Arsip | 00.39

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 55-59

17 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 55-59“55. dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. 56. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah.’ Katakanlah: ‘Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku Termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.’ 57. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.’ 58. Katakanlah: ‘Kalau Sekiranya ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada antara aku dan kamu. dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang zalim. 59. dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (al-An’aam: 55-59)

Allah berfirman, sebagaimana sebelumnya Kami telah menjelaskan berbagai hujjah dan dalil jalan petunjuk, bimbingan serta celaan terhadap bantah-membatah dan keingkaran.

Wa kadzaalika nufash-shilul aayaati (“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an.”) yang penjelasannya memang dibutuhkan oleh orang-orang yang diseru [oleh al-Qur’an].

Wa litastabiina sabiilul mujrimiin (“Supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa.”) maksudnya supaya tampak jelas jalan orang-orang yang berbuat dosa dan selalu menentang para Rasul. Dan ayat ini juga dibaca: Wa litastabiina sabiilal mujrimiin; maksudnya agar engkau hai Muhammad, atau orang yang diseru, melihat jelas jalan orang-orang yang berbuat dosa.

Firman-Nya: qul innii ‘alaa bayyinatim mir rabbii (“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku [berada] di atas hujjah yang nyata [al-Qur’an] dari Rabbku.’”) yakni berada di atas ilmu dari syariat Allah yang diwahyukan kepadaku.

Wa kadzdzabtum biHii (“sedang kamu mendustakannya.”) yaitu mendustakan kebenaran yang datang kepadaku dari Allah.

Maa ‘indii maa tasta’jiluuna biHii (“Bukanlah wewenangku [untuk menurunkan] apa yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya.”) yaitu kedatangan adzab.

Inil hukmu illallaaHi (“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”) maksudnya masalah itu urusannya kembali kepada Allah, jika Dia menghendaki Dia akan menyegerakan apa yang kalian minta itu, dan jika Dia menghendaki maka Dia akan mengakhirkannya. Karena pada yang demikian itu Allah mempunyai hikmah yang besar.

Oleh karena itu Allah berfiman: yaqushshul haqqa wa Huwa khairul faashiliin (“Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.”) artinya Dialah sebaik-baik Pemberi ketetapan dan keputusan di antara hamba-hamba-Nya.

Firman-Nya lebih lanjut: qul lau anna ‘indii maa tasta’jiluuna biHii laqudliyal amru bainii wa bainakum (“Katakanlah: ‘Kalau sekiranya ada padaku apa [adzab] yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada di antara aku dan kamu.”)

Maksudnya seandainya kembalinya hal itu padaku, niscaya aku akan timpakan kepada kalian apa yang selayaknya kalian harus terima.

wallaaHu a’lamu bidh dhaalimiin (“Dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang dhalim.”)

Jika ditanya, bagaimanakah menyatukan pengertian antara ayat ini dan apa yang ditegaskan dalam ash-shahihain, dari ‘Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ya Rasulallah, apakah engkau pernah mengalami suatu hari yang lebih parah dari hari terjadinya Perang Uhud?” beliau bersabda: “Sesungguhnya aku pernah mengalami suatu hal dari kaummu yang lebih parah dari apa yang aku alami, yaitu saat terjadinya peristiwa ‘Aqabah. Pada saat itu aku menjelaskan keadaanku kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdi Kilal, namun ia tidak memenuhi apa yang kuinginkan.

Lalu aku berangkat dengan kesedihan yang mendalam dan aku tidak sadar bahwa aku telah sampai di Qarnuts Tsa’alib, lalu aku menengadahkan kepalaku ternyata ada awan yang menaungiku. Lalu kulihat ternyata di dalamnya ada Jibril as., lalu ia berseru kepadaku seraya berucap: ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan juga penolakan mereka terhadapmu, dan Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk kamu, yang kamu bebas menyuruhnya apa saja yang kamu kehendaki terhadap mereka.’

Maka malaikat penjaga gunung itu berseru kepadaku seraya mengucapkan salam kepadaku. Selanjutnya ia berkata: ‘Hai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan Rabbku telah mengutusku kepadamu supaya engkau menyuruhku apa saja yang engkau kehendaki. Jika engkau berkenan, aku akan timpakan kepada mereka dua gunung.’

Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Bahkan aku mengharapkan agar Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.’” (Hadits ini berdasarkan lafadz [riwayat] Imam Muslim).

Dengan demikian, malaikat penjaga gunung telah menawarkan kepada Rasulullah saw. agar ditimpakan adzab kepada mereka atau mereka sama sekali dilenyapkan. Namun beliau minta penangguhan hukuman bagi mereka dengan harapan supaya Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Lalu bagaimana menyatukan antara hal itu dan firman Allah:

qul lau anna ‘indii maa tasta’jiluuna biHii laqudliyal amru bainii wa bainakum wallaaHu a’lamu bidh dhaalimiin (“Katakanlah: ‘Kalau sekiranya ada padaku apa [adzab] yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada di antara aku dan kamu. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang dhalim.”)

Jawabannya adalah [wallaaHu a’lam]: bahwa ayat ini menunjukkan jika penimpaan adzab yang mereka minta penyegeraannya itu kembalinya kepada Rasulullah saw., ketika mereka memintanya kepada beliau, niscaya mereka akan menimpakannya kepada mereka. Adapun hadits tersebut di dalamnya tidak mengandung pengertian bahwa mereka minta untuk disegerakan adzab kepada mereka. Tetapi yang menawarkan penyegeraan adzab itu adalah malaikat penjaga gunung, jika beliau berkenan malaikat itu akan menimpakan dua gunung kepada mereka. Keduanya adalah gunung Makkah yang mengapit Makkah pada sisi sebelah selatan dan utara. Oleh karena itu, Rasulullah saw. meminta penundaan bagi mereka serta memohonkan belas kasihan bagi mereka.

Firman Allah: wa ‘indaHuu mafaatihul ghaibi laa ya’lamuHaa illaa Huwa (“Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.”)

Al-Bukhari meriwayatkan dari Salim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Kunci alam ghaib itu ada lima, yang tidak diketahui oleh Allah semata. ‘Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui [dengan pasti] apa yang akan diusahakannya besok, serta tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.’ [QS. Luqman: 34].”

Firman-Nya: wa ya’lamu maa fil barri wal bahri (“Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan.”) maksudnya ilmu Allah Yang Mahamulia itu meliputi segala yang ada, baik yang ada di darat maupun di laut, dan tidak ada sedikitpun dari hal itu yang tersembunyi dari-Nya, tidak juga sekecil apa pun di bumi maupun di langit.

Firman Allah: wa maa yasquthu miw waraqatin illaa ya’lamuHaa (“Dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Allah mengetahuinya [pula].”) maksudnya Allah mengetahui semua gerakan bahkan gerakan benda-benda mati sekalipun. Jika demikian adanya, lalu bagaimana dugaanmu tentang pengetahuan Allah terhadap gerakan binatang, apalagi gerakan makhluk yang diberi taklif, baik jin maupun manusia.

Firman Allah: wa laa habbatin fii dhulumaatil ardli walaa rathbiw walaa yaabisin illaa fii kitaabim mubiin (“Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bummi dan tidak [pula] sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata.”)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Allah menciptakan an-Nun, yaitu tinta, dan Allah juga menciptakan alwah. Kemudian Allah menuliskan semua urusan dunia di dalamnya hingga tuntas penulisan penciptaan makhluk, atau rizki yang halal maupun yang haram, amal kebaikan maupun amal keburukan,” lalu Ibnu Abbas membaca ayat ini:

wa maa yasquthu miw waraqatin illaa ya’lamuHaa wa laa habbatin fii dhulumaatil ardli walaa rathbiw walaa yaabisin illaa fii kitaabim mubiin (“Dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Allah mengetahuinya [pula]. Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bummi dan tidak [pula] sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata.[Lauhul mahfudz]”)

alwah: jamak dari lauh yang berarti “papan, batu, atau yang sejenisnya”, yang ditulisi di atasnya, atau dapat juga berarti “lembaran-lembaran tulisan.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 50-54

17 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 50-54“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya)? Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedangkan bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafaat pun selain dari Allah, agar mereka bertakwa. Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggungjawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim. Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang yang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada Nya) ?’ Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Salamun ‘alaikum,’ Tuhan kalian telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwa barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-An’am: 50-54)

Allah Swt. berfirman kepada Rasul-Nya: qul laa aquulu lakum ‘indii khazaa-inullaaHi (“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku.'”) (Al An’am: 50)
Dengan kata lain, aku tidak memilikinya dan tidak pula mengaturnya.

