Arsip | 01.06

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 60-63

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 60-63“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu, dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh jauhnya. (QS.4:60) Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan, dan kepada hukum Rasul,’ niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)mu. (QS. 4:61) Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa suatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.’ (QS. 4:62) Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang (ada) di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS. 4: 63).” (an-Nisaa’: 60-63)

Ayat ini merupakan pengingkaran Alla terhadap orang yang mengaku beriman dengan apa yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, dan yang terdahulu. Tetapi bersamaan dengan itu, dalam memutuskan berbagai persengketaan, mereka berhukum bukan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini, bahwa ada seoang laki-laki Anshar dan seorang laki-laki Yahudi sedang bersengketa. Lalu orang Yahudi itu berkata: “Antara aku dan engkau ada Muhammad.” Sedangkan orang Anshar itu berkata: “Antara aku dan engkau ada Ka’ab bin al-Asyraf.

Dan dikatakan, bahwa sebab turunnya ayat ini bukan itu. Akan tetapi, ayat tersebut mencakup lebih umum dari hal itu semua. Karena ia mengandung celaan terhadap orang yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah. Sedangkan berhukum kepada selain keduanya merupakan kebathilan dan itulah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini. Untuk itu, Allah berfirman: yuriiduuna ay yatahaakamuu ilath thaaghuuti (“Mereka hendak berhakim kepada thaghut”) hingga akhir ayat.

Firman Allah: yashudduuna ‘anka shuduudan (“Mereka menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari mendekati kamu.”) yaitu mereka berpaling darimu seperti orang-orang yang sombong terhadap hal itu. Kemudian, Allah berman mencela orang-orang munafik: fa kaifa idzaa ashaabatHum mushiibatum bimaa qaddamaat aidiiHim (“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka ditimpa suatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri.”) Artinya, bagaimana keadaan mereka jika takdir menggiring mereka kepadamu dan merekapun butuh kepadamu di saat berbagai musibah datang silih berganti menerpa mereka, disebabkan dosa-dosa mereka.

Tsumma jaa-uuka yahlifuuna billaaHi in aradnaa illaa ihsaanaw wa taufiiqan (“Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.’ Yaitu, mereka mohon maaf kepadamu dan bersumpah: “Kepergian kami kepada orang kami kepada orang lain dan berhukumnya kami kepada musuh-musuhmu itu, tidak lain kecuali menghendaki kebaikan dan perdamaian, yaitu hanya berpura-pura, bukan keyakinan kami tentang sahnya (benarnya) tahkim tersebut.

Kemudian Allah berfirman: ulaa-ikal ladziina ya’lamullaaHu maa fii quluubiHim (“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang [ada] di dalam hati mereka.”) Manusia kelompok ini adalah kaum munafik. Dimana Allah Mahamengetahui apa yang terdapat di dalam hati mereka, dan mereka pun akan dibalas oleh Allah atas perbuatannya itu. Karena tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Maka merasa cukuplah dengan-Nya tentang mereka, ya Muhammad! Karena, Allah Mahamengetahui zhahir dan bathin mereka.

Untuk itu Allah berfirman kepada beliau: fa a’ridl ‘anHum (“Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka.”) Yaitu, jangan engkau bersikap kasar terhadap apa yang ada di dalam hati mereka, wa ‘idh-Hum (“Dan berilah mereka pelajaran.”) Yaitu, laranglah mereka dari kemunafikan dan rahasia-rahasia jahat yang tertanam dalam hati mereka.

Wa qul laHum fii anfusiHim qaulam baliighan (“Dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.”) Yaitu, berilah nasehat kepada mereka dalam semua perkara yang terjadi antara engkau dan mereka, dengan kata-kata yang berbekas yang dapat mencegah mereka.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 59

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 59“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata tentang firman-Nya,”Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan lllil Amri di antara kamu. ” Ayat ini turun berkenaan denganAbdullah bin Hudzafah bin Qais bin `Adi, ketika diutus oleh Rasulullahdi dalam satu pasukan khusus. Demikianlah yang dikeluarkan oleh seluruhjama’ah kecuali Ibnu Majah.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata: “Rasulullah mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata: `Bukankah Rasulullah memerintahkan kalian untuk mentaatiku?’ Mereka menjawab: `Betul.’ Dia berkata lagi: `Himpunlah untukku kayu bakar oleh kalian.’ Kemudian ia meminta api, lalu ia membakarnya, dan ia berkata: `Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya.’ Maka seorang pemuda di antara mereka berkata: `Sebaiknya kalian lari menuju Rasulullah dari api ini. Maka jangan terburu-buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasulullah perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah.’ Lalu mereka kembali kepada Rasulullah dan mengabarkan tentang hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda kepada mereka: ’Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf”‘. (Dikeluarkan dalam kitab ash-Shahihain dari hadits al-A’masy).

Abu Dawud meriwayatkan dari `Abdullah bin `Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, suka atau tidak suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Di keluarkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Yahya al-Qaththan).

Dari `Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “Kami dibai’at oleh Rasulullah saw. untuk mendengar dan taat di waktu suka dan tidak sukanya kami, dan diwaktu sulit dan mudahnya kami, serta diwaktu diri sendiri harus diutamakan dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari penguasa, beliau bersabda: `Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah.’” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain dari Anas ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dengarkanlah dan taatilah oleh kalian! Sekalipun yang dijadikan penguasa untuk kalian adalah seorang budak Habasyah (Ethiopia) yang kepalanya (rambutnya) seakan-akan kismis.” (HR. Al-Bukhari).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Kekasihku (Rasul saw.) berwasiat padaku, bahwa aku harus mendengarkan dan mentaati, sekalipun dia adalah budak Habasyah yang terpotong anggota tubuhnya.” (HR. Muslim).

Diriwayatkan dari Ummul Hushain, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda dalam khutbah haji wada’: “Sekalipun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak yang memimpin kalian dengan Kitabullah, maka dengarkanlah dan taatilah.” (HR. Muslim).

Di dalam lafazh lain: “Sekalipun budak Habasyah yang terpotong (anggota tubuhnya).”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali wafat satu Nabi, maka Nabi berikutnya menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku, yang ada hanyalah para Khalifah yang banyak sekali.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Tunaikanlah bai’at yang pertama, kemudian yang selanjutnya, dan berikanlah oleh kalian hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka, tentang rakyat yang mereka pimpin.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu `Abbas ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, maka bersabarlah. Karena tidak ada seseorang yang keluar dari jama’ah sejengkal pun, lalu ia mati, kecuali ia mati dalam kematian Jahiliyyah.” (Dikeluarkan Pula oleh al-Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan dari Ibnu `Umar, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah pada hari Kiamat tanpa hujjah. Dan barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada bai’at, niscaya ia mati dengan kematian Jahiliyyah.” (HR. Muslim).

Imam Muslim meriwayatkan pula dari `Abdurrahman bin `Abdi Rabbil Ka’bah, ia berkata: Aku pernah masuk ke sebuah masjid, tiba-tiba kulihat `Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash sedang duduk dalam naungan Ka’bah, sedangkan orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Lalu aku mendatangi mereka dan duduk di sana, dia berkata: “Dahulu kami bersama Rasulullah saw. di dalam sebuah perjalanan, lalu kami singgah di suatu tempat. Di antara kami ada yang memperbaiki tenda, ada yang berlomba memanah, dan ada pula yang menggembala. Tiba-tiba muadzdzin Rasulullah menyeru: `Ash Shalaatu Jaami’ah (shalat berjama’ah).”

Lalu kami berkumpul menuju Rasulullah saw. dan beliau bersabda: “Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumku, kecuali menjadi kewajiban baginya untuk menunjukkan umatnya tentang kebaikan yang diketahuinya bagi mereka, serta memperingatkan mereka tentang keburukan yang diketahuinya bagi mereka. Sesungguhnya umat ini akan dijadikan kebaikannya pada awalnya dan akan ditimpa bala’ dan (banyak) perkara-perkara (munkar) yang kalian ingkari. Fitnah-fitnah (ujian-ujian) akan datang silih berganti. Satu fitnah datang, maka seorang mukmin berkata: `Inilah saat kehancuranku.’ Kemudian fitnah tersebut hilang (selesai). Lalu datang lagi fitnah yang lain, lalu seorang mukmin berkata: `Inilah dia, inilah dia (fitnah yang ini datang, menyusul fitnah lainnya).’ Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api Neraka dan dimasukan ke dalam Surga, maka hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, serta memperlakukan manusia sebagaimana yang ia suka untuk dirinya. Barangsiapa yang membai’at seorang imam, lalu ia (imam) memberikan apa yang dijanjikannya dan apa yang didambakannya, maka hendaklah ia mentaatinya semampunya. Lalu jika yang lain hendak merebut, maka bunuhlah dia.”

