Arsip | 09.16

Kubur adalah Persinggahan Akhirat yang Pertama

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Hani’ bin Utsman, dia berkata, “Apabila Utsman ra berdiri di hadapan sebuah kubur, dia menangis sampai membasahi janggutnya. Maka seseorang menegurnya, ‘Ketika mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis. Kenapa engkau menangis karena melihat kubur ini?’
Utsman menjawab, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda: ‘Sesungguhnya kubur adalah persinggahan pertama di alam akhirat. Jika seseorang selamat dari [fitnah] kubur, maka selanjutnya akan lebih mudah. Dan jika dia tidak selamat, maka selanjutnya akan lebih sulit baginya.’ (Hasan; Sunan Ibnu Majah [4267] dinyatakan shahih oleh Ahmad Syakir ra)

Dan kata Utsman pula: Sabda Rasulullah saw.: ‘Tidak satupun pemandangan yang aku lihat, kecuali kubur tetap lebih seram daripadanya.’ (hasan al-Jami’ [5623] karya al-Albani)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (Muhaqqiq tidak mentakhrij hadits dari at-Tirmidzi ini. Dan hadits ini dinyatakan hasan gharib, diriwayatkan dengan sanad dari Hani’ juga, dalam kitab az-Zuhud an Rasulullah, bab Maa jaa-a fii dzikral al maut). Dan ditambahkan oleh Razin, katanya, “Dan saya mendengar Utsman melantunkan sebuah syair di depan sebuah kubur;

Jika kau selamat dari fitnah kubur,
Niscaya selamat dari yang lebih dahsyat.
Jika tidak, sungguh aku tak bisa bertutur,
Kau bakal bisa selamat.

Ibnu Majah juga telah meriwayatkan dari al-Barra’, dia berkata, “Pernah kami bersama Rasulullah saw. menghadiri jenazah. Maka beliau duduk di tepi kubur, lalu menangis dan membuat yang lain-lain ikut menangis, sampai membasahi tanah, kemudian beliau bersabda, ‘Hai saudara-saudaraku, untuk hal seperti ini bersiap-siaplah kamu sekalian.’” (Shahih; Ahkam al-Jana-iz [200] karya al-Albani)

&

Dahsyatnya Permulaan Maut

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Dalam pembahasan sebelumnya sudah disebutkan hadits dari Jabir bin Abdullah ra, dimana dia berkata, sabda Rasulullah saw:

“Jangan kamu sekalian menginginkan mati, karena kedahsyatan di awal kematian amatlah berat…” (Dlaif: as-Silsilah adl-Dlaifah [885], karya al-Albani [lihat hadits keempat dari bab Larangan Menginginkan Mati]. Namun dalam catatan kakinya dijelaskan bahwa hadits ini hasan, dari al-Bazzar diriwayatkan oleh Ahmad. Sedangkan dalam penjelasan lain, dikatakan bahwa hadits ini marfu’, dari al-Harits bin Abi Yazid, dari Jabir bin Abdillah, dalam Musnad Ahmad no 14037])

Ketika Umar bin al-Khaththab ra. ditikam, berkatalah seseorang kepadanya, “Sesungguhnya aku berharap kulitmu tidak tersentuh api neraka.” Umar pun menatap orang itu kemudian berkata, “Sesungguhnya orang yang kamu perdayakan benar-benar bisa terpedaya. Demi Allah, andaikan aku memiliki semua yang ada di muka bumi, niscaya aku jadikan tebusan, karena dahsyatnya permulaan maut.”

Abu Darda ra. berkata, “Ada tiga hal yang membuat aku tertawa, dan ada tiga hal yang membuatku menangis. Aku tertawa melihat orang yang mendambakan dunia, padahal ia dikejar kematian. Orang yang lalai padahal ia tidak pernah dilalaikan. Orang yang tertawa dengan makanan sepenuh mulutnya sedangkan dia tidak tahu apakah Allah meridlainya atau memurkainya.
Adapun yang membuatku menangis, ialah berpisah dengan para kekasih, yaitu Muhammad saw. dan para pengikutnya. Dan aku sedih memikirkan betapa dahsyatnya permulaan kematian ketika mengalami sakaratul maut. Dan bagaimana keadaanku ketika berdiri di hadapan Allah pada saat dimana hal-hal yang selama ini tersembunyi menjadi tampak, lalu tahu apakah ke surga atau ke neraka.”