Wa laa a’lamul ghaiba (“dan tidak [pula] aku mengetahui yang gaib.”) (Al An’am: 50)
Yakni aku pun tidak mengatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya aku mengetahui perkara yang gaib, karena sesungguhnya hal yang ghaib itu hanya diketahui oleh Allah swt. saja; dan aku tidak dapat mengetahuinya kecuali sebatas apa yang telah diperlihatkan oleh Allah kepadaku.

Wa laa aquulu lakum innii malakun (“dan tidak [pula] aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat. (Al An’am: 50)
Artinya, aku tidak mendawakan diri bahwa diriku adalah malaikat, melainkan hanyalah seorang manusia yang diberi wahyu oleh Allah Swt. Allah Swt . telah memuliakan diriku dengan wahyu itu dan mengaruniaiku dengannya sebagai nikmat dari-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

In attabi’u illaa maa yuuhaa ilayya (“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”) (Al-An’am: 50)
Yakni aku tidak pernah menyimpang darinya barang sejengkal pun, tidak pula kurang dari itu.

Qul Hal yastawil a’maa wal bashiir (“Katakanlah. “Apakah sama orang yang buta dan orang yang melihat?”) (Al An’am: 50)
Maksudnya, apakah orang yang mengikuti kebenaran dan mendapat petunjuk kepada perkara yang benar sama dengan orang yang sesat darinya dan tidak mau mengikutinya?

A falaa tatafakkaruun (“Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya.)?”) (Al An’am: 50)
Ayat ini semakna dengan ayat lain yang menyebutkan melalui firmanNya:

“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,”) (Ar Ra’d: 19)

Mengenai firman Allah Swt.: wa andzir biHil ladziina yakhaafuuna ay yuhsyaruu ilaa rabbiHim laisa laHum min duuniHii waliyyuw walaa syafii’ (“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya [pada hari kiamat], sedangkan bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafaat pun.”) (Al An’am: 51)

Artinya, berilah peringatan dengan Al Qur’an ini, hai Muhammad !

“Orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka.” (Al Muminun: 57)
Yaitu orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.

Firman Allah Swt.:
wa andzir biHil ladziina yakhaafuuna ay yuhsyaruu ilaa rabbiHim (“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya [pada hari kiamat],”) (Al An’am: 51) Yakni pada hari kiamat nanti.

laisa laHum (“sedangkan bagi mereka tidak ada”) maksudnya pada hari itu [kiamat].
min duuniHii waliyyuw walaa syafii’ (“seorang pelindung dan pemberi syafaat pun.”). (Al An’am: 51)
Yakni tidak ada kaum kerabat bagi mereka dan tidak ada orang yang dapat memberikan pertolongan kepada mereka dari azab Allah, bilamana Allah berkehendak menimpakannya kepada mereka.

La’allaHum yattaquun (“agar mereka bertakwa.”) (Al An’am: 51)
Artinya, peringatkanlah akan kejadian hari kiamat ini, karena tidak ada hakim pada hari tersebut kecuali hanya Allah Swt. semata.

La’allaHum yattaquun (“agar mereka bertakwa.”) (Al An’am: 51)

Karena itu, lalu mereka mau mengerjakan amal perbuatan di dunia ini, yang menyebabkan Allah menyelamatkan mereka pada hari kiamat nanti dari azab-Nya, dan Allah melipatgandakan pahala-Nya kepada mereka dengan lipat ganda yang banyak.

