Arsip | 01.43

Mewarnai Gambar Pesawat Terbang 18 Anak Muslim

20 Des

Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar pesawat terbang18 anak muslim

Mewarnai Gambar Rumah 4 Anak Muslim

20 Des

Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar rumah4 anak muslim

Mewarnai Gambar Kartun Anak Muslim 36

20 Des

Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar kartun anak muslim 36

Mewarnai Gambar Kartun Anak Muslimah 99

20 Des

Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar kartun anak muslimah 99

Mewarnai Gambar Kartun Anak Muslimah 98

20 Des

Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar kartun anak muslimah 98

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 156-157

20 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 156-157“(Kami turunkan al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: ‘Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.’ (QS. 6:156) Atau agar kamu (tidak) mengatakan: ‘Sesungguhnya jikalau kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka.’ Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Rabb-mu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling. (QS. 6:157)” (al-An’aam: 156-157)

Ibnu Jarir berkata, “Makna ayat ini adalah, kitab ini Kami turunkan agar kalian tidak mengatakan: innamaa unzilal kitaabu ‘alaa thaa-ifataini min qablinaa (“Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami.”) Maksudnya, agar dengan demikian, alasan kalian tidak lagi berguna.

Firman Nya: ‘alaa thaa-ifataini min qablinaa (“Kepada dua golongan saja sebelum kami.”) ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu `Abbas: “Dua golongan tersebut adalah Yahudi dan Nasrani.” Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, as-Suddi, Qatadah, dan selain mereka.

Wa in kunnaa ‘an diraasatiHim laghaafiliin (“Dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.”) Maksudnya, kami tidak memahami apa yang mereka katakan, karena mereka berkata bukan dengan bahasa kami, dan kami dalam keadaan lengah dan sibuk dari (memperhatikan) urusan mereka.

Au taquuluu lau annaa unzila ‘alainal kitaabu lakunnaa aHdaa minHum (“Atau agar kamu [tidak] mengatakan, ‘Sesungguhnya jika kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk daripada mereka.’”) Artinya, Kami patahkan alasan kalian untuk mengatakan, “Jika saja apa yang diturunkan kepada mereka itu diturunkan pula kepada kami, niscaya kami akan lebih mendapat petunjuk.”

Hal itu sama seperti firman-Nya yang artinya: “Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat [yang lain].”) (QS. Faathir: 42). Demikian pula Allah berfirman dalam surat ini.

Fa qad jaa-akum bayyinatum mir rabbikum wa Hudaw wa rahmatun (“Sesungguhnya telah datang kepadamu keterangan yang nyata dari Rabbmu, petunjuk dan rahmat.”) maksudnya, Allah berfirman, telah datang kepada kalian dari lisan Muhammad saw, Nabi yang berasal dari Arab, kitab al-Qur’anul `Adhim yang di dalamnya terdapat keterangan halal dan haram, petunjuk bagi apa yang berada di dalam hati, dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya yang mengikuti dan mengamalkan kandungannya.

Faman adhlamu mim man kadzdzaba bi aayaatillaaHi wa shadafa ‘anHaa (“Maka siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling darinya?”) Yaitu, tidak memanfaatkan apa yang telah dibawa para Rasul-Nya, dan tidak mengikutinya, serta tidak meninggalkan yang lainnya, bahkan menghalangi orang-orang agar tidak mengikuti ayat-ayat Allah, atau dengan kata lain, memalingkan mereka darinya.

Demikian itulah pendapat yang dikemukakan oleh as-Suddi. Sedangkan Mujahid dan Qatadah mengatakan dari Ibnu `Abbas: wa shadafa ‘anHaa (“[Yaitu] berpaling darinya.”)

