Arsip | 10.44

Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul

5 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah saw. atau dari shahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang shahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat [ra’y], tetapi ia mempunyai hukum marfu’ [disandarkan kepada Rasulullah saw].

Al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”

Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin mengatakan: “Ketika kutanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat al-Qur’an, dijawabnya: ‘Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang mengentahui mengenai apa al-Qur’an itu diturunkan telah meninggal.’”

Maksudnya, para shahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibnu Sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengentahui benar-benar asbabun nuzul.

Oleh karena itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul ialah riwayat ucapan-ucapan shahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.

As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para shahabat, seperti Muhahid, ‘Ikrimah, dan Sa’ad bin Jubair serta didukung oleh hadits mursal yang lain.

Al-Wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “Sekarang, setiap orang suka mengada-ada dan berbuat dosa; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat.”

&

Kesesatan Ahli Ilmu Kalam

5 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Para ahli ilmu kalam telah tenggelam dalam cara-cara para filsuf dalam menjelaskan kalam Allah sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian: kalam nafsi yang kekal yang ada pada Dzat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa; dan kalam lafdzi [verbal], yaitu yang diturunkan kepada para Nabi yang di antaranya adalah empat buah kitab.

Para ahli ilmu kalam ini semakin terbenam dalam perselisihan skolastik yang mereka adakan: apakah al-Qur’an dalam pengertian lafdzi, makhluk atau bukan? Mereka memperkuat pendapat bahwa al-Qur’an dalam pengertian kalam lafdzi di atas adalah makhluk. Dengan demikian, mereka telah keluar dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nasnya dalam kitab dan sunnah. Mereka juga menggarap sifat-sifat Allah dengan analisis filosofis yang hanya menimbulkan keraguan dalam akidah tauhid.

Sedang madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah menentukan nama-nama dan sifat-Sifat Allah yang sudah ditetapkan Allah atau ditetapkan Rasulullah saw. dalam hadits shahih yang datang dari Nabi. Bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat di antara sekian sifat Allah.

Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (an-Nisaa’: 164)

Demikian pula al-Qur’anul Karim [wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw] adalah Kalamullah, bukan makhluk, sebagaimana tersirat dalam ayat yang artinya: “Jika orang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, lindungilah dia, supaya dia sempat mendengar kalam Allah.” (at-Taubah: 6)

Penetapan mengenai apa yang dinisbatkan oleh Allah sendiri oleh Rasulullah saw., sekalipun sifat itu juga ditetapkan pada hamba-hamba Allah, tidaklah mengurangi kesempurnaan kesucian-Nya dan tidak membuat-Nya serupa dengan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, kesamaan dalam kata itu tidak mengharuskan kesamaan dalam apa yang dikandung oleh nama itu.

Amat berbeda antara Khaliq dengan makhluq dalam hal dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Dzat Khaliq adalah Mahasempurna, sifatnya paling dan tinggi. Apabila kalam itu merupakan sifat kesempurnaan makhluk, bagaimana sifat itu ditiadakan dari Khaliq ? Kita menerima apa yang diterima oleh para shahabat Rasulullah saw., para ulama tabi’in, para ahli hadits dan fiqih yang hidup pada masa-masa yang dinyatakan baik, sebelum lahir segala macam bid’ah para ahli ilmu kalam.

Kita beriman kepada apa yang datang dari Allah, atau shahih dari Rasulullah mengenai sifat-sifat dan perbuatan Allah, baik yang ditetapkan ataupun tidak, tanpa dikurangi, diserupakan, dimisalkan ataupun ditakwilkan. Kita tidak berhak menetapkan pendapat kita sendiri mengenai hakekat dzat Allah ataupun sifat-sifat-Nya.

“Tiada apa pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)

&

Hadits Kudsi

5 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Kata Qudsi (kudsi) dinisbatkan pada kata quds. Nisbah ini mengesankan rasa hormat, karena materi kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka kata taqdis berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathiir, dan taqaddasa sama dengan tataHHara [suci, bersih]. Allah berfirman dengan kata-kata malaikat-Nya:

“…padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan diri kami karena Engkau.” (al-Baqarah: 30) yakni membersihkan diri untuk diri-Mu.

Hadits qudsi ialah hadits yang oleh Nabi saw. disandarkan kepada Allah. Maksudnya, Nabi meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka Rasul menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadits kudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah saw. dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan:

“Rasulullah saw. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya”; atau ia mengatakan: “Rasulullah saw. mengatakan: Allah Ta’ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta’ala.”

Contoh yang pertama:
“Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw. mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya ‘azza wa jalla: ‘Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik di waktu malam maupun siang hari….’” (Hadits Bukhari)

Contoh yang kedua:
“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. berkata: ‘Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku. Bila ia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya di kalangan orang banyak yang lebih baik dari itu….’” (HR Bukhari dan Muslim)

&

Hadits Nabawi

5 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Hadits [baru] dalam arti bahasa lawan qadim [lama]. Dan yang dimaksud hadits ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengaran atau wahyu, baik dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini, al-Qur’an juga dinamai hadits.