Firman Allah Swt.: wa laa tathrudil ladziina yad’uuna rabbaHum bil ghadaati wal ‘asyiyyi yuriiduuna wajHaHu (“Dari janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya.”) (Al An’am: 52)

Dengan kata lain, janganlah mengusir orang-orang yang menyandang predikat tersebut dari sisimu, melainkan jadikanlah mereka sebagai teman-teman dudukmu dan teman-teman dekatmu. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaanNya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Adapun firman Allah Swt.: yad’uuna rabbaHum (“orang-orang yang menyeru Tuhannya.”) (Al An’am: 52) Yakni menyembahNya dan memohon kepada-Nya.

Bil ghadaati wal ‘asyiyyi (“di pagi hari dan petang hari.”) (Al An’am: 52)

Menurut Sa’id ibnul Musayyab, Mujahid, dan Qatadah, makna yang dimaksud ialah salat fardu. Makna doa dalam ayat ini adalah seperti yang dianjurkan oleh firman-Nya:

“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu (serulah Aku), niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian.” (Al-Mumin: 60) Maksudnya, Aku menerima doa kalian.

Firman Allah Swt.: yuriiduuna wajHaHu (“sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya.”) (Al An’am: 52) Yakni dengan amalnya itu mereka menghendaki ridla Allah, mereka kerjakan semua ibadah dan amal ketaatan dengan hati yang ikhlas karena Allah.

Firman Allah Swt.: maa ‘alaika min hisaabiHim min syai-iw wamaa min hisaabika ‘alaiHim min syai-in (“Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu.”) (Al An’am: 52)

Seperti yang dikatakan oleh Nabi Nuh a.s. dalam menjawab ucapan orang-orang yang mengatakan, “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina ?”

“Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan? Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kalian menyadari.” (Asy-Syu’ara: 112-113)

Dengan kata lain, sesungguhnya perhitungan amal perbuatan mereka hanyalah kepada Allah Swt., dan aku tidak memikul tanggung jawab hisab mereka barang sedikitpun, sebagaimana mereka pun tidak bertanggung jawab sedikit pun terhadap perhitungan amal perbuatanku.

Firman Allah Swt.: fa tathrudaHum fatakuuna minadh dhaalimiin (“Yang menyebabkan kamu [berhak] mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim.”) (Al An’am: 52).

Yakni jika kamu melakukan hal tersebut, akibatnya adalah seperti itu.

Imam Ahmad mengatakan dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa ada segolongan pemuka Quraisy lewat di hadapan Rasulullah Saw. Pada saat itu di sisi beliau terdapat Khabbab, Suhaib, Bilal, dan Ammar. Lalu mereka (para pemuka Quraisy) berkata, “Hai Muhammad, apakah kamu rela menjadi teman orang-orang itu (yakni yang ada di sisi Nabi Saw.) ?” Maka turunlah ayat ini:

“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya.” (Al-An’am: 51) sampai dengan firman-Nya:
Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya) ?” (Al An’am: 53)
(Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir)

Firman Allah selanjutnya: kadzaalika fatannaa ba’dlaHum biba’dlin (“Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka [orang-orang kaya] dengan sebagian mereka [orang-orang miskin].”) maksudnya Kami mencoba dan menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain.

Liyaquuluu a Haa ulaa-i mannallaaHu ‘alaiHim mim baininaa (“Supaya [orang-orang kaya itu] berkata: ‘Orang macam inikah di antara kita yang di beri anugerah oleh Allah kepada mereka?’”)

Yang demikian itu adalah karena Rasulullah saw. pada awalnya diutus sebagai rasul, kebanyakan pengikutnya adalah kaum dluafa, budak laki-laki maupun perempuan, tidak ada orang-orang terpandang mengikutinya melainkan hanya sedikit.

Sebagaimana Heraklius, Raja Romawi bertanya kepada Abu Sufyan: “Apakah pengikutnya itu berasal dari kalangan orang-orang terhormat atau kaum dluafa?” Abu Sufyan menjawab: “Yang mengikutinya adalah kaum dluafa.” Kemudian Heraclius berkata: “Mereka itu adalah pengikut para Rasul.”