Sa yajzil ladziina yashdifuuna ‘an aayaatinaa suu-al ‘adzaabi bimaa kaanuu yashdifuun (“Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami
dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 154-155

20 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 154-155“Kemudian Kami telah memberikan al-Kitab (Taurat) kepada Musa untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, dan untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat, agar mereka beriman (bahwa) mereka akan menemui Rabb mereka. (QS. 6:154) Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. (QS. 6:155)” (al-An’aam: 154-155)

Ketika Allah memberitahukan mengenai al-Qur’an melalui firman-Nya: wa anna Haadzaa shiraathii mustaqiiman fattabi’uuHu (“Dan bahwa [yang Kami perintahkan] ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.”) Allah mengiringinya dengan memberikan pujian kepada Taurat dan juga Rasul yang menerimanya, Dia berfirman: tsumma aatainaa muusal kitaaba (“Kemudian Kami telah memberikan al-Kitab [Taurat] kepada Musa.”) Seringkali di dalam al-Qur’an Allah mempersandingkan penyebutan al-Qur’an dengan Taurat, seperti firman-Nya yang artinya:

“Dan sebelum al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (al-Qur an) adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab.” (QS. Al-Ahqaaf: 12).

Firman-Nya: tamaaman ‘alal ladzii ahsana wa tafshiilan (“Untuk menyempurnakan [nikmat Kami] kepada orang yang berbuat kebaikan.”) Artinya, Kami telah memberikan Kitab Taurat kepada Musa, Kitab yang telah Kami turunkan kepadanya untuk menyempurnakan dan melengkapi apa yang diperlukan dalam menjalankan syari’at-Nya, sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan Kami telah tuliskan untuk Musa pada lauh-lduh (Taurat) segala sesuatu.” (QS. Al-A’raaf: 145).

Firman-Nya: ‘alal ladziina ahsana (“Kepada orang yang berbuat kebaikan.”) Dengan pengertian, sebagai balasan atas kebaikannya dalam beramal dan menjalankan perintah-perintah Kami, serta teguh dalam menaati-Nya, sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya: “Tidak ada balasan kebaikan melainkan kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahmaan: 60).

Ibnu Jarir berpendapat, bahwa pengertian dari ayat: tsumma aatainaa muusal kitaaba tamaaman (“Kemudian Kami telah memberikan al-Kitab [Taurat] kepada Musa untuk menyempurnakan.”) “(Yaitu) atas kebaikannya.” Dalam hal ini dia bermaksud menjadikan kata alladzi sebagai mashdar, sebagaimana yang dikatakan terhadap firman-Nya yang artinya: “Dan kamu memperbincangkan (hal yang bathil) sebagaimana mereka memperbincangkannya.” (QS. At-Taubah: 69).
Maksudnya, sebagaimana pembicaraan mereka.

Ibnu Rawahah pernah berkata:
Semoga Allah menetapkan kebaikan yang diberikan-Nya kepadamu
sebagaimana para Rasul (telah diberi kebaikan).
Dan juga pertolongan sebagaimana mereka telah diberikan pertolongan.

Firman-Nya: wa tafshiilal likulli syai-iw wa Hudaw wa rahmatan (“Dan untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat.”) Dalam firman-Nya tersebut terkandung pujian terhadap kitab yang Allah turunkan kepada Musa as.

La’allaHum biliqaa-i rabbiHim yu’minuun. Wa Haadzaa kitaabun anzalnaaHu mubaarakun fattabi’uuHu wattaquu la’allakum turhamuun (“Agar mereka beriman [bahwa] mereka akan menemui Rabb mereka. Dan al-Qur’an itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.”)

Allah mendorong hamba-hamba-Nya terhadap kecintaan kepada kitab-Nya dan memerintahkan mereka untuk memahami, mengamalkan dan mendakwahkannya. Allah menyifatinya sebagai Kitab yang diberkati bagi orang-orang yang mengikuti dan mengamalkannya di dunia dan di akhirat, karena ia merupakan tali Allah yang sangat kuat.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 153

20 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 153“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu darijalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-An’aam: 153)

Mengenai firman-Nya: wa laa tattabi’us subula fatafarraqa bikum ‘an sabiiliHi (“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan [yang lain], karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.”)
Dan juga firman-Nya yang artinya: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (QS. Asy-Syuura: 13). Dan ayat-ayat lainnya yang semakna di dalam al-Qur’an, `Ali bin Abi Thalhah menyatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa berjama’ah (bersatu) dan melarang mereka berpecah-belah, dan Allah memberitahukan kepada mereka bahwa orang-orang sebelum mereka binasa akibat pertengkaran dan pertentangan mengenai agama Allah.”