Lalu aku mendekatinya sambil berkata: ‘Demi Allah, apakah engkau mendengar ini dari Rasulullah saw ?” Maka dia (‘Abdullah bin `Amr bin al-‘Ash) mengisyaratkan tangannya kepada kedua telinga dan hatinya sambil berkata: ‘Aku mendengar hal tersebut dengan kedua telingaku dan kufahami dengan hatiku.’ Aku berkata kepadanya: `Ini kemenakanmu Mu’awiyah, dia memerintahkan kami untuk memakan harta di antara kami dengan bathil, serta saling membunuh di antara kami. Padahal Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa’: 29).

Lalu beliau diam sejenak, kemudian berkata: “Taatilah dia dalam ketaatan kepada Allah, dan langgarlah dia dalam maksiat kepada Allah.” Hadits dalam masalah ini cukup banyak. Wallahu a’lam.

`Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu `Abbas bahwa: wa ulil amri minkum (“Dan Ulil Amri di antara kamu”) adalah ahli fiqih dan ahli agama. Demikian pula Mujahid, `Atha’, al-Hasan al-Bashri dan Abut `Aliyah berkata: wa ulil amri minkum (“Dan Ulil Amri di antara kamu”) adalah ulama. Yang jelas -wallahu a’lam- bahwa Ulil Amri itu umum mencakup setiap pemegang urusan, baik umara maupun ulama, sebagaimana pada pembahasan yang lalu.

Allah berfirman yang artinya: “Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?” (QS. Al-
Maa-idah: 63).

Dan firman-Nya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).

Di dalam hadits shahih yang disepakati keshahihannya, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka berarti ia taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka berarti ia bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang mentaati amirku, maka berarti ia mentaati aku. Dan barangsiapa yang bermaksiat pada amirku, maka berarti ia bermaksiat padaku.”

Ini semua adalah perintah untuk mentaati para ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman: athii’ullaaHa (“Taatlah kepada Allah”), yaitu ikutilah Kitab-Nya. Wa athii’ur rasuula (“Dan taatlah kepada Rasul”), yaitu peganglah Sunnahnya. Wa ulil amri minkum (“Dan Ulil Amri di antara kamu,”) yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena, tidak berlaku ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih yang lalu: “Ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf.”

Firman Allah: fa in tanaaza’tum fii syai-in farudduuHu ilallaaHi war rasuuli (“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah [al-Qur’an] dan Rasul [Sunnahnya]”.) Mujahid dan banyak ulama Salaf berkata: “Artinya, kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Hal ini merupakan perintah dari Allah, bahwa setiap sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia, baik tentang ushuluddin (pokok-pokok agama) maupun furu’-furu’nya (cabang-cabangnya), wajib dikembalikan kepada al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana firman Allah: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.”(QS. Asy-Syuraa: 10).

Maka, apa saja yang ditetapkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah, serta disaksikan kebenarannya (oleh al-Kitab dan as-Sunnah), maka itulah kebenaran. Dan tidak ada lagi di balik kebenaran kecuali kesesatan. Untuk itu Allah berfirman: in kuntum tu’minuuna billaaHi wal yaumil aakhiri (“Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir”.)

Artinya, kembalikanlah oleh kalian berbagai pertengkaran dan ketidaktahuan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, lalu berhukumlah kalian kepada keduanya tentang berbagai hal yang kalian perselisihkan, in kuntum tu’minuuna billaaHi wal yaumil aakhiri (“Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir”.) Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak berhukum kepada al-Kitab dan as-Sunnah dalam berbagai pertikaian, serta tidak merujuk pada keduanya, maka bukanlah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

Sedangkan firman-Nya: dzaalika khairun (“Hal itu lebih baik”) yaitu berhukum kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, serta merujuk pada keduanya dalam meutuskan perselisihan adalah lebih baik. Wa ahsanu ta’wiilan (“dan sebaik-baik ta’wil”) yaitu sebaik-baik akibat dan tempat kembali sebagaimana dikatakan oleh as-Suddi dan lain-lain. Dan Mujahid berkata: “Yaitu sebaik-baik balasan.” Dan makna itu sangat dekat dengan ketepatan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 58

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 58“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. an-Nisaa’: 58)

Allah mengabarkan, bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanat kepada ahlinya. Di dalam hadits al-Hasan dari Samurah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tunaikanlah amanah kepada yang memberikan amanah dan jangan khianati orang yang berkhianat kepadamu.” (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan).

Hal itu mencakup seluruh amanah yang wajib bagi manusia, berupa hak-hak Allah terhadap para hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, nadzar dan selain dari itu, yang kesemuanya adalah amanah yang diberikan tanpa pengawasan hamba-Nya yang lain. Serta amanah yang berupa hak-hak sebagian hamba dengan hamba lainnya, seperti titipan dan selanjutnya, yang kesemuanya adalah amanah yang dilakukan tanpa pengawasan saksi.

Itulah yang diperintahkan oleh Allah untuk ditunaikan. Barangsiapa yang tidak melakukannya di dunia ini, maka akan dimintai pertanggunganjawabnya dihari Kiamat, sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh, kamu akan tunaikan hak kepada ahlinya, hingga akan diqishas untuk (pembalasan) seekor kambing yang tidak bertanduk terhadap kambing yang bertanduk.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia berkata, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan `Utsman bin Thalhah di saat Rasulullah saw. mengambil kunci Ka’bah darinya, lalu beliau masuk ke dalam Baitullah pada Fathu Makkah. Di saat beliau keluar, beliau membaca ayat ini:
innallaaHa ya’murukum an tu-addul amaanaati ilaa aHliHaa (“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menunaikan amanat kepada ahlinya,”) lalu beliau memanggil `Utsman dan menyerahkan kunci itu kembali.

Di antara yang masyhur dalam masalah ini adalah bahwa ayat ini baik turun berkenaan dengan peristiwa tersebut atau tidak, yang pasti hukumnya tetap berlaku umum. Untuk itu, Ibnu `Abbas dan Muhammad bin al-Hanafiyah berkata: “Hukumnya untuk orang yang baik dan yang zhalim. Yaitu perintah untuk setiap orang.”

Firman Allah: wa idzaa hakamtum bainan naasi an tahkumuu bil ‘adli (“Dan [menyuruhkamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.”) Adalah perintah dari-Nya untuk menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Untuk itu Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam Syahr bin Hausyab berkata: “Sesungguhnya ayat ini diturunkan untuk umara, yaitu para pemutus hukum di antara manusia.”

Firman-Nya: innallaaHa ni’immaa ya’idhukum biHii (“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu.”) Artinya, Allah perintahkan kalian untuk menunaikan amanah, menetapkan hukum di antara manusia dengan adil dan hal lainnya, yang mencakup perintah-perintah dan syari’at-syari’at-Nya yang sempurna, agung dan lengkap.

Kemudian firman-Nya: innallaaHa kaana samii’am bashiiran (“Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamelihat.”) Yaitu, mendengar seluruh perkataan kalian dan melihat seluruh perbuatan kalian. Sebagaimana Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah membaca ayat ini: samii’am bashiiran (“Mahamendengar lagi Mahamelihat.”) beliau bersabda: “(Allah) Mahamelihat segala sesuatu.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 56-57

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 56-57“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam Neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 4:56) Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya selama-lamanya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. (QS. 4:57)” (an-Nisaa’: 56-57)

Allah mengabarkan tentang hukuman yang akan diterima di Neraka Jahannam oleh orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat-Nya dan menghalang-halangi Rasul-Rasul-Nya. Allah berfirman: innal ladziina kafaruu bi-aayaatinaa (“Seungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami,”) hingga akhir ayat. Yaitu Kami akan masukkan mereka ke dalam api Neraka, yang akan melalap seluruh badan dan anggota tubuh mereka.

Kemudian Allah pun mengabarkan tentang kekekalan hukuman dan kehinaan mereka. Allah berfirman: kullamaa nadlijat juluuduHum baddalnaaHum juluudan ghairaHaa liyadzuuqul ‘adzaab (“Setiap kali kulit-kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit lainnya, agar mereka merasakan adzab.”)

AI-A’masy meriwayatkan dari Ibnu `Umar: “Apabila kulit-kulit mereka telah terbakar, maka mereka akan digantikan dengan kulit lainnya yang putih seperti kertas.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Firman Allah: wal ladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati sanudkhiluHum jannaatin tajrii min tahtiHal anHaaru khaalidiina fiiHaa (“Sedangkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya selama-lamanya.”) Ini adalah informasi tentang tempat kembalinya su’ada (orang-orang yang beruntung) di dalam Surga `Adn, yang mengalir sungai-sungai di seluruh lembahnya, di seluruh tempatnya dan di seluruh penjurunya di mana pun dan ke mana pun mereka kehendaki. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak pindah, tidak akan dipindahkan, serta tidak ingin pindah darinya.