Maksudnya bahwa orang-orang musyrik Quraisy itu mencela orang-orang dluafa’ yang beriman bahkan menyiksa mereka yang sanggup mereka siksa. Orang-orang Quraisy itu berkata: “Apakah mereka itu orang-orang di antara kami yang mendapat anugerah dari Allah?” Artinya, tidak mungkin Allah akan menunjukkan mereka ke jalan kebaikan, jika sekiranya yang mereka ikuti itu baik, dan bersamaan dengan itu Allah membiarkan kami. Yang demikian itu sama dengan seperti ucapan mereka:

“Kalau sekiranya ia [al-Qur’an] adalah sesuatu yang baik, tentulah mereka tidak mendahului kami [beriman] kepadanya.” (al-Ahqaaf: 11)

Allah menjawab mereka ketika mereka berkata: a Haa ulaa-i mannallaaHu ‘alaiHim mim baininaa alaisallaaHu bi a’lama bisy syaakiriin (“‘Orang macam inikah di antara kita yang di beri anugerah oleh Allah kepada mereka?’ [Allah berfirman:] ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur kepada-Nya?”)

Maksudnya, bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya, baik melalui ucapan, perbuatan, maupun hati kecil mereka, sehingga Allah memberikan taufiq dan hidayah kepada mereka menuju jalan keselamatan serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya dengan seizin-Nya, dan Allah memberikan mereka petunjuk ke jalan yang lurus.

Dalam hadits shahih disebutkan, dimana Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk kalian dan tidak juga melihat warna kulit kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”

Firman-Nya: wa idzaa jaa-akal ladziina yu’minuuna bi aayaatinaa faqul salaamun ‘alaikum (“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: ‘Salaamun ‘alaikum.’”)

Maksudnya muliakanlah mereka dengan menjawab salam kepada mereka serta sampaikanlah kabar gembira dengan rahmat Allah yang sangat luas lagi sempurna. Oleh karena itu Allah berfirman:

Kataba rabbukum ‘alaa nafsiHir rahmata (“Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.”) maksudnya Allah telah mewajibkan rahmat atas diri-Nya yang Mahamulia, sebagai karunia, kebaikan, dan anugerah dari-Nya.

annaHuu man ‘amila min kum suu-am bijaHaalatin (“[yaitu] bahwasannya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan.”) sebagian ulama salaf mengatakan: “Setiap orang yang durhaka kepada Allah, maka ia adalah bodoh [jahil].”

Tsumma taaba mim ba’diHi wa ashlaha (“Kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan.”) yaitu menjauhi dan sekaligus melepaskan diri dari berbagai maksiat yang dulu ia kerjakan, serta berkemauan keras untuk tidak mengulanginya dan memperbaiki amal perbuatan pada masa-masa mendatang.

Fa annaHuu ghafuurur rahiim (“Maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”)

Imam Ahmad mengatakan: Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Setelah Allah menetapkan [menciptakan] makhluk, Allah menuliskan dalam sebuah kitab yang ada di sisi-Nya di atas ‘Arsy, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.’” (HR al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih keduanya).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 46-49

17 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 46-49“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hati kalian, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepada kalian?’ Perhatikanlah, bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga). Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, jika datang siksaan Allah kepada kalian dengan sekonyong-konyong atau terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Alllah) selain dari orang-orang yang zalim?’ Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (al-An’am: 46-49)

Allah Swt. berfirman kepada Rasul Nya, bahwa: katakanlah kepada mereka yang mendustakan dan ingkar kepada kekuasaan Allah Swt.:

Ara-aitum in akhadzallaaHu sam’akum wa abshaarakum (“Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan kalian.”) (Al An’am: 46)
Yakni Di a mencabutnya dari kalian sebagaimana Dia telah memberikannya kepada kalian, seperti yang disebutkan dalam firman lain:

“Dialah Yang menciptakan kalian dan menjadikan bagi kalian pendengaran dan penglihatan.” (Al-Mulk: 23), hingga akhir ayat.