Kata-kata tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak, dimana dia katakan: telah mengabarkan kepada kami, bukan hanya seorang, dari Mu’awiyah bin Qurrah, dia berkata: Abu Darda’ berkata, … [lalu dia sebutkan kata-kata itu].

Masih kata Abu Darda’, “Dan telah menceritakan kepada kammi, Muhammad, yang disampaikan oleh Anas bin Malik, dia berkata, ‘Tidakkah aku ceritakan kepada kalian semua, tentang dua hari dan dua malam, yang tiada taranya sepanjang yang pernah didengar oleh makhluk apa pun, yaitu hari pertama kali datangnya pembawa berita dari Allah Ta’ala kepadamu, apakah dia membawa kabar tentang ridla-Nya atau murka-Nya, dan hari dihadapkannya kamu kehadirat Tuhanmu sambil mengambil buku catatan amalmu, apakah dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kirimu; malam pertama mayit menginap dalam kubur, yang sebelumnya sama sekali belum pernah menginap di sana, dan malam yang esok harinya disusul dengan hari kiamat.” &

Teman Sejati Manusia

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. dia berkata, sabda Rasulullah saw:
“Mayit akan diantar sampai ke kuburnya oleh tiga hal, yang dua pulang [ke rumah], dan hanya satu yang tetap [bersamanya]. Yang mengantarnya ialah keluarganya, hartanya dan amalnya. Keluarga dan hartanya pulang, dan yang tetap [bersamanya] hanya amalnya.” (Shahih Al-Bukhari [6514] dan shahih Muslim [2960])

Abu Nu’aim meriwayatkan sebuah hadits dari Qatadah, dari Anas bin Malik ra, ia berkata: sabda Rasulullah saw.:

“Ada tujuh perkara yang pahalanya senantiasa mengalir untuk manusia setelah meninggalnya, meski ia ada di dalam kuburnya: orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid, atau mewariskan mushaf, atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya setelah meninggalnya.” (Shahih al-Jami’ [3602] karya al-Albani; hadits ini gharib dari Qatadah, karena Abu Nu’aim Abdurrahman bin Hani’ an-Nakha’i telah meriwayatkannya sendirian dari al-Zarami Muhammad bin Abdullah, dari Qatadah)

Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah al-Quzwaini dalam Sunannya, dari az-Zuhri, dari Abdillah al-Aghur, dari Abu Hurairah ra, dia berkata, sabda Rasulullah saw.:

“Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang didatangkan pahalanya kepada orang mukmin setelah meninggalnya ialah: ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, atau anak shalih yang ia tinggalkan, atau mushaf yang ia wariskan, atau masjid yang dia bangun, atau rumah bagi pengembara yang dia bangun, atau sungai yang dia alirkan, atau sedekah yang dia keluarkan dari hartanya semasa sehatnya. Semua itu akan menemui dia setelah kematiannya.” (Hasan; Ahkam al-Jami’ [224] karya al-Albani)

Menurut Abu Habdah Ibrahim bin Habdah, dari anas bin Malik ra, dia berkata: sabda Rasulullah saw:

“Sesungguhnya [jika] kamu benar-benar bersedekah untuk keluargamu yang telah meninggal dengan suatu sedekah, maka ada satu malaikat akan datang membawa sedekah itu dalam beberapa talam dari cahaya. Malaikat itu berdiri di ujung atas kubur seraya berseru, ‘Hai penghuni kubur yang terasing, keluargamu telah menghadiahkan hadiah ini kepadamu, maka terimalah.’
Lalu malaikat itu memasukkan hadiah itu ke dalam kuburnya, dan dilapangkanlah bagi mayit itu bagian-bagian dalam dari kuburnya dan diterangi. Maka mayit itu berkata, ‘Semoga Allah membalas dariku kepada keluargaku dengan balasan yang terbaik.’
Lalu berkatalah tetangga kubur itu, ‘Aku tidak meninggalkan anak atau seseorang yang mengingat aku sama sekali.’ Tetangga itu merasa sedih, sedangkan yang lain bergembira menerima [pahala] sedekah itu.’” (Maudlu’; Abu Hadbah adalah pendusta)

Dari kata Basyar bin Ghalib, “Saya pernah bermimpi melihat Rabi’ah al-Adawiyah. Saya memang sering mendoakannya. Di berkata kepadaku, ‘Hai Basyar, hadiah darimu datang kepada kami dalam talam-talam dari cahaya, ditutup sapu tangan dari sutera. Demikianlah hai Basyar, doa orang-orang mukmin yang masih hidup, apabila mereka mendoakan saudara-saudara mereka yang telah meninggal. Doa mereka dikabulkan seraya dikatakan, ‘Ini hadiah dari Fulan untukmu.’”