Pendapat yang seperti itu juga dikemukakan oleh Mujahid dan yang lainnya.

Ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Masud: “Apakah yang dimaksud ash-Shiraathul Mustaqiim itu?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Muhammad saw. meninggalkan kita di dekatnya (ash-Shiraathul Mustaqiim) sedang ujungnya berada di Surga, di sebelah kanannya terdapat kuda dan di sebelah kirinya juga terdapat kuda, dan di sana ada beberapa orang yang memanggil siapa saja yang melewati mereka. Barangsiapa yang memilih kuda tersebut, maka dia akan sampai di Neraka, dan siapa yang memilih ash-Shiraathul Mustaqiim tersebut, maka dia akan sampai di Surga.” Setelah itu Ibnu Mas’ud membacakan ayat:

Wa anna Haadzaa shiraathii mustaqiiman fattabi’uuHu wa laa tattabi’us sabiila fatafarraqa bikum ‘an sabiiliHii (“Dan bahwa [yang Karni periniahkan] ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan [yang lain], karena jalan jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.”)

Imam Ahmad mengatakan dari an-Nawwas bin Sam’an, dari Rasulullah saw, beliau pernah bersabda: “Allah telah membuat perumpamaan ash-Shiraathul Mustaqiim yang di kedua sisinya terdapat pagar, yang masing-masing memiliki beberapa pintu terbuka, dan pada pintu-pintu itu terdapat tabir yang terurai. Pada pintu shirath itu terdapat seorang penyeru yang berseru, ‘Wahai sekalian manusia, masuklah semuanya ke ash-Shiraathul Mustaqiim dan janganlah kalian berpecah-belah.’ Dan ada satu lagi penyeru yang memanggil dari atas shirath, yaitu jika ada seseorang yang hendak membuka sedikit dari pintu-pintu tersebut, penyeru itu berkata, `Celaka engkau, jangan engkau membukanya, karena jika engkau membukanya maka engkau akan terperosok ke dalamnya.’

Maka shirath itu adalah Islam, kedua pagar itu adalah hukum-hukum Allah, dan pintu-pintu yang terbuka itu adalah larangan-larangan Allah. Sedangkan penyeru yang berada di shirath adalah Kitabullah (al Qur’an), dan penyeru yang berseru dari atas shirath adalah penasihat Allah yang berada di dalam hati setiap orang muslim.” (HR. At-Tirmidzi dan an-Nasa’i. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).

Fattabi’uuHu wa laa tattabi’us subula (“Maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan jalan/[yang lain].”) Allah membuat jalan-Nya hanya satu, karena kebenaran itu hanyalah satu. Oleh karena itu Allah menyebutkan jalan yang lainnya dengan jamak (as subulu), karena keadaannya yang tercerai-berai dan bercabang-cabang, sebagaimana Allah berfirman, yang artinya:

“Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung pelindungnya adalah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran).” (QS. Al-Baqarah: 257). Cahaya (an-nuur) bentuk tunggal dan kegelapan (adh-dhulumaatu) bentuk jamak.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 152

20 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 152“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilahjanji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. al-An’aam: 152)