Dan firman-Nya: laHum fiiHaa azwaajum muthaHHaratun (“Di dalamnya mereka memiliki isteri-isteri yang suci.”) Yaitu dari haid, nifas, kotoran, akhlak-akhlak tercela dan sifat-sifat hina, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu `Abbas. Sedangkan Qatadah berkata: Yaitu suci dari kotoran, dosa, haid dan beban tanggung jawab.

Dan firman-Nya: wa nudkhiluHum dhillan dhaliilan (“Dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.”) Yaitu naungan yang luas, lebat, rindang, indah dan bagus. &

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 53-55

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 53-55“Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendati pun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia. (QS. 4:53) Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad), lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (QS. 4:54) Maka diantara mereka (orang-orang yang dengki itu), ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang menyala-nyala apinya. (QS. 4:55)” (an-Nisaa’: 53-55)

Allah berfirman: am laHum nashiibum minal mulki (“Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan [kekuasaan]?”) Kalimat ini adalah istifham inkari (sebuah pertanyaan yang menunjukkan penyangkalan), artinya mereka tidak memiliki bagian kekuasaan.

Kemudian Allah menyifati mereka dengan sifat kikir, dalam firman-Nya: fa idzal laa yu’tuunan naasa naqiiran (“Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun [kebajikan] kepada manusia.”) Karena, seandainya mereka memiliki bagian kekuasaan atau kerajaan pun, niscaya mereka tidak akan memberikan apapun kepada manusia, apalagi kepada Muhammad. Dan mereka tidak akan memberikan sesuatu seberat naqir pun, yaitu satu titik pada biji, menurut pendapat Ibnu `Abbas dan kebanyakan ulama, disebabkan kebakhilan dan kekikiran mereka.

Allah berfirman: am yahsuduunan naasa ‘alaa maa aataaHumullaaHu min fadl-liHi (“Ataukah mereka dengki kepada manusia [Muhammad] lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?”) Yaitu kedengkian mereka kepada Nabi atas rizki kenabian yang agung, yang diberikan Allah kepadanya dan keengganan mereka membenarkan nubuwwahnya. Kedengkian mereka itu dikarenakan beliau dari keturunan Arab dan bukan dari keturunan Bani Israil.

Allah berfirman: faqad aatainaa aala ibraaHiimal kitaaba wal hikmata wa aatainaaHum mulkan ‘adhiiman (“Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan yang besar.”) Yaitu, sesungguhnya Kami telah menjadikan kenabian pada keturunan Bani Israil yang merupakan anak cucu Nabi Ibrahim, Kami turunkan kitab-kitab kepada mereka dan mereka (para Nabi) menghukumi Bani Israil dengan sunnah-sunnah, yaitu berupa hikmah, serta Kami jadikan di antara mereka (Bani Israil) raja-raja.

Tetapi dalam waktu yang sama, di antara mereka ada yang beriman dengan pemberian dan kenikmatan itu dan ada pula yang mengingkari, yaitu mengkufurinya, berpaling dari petunjuknya dan berupaya menghalangi manusia darinya. Padahal dia (Nabi lain) itu adalah bagian dari mereka dan merupakan jenis (golongan) mereka, yaitu dari Bani Israil, itu pun membuat mereka berselisih. Maka bagaimana pula denganmu ya Muhammad, sedangkan engkau bukan dari Bani Israil?

Mujahid berkata: “Di antara mereka ada yang beriman kepadanya, yaitu kepada Muhammad dan ada pula yang berpaling darinya.” Untuk itu, Allah mengancam mereka: wa kafaa bijaHannama sa’iiran (“Cukuplah jahannam sebagai tempat kembali mereka.”) Artinya cukuplah api Neraka sebagai hukuman atas kekufuran, pembangkangan dan penentangan mereka terhadap kitab-kitab Allah dan Rasul-Rasul-Nya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 49-52

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 49-52“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih, sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS. 4:49) Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). (QS. 4:50) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al-Kitab, mereka percaya kepada jibt dan thaghut dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.(QS. 4:51) Mereka itulah orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (QS. 4:52)” (an-Nisaa’: 49-52)

Al-Has an dan Qatadah berkata: “Ayat ini: alam tara ilal ladziina yuzakkuuna anfusaHum; turun berkenaan dengan orang Yahudi dan Nasrani ketika mereka berkata: ‘Kami adalah anak-anak dan kekasih Allah.’”

Dan tentang perkataan mereka: “Sekali-kali tidak akan masuk Surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudiatau Nasrani.” (QS. Al-Baqarah: 111). Satu pendapat mengatakan, bahwa ayat ini turun dalam rangka mencela sikap saling memuji dan menyucikan diri.

Di dalam kitab Shahih Muslim, diriwayatkan dari al-Miqdad bin al-Aswad, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan sepenuh dua telapak tangan debu pada wajah orang-orang yang suka memuji.”

Di dalam kitab ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari riwayat Khalid al-Hadza, dari `Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, Rasulullah saw. mendengar seseorang yang memuji orang lain, maka beliau bersabda: “Celakalah kamu! Kamu telah memotong leher kawanmu. Jika salah seorang kalian harus memuji temannya, maka hendaklah ia mengucapkan, aku kira dia begitu. Dan janganlah seorang pun menyucikan orang lain dengan mengatas namakan Allah.”

Masalah ini akan dibahas nanti secara panjang lebar dalam firman Allah: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Allah-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).

Untuk itu Allah berfirman: balillaaHu yuzakkii may yasyaa-u (“Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.”) Artinya, sebagai rujukan dalam hal tersebut adalah Allah, karena Allah Mahamengetahui hakekat dan kedalaman segala perkara.

Kemudian Allah berfirman: wa laa yudhlamuuna fatiilan (“Dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”) Artinya seseorang tidak dibiarkan luput dari balasan pahalanya walaupun sedikit. Ibnu `Abbas, Mujahid, `Ikrimah, `Atha’, al-Hasan, Qatadah dan ulama Salaf lainnya berkata: “Fatiilan” yaitu, benang yang ada di dalam belahan biji kurma.” Dari Ibnu `Abbas pula yang artinya sesuatu yang kamu pintal di antara jari-jarimu. Dua pendapat tersebut saling berdekatan maknanya.

Firman Allah: undhur kaifa yaftaruuna ‘alallaaHil kadziba (“Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah.”) artinya dalam menganggap suci diri-diri mereka dan pengakuan mereka, bahwa mereka adalah anak-anak dan kekasih-kekasih Allah, juga perkataan mereka: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beragama Yahudi dan Nasrani.” (Al-Baqarah: 111) juga ucapan mereka: “Kami sekali-sekali tidak akan disentuh oleh api Neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah: 80).

Dan bersandarnya mereka pada amal shalih nenek moyang mereka, padahal Allah menetapkan, bahwasanya amal nenek moyang tidak berguna sedikit pun bagi keturunannya, di dalam firman-Nya: “Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan.” (QS. Al-Baqarah: 134).

Kemudian Allah berfirman: wa kafaa biHii istmam mubiinan (“Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata.”) Artinya cukuplah dengan perbuatan mereka ini, sebagai kedustaan dan kebohongan yang nyata.

Firman Allah: alam tara ilal ladziina uutuu nashiibam minal kitaabi yu’minuuna biljibti wath-thaaghuuti (“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut.”) Mengenai jibt, Muhammad bin Ishaq mengatakan, dari `Umar bin al-Khaththab bahwa ia berkata: “Jibt adalah sihir. Sedangkan thaghut adalah syaitan.”

Demikian pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, Abu al-Aliyah, Mujahid, `Atha’, `Ikrimah, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, al-Hasan, adh-Dhahhak dan as-Suddi.

Sedangkan dari Ibnu `Abbas, Abu al-‘Aliyah, Mujahid, `Atha, `Ikrimah, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, al-Hasan dan `Athiyyah: Jibt adalah Syaitan. Ibnu`Abbas menambahkan, “Dalam bahasa Habasyiah”. Al-‘Allamah Abu Nashrbin Isma’il bin Hammad al Jauhari dalam kitabnya “ash-Shihah” berkata: “Jibt adalah kalimat yang ditujukan untuk berhala, tukang ramal (dukun), tukang sihir dan sejenisnya.”

Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Thiyarah (ramalan buruk dengan tanda-tanda burung), `Iyafah (ramalan perdukunan) dan ath-Tharq (sihir), adalah bagian dari Jibt.”

Kalimat ini bukan termasuk bagian dari bahasa Arab, karena gabungan jiim dan ta’ dalam satu kalimat, termasuk bukan bagian huruf yang dapat dipertemukan.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya. `Auf berkata: “Al- Iyafah adalah meramal dengan menggunakan burung, sedangkan ath-Tharq adalah (meramal melalui) garis-garis yang diguratkan di tanah.” Tentang Jibt, al-Hasan berkata: “Adalah gema syaitan.” Demikian yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, an-Nasa’i dan Ibnu Abi Hatim dari hadits `Auf al-A’rabi.