Di atas telah disebutkan keterangan mengenai ini, jadi cukuplah, alhamdulillah.

Sedang Ismail bin Rafi’ berkata, “Tidak ada seorang pun kerabat yang lebih erat hubungannya dengna kerabatnya, selain orang yang menghadiahkan [pahala] haji untuk kerabatnya, atau memerdekakan budak, atau sedekah.”

&

Tanah Kubur, Rezeki, Ajal, dan Kejadian Manusia

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Pada bab ini dijelaskan, bahwa setiap manusia telah ditaburi tanah bakal liang kuburnya kelak, dan telah ditetapkan rezeki dan ajalnya. Di samping itu diterangkan juga maksud dari firman Allah, “Mukhallaqah wa ghairu mukhallaqah.” (al-Hajj: 5)

Abu Nu’aim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Sabda Rasulullah saw.: “Tidak seorang pun manusia yang dilahirkan, melainkan telah ditaburi tanah bakal liang kuburnya.” (Imam Syamsuddin tidak mengenal hadits ini)

Abu Ashim an-Nabil berkata, “Kita tidak mendapatkan keutamaan lain yang lebih utama bagi Abu Bakar dan Umar ra selain ini, yakni bahwa tanah kubur keduanya adalah tanah kubur Rasulullah saw.”

(Atsar di atas dikeluarkan oleh Abu Ashim dalam Bab Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah ra. dan dia katakan, “Perkataan ini gharib, berasal dari perkataan Aun.” Kami sendiri tidak mencatatnya selain dari Abu Ashim an-Nabil saja. Tapi dia adalah salah seorang perawi tsiqat yang terkemuka dari Basrah)

Murrah telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, bahwa malaikat yang ditugasi urusan rahim mengambil nuthfah dari dalam rahim, lalu meletakkannya dpada telapak tangannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, apakah ini akan disempurnakan kejadianya atau tidak disempurnakan?”

Jika Allah menjawab, disempurnakan kejadiannya, maka malaikat itu menanyakan, “Wahai Tuhanku, berapa rezekinya, berapa usianya, dan kapan ajalnya?”

Maka Allah berfirman, “Lihatlah dalam Umm al-Kitab!”
Maka malaikat melihat Lauh Mahfudh. Di sana dia dapatkan rezeki bakal manusia itu, usianya, ajalnya dan amalnya. Lalu malaikat itu mengambil tanah tempat dia akan dikubur, dan dijadikannya tanah itu adonan dengan nuthfah tersebut.” (Asalnya terdapat dalam shahih Bukhari [318] dan shahih Muslim [246].

Dan itulah sekiranya yang difirmankan oleh Allah yang artinya:
“Dari bumi [tanah] itulah Kami menjadikan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu.” (ThaaHaa: 55)

(Hadits tersebut diriwayatkan at-Tirmidzi al-Hakim Abu Abdillah dalam Nawadir al-Ushul)

Dan disebutkan pula dari Alqamah, dari Abdullah, dia berkata, “Sesungguhnya apabila nuthfah telah berada dalam rahim, maka diambil oleh satu malaikat dengan telapak tangannya, lalu berkata, “Ya Tuhanku, apakah ini akan disempurnakan kejadiannya?”

Jika Allah menjawab, “Tidak disempurnakan kejadiannya,” maka nuthfah itu tidak menjadi manusia, lalu dibuang oleh rahim sebagai darah. Dan jika Allah menjawab, “Disempurnakan kejadiannya,” maka malaikat itu berkata, “Ya Tuhanku, apakah dia lelaki atau perempuan, sengsara atau bahagia, kapan ajalnya, berapa usianya, dan berapa rezekinya?”

Maka Allah berfirman, “Pergilah ke Umm al-Kitab! Sesungguhnya kamu akan menemukan [ketentuan mengenai] nuthfah ini di sana.”

Selanjutnya nuthfah itu ditanya, “Siapa Tuhanmu?” Dia jawab , “Allah.”

Maka diciptakanlah nuthfah itu menjadi suatu makhluk, lalu hidup sampai ajal yang ditentukan untuknya, dengan memakan rezekinya, dan menginjak “atsar”nya. maka apabila ajalnya telah tiba, dia pun meninggal, lalu dikubur di tempat itu.

