Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 164
21 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat
“Katakanlah: ‘Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalab Rabb bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Rabb-mulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.” (QS. al-An’aam: 164)
Allah berfirman: qul (“Katakanlah.”) Wahai Muhammad kepada orang-orang yang menyekutukan Allah dalam keikhlasan beribadah dan bertawakkal kepada-Nya: a ghairallaaHi abghii rabban (“Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah.”) Maksudnya, apakah aku harus mencari Rabb lain selain-Nya?
Wa Huwa rabbu kulli syai-in (“Padahal Dia adalab Rabb bagi segala sesuatu.”) Allahlah yang memelihara, menjaga, dan melindungiku, serta mengatur urusanku. Karena itu aku tidak akan bertawakkal dan kembali (bertaubat) kecuali kepada-Nya, karena Dia adalah Rabb dan Pemilik segala sesuatu, dan kepunyaan-Nyalah penciptaan dan perintah.
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk ikhlas bertawakkal, sebagaimana yang terkandung dalam ayat sebelumnya yang memerintahkan untuk ikhlas beribadah hanya kepada Allah saja yang tiada sekutu bagi-Nya. Makna ini seringkali disertakan dengan yang lainnya di dalam al-Qur’an, seperti misalnya firman Allah yang artinya: “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5).
Juga firman-Nya yang artinya: “Maka beribadahlah kepada Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Huud: 123). Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa dengan ayat-ayat tersebut.
Firman-Nya: wa laa taksibu kullu nafsin illaa ‘alaiHaa wa laa taziru waariratu wizra ukhraa (“Dan tidaklah seseorang berbuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”)
Ayat tersebut memberitahukan mengenai kenyataan pada hari Kiamat kelak yaitu mengenai balasan, ketentuan, dan keadilan Allah swt. Bahwa masing-masing orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya, jika baik maka akan mendapat kebaikan, dan jika buruk maka akan mendapatkan keburukan pula, dan bahwasanya seseorang tidak akan menanggung kesalahan orang lain, dan hal ini merupakan salah satu keadilan Allah.
Firman-Nya: tsumma ilaa rabbikum marji’ukum fa yunabbi-ukum bimaa kuntum fiiHi takhtalifuun (“Kemudian kepada Rabbmulah kamu kembali, dan akan diberitakannya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”) Maksudnya, berbuatlah semampu kalian, sesungguhnya kami akan berbuat pula sepenuh kemampuan kami, kemudian akan diperlihatkan kepada kalian dan kepada kami, dan Allah akan memberitahu kalian dan kami semua amal perbuatan kita, serta apa yang kita perselisihkan di dunia.
&
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 161-163
21 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Rabbku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.’ (QS. 6:161) Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, (QS. 6:162) tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ (QS. 6:163)” (al-An’aam: 161-163)
Allah berfirman, memerintahkan Nabi saw, penghulu para Rasul, untuk memberitahukan nikmat yang telah diberikan kepadanya, berupa hidayah menuju jalan-Nya yang lurus, yang tidak ada liku-liku dan penyimpangannya; diinan qayyimman (“yaitu agama yang benar”) maksudnya berdiri tegak dan kokoh.
Millata ibraaHiima haniifaw wa maa kaana minal musyrikiin (“Agama Ibrahim yang lurus dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orangorang yang musyrik.”)
Firman-Nya tersebut sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu, Ibrahim.” (QS. Al-Hajj: 78).
Dengan diperintahkannya Rasulullah untuk mengikuti agama Ibrahim, tidak berarti Ibrahim lebih sempurna daripada beliau dalam hal agama, karena beliau (Muhammad) telah menjalankan agamanya itu secara penuh, dan agamanya itu pun telah disempurnakan bagi beliau, yang tidak ada seorang pun pernah sampai pada kesempurnaan ini. Oleh karena itu beliau disebut sebagai Nabi penutup, penghulu anak cucu Adam secara menyeluruh, dan pemilik tempat terpuji yang sangat diinginkan oleh manusia termasuk juga oleh Khalilullah (kekasih Allah), Ibrahim.