Atha’ bin as-Saib mengatakan dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Ketika Allah swt. menurunkan: wa laa taqrabuu maalal yatiimi illaa bil latii Hiya ahsan (“Dan janganlah kamu dekatt harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.”) Dan juga ayat yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim.” (QS. An-Nisaa’: 10).
Maka orang-orang yang memiliki anak yatim langsung bergerak memisahkan makanan mereka dari makanannya (anak yatim), minuman mereka dari minumannya, lalu mereka menyisakan sesuatu dan menyimpan untuknya hingga ia (anak yatim tersebut) memakannya atau rusak. Maka hal itu semakin membuat mereka keberatan. Kemudian mereka mengemukakan hal itu kepada Rasulullah saw, lalu Allah menurunkan ayat yang artinya:

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik. Dan jika kamu mencampuri mereka, maka mereka adalah saudaramu.” (QS. Al-Baqarah: 220). Kemudian Ibnu `Abbas berkata, ‘Maka mereka pun mencampurkan makanan mereka dengan makanan anak-anak yatim, dan minuman mereka dengan minuman anak yatim.’” (HR Abu Dawud).

Firman-Nya: hattaa yablugha asyuddaHu (“Hingga sampai mereka dewasa”) mengenai hal ini, asy-Sya’bi, Malik, dan beberapa ulama salaf mengatakan: “Yaitu sampai mereka bermimpi basah.”

Firman-Nya: wa auful kaila wal miizaana bilqisthi (“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.”) Allah memerintahkan menegakan keadilan dalam memberi dan mengambil, sebagaimana Allah telah mengancam orang-orang yang mengabaikannya melalui firman-Nya yang artinya:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?” (QS. Al-Muthaffifiin: 1-6).

Dan Allah telah membinasakan suatu umat yang mengurangi takaran dan timbangan. Mereka adalah penduduk negeri Madyan, umat Nabi Syu’aib as.

Firman Allah: laa nukallifu nafsan illaa wus’aHaa (“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”) Dengan pengertian, barangsiapa berusaha keras untuk menunaikan dan memperoleh haknya, lalu dia melakukan kesalahan setelah dia menggunakan seluruh kemampuannya dan mengerahkan seluruh usahanya, maka tidak ada dosa baginya.

Firman-Nya: wa idzaa qultum fa’diluu wa lau kaana dzaa qurbaa (“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat [mu].”) Adalah sama seperti firman-Nya yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah.” (QS. Al-Maa-idah: 8).

Ayat yang serupa juga terdapat pada surat an-Nisaa’, yang di dalamnya Allah merintahkan untuk berbuat adil, baik dalam perbuatan maupun ucapan, baik kepada kerabat dekat maupun jauh. Dan Allah memerintahkan berbuat adil kepada setiap orang kapan dan di mana saja.

Firman-Nya: wa bi ‘aHdillaaHi aufuu (“Dan penuhilah janji Allah.”) Ibnu Jarir berkata: “Penuhilah semua pesan Allah yang dipesankan kepada kalian.” Pemenuhannya adalah dengan senantiasa mentaati semua perintah dan larangan-Nya, serta melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Demikian itulah pemenuhan janji Allah.”

Dzaalikum washshaakum biHii la’allakum tadzakkaruun (“Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kamu agar kamu ingat.”) Allah berfirman, inilah yang Aku pesankan dan perintahkan serta tekankan kepada kalian. La’allakum tadzakkaruun (“Agar kamu ingat.”) Yaitu, agar kalian mengambil pelajaran dan berhenti dari yang kalian lakukan sebelum ini.

Sebagian ulama membacanya dengan tasydid pada huruf dzal (tadzdzakkaruun) sedangkan Mama lainnya membacanya dengan takhfif (tadzakkaruun)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 151

20 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 151“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atasmu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar.” Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).” (QS. al-An’aam: 151)

Allah berfirman kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad; wahai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah, mengharamkan apa yang telah diberikan Allah kepada mereka, dan membunuh anak-anak mereka, yang semuanya itu mereka lakukan atas dasar pemikiran mereka sendiri dan atas godaan syaitan kepada mereka.