Arti “Atsar” di sini ialah tanah yang diambil malaikat tadi, lalu dengan airnya dibuat menjadi adonan.

Muhammad bin Sirin berkata, “Kalau pun aku harus bersumpah, maka aku bersumpah dengan sumpah benar dan setia menunaikannya, tanpa ragu ataupun berbalik arah, bahwasannya Allah tidak mencipta Nabi-Nya, Muhammad saw., Abu Bakar dan Umar, melainkan dari tanah yang sama, lalu mengembalikan mereka ke tanah itu.”

Saya katakan: Bahkan di antara orang yang diciptakan dari tanah tersebut adalah Isa bin Maryam as, sebagaimana akan diterangkan lebih lanjut di tulisan lain. Adapun pada bab ini hanya menjelaskan makna dari firman Allah:

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan [dari kubur], maka [ketahuilah], sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah.” (al-Hajj: 5)

Dan firman Allah: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah.” (al-An’am: 2)
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina [air mani].” (as-Sajdah: 8)

Sama sekali tidak ada kontradiksi dalam soal ini, sebagaimana yang kami jelaskan dalam “Kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin limaa Tadhammana Min as-Sunnah wa Ayil Furqan.” Yang semua itu telah tercakup dalam bab ini, maka camkanlah.

&

Manusia Dikubur Dalam Tanah yang Telah Menjadi Bahan Penciptaannya

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Abu Isa at-Tirmidzi meriwayatkan dari Mathar bin Ukamis, dia berkata, sabda Rasulullah saw:
“Apabila Allah telah menetapkan seorang hamba akan meninggal di suatu tempat, maka Dia menjadikan suatu keperluan [sehingga orang itu datang] ke tempat itu,” atau beliau katakan, “suatu keperluan di tempat itu.” (Shahih al-Jamii’ [735] karya al-Albani [terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Qadr an Rasulillah, bab Ma ja’a anna an-nafsa haitsu maa kutiba laHaa, no 2072)

Abu Isa berkata, “Dalam bab ini ada pula diriwayatkan dari Abu Izzah. Adapun hadits ini adalah gharib, dan Mathar bin Ukamis tidak dikenal pernah meriwayatkan dari Nabi saw. hadits ini saja.”

Adapun riwayat dari Abu Izzah, dia berkata, sabda Rasulullah saw.:
“Apabila Allah telah menetapkan seseorang akan meninggal di suatu negeri, maka Dia menjadikan baginya suatu keperluan ke negeri itu.” Atau beliau bersabda, “suatu keperluan di negeri itu.” (Shahih)

Kata Abu Isa, “Hadits ini hasan shahih. Adapun Abu Izzah memang sempat bersahabat dengan Nabi saw. Nama aslinya Yasar bin Ubaid.”

Menurut riwayat at-Tirmidzi al-Hakim Abu Abdillah dalam “Nawadir al-Ushul,” dari Abu Hurairah ra. dia berkata, “Rasulullah saw. pernah keluar menemui kami, lalu berkeliling di pelosok Madinah, tiba-tiba beliau melihat ada kubur yang sedang digali. Maka beliau menuju ke kubur itu, dan akhirnya berdiri di depannya lalu bertanya, “Untuk siapa kubur ini ?”
Dijawab, “Untuk seorang lelaki dari Habasyah.”

Beliau bersabda, “Laa ilaaHa illallaaH, dia telah digiring dari negerinya dan langitnya, sampai dikubur di tanah dimana dia diciptakan.” (Nawadir al-Ushul [71] karya al-Hakim at-Tirmidzi)

Dan dari Ibnu Mas’ud ra, dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda:
“Apabila ajal seseorang [akan habis] di suatu negeri, maka muncullah suatu hajat yang membuatnya melompat ke negeri itu, sehingga manakala dia telah sampai ke batas ajalnya, maka Allah mencabutnya. Maka bumi akan berkata pada hari kiamat, “Ya Tuhanku, inilah apa yang telah Engkau titipkan padaku.”