Imam Ahmad mengatakan dari `Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw pernah meletakkan daguku di atas pundaknya agar aku dapat melihat tarian Habasyah (orang kulit hitam) sehingga aku bosan, lalu aku meninggalkannya.” `Abdurrahman mengatakan dari ayahnya, bahwa ia berkata, “Urwah pernah mengatakan kepadaku, bahwa `Aisyah pernah berkata: Rasulullah saw pada hari itu bersabda: `Supaya orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita terdapat keleluasaan, dan sesungguhnya aku diutus dengan membawa hanafiyyatu samhah (agama yang lurus, lagi penuh kelapangan).’”
(Asal hadits ini dikeluarkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan tambahan yang ada padanya didasari oleh beberapa dalil penguat yang diperoleh dari beberapa jalan).
Firman-Nya: qul inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaati lillaaHi rabbil ‘aalamiin (“Katakanlah: `Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.”) Allah memerintahkan Rasulullah saw agar memberitahukan kepada orang-orang musyrik yung menyembah selain Allah dan menyembelih dengan menyebut selain nama-Nya, bahwa dalam hal itu beliau berseberangan dengan mereka, karena sesungguhnya shalatnya untuk Allah dan sembelihannya adalah atas nama-Nya saja yang tiada sekutu bagi-Nya.
Dan hal ini sama seperti firman-Nya yang artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2). Dengan pengertian, serahkanlah dengan tulus ikhlas kepada-Nya, shalat dan penyembelihanmu itu. Karena orang-orang musynik itu menyembah berhala dan menyembelih untuk para berhala tersebut, maka Allah memerintah beliau untuk menyelisihi mereka dan berpaling dari apa yang mereka lakukan, dan mengarahkan tujuan, keinginan hanya tertuju pada Allah semata.
Mengenai firman-Nya: inna shalaatii wa nusukii (“Sesungguhnya shalatku dan ibadahku.”) Mujahid berkata: “Kata nusuk berarti penyembelihan hewan saat menjalankan ibadah haji dan umrah.” Sedangkan ats-Tsauri mengatakan dari as-Suddi, dari Sa’id bin Jubair, ia berkata: “Nusukii berarti sembelihanku.
Firman-Nya: wa ana awwalul muslimiin (“Dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri [kepada Allah].”) Qatadah berkata, “Yakni dari umat ini.” Dan makna ini adalah benar, karena seluruh Nabi sebelum beliau, mereka adalah menyeru kepada Islam, yang pokoknya adalah ibadah kepada Allah semata yan tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagaimana yang difirirmankanNya yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada ilah [yang berhak diibadahi] melainkan Aku maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa’: 25)
Allah juga berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya, (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh para Nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka.” (QS. Al-Maa-idah: 44)
Juga firman-Nya yang lain yang artinya:
“Dan [ingatlah], ketika Aku ilhamkan kepada pengikut `Isa yang setia, ‘Berimanlah kepada-Ku dan kepadaRasul-Rasul-Ku.’ Mereka menjawab, ‘Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).’” (QS. Al-Maa-idah: 111).
Demikianlah maka Allah memberitahukan bahwa Dia mengutus semua Rasul-Nya dengan membawa Islam, hanya saja mereka berbeda-beda syari’at sesuai dengan syari’at mereka yang khusus, yang sebagian menasakh sebagian lainnya, hingga akhirnya dinasakh oleh syari’at Muhammad saw yang tidak akan pernah dinasakh sama sekali setelah itu. Dan syari’atnya itu senantiasa berdiri tegak dan dimenangkan, panjinya pun akan tetap dan tersebar sampai hari Kiamat tiba. Oleh karena itu beliau bersabda:
“Kami para Nabi, anak dari satu bapak berbeda ibu, sedangkan agama kami adalah satu.”