Dapat diinterpretasikan pula bahwa ungkapan ini mengandung makna larangan menggunakan pendengaran dan penglihatan selain menurut apa yang diperintahkan oleh syariat, karena pada firman selanjutnya disebutkan:

Wa khatama ‘alaa quluubikum (“serta menutup hati kalian.”) (Al An’am: 46)

Perihalnya sama dengan yang disebutkan oleh firman-Nya: “atau siapakah yang kuasa [menciptakan] pendengaran dan penglihatan?” (Yunus : 31)

“dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghalang-halangi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24)

Mengenai firman Allah Swt.: man ilaaHun ghairullaaHi ya’tiikum biHii (“siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepada kalian?” (Al An’am: 46)

Artinya, apakah ada seseorang selain Allah yang dapat mengembalikan hal itu kepada kalian, jika Allah mencabutnya dari kalian? Jelas tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya selain Allah Swt. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:

Undhur kaifa nusharriful aayaati (“Perhatikanlah, bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan
Tanda-tanda kebesaran [Kami].”) (Al An’am: 46)
Yakni Kami terangkan, Kami jelaskan, dan Kami tafsirkan tanda-tanda tersebut yang semuanya menunjukkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan semua yang mereka sembah selain Allah adalah batil dan sesat.

Tsumma Hum yashdifuun (“kemudian mereka tetap berpaling [juga].”) (Al An’am: 46)
Yaitu sekalipun dengan adanya keterangan yang jelas itu, mereka tetap berpaling dari kebenaran dan menghalang-halangi manusia untuk mengikutinya.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yasdifuuna ialah menyimpang. Menurut Muj ahid dan Qatadah adalah berpaling, sedangkan menurut As-Saddi menghambat (menghalang-halangi).

Firman Allah Swt.: qul ara-aitum in ataakum ‘adzaabullaaHi baghtatan (“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, jika datang siksaan Allah kepada kalian dengan sekonyong-konyong.’”) (Al An’am: 47) yakni kalian tidak merasakannya sehingga kedatangannya mengejutkan kalian.

Au jaHratan (“atau terang-terangan.”) (Al An’am: 47) Maksudnya, dengan jelas dan kelihatan.

Hal yuHlaku illal qaumudh dhaalimuun (“maka adakah yang dibinasakan [Allah], selain dari orang-orang yang dhalim?”) (Al An’am: 47)
Yakni sesungguhnya pembinasaan itu hanyalah meliputi orang-orang yang berbuat aniaya terhadap dirinnya sendiri, karena kemusyrikan mereka. Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang selalu menyembah-Nya semata serta tidak mempersekutukan-Nya. Maka tiada ketakutan yang mencekam mereka, tidak pula mereka bersedih hati; perihalnya sama dengan yang disebutkan oleh firmanNya:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik).” (Al An’am: 82), hingga akhir ayat.

Adapun Firman Allah Swt.: wa maa nursilul mursaliina illaa mubasysyiriina wa mundhiriin (“Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan.”) (Al An’am: 48)
Artinya, menyampaikan berita gembira kebaikan kepada hamba-hamba Allah yang beriman, dan memberi peringatan kepada orang-orang yang kafir kepada Allah dengan pembalasan Allah dan siksaan-siksaan-Nya. Dalam ayat selanjutnya disebutkan:

Fa man aamana wa ashlaha (“Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan.”) (Al-An’am: 48) Yakni barang siapa yang hatinya beriman kepada apa yang disampaikan oleh para rasul dan memperbaiki amal perbuatannya dengan mengikuti petunjuk mereka.

Falaa khaufun ‘alaiHim (“maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka.”) (Al An’am: 48)
Yaitu bila dikaitkan dengan masa depan mereka.

Wa laa Hum yahzanuun (“dan tidak [pula] mereka bersedih hati.”) (Al An’am: 48)
Yakni bila dikaitkan dengan masa lalu mereka dan apa yang mereka tinggalkan di belakang mereka menyangkut perkara duniawi dan aneka ragamnya. Allahlah yang menjadi pelindung mereka dari apa yang telah mereka tinggalkan, dan Allahlah yang memelihara mereka dari masa lalunya.