(Shahih al-Jami’ [745] dan ash-Shahihah [1222] karya al-Albani. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

HIKMAH DAN KESIMPULAN

Kata para ulama kita: Pelajaran yang bisa diambil dari bab ini adalah, bahwa hadits-hadits tersebut di atas merupakan peringatan bagi manusia, agar mereka selalu waspada terhadap kematian, dan senantiasa bersiaga untuk menghadapinya. Hal ini, dengan melakukan ketaatan sebaik-baiknya, mengembalikan barang-barang yang telah diambilnya secara dhalim, melunasi hutang-hutangnya, melaksanakan wasiat, baik yang berhak ia terima maupun yang wajib ia tunaikan, selagi masih ada di negeri sendiri, apalagi ketika hendak bepergian. Karena bagaimana pun dia tidak tahu, di negeri mana di muka bumi ini kematiannya telah tertulis.

&

Membaca al-Qur’an dan Doa-Doa di Sisi Kubur

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Pada bab ini diterangkan hukum membaca al-Qur’an di sisi kubur pada saat mengubur mayit maupun sesudahnya, dan bahwa pahala dari apa-apa yang dibaca; al-Qur’an, doa-doa, istighfar maupun sedekah yang pahalanya ditujukan kepada mayit, semuanya akan sampai kepadanya. Demikian disebutkan oleh Abu Hamid dalam kitabnya al-Ihya’, dan Abu Muhammad dalam kitabnya al-Aqibah.

Muhammad bin Ahmad al-Mardadzi berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal ra berkata, “Apabila kamu sekalian masuk pekuburan, maka bacalah al-Fatihah, al-Mu’awwidzatain dan Qul HuwallaaHu ahad, dan hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur, maka pahala itu akan sampai kepada mereka.”

Abi bin Abi Musa al-Haddad berkata, “Aku pernah bersama Ahmad bin Hanbal menghadiri jenazah, sementara Muhammad bin Qudamah al-Jauhari membaca al-Qur’an. Tatkala kami telah mengubur mayit, maka datanglah seorang lelaki buta membaca al-Qur’an di sisi kubur. Maka berkatalah Ahmad kepadanya, “Aduh mengapa, sesungguhnya membaca al-Qur’an di sisi kubur adalah bid’ah.”

Ketika kami keluar dari wilayah kuburan, berkatalah Muhammad bin Qudamah kepada Ahmad, “Hai Abu Abdillah, apa pendapat anda tentang Mubasysyir bin Isma’il ?”
“Dia tsiqah,” jawab Ahmad.
“Apakah anda menulis sesuatu darinya?” tanya Ibnu Qudamah. Ahmad menjawab, “Ya.”
Maka berkatalah Ibnu Qudamah, “Telah memberi kabar kepadaku, Mubasysyir bin Isma’il, Abdurrahman bin al-‘Alla’ bin Al-Hajj, dari ayahnya bahwa ia berpesan, apabila dirinya telah dikubur, maka supaya dibacakan awal dan akhir surah al-Baqarah di sisi kepalanya. Dan dia katakan pula, ‘Aku mendengar Ibnu Umar berpesan seperti itu.’”

Mendengar itu, maka Ahmad berkata, “Kembalilah kamu kepada lelaki tadi, dan katakan kepadanya supaya terus membaca.”
(kisah ini tidak shahih, diriwayatkan oleh al-Khaillal dalam al-Qira’ah ‘ala al qubur)

Saya katakan: untuk pembayaan al-Qur’an di sisi kubur, sebagian ulama berargumentasi dengan hadits tentang pelepah kurma basah yang dibelah oleh Nabi saw. menjadi dua bagian, lalu beliau tancapkan sebagian di suatu kubur, dan sebagian lagi kubur yang lain, kemudian beliau bersabda:

“Mudah-mudahan kedua penghuni kubur itu diringankan, selagi dua belah pelepah itu belum kering.” (HR Al-Bukhari dan Muslim; shahih Bukhari [216] dan shahih Muslim [292])

Sedangkan dalam musnad Abu Dawud ath-Thayalisi dinyatakan:

“Lalu beliau meletakkan pada salah satu kubur itu sebagian, dan pada kubur yang satu lagi sebagian yang lain, seraya bersabda, “Sesungguhnya kedua penghuni kubur itu diringankan selama dua belah pelepah itu masih basah.” (Musnad ath-Thayalisi [2646])

Para ulama berkata: Dari hadits ini bisa disimpulkan, betapa besar manfaat menanam pohon dan membaca al-Qur’an di sisi kubur. Dan kalau para penghuni kubur itu diringankan siksanya karena adanya pohon-pohon, maka apalagi dengan dibacakan al-Qur’an oleh seorang mukmin.” (Penghuni kubur bukan diringankan karena pohon itu, tetapi karena syafaat Rasulullah saw.)