Pembicaraan tentang thaghut sudah lewat dalam Surat al-Baqarah dan tidak perlu diulang. Mujahid berkata: “Thaghut adalah syaitan dalam bentuk manusia, yang dijadikan sebagai pemutus hukum dan dia adalah pemegang urusan mereka.” Sedangkan Imam Malik berkata: “Yaitu, setiap sesuatu yang diibadahi selain Allah.”

Kemudian firman-Nya: wa yaquuluuna lilladziina kafaruu Haa-ulaa-i aHdaa minal ladziina aamanuu sabiilan (“Dan mereka mengatakan kepada orang-orang kafir [musyrik Makkah], bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”) Yaitu, mereka lebih mengutamakan orang-orang kafir dibandingkan kaum muslimin, karena kebodohan mereka, sedikitnya pemahaman agama mereka dan kekufuran mereka terhadap kitab Allah yang ada pada mereka.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Ketika Ka’ab bin al-Asyraf mendatangi kota Makkah, maka orang-orang Quraisy berkata: “Cobalah engkau perhatikan, laki-laki hina dan yang terputus keturunannya dari kaumnya ini, ia menyangka bahwa ia lebih baik dari kami. Padahal kami ini adalah pembesar haji dan pelayan Ka’bah, serta penyedia air minum.” Maka Ka’ab berkata: “Kalian lebih baik.” Maka turunlah:

Inna syaani-aka Huwal abtar (“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.”) (AS. Al-Kautsar: 3), dan turun pula:

alam tara ilal ladziina uutuu nashiibam minal kitaabi yu’minuuna biljibti wath-thaaghuuti wa yaquuluuna lilladziina kafaruu Haa-ulaa-i aHdaa minal ladziina aamanuu sabiilan. Ulaa-ikal ladziina la’anaHumullaaHu wa may yal’anillaaHu falan tajida laHuu nashiiran (“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut dan mengatakan kepada orang-orang kafir [musyrik Makkah], bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah. Barang-siapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 47-48

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 48“Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur’an), yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami merubah muka(mu), lalu Kami putarkan kebelakang, atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. (QS. 4:47) Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. 4:48)” (an-Nisaa’: 47-48)

Allah memerintahkan Ahlul Kitab untuk beriman dengan apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad, berupa kitab yang agung yang memuat pembenaran berita-berita yang ada pada mereka, seperti kabar-kabar gembira. Serta merupakan ancaman bagi mereka, jika mereka tidak mengamal-kan, dengan firman-Nya: min qabli an nathmisa wujuuHan fanaruddaHaa ‘alaa adbaariHaa (“Sebelum Kami merubah muka [mu], lalu Kami putarkan ke belakang.”)

Sebagian ahli tafsir berkata, maknanya dari ayat: min qabli an nathmisa wujuuHan (“Sebelum Kami [Allah] merubah muka [mu].”) Merubahnya yaitu, diputarkan ke belakang dan menjadikan pandangan mereka ke arah belakang.”

Al-`Aufi mengatakan dari Ibnu`Abbas tentang ayat ini, arti merubahnya yaitu, membutakannya. fanaruddaHaa ‘alaa adbaariHaa (“Lalu Kami putarkan ke belakang.”) Kami jadikan wajah-wajah mereka di arah belakang mereka, sehingga mereka berjalan mundur. Dan Kami jadikan bagi salah seorang di antara mereka, dua buah mata di bagian kepala belakang.

Demikianlah komentar Qatadah dan `Athiyah al-‘Aufi. Hal ini merupakan hukuman dan adzab yang paling dahsyat. Inilah perumpamaan yang dibuat Allah tentang mereka yang berpaling dari kebenaran, menuju kepada kebathilan, serta berbalik dari jalan yang terang menuju kepada jalan kesesatan. Mereka bingung dan berjalan mundur kebelakang. Mujahid berkata: “Sebelum Kami (Allah) merubah wajah-wajah(mereka) dari jalan kebenaran, lalu Kami putarkan ke belakang menuju ke-sesatan.” Ibnu Abi Hatim berkata: “Pendapat semisal ini diriwayatkan dari Ibnu `Abbas dan al-Hasan. Dan disebutkan bahwa Ka’ab al-Ahbar masuk Islam ketika mendengar ayat ini.”

Kemudian firman-Nya: au nal’anaHum kamaa la’annaa ash-haabash shabti (“Atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang [yang berbuat maksiat] di hari Sabtu.”) Yaitu, orang-orang yang melanggar pada hari Sabtu, dengan menyiasati dalam berburu, maka mereka dirubah menjadi monyet dan babi. Kisah mereka secara panjang lebar akan dipaparkan dalam surat al-A’raaf.

Firman Allah: wa kaana amrullaaHi maf’uulan (“Dan ketetapan Allah pasti berlaku.”) Yaitu, jika Allah memerintahkan satu perkara, maka tidak ada yang dapat menentang atau menandingi.

Kemudian Allah mengabarkan bahwa Allah tidak mengampuni perbuatan syirik, dalam arti tidak mengampuni seorang hamba yang menjumpai-Nya (mati) dalam keadaan musyrik. Dan Allah mengampuni dosas elain itu, yaitu bagi yang dikehendaki-Nya. Banyak hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat yang mulia ini. Kita akan menyebutkan yang mudah saja.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abu Idris, aku mendengar Mu’awiyah berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Setiap dosa pasti diampuni oleh Allah, kecuali seseorang yang mati dalam keadaan kafir atau membunuh seorang mukmin secara sengaja.” (Juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari al-A’masy)

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata: “Suatu malam aku keluar, tiba-tiba aku melihat Rasulullah sedang berjalan seorang diri. Aku menduga beliau sedang tidak suka berjalan dengan seseorang, lalu aku mencoba berjalan di bawah sinar bulan, akhirnya beliau menoleh dan melihat aku. Beliau berkata: “Siapa itu?” Aku menjawab: “Abu Dzar, semoga Allah menjadikan aku tebusanmu.” Beliau berkata: “Hai Abu Dzar, kemarilah.” Lalu aku berjalan sesaat bersama beliau, beliau bersabda:

“Sesungguhnya orang-orang yang kaya adalah orang-orang yang paling sedikit pahalanya di hari Kiamat nanti, kecuali orang yang diberikan kebaikan oleh Allah, lalu disebarkan dari arah kanan dan kirinya, serta dari arah depan dan belakangnya dan ia beramal kebaikan dalam hartanya itu.” Lalu aku berjalan lagi sesaat bersama beliau saw., maka beliau berkata kepadaku: “Duduklah di sini”. Beliau pun mempersilahkanku duduk di sebuah lembah penuh batu-batuan. Beliau berkata kepadaku: “Duduklah disini, hingga aku kembali.” Kemudian beliau pergi menuju padang pasir hingga tidak terlihat lagi olehku.

Di saat aku menunggu lama, kemudian aku mendengar beliau datang sambil berkata: “Sekalipun berzina atau mencuri.” Abu Dzar berkata, ketika beliau datang, aku merasa tidak sabar sehingga aku bertanya: “Ya Nabi Allah, semoga Allah menjadikan aku tebusanmu. Siapakah yang berbicara dari arah padang pasir itu. Aku mendengar seseorang menghadap engkau”. Beliau menjawab: “Itulah Jibril, yang mendatangi aku di sisi padang pasir, sambil berkata: ‘Berikanlah kabar gembira pada umatmu, bahwa barangsiapa yang mati tidak menyekutukan Allah sedikit pun, ia akan masuk Surga.’ Aku bertanya: ‘Wahai Jibril, walaupun mencuri dan berzina?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Aku bertanya: ‘Walaupun mencuri dan berzina?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Aku bertanya lagi: ‘Walaupun mencuri dan berzina?’ Dia menjawab: ‘Ya. Sekalipun meminum khamr.’”

Al-Hafizh Abu Bakar al-Bazzar dan al-Hafizh Abu Ya’la meriwayatkan dari Tsabit, dari Anas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang dijanjikan pahala oleh Allah atas amalnya, maka Allah akan memenuhinya. Dan barangsiapa yang diancam dengan siksaan atas amalnya, maka Dia akan memilih (antara mengadzab atau mengampuni).”