Maka agama yang satu itu adalah, ibadah kepada Allah semata tidak menyekutukan-Nya, meskipun syari’at mereka berbeda-beda, syariat-syariat itu bagaikan para ibu. Sedangkan kebalikan dari Aulaadul ‘allaat adalah Ikhwatul akhyaaf, yaitu anak dari satu ibu berbeda bapak, dan ikhwatul a’yaan (saudara sekandung) adalah anak dari satu bapak satu ibu, wallaaHu a’lam.
Imam Ahmad mengatakan dari `Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah saw. jika sudah bertakbir (dalam shalat), beliau membaca do’a iftitah, kemudian membaca:
“Aku hadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi, dengan hanif (cenderung kepada tauhid), dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik (yang menyekutukan Allah). Sesungguhnya shalatku, kurbanku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, – hingga akhir ayat. `Ya Allah, Engkau adalah Raja, di mana tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Engkau. Engkau adalah Rabbku, dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat dhalim terhadap diriku sendiri, dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosa-dosaku itu seluruhnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa melainkan Engkau. Berikanlah hidayah kepadaku akhlak yang paling baik, di mana tidak ada yang dapat memberikan hidayah kepada akhlak yang paling baik kecuali Engkau, palingkanlah aku dari keburukan akhlak, di mana tidak ada yang dapat memalingkan aku dari keburukannya kecuali Engkau, Engkau penuh berkah dan Mahatinggi, aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu.”
(Bacaannya diteruskan sampai akhir [ayat 163], yaitu: “Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri [kepada Allah].” -Ed.)
(Selanjutnya `Ali ra. menyebutkan hadits ini secara lengkap, yang mencakup bacaan Rasulullah saw; pada waktu ruku’, sujud, dan tasyahhud. Hadits ini juga diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya).
&
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 160
21 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejabatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. al-An’aam: 160)
Ayat ini merupakan penjelasan yang rinci bagi ayat lainnya yang disebutkan-Nya secara mujmal (global), yaitu firman-Nya yang artinya:
“Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik darinya.” (QS. An-Naml: 89).
Terdapat banyak hadits yang sesuai dengan ayat ini, sebagaimana Imam Ahmad mengatakan dari Ibnu `Abbas, Bahwa Rasulullah saw pernah menyampaikan apa yang telah diperolehnya dari Rabbnya, Allah Tabaaraka wa Ta’ala:
“Sesungguhnya Rabbmu adalah Mahapenyayang, barangsiapa yang berniat berbuat kebaikan tetapi tidak mengerjakannya, maka ditetapkan baginya satu kebaikan. Jika dia mengerjakannya, maka ditetapkan baginya sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat hingga kelipatan yang banyak. Dan barangsiapa berniat mengerjakan perbuatan jahat, lalu dia tidak mengerjakannya, maka ditetapkan baginya satu kebaikan. Jika dia mengerjakannya, maka ditetapkan baginya satu kejahatan atau Allah menghapuskannya. Dan tidak ada yang binasa di sisi Allah melainkan orang yang binasa.” (Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i).
Ketahuilah bahwa orang yang meninggalkan kejahatan yang dia tidak kerjakan, terbagi menjadi tiga bagian:
Ada yang meninggalkannya karena Allah, maka akan ditulis baginya kebaikan atas tindakannya meninggalkan kejahatan itu karena Allah. Ini adalah merupakan amalan sekaligus niat. Oleh karena itu ditetapkan baginya kebaikan, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lafazh shahih: “Sesungguhnya dia meninggalkannya karena diri-Ku.”
Ada yang meninggalkan kejahatan karena lalai dan lupa. Dalam keadaan ini dia tidak mendapatkan kebaikan dan tidak juga berdosa, karena dia tidak berniat baik dan tidak pula mengerjakan kejahatan.