Qul (“Katakanlah.”) Kepada mereka. Ta’aalau (“Marilah.”) Maksudnya, datanglah kalian. At-lu maa harrama rabbukum ‘alaikum (“Kubacakan apa yang diharamkan oleh Rabb-mu atasmu.”) Pengertiannya, akan aku ceritakan dan beritahukan kepada kalian apa-apa yang telah diharamkan Rabb kalian atas kalian, berdasarkan kebenaran, bukan suatu kebohongan dan bukan pula prasangka, bahkan hal itu merupakan wahyu dan perintah dari sisi-Nya,

Allaa tusyrikuu biHii syai-an (“Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia.”) Konteks ayat ini menunjukkan bahwa, seakan-akan di dalamnya terdapat suatu kalimat yang mahdzuf (tidak tersebut) perkiraannya adalah, Allah telah memerintahkan kepada kalian, janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Oleh karena itu di akhir ayat ini Allah berfirman:
Dzaalikum washshaakum biHii la’allakum ta’qiluun (“Demikian itu diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya).”)

Dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzar berkata, Rasulullah saw. bersabda:
“Malaikat Jibril mendatangiku dan memberikan kabar gembira kepadaku, `Bahwa, barangsiapa di antara umatmu yang meninggal dunia tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka dia akan masuk Surga.’ Lalu aku tanyakan: `Meskipun dia berzina dan mencuri?’ Malaikat Jibril menjawab: `Meskipun dia pernah berzina dan mencuri.’ Meskipun dia berzina dan mencuri?’ tanyaku lagi. Malaikat Jibril menjawab: `Meskipun dia berzina dan
mencuri.’ Dan kutanyakan lagi: `Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?’ Malaikat Jibril menjawab: `Meskipun dia berzina, mencuri, dan minum khamr.’”

Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa yang bertanya itu adalah Abu Dzar, yang mana pada ketiga kalinya Rasulullah mengatakan: “Meskipun Abu Dzar tidak menyukainya.” Dan di akhir hadits, Abu Dzar mengatakan: “Meskipun Abu Dzar tidak menyukainya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Pada sebagian riwayat dalam musnad-musnad dan kitab-kitab Sunan, dari Abu Dzar ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman, `Wahai anak cucu Adam, selagi engkau berdo’a dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan memberikan ampunan atas apa yang telah kalian kerjakan dan Aku tidak pedulikan lagi. Jika engkau datang kepada-Ku dengan dosa seberat bumi, maka Aku akan datangkan kepadamu dengan ampunan seberat bumi pula, selama engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu apa pun. Dan jika engkau berbuat dosa hingga setinggi langit, lalu engkau memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan memberikan ampunan kepadamu.” (Diriwayatkan at-Tirmidzi dengan lafazh yang serupa dengan lafazh ini, dan dia mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Hal ini dikuatkan dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur’an, di mana Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48 dan 116).

Dalam Shahib Muslim disebutkan sebuah hadits (yang diriwayatkan dari) Ibnu Mas’ud:
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk Surga.”
Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadits yang membahas mengenai hal ini.

Firman-Nya: wa bil waalidaini ihsaanan (“Berbuat baiklah kepada kedua orang tua [ibu-bapak].”) Artinya, Allah mewasiatkan dan memerintahkan kalian agar berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan Allah telah banyak mempersandingkan antara perintah berbuat taat kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya:

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan-Ku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 14-15).

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan untuk tetap berbuat baik kepada kedua orang tua meskipun keduanya musyrik. Ayat mengenai hal ini banyak jumlahnya.

Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim (terdapat hadits yang diriwayatkan), dari Ibnu Masud, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Amal perbuatan apa yang paling mulia?’ Beliau menjawab: `Shalat pada waktunya.’ `Lalu apa lagi?’ Tanyaku. Beliau menjawab: `Berbuat baik kepada kedua orang tua.’ ‘Kemudian apa lagi?’ Tanyaku lebih lanjut. `Jihad di jalan Allah,’ jawab beliau.
Ibnu Masud berkata: “Hal itu telah disampaikan langsung kepadaku oleh Rasulullah saw, seandainya aku meminta untuk ditambah, niscaya beliau akan menambahnya.”