Firman Allah: wa may yusyrik billaaHi faqadiftaraa itsman ‘adhiiman (“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”) Seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)

Di dalam ash-Shahihain, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: Aku bertanya: “Ya Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab: “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yangmenciptakanmu.” Dan beliau menyebutkan kelanjutan hadits ini.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 44-46

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 44-46“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bahagian dari al-Kitab (Taurat), mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk), dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan(yang benar). (QS. 4:44) Dan Allah lebih mengetahui (daripada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu). (QS. 4:45) Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: “Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.” Dan (mereka mengatakan pula): “Dengarlah,” sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: “Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami,” tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (QS. 4:46).” (an-Nisaa’: 44-46)

Allah mengabarkan tentang orang-orang Yahudi, -semoga bagi mereka laknat Allah yang terus menerus hingga hari Kiamat- bahwa mereka membeli kesesatan dengan hidayah, berpaling dari hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, serta meninggalkan ilmu yang mereka dapatkan daripara Nabi terdahulu tentang sifat Muhammad untuk mereka jual dengan harga yang sedikit berupa harta dunia.

Wa yuriiduuna an tadlillus sabiilan (“Dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat [menyimpang] dari jalan [yang benar].”) Yaitu mereka sangat senang seandainya kalian kafir dengan apa yang diturunkan kepada kalian, hai orang-orang beriman, serta kalian tinggalkan apa yang kalian miliki berupa hidayah dan ilmu yang bermanfaat.

wallaaHu a’lamu bi-a’daa-ikum (“Dan Allah lebih mengetahui (daripada kamu) tentang musuh-musuhmu.”) Yaitu Allah Mahamengetahui mereka dan memperingatkan kalian dari mereka. Wa kafaa billaaHi waliyyaw wa kafaa billaaHi nashiiran (“Dan cukuplah Allah menjadi pelindung [bagimu], dan cukuplah Allah menjadi penolong [bagimu].”) Yaitu cukuplah Allah sebagai pemelihara bagi orang yang berlindung kepada-Nya dan cukuplah Allah sebagai penolong bagi orang yang memohon pertolongan-Nya.

Kemudian Allah berfirman: minal ladziina Haaduu (“Di antara orang-orang Yahudi.”) “min” di sini adalah untuk menjelaskan jenis, seperti firman Allah: “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu.” (QS. Al-Hajj: 30)

Dan firman-Nya: yuharrifuunal kalima ‘am mawaadli’iHi (“Mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya.”) Yaitu mereka menakwilkan bukan dengan takwilnya, serta mereka menafsirkan dengan sesuatu yang tidak dimaksud oleh Allah secara sengaja dan penuh dusta.

Wa yaquuluuna sami’naa (“Mereka berkata, ‘kami mendengar.’”) Yaitu kami mendengar apa yang engkau ucapkan hai Muhammad, akan tetapi kami tidak akan menaati engkau. Demikian yang ditafsirkan oleh Mujahid dan Ibnu Zaid dan itulah yang dimaksud. Kalimat ini lebih gamblang dalam (menggambarkan) kekufuran dan pembangkangan mereka. Mereka berpaling dari kitab Allah, setelah mereka memahaminya, dan mereka mengetahui apa yang mereka lakukan itu adalah dosa dan ada hukumannya.

Perkataan mereka: wasma’ ghaira musma’in (“Dengarlah sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa.”) Yaitu, dengarkan apa yang kami ucapkan, akan tetapi sebenarnya kamu tidak mendengar apa-apa. Demikianlah makna ayat berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh adh-Dhahhak dari Ibnu `Abbas. Ini adalah sebuah ejekan dan hinaan dari mereka. Semoga laknat Allah bagi mereka.

Wa raa’inaa layyam bi alsinatiHim wa tha’nan fid diin (“Mereka mengatakan raa’ina dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama.”) Yaitu, mereka memberi kesamaran, bahwa mereka berkata, “raa’inaa” (perhatikanlah kami) adalah, “raa’inaa sam’aka” (Perhatikanlah kami dengan pendengaranmu), padahal yang dimaksudkan oleh mereka adalah “arru’uunatu” (yang bodoh), dalam rangka mencela Nabi saw.

Masalah ini sudah dibicarakan pada firman Allah yang lalu: “Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Raa’ina , tetapi katakanlah: `Undhurna.’ (QS. Al-Baqarah: 104). Untuk itu Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi, yang tujuan kata-katanya sangat berbeda dengan apa yang ditampakkannya: layyam bi alsinatiHim wa tha’nan fid diin (“Mereka mengatakan raa’ina dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama.”) yaitu menghina Nabi saw. Kemudian Allah berfirman:

Wa lau annaHum qaaluu sami’naa wa atha’naa wasma’ wandhurnaa lakaana khairal laHum wa aqwama walaakil la’anaHumullaaHu bikufriHim falaa yu’minuuna illaa qaliilan (“Sekiranya mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan patuh dan dengarlah dan perhatikanlah kami,’ tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.”)

Artinya, hati mereka telah dipalingkan, dan dijauhkan dari kebaikan, sehingga keimanan yang memberi manfaat tidak masuk ke dalam hatinya. Pembicaraan masalah ini sudah ada pada firman Allah: “Maka, sedikit sekali mereka yang beriman.”(QS. Al-Baqarah: 88) Maksudnya adalah mereka tidak beriman dengan iman yang bermanfaat.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 43

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 43“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Mahapemaaf lagi Mahapengampun.” (QS. an-Nisaa’: 43)

Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman, mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk yang menyebabkan ia tidak tahu apa yang diucapkannya, serta melarang mendekati tempat shalat, yaitu masjid bagi orang yang junub, kecuali sekedar melintas dari satu pintu ke pintu lainnya, tanpa diam di dalamnya. Hal ini ada, sebelum diharamkannya khamr, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang telah kami sebutkan di dalam surat al-Baqarah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan Judi.” (QS. Al1Bagarah: 219)

Sesungguhnya Rasulullah membacakan ayat ini (al-Baqarah: 219) kepada `Umar, yang kemudian berdo’a: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr secara tuntas.” Maka ketika turun ayat ini, beliau pun membacakannya kepada `Umar, lalu ia pun berdo’a: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr secara tuntas.”

Di saat itu mereka tidak meminum khamr di waktu shalat, sehingga turun ayat, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maa-idah: 90) sampai pada firman-Nya: “Apakah kamu berhenti?” (QS. Al-Maa-idah: 91).

Maka `Umar berkata: “Kami telah berhenti, kami telah berhenti.”

Ibnu Abi Syaibah dalam sebab turunnya ayat ini, menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Sa’ad, ia berkata: “Empat ayat turun berkenaan dengan saya: Seorang Anshar membuat makanan, lalu ia memanggil orang-orang Muhajirin dan Anshar, kemudian kami makan dan minum hingga mabuk, lalu kami berbangga-bangga, hingga ada laki-laki yang mengangkat rahang unta menusuk hidung Sa’ad. Maka jadilah Sa’ad orang yang bolong hidungnya. Kejadian itu sebelum diharamkannya khamr, lalu turun ayat:

Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa taqrabush shalaata wa antum sukaaraa (“Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk.”)

Hadits-nya secara panjang diriwayatkan oleh Muslim dan diriwayatkan pula oleh Ahlus Sunan kecuali Ibnu Majah.

(Sebab lain) Ibnu Abi Hatim mengatakan dari `Ali bin Abi Thalib, ia berkata: `Abdurrahman bin `Auf membuat makanan untuk kami, lalu mengundang kami dan menuangkan minuman khamr untuk kami, kemudian sebagian dari kami mulai mabuk dan waktu shalat pun tiba. Maka mereka mempersilahkan seseorang menjadi imam, sehingga terdengar bacaannya: qul yaa ayyuHal kaafiruun. Maa a’budu maa ta’buduun. Wa nahnu na’budu maa ta’buduun (“Katakanlah: `Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kami menyembah apa yang kamu sembah.'”)

Maka Allah menurunkan: Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa taqrabush shalaata wa antum sukaaraa hattaa ta’lamuu maa taquuluun (“Hai orang-orang yangberiman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehinggakamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”) Demikianlah yang diriwayatkan olehat-Tirmidzi dan ia berkata: Hasan shahih.

Firman-Nya: hattaa ta’lamuu maa taquuluun (“Sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”), ini ungkapan yang paling baik untuk batasan mabuk, yaitu tidak mengetahui apa yang diucapkannya. Karena orang yang sedang mabuk di waktu shalat, akan mencampur adukkan bacaan, tidak merenungkannya dan tidak khusyu’.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang kalian mengantuk dalam keadaan shalat, maka hendaklah ia kembali dan tidur, hingga mengetahui apa yang diucapkan.” Hadits ini hanya diriwayatkan oleh al-Bukhari, tanpa Muslim.

Adapun Muslim, ia meriwayatkannya bersama an-Nasa’i dari Ayyub dengan lafazh yang sama, dan pada sebagian lafazh hadits disebutkan: “Boleh jadi ketika istighfar ternyata ia mencaci dirinya sendiri.”

Firman Allah: walaa junuban illaa ‘aabirii sabiilin hattaa taghtasiluu (“[Jangan pula kamu hampiri masjid] sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.”)