Dan ada juga yang meninggalkan kejahatan karena lemah dan malas setelah berusaha melakukan unsur-unsur yang meyebabkan terjadinya kejahatan dan membiasakan diri dalam hal-hal yang mendekatkan dirinya pada kejahatan. Maka orang ini posisinya sama sebagaimana orang yang melakukan perbuatan tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih, dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:
“Jika dua orang muslim saling berhadapan dengan pedang mereka, maka orang yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk Neraka.” Para Sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, yang demikian itu adalah bagi si pembunuh, lalu mengapa si terbunuh (mendapatkan hal yang sama)?” Beliau menjawab: “Karena sesungguhnya dia pun berkeinginan keras untuk membunuh kawannya.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Khuraim bin Fatik al-Asadi, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Manusia itu ada empat macam dan amal perbuatan itu ada enam macam: Orang yang diberi kelapangan di dunia dan juga di akhirat, orang yang dilapangkan di dunia dan disempitkan di akhirat, orang yang disempitkan di dunia dan dilapangkan di akhirat, dan orang yang sengsara di dunia dan akhirat.
Sedangkan (bentuk-bentuk) amal perbuatan adalah, (ada yang) mengandung dua keharusan (Surga atau Neraka), serupa dengan serupa, sepuluh kali lipat, dan tujuh ratus kali lipat. Dua keharusan itu adalah, barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan muslim, beriman, dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka keharusan baginya mendapatkan Surga. Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka keharusan baginya mendapat Neraka.
Barangsiapa bermaksud mengerjakan suatu kebaikan, lalu dia tidak mengerjakannya, dan Allah mengetahui bahwa dia telah menggerakkan hatinya dan berkeinginan mengerjakannya, maka ditetapkan baginya satu kebaikan. Barangsiapa berniat mengerjakan kejahatan, maka belum dituliskan baginya, dan barang-siapa mengerjakannya, maka ditetapkan baginya satu kali lipat dan tidak dilipatgandakan. Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat dari kebaikan tersebut. Dan barangsiapa menginfakkan suatu nafkah di jalan Allah, maka baginya tujuh ratus kali lipat.” (Diriwayatkan
juga oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).
Dari Abu Dzar, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa berpuasa tiga hari pada setiap bulan, berarti dia telah berpuasa sepanjang masa.”
Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, an-Nasa’i dan Ibnu Majah, lafazh-lafazh di atas adalah lafazh Imam Ahmad. Sedangkan at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits tersebut, tapi dengan tambahan:
“Lalu Allah menurunkan pembenaran hal itu melalui firman-Nya, ‘Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya.’ Dan satu hari adalah sebanding/dibalas dengan sepuluh hari.”
(Kemudian at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).
&
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 159
21 DesTafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kmudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. al-An’aam: 159)
Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak, dan as-Suddi berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Namun secara lahiriyah, ayat di atas bersifat umum, berlaku bagi setiap orang yang memisahkan diri dari agama Allah dan menentang-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas segala agama, dan syari’at-Nya hanyalah satu yang tidak ada pertentangan dan perpecahan di dalamnya. Barangsiapa berselisih mengenai agama itu,
Wa kaanuu syiya’an (“Dan mereka [terpecah] menjadi beberapa golongan.”) Yaitu, beberapa firqah/golongan, sebagaimana penganut beberapa agama, penganut hawa nafsu, dan kesesatan, maka Allah telah membebaskan Rasulullah saw. dari apa yang mereka lakukan.
Ayat ini sama seperti firman-Nya yang artinya:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu.” (QS. Asy-Syuura: 13).
Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Kami para Nabi adalah anak dari satu bapak berbeda ibu, dan agama kami adalah satu.”
Inilah ash-Shiraathul Mustaqiim (jalan yang lurus), yaitu apa yang telah dibawa oleh para Rasul-Nya, berupa peribadatan kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan berpegang teguh dengan syari’at Rasul yang terakhir. Sedangkan yang menyelisihi semua itu, maka hal itu merupakan kesesatan, kebodohan, pendapat dan hawa nafsu, dan para Rasul terlepas dari tanggung jawab atas semuanya itu, sebagaimana yang difirmankan Allah:
Lasta minHum fii syai-in innamaa amruHum ilallaaHi tsumma yunabbi-uHum bimaa kaanuu yaf’aluun (“Tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanya [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”)
Kemudian Allah menjelaskan kelembutan dan keadilan-Nya pada hari Kiamat, Allah berfirman:
&