Kemudian Allah Swt. berfirman: wal ladziina kadzdzabuu bi-aayaatinaa lamassuHumul ‘adzaabu bimaa kaanuu yafsuquun (“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”) (Al An’am: 49)

Maksudnya, mereka akan mendapatkan adzab karena kekafiran mereka terhadap apa yang telah disampaikan oleh para rasul, dan karena mereka menyimpang jauh dari perintah-perintah Allah, tidak mau taat kepada-Nya, selalu mengerjakan hal-hal yang dilarang dan yang diharamkan-Nya serta selalu melanggar batasan-batasan yang diharamkanNya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 40-45

17 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 40-45“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepada kalian, atau datang kepada kalian hari kiamat, apakah kalian menyeru (tuhan) selain Allah, jika kalian orang-orang
Yang benar.” (Tidak), tetapi hanya Dialah yang kalian seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kalian berdoa kepadaNya, jika Dia menghendaki, dan kalian tinggalkan sembahan-sembahan yang kalian sekutukan (dengan Allah). Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka. Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’am: 40-45)

Allah Swt. menceritakan bahwa Dialah Yang Maha Melaksanakan apa yang Dia kehendaki terhadap makhlukNya menurut apa yang Dia sukai. Tiada akibat bagi hukumNya, dan tidak ada seorang pun yang mampu memalingkan hukum-Nya terhadap makhluk-Nya,bahkan Dialah semata yang tiada sekutu bagiNya. Apabila diminta, maka Dia memperkenankan terhadap orang yang dikehendakiNya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

Qul ara-aitakum in ataakum ‘adzaabullaaHi au atatkumus saa’atu (“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika dalang siksaan Allah kepada kalian, atau datang kepada kalian hari kiamat )” (Al An’am: 40)

Yakni datang kepada kalian ini atau yang itu.

A ghairallaaHi tad’uuna in kuntum shaadiqiin (“apakah kalian menyeru [tuhan] selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.”) (Al An’am: 40)

Artinya janganlah kalian menyeru kepada, selain Allah, karena kalian mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menghilangkan hal itu selain Dia sendiri. Karena itulah dalam akhir ayat disebutkan:

In kuntum shaadiqiin (“jika kalian orang-orang yang benar.”) (Al An’am: 40)

Yaitu dalam pengambilan kalian selain Allah sebagai tuhan-tuhan kalian.

Bal iyyaaHu tad’uuna fa yaksyifu tad’uuna ilaiHi insyaa-a wa tansauna maa tusyrikuun (“[Tidak], tetapi hanya Dialah yang kalian seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kalian berdoa kepadaNya, jika Dia menghendaki, dan kalian tinggalkan sembahan-sembahan yang kalian sekutukan [dengan Allah].”) (Al An’am: 41)

Maksudnya, dalam keadaan darurat kalian tidak menyeru siapa pun selain Allah, dan lenyaplah dari pikiran kalian berhala-berhala dan sembahan-sembahan kalian. Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt.:

“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kalian seru, kecuali Dia (Al-Isra: 67), hingga akhir ayat.

Adapun firman Allah Swt.: wa laqad arsalnaa ilaa umamim min qablika fa akhadznaaHum bil ba’saa-i (“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus [rasul-rasul] kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan [menimpakan] kesengsaraan.”) (Al An’am: 42) Yakni kemiskinan dan kesempitan dalam hidup.

Wadl dlarrraa-i (“dan kemelaratan.”) (Al An’am: 42) Yaitu penyakit dan hal-hal yang menyakitkan.

La’allaHum yadlarra’uun (“supaya mereka bermohon [kepada Allah] dengan tunduk merendahkan diri.”) (Al An’am: 42) Maknanya adalah meminta kepada Allah, merendahkan diri kepada-Nya dengan penuh rasa khusyuk.

Allah Swt. berfirman: fa lau laa idz jaa-aHum ba’sunaa tadlarra’uun (“Maka mengapa mereka tidak memohon [kepada Allah] dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka.”) (Al An’am: 43)

Artinya, mengapa manakala Kami uji mereka dengan hal tersebut, mereka tidak memohon kepada Kami dengan tunduk merendahkan diri dan mendekatkan diri kepada Kami ?

Wa laa kin qasat quluubuHum (“bahkan hati mereka telah menjadi keras.”) (Al An’am: 43)
Yakni hatinya keras membangkang dan tidak dapat khusyuk.

Wa zayyana laHumusy syaithaanu maa kaanuu ya’maluun (“dan setan pun menampakkan kepada mereka keindahan apa yang selalu mereka kerjakan.”) (Al An’am: 43)
Yaitu kemusyrikan, keingkaran, dan perbuatan-perbuatan maksiat.