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata tentang firman Allah ini: “Janganlah kalian masuk ke dalam masjid, sedangkan kalian dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.” Dan ia pun berkata: “Engkau lewat selintas dan jangan duduk.”
Pendapat ini diriwayatkan dari `Abdullah bin Mas’ud, Anas, Abu`Ubaidah, Sa’id bin al-Musayyab, adh-Dhahhak, `Atha’, Mujahid, Masruq, Ibrahim an-Nakha’i, Zaid bin Aslam, Abu Malik, `Amr bin Dinar, al-Hakambin `Utbah, `Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Ibnu Syihab dan Qatadah.

Ibnu Jarir berkata: “Yazid bin Abi Hubaib menceritakan kepada kami tentang firman Allah “(Jangan pula kamu hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.” Bahwa beberapa laki-laki Anshar, pintu keluarnya ada di dalam masjid. Di saat mereka terkena junub dan mereka tidak menemukan air, lalu mereka mencarinya dan mereka tidak mendapatkan jalan manapun kecuali melalui masjid”, maka Allah turunkan ayat tersebut, walaa junuban illaa ‘aabirii sabiilin hattaa taghtasiluu (“[Jangan pula kamu hampiri masjid] sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.”)

Dari ayat ini banyak imam berdalil, bahwa haram bagi orang yang junub diam di dalam masjid, dan dibolehkan sekedar melintas saja. Demikian pula dengan wanita haid atau nifas.

Di dalam Shahih Muslim riwayat dari`Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepadaku: “Ambilkan aku tikar di dalam masjid.” Aku berkata: “Aku dalam keadaan haid.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya haidmu itu bukan di tanganmu.”

(Hadits lain), tentang makna ayat. Ibnu Abi Hatim mengatakan dari`Ali: walaa junuban illaa ‘aabirii sabiilin hattaa taghtasiluu (“[Jangan pula kamu hampiri masjid] sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.”) Ia tidak boleh mendekati shalat kecuali seorang musafir yang terkena junub, lalu tidak menemukan air, maka ia boleh shalat hingga menemukan air.”

Hadits serupa juga diriwayatkan dari Ibnu `Abbas dalam salah satu riwayatnya, Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak. Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus Sunan, dari Abu Dzar, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tanah yang bersih adalah alat bersucinya seorang muslim, sekalipun kamu tidak menemukan air 10 musim haji (10 tahun). Apabila engkau telah menemukan air, maka usapkanlah ke kulitmu (berwudhulah), karena hal itu lebih baik bagimu.”

Kemudian setelah menyebutkan dua pendapat itu, Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang lebih tepat adalah yang mengatakan: yaitu, walaa junuban illaa ‘aabirii sabiilin (“[Jangan pula kamu hampiri masjid] sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.”) Maka tafsirnya ialih, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati masjid untuk shalat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan. Dan jangan pula kalian mendekatinya dalam keadaan junub, hingga kalian mandi, kecuali sekedar melintas saja.

Al-‘Abiris-Sabil adalah orang yang melintas, lewat dan menyeberang. Inilah yang didukung oleh pendapat jumhur dan ini pula makna zhahir ayat tersebut. Seakan-akan Allah melarang melakukan shalat dengan cara kurang yang bertentangan dengan tujuannya, serta masuk ke tempat shalat dengan cara yang tidak sempurna, yaitu dalam keadaan junub yang menjauhkan shalat dan tempatnya, Wallahu a’lam.

Firman Allah: hattaa taghtasiluu (“Hingga kamu mandi”), merupakan dalil pendapat tiga imam, yaitu Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i, bahwa haram bagi orang yang junub berdiam di dalam masjid hingga ia mandi, atau tayamum jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya.

Sedangkan Imam Ahmad berpendapat: “Bahwa ketika seseorang yang junub sudah berwudhu, maka boleh baginya diam di dalam masjid.” Sebagaimana yang diriwayatkan oleh dia sendiri (Ahmad) dan Sa’id bin Mansur di dalam sunannya dengan sanad yang shahih, bahwa para Sahabat, dahulu mereka melakukan hal itu. Sa’id bin Manshur berkata dalam sunannya dari `Atha’ bin Yasar, ia berkata: “Aku melihat beberapa Sahabat Rasulullah saw. duduk di dalam masjid dalam keadaan junub, ketika mereka telah berwudhu untuk shalat.” (Hadits ini berisnad shahih, menurut syarat Muslim). Wallahua’lam.

Firman Allah: wa in kuntum mardlaa au ‘alaa safarin au jaa-a ahadum minkum minal ghaa-ithi au laamastumun nisaa-a falam tajiduu maa-an fatayammamuu sha’iidan thayyiban (“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mnndapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”)

Adapun penyakit yang dibolehkan untuk tayamum adalah penyakit yang apabila menggunakan air dikhawatirkan tidak sampainya air pada anggota wudhu (contoh: tangan yang diperban, memperparah atau menambah lama penyakitnya. Sedangkan safar adalah hal yang sudah dikenal tidak ada perbedaan antara perjalanan jauh atau pendek.

Firman-Nya: au jaa-a ahadum minkum minal ghaa-ithi (“Atau kembali dari tempat buang air.”) Al-Ghaith adalah lokasi tanah yang rendah (turun). Kemudian dipakai untuk istilah buang air besar dan itu adalah hadats kecil. Adapun firman Allah: au lamastumun nisaa-a, dibaca (lamastum) dan (laamastum). Para ahli tafsir dan para imam berbeda pendapat tentang maknanya, yang terbagi menjadi dua golongan:

Pertama, bahwa hal itu adalah kiasan dari Jima’, berdasarkan firman Allah: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar itu yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237).

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu `Abbas tentang ayat ini ia berkata: “Yaitu jima’.” Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari `Ali, Ubay bin Ka’ab, Mu-jahid, Thawus, al-Hasan, `Ubaid bin `Umair, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. Ibnu `Abbas berkata: “adalah jima’, akan tetapi Allah yang Mahamulia menggunakan kiasan sesuai kehendak-Nya.” Dan terdapat pula riwayat shahih lainnya dari Ibnu `Abbas, selain dari jalan ini.

Kedua, kemudian Ibnu Jarir berkata, ulama yang lain berpendapat: “Yang dikehendaki oleh Allah adalah setiap orang yang menyentuh dengan tangan atau anggota tubuh lainnya. Dan Allah mewajibkan wudhu bagi setiap orang yang menyentuhkan bagian badannya kepada bagian badan perempuan.” Kemudian beliau melanjutkan bahwa `Abdullah bin Masud berkata: al-lamsu, adalah sesuatu yang selain dari jima’.” Hal serupa ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari berbagai jalan.

Diriwayatkan pula dari Ibnu Masud bahwa ia berkata: “Ciuman adalah bagian dari sentuhan dan hal itu mewajibkan wudhu.”

Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa `Abdullah bin Mas’ud berkata: “Seorang laki-laki harus wudhu dengan sebab bersenggama, menyentuh dengan tangan atau mencium. Tentang ayat ini beliau berkata: “Yaitu menyentuh.”

Ibnu AbiHatim, dan Ibnu Jarir mengatakan dari `Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “al-lamsu, adalah sesuatu yang selain dari jima’.” Kemudian Ibnu Abi Hatim berkata: “Pendapat serupa juga diriwayatkan dari Ibnu `Amr, `Ubaidah, Abu ‘Utsman an-Nahdi, Abu `Ubaidah bin `Abdullah bin Masud, Amir asy-Sya’bi, Tsabit bin al-Hajjaj, Ibrahim an-Nakha’i dan Zaid binAslam.”

Aku berkata; Malik meriwayatkan dari az-Zuhri dari Salim bin`Abdullah bin `Umar dari bapaknya bahwa ia berkata: “Kecupan seoranglaki-laki kepada isterinya dan sentuhan tangannya adalah bagian dari maknaal-mulaamasah (hal saling bersentuhan). Barangsiapa yang mengecup isterinya atau menyentuhnya dengan tangan maka wajib wudhu. Wajibnya wudhu karena sentuhan adalah pendapat asy-Syafi’i dan para pengikutnya, Malik dan pendapat yang masyhur dari pendapat Ahmad bin Hanbal. Para pendukungnya berkata ayat ini terkadang dibaca (lamastum) dan (laamastum). Al-Lamsu menurut syari’at di-sebut menyentuh dengan tangan.

Allah berfirman: “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas lertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri.” (QS. AI-An’aam: 7) Artinya, “Mereka menyentuhnya.” Rasulullah saw. bersabda kepada al-Ma’iz ketika mengakui zina, menawarkan kepadanya agar mencabut pengakuannya itu: “Boleh jadi engkau hanya mencium atau menyentuhnya”.

Di dalam sebuah hadits shahih: “Zina tangan adalah menyentuh.” Aisyah berkata: “Jarang sekali pada setiap harinya, kecuali Rasulullah saw. berkeliling kepada kami lalu beliau mencium dan menyentuh.” Di antaranya lagi hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain, bahwa Rasulullah saw. melarang jual-beli al-mulaamasah.

