziina aatainaa Humul kitaaba (“Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka.”) Maksudnya, orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Ya’lamuuna annaHum munazzalum mir rabbika bilhaqqi (“Mereka mengetahui bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya.”) Yakni, berdasarkan kabar gembira mengenai kedatanganmu yang ada pada mereka, dan para Nabi sebelum engkau.
Fa laa takuunanna minal mumtariin (“Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.”)

Firman-Nya: wa tammat kalimatu rabbika shidqaw wa ‘adlan (“Telah sempurna kalimat dari Rabbmu [al-Qur’an], sebagai kalimat yang benar dan adil.”) Qatadah berkata: “Yaitu benar dalam firman-Nya, dan adil dalam putusan Nya.”
Laa mubaddila likalimaatiHi (“Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya.”) Maksudnya, tidak ada seorang pun yang dapat menolak putusan Allah Ta’ala, di dunia maupun di akhirat.
Wa Huwas samii’u (“Dialah yang Mahamendengar.”) Terhadap segala ucapan para hamba-Nya.
Al ‘aliim (“Lagi Mahamengetahui.”) Terhadap semua gerak dan diamnya mereka, (Dialah) yang akan memberi balasan kepada setiap orang yang beramal sesuai dengan amalnya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 112-113

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 112-113“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. 6:112) Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya, dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan. (QS. 6:113)” (al-An’aam: 112-113)

Allah Ta’ala berfirman, sebagaimana Kami telah jadikan untukmu, wahai Muhammad, musuh-musuh yang menentang, memusuhi, dan melawanmu, Kami juga menjadikan musuh-musuh bagi setiap Nabi sebelum dirimu, oleh karena itu, hendaklah semua hal itu tidak menjadikanmu bersedih.

Sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Tidaklah ada yang dikatakan (oleh orang-orang kafir) kepadamu itu selain apa yang sesungguhnya telah dikatakan kepada Rasul-Rasul sebelum kamu.” (QS. Fushshilat: 43). Waraqah bin Naufal pernah berkata kepada Rasulullah saw: “Sesungguhnya tidak ada seorang pun datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa, melainkan mendapat perlawanan.”

Firman-Nya: syayaathiinal insi wal jinni (“Syaitan-syaitan [dari jenis] manusia dan [dari jenis] jin.”) Merupakan badal (pengganti) dari kata sebelumnya: ‘aduwwan (“Musuh.”) Dengan pengertian, bahwa mereka mempunyai musuh yang berasal dari kalangan syaitan, baik yang berupa manusia maupun jin. Syaitan itu sendiri berarti segala sesuatu yang menyimpang dari tabiatnya berupa kejahatan. Dan tidak ada yang memusuhi para Rasul melainkan syaitan-syaitan, baik dari jenis manusia maupun jin. Semoga mereka dihinakan dan dilaknat oleh Allah.

Firman Allah: yuuhii ba’dluHum ilaa ba’dlin zukhrufil qaula ghuruuran (“Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu [manusia]”) Artinya, sebagian dan syaitan-syaitan itu menyampaikan kepada sebagian lainnya kata-kata indah dan mempesona, yaitu dibumbui dengan hal-hal menarik yang dapat memperdaya pendengarnya yang tidak mengerti tipu dayanya.

Wa lau syaa-a rabbuka maa fa’aluuHu (“Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya.”) Maksudnya, semuanya itu terjadi karena takdir, ketetapan dan kehendak Allah, bahwa setiap Nabi mempunyai musuh yang berupa syaitan-syaitan tersebut.

fadzurHum (“Maka tinggalkanlah mereka.”) Artinya, biarkan saja mereka itu. Wa maa yaftaruun (“Dan apa yang mereka ada-adakan.”) Yaitu, apa yang mereka dustakan. Maksudnya, biarkan saja hal-hal menyakitkan yang dilakukan mereka tersebut, dan bertawakkallah kepada Allah atas permusuhan mereka itu, sesungguhnya cukuplah Allah sebagai pelindung dan penolongmu dari mereka.

Firman-Nya: wa litashghaa ilaiHi (“Agar cenderung kepada bisikan itu.”) Menurut Ibnu `Abbas: “Agar condong kepadanya.”
Af-idatul ladziina laa yu’minuuna bil aakhirati (“Hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat.”)Yaitu hati, akal, dan pendengaran mereka cenderung kepada bisikan tersebut.
Wa liyardlauHu (“[Dan agar] mereka merasa senang kepadanya.”) Yakni, [agar mereka] merasa suka dan menghendakinya.

Mengenai firman-Nya: wa liyaqtarifuu maa Hum muqtarifuun (“Dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka [syaitan] kerjakan.”) ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: “Agar mereka mengusahakan apa yang mereka usahakan.” Sedangkan as-Suddi dan Ibnu Zaid berkata: “Agar mereka mengerjakan apa yang mereka kerjakan.”

&