Fa lammaa nasuu maa dzukkiruu biHii (“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka.”) (Al An’am: 44)
Maksudnya mereka berpaling dari peringatan itu dan melupakannya serta menjadikannya terbuang di belakang punggung mereka.

Fatahnaa ‘alaiHim abwaaba kulli syai-in (“Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka.”) (Al-An’am: 44)
Yakni Kami bukakan bagi mereka semua pintu rezeki dari segala jenis yang mereka pilih. Hal itu merupakan istidraj dari Allah buat mereka dan sebagai pemenuhan terhadap apa yang mereka inginkan, kami berlindung kepada Allah dari tipu muslihat-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

Hattaa idzaa farihuu bimaa uutuu (“sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka.”) (Al An’am: 44)
Yakni berupa harta benda yang berlimpah, anak yang banyak, dan rezeki melimpah ruah.

akhadznaaHum baghtatan (“Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong.”) (Al An’am: 44)
Yaitu di saat mereka sedang lalai.

Fa idzaa Hum mublisuun (“maka ketika itu mereka terdiam putus asa.”) (Al An’am: 44)
Artinya putus harapan dari semua kebaikan.

Al-Walibi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-mublis artinya orang yang putus asa.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, “Barang siapa yang diberi keluasan oleh Allah, lalu ia tidak memandang bahwa hal itu merupakan ujian baginya, maka dia adalah orang yang tidak mempunyai pandangan. Dan barang siapa yang disempitkan oleh Allah, lalu ia tidak memandang bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh Allah, maka dia adalah orang yang tidak mempunyai pandangna.” Kemudian Al-Hasan al-Basri membacakan firmanNya [yang artinya]:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka. Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44)

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, “Kaum itu telah teperdaya. Demi Tuhan [Pemilik] Ka’bah, mereka diberi, kemudian disiksa.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Qatadah mengatakan bahwa siksaan yang menimpa suatu kaum secara tiba-tiba merupakan urusan Allah. Dan tidak sekali-kali Allah menyiksa suatu kaum melainkan di saat mereka tidak menyadarinya dan dalam ke ada an lalai serta sedang tenggelam di dalam kesenangannya. Karena itu janganlah kalian teperdaya oleh ujian Allah, karena sesungguhnya tidaklah teperdaya oleh ujian Allah kecuali hanya kaum yang fasik (durhaka). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya:
Fatahnaa ‘alaiHim abwaaba kulli syai-in (“Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka.”) (Al-An’am: 44) Bahwa makna yang dimaksud ialah kemakmuran dan kesenangan duniawi.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Rasyidin (yakni Ibnu Sa’d alias Abui Hajjaj Al Muhri) , dari Harmalah ibnu Imran At-Tajibi, dari Uqbah ibnu Muslim, dari Uqbah ibnu Amir , dari Nabi Saw. yang telah
bersabda:

“Apabila kamu lihat Allah memberikan kesenangan duniawi kepada seorang hamba yang gemar berbuat maksiat terhadap-Nya sesuka hatinya, maka sesungguhnya hal itu adalah istidraj [membinasakannya secara perlahanlahan].”
Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firmanNya:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka. Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44)

Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Harmalah dan Ibnu Luhai’ah, dari Uqbah ibnu Muslim, dari Uqbah ibnu Amir dengan lafaz yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Irak ibnu Khalid ibnu Yazid, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Ubadah ibnus Samit, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

“Apabila Allah menghendaki kelestarian atau kemakmuran suatu kaum, maka Dia memberi mereka rezeki berupa sifat ekonomis dan memelihara kehormatan. Dan apabila Dia menghendaki perpecahan suatu kaum, maka Dia membukakan bagi mereka atau dibukakan untuk mereka pintu khianat. ‘Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.’ (Al An’am: 44).”

Seperti apa yang disebutkan oleh firman selanjutnya: faquthi’a daabirul qaumil ladziina dhalamuu, walhamdu lillaaHi rabbil ‘aalamiin (“Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”) (Al An’am: 45)

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahma d dan lain-lainnya.

&