Berdasarkan kedua tafsir di atas, menunjukan terhadap menyentuh dengan tangan. Mereka berkata: “Al-lamsu dalam bahasa Arab berarti menyentuh dengan tangan dan juga berarti jima’.” Seorang penya’ir berkata:
Telapak tanganku menyentuh telapak tangannya, aku meminta ke-cukupan.”

Imam Ahmad meriwatkan, dari Ibrahim at-Taimi dari, `Aisyah bahwa Rasulullah saw. pernah mencium kemudian shalat dan tidak berwudhu lagi.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i, kemudian keduanya berkata: Ibrahim tidak pernah mendengar dari ‘Aisyah).

Firman-Nya: fa lam tajiduu maa-an fatayammamuu sha’iidan thayyiban (“Kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”) Kebanyakan para fuqaha mengambil kesimpulan dari ayat ini, bahwa tayamum tidak boleh dilakukan oleh orang yang tidak memiliki air kecuali setelah mencarinya, dan setelah mencarinya tidak diketemukan, maka boleh saat itu dia bertayamum. Mereka menyebutkan beberapa cara mencari air itu di dalam kitab-kitab fiqh.

Di dalam kitab ash-Shahihain dari hadits `Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. melihat laki-laki menyendiri, tidak shalat bersama jama’ah. Lalu beliau bertanya: “Hai Fulan, apa yang mencegahmu untuk shalat berjama’ah, bukankah engkau seorang muslim?” Dia menjawab: “Betul, ya Rasulullah! Akan tetapi saya sedang junub dan tidak menemukan air.” Maka beliau bersabda: “Gunakanlah debu, karena debu itu mencukupimu.”

Untuk itu Allah berfirman: fa lam tajiduu maa-an fatayammamuu sha’iidan thayyiban (“Kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”) Maka tayamum menurut bahasa adalah maksud (kehendak). Orang Arab berkata: tayammamakallaaHu bihifdhiHi (“Semoga Allah berkenan melidungimu.”) Seperti perkataan Imru’ul Qais dalam sya’irnya:
“Setelah dia merasa bahwa kematian menyongsongnya, dan melihat kerikil di bawah kakinya penuh dengan darah.”
“Dia pun menuju mata air yang berada di Dharij, yang dinaungi oleh bayangan (pohon), sedang lumutnya meluap.”

Ash-sha’id menurut satu pendapat, adalah setiap sesuatu yang meninggi di atas permukaan tanah, maka termasuk di dalamnya debu, pasir dan batu. Itulah pendapat Malik. Satu pendapat mengatakan sesuatu yang sejenis dengan debu seperti pasir, granit atau bebatuan. Inilah madzhab Abu Hanifah. Pendapat lain mengatakan debu saja. Inilah pendapat asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal yang halus dan bersih.

Dalam hadits lain diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Hudzaifah bin Yaman, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
“Kita dilebihkan dari umat-umat yang lain pada tiga hal; shaf-shaf kita dijadi-kan seperti shaf-shaf para Malaikat, seluruh tanah dijadikan untuk kita sebagai masjid, serta debunya dijadikan suci untuk kita apabila kita tidak menemukan air.”

Di dalam satu lafazh: “Semua debunya dijadikan suci untuk kita, apabila kita tidak menemukan air.” Mereka berkata: “Maka dikhususkan bersuci dengan debu pada posisi mulia, kalau saja ada selain debu tentu akan disebutkan bersama.”

Thayyib yang dimaksud di sini menurut sebagian pendapat adalah halal, dan menurut pendapat yang lain adalah sesuatu yang tidak najis, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali Ibnu Majah, dari hadits Abu Qilabah dari ‘Amr bin Najdan, dari Abu Dzar, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tanah yang bersih adalah alat bersuci seorang muslim, sekalipun ia tidak me-nemukan air 10 musim haji. Apabila dia telah menemukan air, maka hendak-lah ia menyentuhkannya ke kulitnya (berwudhulah), karena hal itu lebih baikbaginya.” (At-Tirmidzi berkata: Hasan shahih, serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban.)

Firman Allah: famsahuu biwujuuHikum wa aidiikum (“Sapulah mukamu dan tanganmu.”) Tayamum adalah ganti dari wudhu dalam bersuci, bukan ganti dari wudhu dari seluruh anggotanya, akan tetapi cukup mengusap wajah dan dua tangan saja menurut ijma’. Para Imam berbeda pendapat tentang bagaimana cara tayamum:

1. Madzhab Syafi’i dalam perkataan barunya, bahwa wajib membasuh wajah dan kedua tangannya hingga siku dengan dua kali tepukan, karena lafazh “yadain” (kedua tangan), maknanya dapat ditujukan hingga mencapai dua pundak dan hingga mencapai dua siku sebagaimana ayat wudhu dan dapat pula ditujukan hingga mencapai dua pergelangan tangan sebagaimana dalam ayat pencurian: “Maka potonglah tangan keduanya.” Mereka berpendapat, apa yang di-mutlaqkan dalam ayat ini harus dibawa ke dalam ayat wudhu yang membatasinya itulah penggabungan yang lebih utama dalam bersuci.

Asy-Syafi’i berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ash-Shamah bahwasanya Rasulullah tayamum mengusap wajah dan dua tangannya hingga siku.

2. Bahwa wajib mengusap wajah dan dua tangan, hingga pergelangan tangan dengan dua kali tepukan. Itulah pendapat lama asy-Syafi’i.

3. Cukup membasuh wajah dan dua telapak tangan dengan satu kali tepukan. Imam Ahmad mengatakan dari`Abdurrahman bin Abzi dari bapaknya, bahwa seorang laki-laki datang kepada `Umar dan berkata, “Sesungguhnya aku junub dan tidak menemukan air”. Maka `Umar berkata, “Jangan engkau shalat.” ‘Ammar berkata, “Apakah engkau tidak ingat wahai Amirul Mukminin, ketika aku dan engkau di dalam sekelompok pasukan perang, lalu kita mendapatkan junub dan tidak mendapatkan air. Adapun engkau, maka engkau tidak melakukan shalat, sedangkan aku, maka aku berguling di debu lalu shalat. Ketika kita mendatangi Nabi, hal itu kuceritakan kepada beliau, lalu beliau bersabda: ‘Cukuplah engkau begini,’ beliau memukulkan tangan-nya ke tanah kemudian meniupnya, lalu mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengannya.”

Allah berfirman di surat al-Maa-idah: “Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maa-idah: 6). Dengan ayat itu asy-Syafi’i berdalil, bahwa tayamum harus dilakukan dengan menggunakan tanah yang suci, yang mengandung debu, hingga ada sebagian debu yang menempel ke wajah dan kedua tangan.

Sebagaimana asy-Syafi’i meriwayatkan dengan sanadnya yang lalu dari Ibnu ash-Shamah, bahwa ia melewati Nabi yang sedang buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam kepada beliau, akan tetapi tidak dijawabnya, hingga ia berdiri menghadap ke dinding, kemudian beliau menggosoknya dengan menggunakan tongkat yang ada di tangannya (mengumpulkan debu/tanah), lalu menepukkan tangannya dan diusapkan ke wajah dan kedua tangannya hingga siku.

Dan firman-Nya: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (QS. Al-Maa-idah: 6) Artinya di dalam agama yang di-syari’atkan-Nya untuk kalian. “Akan tetapi Allah hendak membersihkan kamu.” (QS. Al-Maa-idah: 6) Untuk itu dibolehkan-Nya tayamum, jika kalian tidak menemukan air, kalian dapat berpaling kepada tayamum dengan debu. Tayamum adalah nikmat bagi kalian agar kalian bersyukur. Untuk itu umat ini diberi kekhususan dengan syari’at tayamum yang tidak diberikan kepada umat-umat yang lain.

Di dalam ash-Shahihain, diriwayatkan dari Jabir bin `Abdullah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seseorang (Nabi) sebelum-ku; Aku dibantu dengan (ditanamkan) rasa gentar (pada diri musuh) sepanjang perjalanan satu bulan, tanah dijadikan untukku masjid dan alat untuk bersuci. Maka siapa saja di antara umatku yang mendapatkan waktu shalat, maka shalatlah.”

Dalam satu lafazh tercantum: “(Dijadikan tanah sebagai) masjid dan alat bersuci, dihalalkan ghanimah (harta rampasan perang) untukku yang tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelumku dan aku diberikan syafa’at, dan bahwa para Nabi diutus untuk kaumnya raja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.”