As-Silafi telah mengeluarkan sebuah hadits dari Ali bin Abu Thalib ra, dia berkata, “Sabda Rasulullah saw.:

‘Barangsiapa melewati kuburan dan membaca “Qul HuwallaaHu ahad” sebelas kali, lalu memberikan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal, maka dia diberi pahala sebanyak orang-orang yang meninggal.” (Maudlu; diriwayatkan oleh al-Khallal dalam al-Qira’ah alaa al-qubur. Menurut al-Albani dalam al-Jana’iz [245] hadits ini bathil dan maudlu’)

Dari Anas ra., Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi, dan menghadiahkan pahalanya kepada ahli kubur, maka Allah Ta’ala memasukkan ke dalam tiap-tiap kubur orang mukmin dari timur sampai barat empat puluh cahaya, memperluas bagi mereka tempat tidurnya, dan Allah Azza wa Jalla memberikan kepada si pembaca pahala enam puluh orang nabi, dan dia dinaikkan satu derajat dari tiap-tiap mayit [yang dibacakan untukknya], dan ditulis baginya sepuluh kebaikan dari tiap-tiap mayit tersebut.”

(Maudlu’: saya tidak mengetahui hadits ini berasal dari Anas ra. tetapi memang ada hadits yang lafadznya seperti itu diriwayatkan oleh Ali ra, disebutkan oleh Ibnu Iraq dalam Tanzih asy-Syariah [1/301], tetapi dalam isnadnya terdapat seseorang bernama Ali bin Utsman al-Asyuj, yang menurut adz-Dzahabi mengenai dirinya dalam al-Mizan [3/33], dia dianggap sebagai pendusta oleh para kritikus hadits.)

Al-Hasan berkata: “Barangsiapa memasuki pekuburan lalu mengucapkan:

Membentangkan Kain di Atas Lubang Kubur Ketika Mengubur Jenazah

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Abu Hadbah Ibrahim bin Hadbah berkata, telah menceritakan kepada kami, Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw. pernah mengikuti jenazah. Setelah melakukan shalat atasnya, beliau meminta untuk diambilkan sepotong kain lalu beliau membentangkannya di atas kuburnya seraya bersabda:

“Janganlah kamu sekalian melihat-lihat ke dalam kubur. Sesungguhnya jenazah itu amanat. Barangkali tali [kafan] terlepas, lalu seseorang melihat seekor ulara hitam yang melilit leher mayit. Sesungguhnya jenazah itu amanat. Barangkali mayit itu disuruh [disiksa] lalu terdengarlah suara rantai.” (Maudlu’: Abu Hadbah adalah pendusta, sebagaimana telah kami terangkan di atas, dan hadits ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudluuat.)

Abdur Razaq telah menyebutkan dari Ibnu Juraij, dari asy-Sya’bi, dari seseorang, bahwa Sa’ad bin Malik berkata, “Nabi saw. pernah menyuruh ambilkan kain, lalu beliau menutupi [lubang] kubur ketika mengubur Sa’ad bin Mu’adz.”

Perawi berkata, “Kata Sa’ad, ‘Sesungguhnya Nabi saw. itu turun ke kubur Sa’ad bin Mu’adz dan menutupi [lubang] kubur dengan kain, dan aku termasuk orang yang memegang kain itu.” (isnadnya dlaif, di antaranya ada seorang perawi yang tidak disebut namanya)

HUKUM MEMBENTANGKAN KAIN DI ATAS KUBUR

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Menurut Abdullah bin Yazid, Syuraih dan Ahmad bin Hambal, bahwa membentangkan kain di atas kubur oleh laki adalah makruh. Sedang untuk perempuan, Ahmad dan Ishaq memilih membentangkan kain padanya. Dan demikian pula kata para ulama Ahlu ra’yi. Bahkan menurut mereka, tidak membahayakan apabila hal itu dilakukan terhadap kubur lelaki.

Abu Tsaur berkata, “Tidak apa-apa hal itu dilakukan terhadap kubur lelaki maupun perempuan.”

Dan demikian pula menurut Imam asy-Syafi’i, menutupi kain pada kubur perempuan adalah lebih kuat daripada menutupkannya pada kubur lelaki. (demikian disebutkan oleh Mudzir)

“Menutupkan kain pada kubur lelaki maupun perempuan adalah dikarenakan adanya suatu alasan yang terdapat dalam hadits riwayat Anas, yaitu mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Nabi saw. ketika menutupi Sa’ad bin Mu’adz. wallaaHu a’lam.