Firman-Nya: wa laa taqtuluu aulaadakum min imlaaqin nahnu narzuqukum wa iyyaaHum (“Dan janganlah kamu membunuh anak anakmu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.”)

Setelah Allah memerintahkan berbuat baik kepada kedua orang tua dan kakek-nenek, selanjutnya Allah juga menyuruh berlaku,baik kepada anak-anak dan cucu, Allah berfirman: wa laa taqtuluu aulaadakum min imlaaqin (“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan.”)

Hal itu karena mereka dahulu membunuh anak-anak mereka seperti yang diperintahkan syaitan, mereka mengubur anak-anak perempuan karena takut aib, dan terlarang juga mereka juga membunuh sebagian anak-anak laki-laki karena takut miskin.

Mengenai hal juga disebutkan sebuah hadits dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari `Abdullah bin Masud, di mana dia pernah bertanya kepada Rasulullah:
“Apakah dosa yang paling besar?” Beliau menjawab: “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” “Lalu apa lagi?” tanyaku. Beliau menjawab: “Engkau membunuh anakmu karena takut ikut makan bersamamu.” Kutanyakan lagi: “Kemudian apa lagi?” “Engkau menzinai isteri tetanggamu,” jawab beliau. Setelah itu Rasulullah membacakan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqaan: 68).

Sedangkan firman-Nya: min imlaaqin; Ibnu `Abbas, Qatadah, as-Suddi, dan yang lainnya berkata: “Yaitu kemiskinan.” Maksudnya, janganlah kalian membunuh mereka karena kemiskinan yang menimpa kalian. Dan manakala kemiskinan itu benar terjadi, maka Allah berfirman: nahnu narzuqukum wa iyyaaHum (“Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.”) Karena inilah (keterangan) yang terpenting di sini, wallahu a’lam.

Firman-Nya: falaa taqrabul fawaahisya maa dhaHara minHaa wa maa bathana (“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.”) Penafsiran ayat ini telah dikemukakan pada pembahasan ayat sebelumnya, yaitu pada firman Allah yang artinya: “Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi.” (QS. Al-An’aam: 120).

Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Sa’ad bin `Ubadah berkata: “Seandainya aku menyaksikan seorang laki-laki bersama isteriku, niscaya aku akan menyabetnya dengan pedang tanpa ampun.” Kemudian hal itu sampai kepada Rasulullah saw, maka beliau pun bersabda: “Apakah kalian heran akan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, aku adalah orang yang lebih cemburu daripada Sa’ad, dan Allah lebih cemburu daripadaku, dari sebab itulah Allah mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.”

Wa laa taqtulun nafsal latii harramallaaHu illaa bilhaqqi (“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkizn Allah [membunuhnya] melainkan dengan suatu [sebab] yang benar.”) Ini tidak lain adalah ketetapan Allah atas larangan membunuh sebagai suatu penekanan, sebab hal itu telah termasuk dalam larangan berbuat keji baik yang tampak maupun tersembunyi.

Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah dan aku adalah Rasulullah, kecuali karena salah satu dari tiga sebab, yaitu; seorang duda atau janda yang berzina, jiwa dengan jiwa (disebabkan membunuh orang), dan orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin).”

Telah datang larangan dan sekaligus ancaman terhadap pembunuhan mu’ahid, yaitu orang yang diberikan jaminan keamanan dari kalangan musuh yang diperangi. Mengenai hal ini, Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi saw. dalam hadits marfu’:
“Barangsiapa membunuh mu’ahid, maka dia tidak akan mencium bau Surga. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari jarak perjalanan yang ditempuh selama empat puluh tahun.”

Firman-Nya: dzaalikum washshaakum biHii la’allakum ta’qiluun (“Demikian itu diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami [nya].” Dengan pengertian, inilah di antara apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian agar kalian semua memahami perintah dan larangan-Nya.

&