Allah berfirman dalam ayat yang mulia ini: famsahuu biwujuuHikum wa aidiikum innallaaHa kaana ‘afuwwan ghafuuran (“Sesungguhnya Allah Mahapemaaf lagi Mahapengampun.”) Yaitu, salah satu wujud pemberian maaf dan pengampunan-Nya bagi kalian adalah, disyari’atkannya tayamum bagi kalian dan dibolehkannya bagi kalian melakukan shalat dengan tayamum apabila kalian kehabisan air, sebagai suatu keluasan dan keringanan bagi kalian.

Oleh karena itu, sesungguhnya ayat yang mulia ini merupakan penyucian shalat dari pelaksanaannya yang kurang layak, berupa mabuk hingga sadar atau hingga memahami apa yang diucapkan, berupa junub hingga mandi atau berupa hadats hingga berwudhu kecuali sakit atau tidak ada air. Sesungguhnya Allah telah memberikan rukhsah dalam hal tayamum dan kondisi-kondisinya ini sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Nya, kasih sayang dan keluasan bagi mereka. Hanya bagi Allah segala puji dan anugerah.

SEBAB TURUNNYA SYARIAT TAYAMUM:

AL-Bukhari meriwayatkan, dari `Aisyah ia berkata: “Kami pemah keluar bersama Rasulullah saw. pada sebagian perjalanannya hingga kami berada di sebuah dataran atau di Dzatul Jaisy, lalu kalungku terputus (hilang), maka Rasul berhenti untuk mencarinya, lalu yang lain pun ikut berhenti pula bersama beliau. Saat itu mereka tidak memiliki air, maka mereka mendatangi Abu Bakar dan berkata: “Cobalah kaulihat apa yang dilakukan Aisyah yang menyebabkan Rasul dan seluruh orang mencari-cari, padahal mereka tidak memiliki air.”

Lalu Abu Bakar datang kepada Rasulullah yang saat itu sedang meletakkan kepala beliau di atas pahaku dan tidur. la berkata: “Engkautelah menghalangi Rasulullah saw. dan orang-orang, sedang mereka tidak mendapatkan air dan mereka tidak memiliki air.” ‘Aisyah berkata, Abu Bakar terus mengomeli aku sampai-sampai beliau mengucapkan yang macam-macam dan mencubit pinggangku. Tidak ada yang menghalangi aku bergerak saat itu kecuali karena kepala beliau ada di pangkuanku.

Lalu di waktu pagi Rasul bangun dengan tidak menemukan air. Maka Allah menurunkan ayat tayamum yang kemudian mereka lakukan tayamum. Usaid bin al-Hudhair berkata: “Itu bukanlah awal keberkahan kalian yang pertama kali wahai keluarga Abu Bakar.” `Aisyah berkata: “Lalu kami membangunkan unta yang aku tumpangi, maka kami menemukan kalung itu di bawahnya.” (HR. Al-Bukhari dari Qutaibah dari Isma’il dan Muslim dari Yahya bin Yahya dari Malik).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 40-42

8 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 40-42“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (QS. 4:40) Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS.4:41) Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai Rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (QS. 4:42)” (an-Nisaa’: 40-42)

Allah berfirman mengabarkan bahwa, Allah tidak akan menzhalimi satu makhluk sebesar biji dzarrah pun. Tetapi Allah akan membalasnya dan melipat gandakannya, jika terdapat suatu kebaikan, sebagaimana Allah berfirman: “Kami akan memasang timbangan yang tepat.” (QS. Al-Anbiyaa’: 47)

Di dalam ash-Shahihain dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. dalam hadits yang panjang tentang syafa’at bersabda: “Allah berfirman: ‘Kembalilah kalian [malaikat]. Barangsiapa yang kalian dapatkan di dalam hatinya seberat biji dzarrah keimanan, maka keluarkanlah dia dariapi Neraka”. Di dalam satu lafazh: “Seberat biji dzarrah yang paling ringan sekali dari keimanan, maka keluarkanlah dia dari api Neraka, lalu mereka(Malaikat) pun mengeluarkan banyak manusia.” Kemudian Abu Sa’id berkata: “Jika kalian mau, bacalah: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah.”

Abu Zur’ah mengabarkan kepada kami dari Sa’id bin Jubair tentang firman Allah: wa in taku hasanatay yudlaa’ifHaa (“Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya.”) Adapun orang musyrik, maka akan diringankan siksanya pada hari Kiamat, tapi tidak dikeluarkan dari api Neraka selama-lamanya.

Beliau berdalil dengan hadits shahih bahwa al-‘Abbas berkata: “Ya Rasulullah! Sesungguhnya pamanmu Abu Thalib selalu melindungi dan membantumu, apakah semua itu bermanfaat baginya?” Beliau menjawab: “Ya, dia berada di dalam api Neraka yang dangkal. Seandainya bukan karena aku, niscaya ia berada di api Neraka yang paling bawah.”

Firman Allah: fa kaifa idzaa ji’naa min kulli ummatim bisyaHiidiw wa ji’naa bika ‘alaa Haa-ulaa-i syaHiidan (“Maka bagaimanakah [halnya orang kafir nanti], apabila Kami mendatangkan seseorang saksi [Rasul] dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu [Muhammad] sebagai saksi atas mereka itu [sebagai umatmu.”)

Allah berfirman mengabarkan tentang dahsyatnya hari Kiamat serta sulitnya urusan dan keadaannya. Maka bagaimanakah urusan dan keadaan hari Kiamat nanti, di saat didatangkan untuk setiap umat seorang saksi yaitu para Nabi’.

Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa `Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepadaku: “Bacakanlah untukku”! Aku bertanya: “Ya Rasulullah apakah aku bacakan kepadamu, padahal (al-Qur’an) ini diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab: “Ya, aku senang mendengarkannya dari orang lain”. Maka aku membaca surat an-Nisaa’, hingga pada saat aku sampai pada ayat ini: fa kaifa idzaa ji’naa min kulli ummatim bisyaHiidiw wa ji’naa bika ‘alaa Haa-ulaa-i syaHiidan (“Maka bagaimanakah [halnya orang kafir nanti], apabila Kami mendatangkan seseorang saksi [Rasul] dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu [Muhammad] sebagai saksi atas mereka itu [sebagai umatmu.”) Beliaubersabda: “Cukuplah sekarang.” Ternyata air matanya berlinang.” (Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim).

Firman Allah: yauma-idziy yawaddul ladziina kafaruu wa ‘ashawur rasuula lau tusawwaa biHimul ardlu wa laa yaktumuunallaaHa hadiitsan (“Di hari itu orang-orang kafir dan orang yang mendurhakai Rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.”)

Yaitu seandainya bumi terbelah dan menelan mereka. (Mereka berkata seperti itu) disebabkan apa yang mereka lihat mengenai dahsyatnya hari Kiamat, serta hal-hal yang mereka akan terima berupa kehinaan, terbukanya aib dan celaan. Seperti firman Allah: “Pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya.” (QS. An-Naba’: 40)

`Abdurrazzaq mengatakan dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, seorang laki-laki datang kepada Ibnu `Abbas dan berkata: “Ada beberapa hal yang aku nilai bertentangan di dalam al-Qur’an”. Ia bertanya: “Apa itu, apakah ada keraguan dalam al-Qur’an?” Dia berkata: “Bukan ragu, tetapi bertentangan.” Ia berkata lagi: “Berikan apa yang engkau anggap bertentangan?” Dia berkata: “Aku mendengar Allah berfirman: tsumma lam takun fitatuHum illaa an qaaluu wallaaHi rabbanaa maa kunnaa musyrikiin (“Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan: Demi Allah, Rabb kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.”) (QS. A1-An’aam: 23). Dan firman-Nya: wa laa taktumuunallaaHa hadiitsan (“Dan mereka tidak dapat menyembunyikan [dari Allah] sesuatu kejadian pun.”) Sedangkan mereka telah sembunyikan.”

Lalu Ibnu `Abbas menjawab: firman-Nya: tsumma lam takun fitatuHum illaa an qaaluu wallaaHi rabbanaa maa kunnaa musyrikiin (“Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan: Demi Allah, Rabb kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.”) mereka ketika pada hari Kiamat menyaksikan bahwasanya Allah tidak memberikan ampunan kecuali untuk orang Islam dan mengampuni berbagai dosa serta tidak ada dosa yang dianggap besar dan Allah tidak mengampuni dosa syirik, maka orang-orang musyrik itu berkata: “Demi Allah, Rabb kami, kami bukanlahorang-orang musyrik.” Mereka berharap agar Allah mengampuni mereka. Maka Allah mengunci mulut-mulut mereka, sementara tangan-tangan dan kaki-kaki mereka berbicara tentang apa yang telah mereka lakukan. Ketika itulah:

yauma-idziy yawaddul ladziina kafaruu wa ‘ashawur rasuula lau tusawwaa biHimul ardlu wa laa yaktumuunallaaHa hadiitsan (“Di hari itu orang-orang kafir dan orang yang mendurhakai Rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.”)

&