Salah seorang sahabat kami telah menceritakan kepada saya, bahwa dia pernah mendengar suara rantai ditarik di dalam kubur. Begitu pula berita yang disampaikan kepada saya oleh sahabat kami, al-Faqih al-Alim Syaikh ath-Thariqah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qushairi ra. bahwa ada seorang pejabat pemerintah meninggal di Konstantinopel. Maka digalilah kubur untuknya. Ketika orang-orang selesai menggali dan mayit akan dimasukkan ke dalam kubur, tiba-tiba ada seekor ular hitam di dalam kubur. Tentu saja mereka takut untuk memasukkan mayit itu ke dalamnya. Lalu mereka menggali kubur yang lain untuknya. Dan ketika mereka akan memasukkan mayit tadi ke dalam lubang kubur yang kedua itu, ternyata ular pun sudah ada di sana. Begitu seterusnya sampai 30 kubur yang mereka gali, namun ular tetap menghadang mereka pada setiap kubur yang akan dipakai untuk mayit. Tatkala mereka sudah kelelahan, mereka bertanya-tanya apa yang mesti mereka perbuat. Maka terdengarlah jawaban: “Kuburlah ia bersama ular itu.” Kita mohon kepada Allah atas keselamatan dan agar ditutupi cela kita di dunia dan akhirat. Aamiin..

&

Mempercepat Penguburan Jenazah

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Dalam bab ini akan diterangkan tentang perintah mengubur jenazah dengan segera, dan bahwa mayit juga berbicara.

Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
“Apabila jenazah telah dibaringkan lalu diangkat oleh beberapa orang di atas leher [pundak] mereka, maka jika dia orang shalih, dia berkata, ‘Percepatlah aku, percepatlah aku!’ dan jika dia bukan orang shalih, maka dia berkata, ‘Celaka jasadku. Mau kalian bawa kemana dia?’ Suaranya terdengar oleh makhluk apa saja selain manusia. Padahal, andaikan manusia mendengar niscaya dia jatuh pingsan.’” (Shahih al-Bukhari [1314])

Dan sebelumnya telah disebutkan dalam hadits Anas, bahwa jenazah itu berkata, “Hai keluargaku, hai anakku…” (pada bab Aktifitas Malaikat Maut sehari-hari)

Al-Bukhari telah menjelaskan pula dari Nabi saw. beliau bersabda, “Percepatlah kamu sekalian [mengubur] jenazah. Kalau dia orang shalih maka suatu kebaikan telah kamu berikan kepadanya. Dan kalau dia bukan orang shalih, maka [dengan mempercepat itu] kamu telah membuang keburukan dari pundak kalian.” (Shahih Bukhari [1315] dan shahih Muslim)

PENJELASAN HADITS

“Jatuh pingsan” adalah terjemahan dari kata “Sha’iqan” yang bisa juga berarti mati.
“Percepat” maksudnya supaya mempercepat berjalan ketika membawanya ke kuburan. Dan ada pula yang berpendapat, mempercepat dalam mengusungnya setelah nyata mati, sehingga tidak berubah [membusuk].

Tetapi, pendapat pertama lebih jelas pengertiannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Muhammad bin Abdul A’la, dari Khalid, dari Uyainah bin Abdur Rahman, dia berkata, Telah menceritakan kepadaku ayahku, dia berkata, “Aku telah menyaksikan jenazah Abedur Rahman bin Samurah. Waktu itu Ziyad tampil dengan keranda. Maka beberapa orang laki-laki dari keluarga Abdurrahman dan budak-budak mereka berada di belakang keranda dan berjalan mengikuti orang-orang seraya berkata, “Pelan, pelan, semoga Allah memberkahi kalian.”

Mereka seolah-olah merayap sehingga ketika kami tiba di suatu jalan, kami bertemu dengan Abu Bakrah ra mengendarai seekor baghal [peranakan kuda dan keledai]. Ketika ia melihat orang-orang berjalan seperti itu, maka ia mengejar mereka dengan mencambuk baghalnya, seraya berkata, “Minggir, demi Allah yang telah memuliakan Abu al-Qasim, sungguh, aku telah melihat [jenazah] kami dulu bersama Rasulullah, dan kami benar-benar hampir berlari membawanya.” Maka orang-orang pun memberinya jalan. (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Abu Muhammad Abdul Haq)

Abu Dawud telah meriwayatkan pula sebuah hadits dari Abu Majidah, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Nabi kita Muhammad saw. tentang berjalan membawa jenazah, Beliau bersabda:

“Jangan sampai bergoncang. Jika dia orang baik, maka percepatlah kepada kebaikan [kubur]. Dan jika bukan orang baik, maka [percepatlah] kehinaan bagi ahli neraka.” (dlaif: Sunan Abu Dawud [3184] dan dinyatakan dlaif oleh al-Albani.)

Hadits ini disebutkan pula oleh Abu Umar, dari Abdul Barr, dan dia katakan, “Padalah yang dianut oleh sejumlah ahli ilmu adalah, sedikit dipercepat dari berjalan yang wajar. Dan tergesa-gesa lebih mereka sukai daripada berjalan lambat. Namun demikian, makruh hukumnya berjalan cepat yang sampai mempersulit orang-orang lemah yang mengikutinya.”

Dan kata Ibrahim an-Nakha’i, “Percepatlah sedikit ketika membawa jenazah, jangan berjalan merayap seperti yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani.”

Yang dimaksud dengan berjalan wajar [sajiyyah] ialah berjalan biasa.

&

Suasana Kehidupan di Alam Kubur

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Pada bab ini diterangkan bahwa arwah orang-orang meninggal saling mengunjungi sesamanya di alam kubur mereka, dan saling memuji kafan yang dipakai masing-masing.

Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda, “Apabila seseorang dari kamu sekalian mengkafani saudaranya, maka perbaikiliah kafannya semampu kalian.” (Shahih Muslim [943])

Abu Nashr Abdullah bin Sa’id bin Hatim al-WA’ili as-Sijistani al-Hafidh, dalam kitab al-Inabah ‘ala Madzhab as-Salaf ash-Shalih fii al-Qur-aan, wa Izalati Syubah az-Za’ighin bi Wadhih al-Burhan, telah meriwayatkan hadits tentang takhrijnya dari Jabir ra, dia berkata, “Sabda Rasulullah saw.: ‘Perbaikilah kafan mayit-mayit kamu sekalian. Sesungguhnya mereka saling membanggakan [kain kafan masing-masing] dan saling mengunjungi di dalam kubur mereka.’”

(isnadnya dlaif, tapi hadits ini sendiri shahih tanpa kata “saling membanggakan”, diriwayatkkan oleh Ibnu Abi ad-Dun-ya dalam al-Manamat [162] dengan isnad hasan, dari Abu Qatadah ra. al-Albani menyebut hadits ini dalam shahih al-Jami’ [845] dari Anas ra. dengan tambahan: “sesungguhnya mereka dibangkitkan dalam kain kafan mereka.” menurut al-Khataibi, sebagian ulama mengatakan, “Barangkali yang dimaksud, bahwa mereka dibangkitkan dalam keadaan berkain kafan, dan dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang tidak berkhitan.” Adapun maksud memperbaiki kafan ialah: Hendaklah kain itu berlebih, putih dan bersih. Adapun bermewah-mewah dalam penggunaan kain kafan adalah tindakan berlebihan yang dilarang agama.)

&

Pandangan Mata Saat Dicabutnya Roh

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Diterangkan di bab ini bahwa apabila roh dicabut, maka diikuti oleh pandangan mata. Menurut riwayat Ibnu Majah dari Ummu Salamah ra, dia berkata, “Rasulullah saw. datang menghadiri [kematian] Abu Salamah. Waktu itu mata Abu Salamah tampak terbuka, maka beliau memejamkannya, kemudian bersabda, “Sesungguhnya apabila roh dicabut, maka diikuti oleh pandangan mata.” (Shahih Muslim [920])

Muslim meriwayatkan pula dari Abu Hurairah ra. dia berkata, “Sabda Rasulullah saw., ‘Tidakkah kamu memperhatikan, apabila seseorang meninggal, maka matanya menengadah?’
‘Betul,’ jawab para shahabat.
Maka beliau bersabda, ‘Itu ketika matanya mengikuti jiwanya.’” (Shahih Muslim [921])

PENJELASAN HADITS:

Kedua hadits di atas tidak perlu komentar siapapun yang suka bicara mengenai roh [ar-ruh] dan jiwa [an-nafs] karena keduanya adalah dua nama yang mempunyai satu makna, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut, insyaa Allah.

&