“Hadits [kata-kata] siapakah yang lebih benar selain daripada Allah?” (an-Nisaa’: 87)

Begitu pula apa yang terjadi pada manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadits.

“….dan Engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil dari hadits-hadits [maksudnya mimpi].” (Yusuf: 101)

Sedang menurut istilah pengertian hadits ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat.

Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi saw: “Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya…” (Sebagian dari hadits panjang riwayat Bukhari dari Umar bin Khaththab)

Yang berupa perbuatan ialah seperti ajarannya kepada para shahabat mengenai bagaimana cara mengerjakan shalat; kemudian ia mengatakan: “Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat.” (HR Bukhari)

Juga mengenai bagaimana ia melaksanakan ibadah haji; dalam hal ini Nabi saw. bersabda: “Ambillah daripadaku manasik hajimu.” (HR Muslim, Ahmad dan Nasa’i)

Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti ia menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang shahabat, baik perkataan ataupun perbuatan, dilakukan di hadapannya ataupun tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan dlabb (sejenis biawak) yang dihidangkan kepada beliau; dan persetujuannya dalam sebuah riwayat, Nabi saw. mengutus orang dalam suatu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam shalat yang diakhiri dengan Qul HuwallaaHu ahad. Setelah pulang, mereka menyapaikan hal itu kepada Nabi saw. lalu sabda Nabi: “Tanyakan kepadanya mengapa ia berbuat demikian.” Mereka pun menanyakannya. Dan orang itu menjawab: “Kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya.” Maka jawab Nabi: “Katakan kepadanya bahwa Allah pun menyenangi dia.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dan yang berupa sifat adalah riwayat seperti: “Bahwa Nabi saw. itu selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula berbicara kotor dan tidak juga suka mencela….”

&

Nama dan Sifat Al-Qur’an

5 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Allah menamakan al-Qur’an dengan beberapa nama, diantaranya:

1. Al-Qur’an: “Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.” (al-Israa’: 9)

2. Al-Kitab: “Telah Kami turunkan kepadamu al-Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu.” (al-Anbiyaa’: 10)

3. Furqaan: “Mahasuci Allah Yang telah menurunkan al-Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam.” (al-Furqaan: 1)

4. Dzikr: “Sesunggguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-Dzikr (Qur’an) dan sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)

5. Tanzil: “Dan Qur’an ini Tanzil [diturunkan] dari Tuhan semesta alam.” (asy-Syu’ara’: 192)

Qur’an dan al-Kitab lebih populer dari nama-nama lain. Dalam hal ini Dr. Muhammad Abdullah Daraz berkata, “Ia dinamakan Qur’an karena ia “dibaca” dengan lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia “ditulis” dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya.”

Penamaan Qur’an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknyalah ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila di antara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain akan meluruskannya. Kita tidak dapat menyandarkan hanya kepada hafalan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para shahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi ke generasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak dapat menyandarkannya hanya kepada tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang shahih dan mutawatir.

Dengan penjagaan ganda ini yang oleh Allah telah ditanamkan ke dalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya, maka Qur’an tetap terjaga dalam benteng kokoh. Hal ini tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya Qur’an, seperti firman-Nya:

“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)

Dengan demikian al-Qur’an tidak mengalami penyimpangan, pengubahan dan keterputusan sanad seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu. (an-Naba-ul ‘Adhiim, cetakan Darul Qalam, Kuwait, hal: 12-13)

Penjagaan ganda ini di antaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya untuk waktu itu, sedang al-Qur’an diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu al-Qur’an mencakup hakekat yang ada dalam kitab-kitab terdahulu dan menambahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah. Al-Qur’an menjalankan fungsi kitab-kitab sebelumnya, tetapi kitab-kitab itu tidak dapat menempati posisinya. Allah telah menakdirkan untuk menjadikannya sebagai bukti sampai hari kiamat. Dan apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan mempermudah jalannya ke arah itu, karena Dia Mahabijaksana dan Mahatahu. Inilah alasan yang paling kuat.

Allah telah melukiskan al-Qur’an dengan beberapa sifat, di antaranya:

1. Nuur (Cahaya): “Wahai manusia, telah datang kepadamu bukti kebearan dari Tuhan-mu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang.” (an-Nisaa’: 174)

2. Huda (petunjuk), Syifa’ (obat), Rahmah (rahmat) dan Mau-idhah (nasehat): “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Tuhanmu dan obat bagi yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)

3. Mubiin (Yang menerangkan): “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan.” (al-Maa-idah: 15)

4. Mubaarak (yang diberkati): “Dan al-Qur’an ini adalah Kitab yang telah Kami berkahi, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya….” (al-An’am: 92)

5. Busyraa (khabar gembira): “….yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadikan petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah: 97)

6. ‘Aziz (yang mulia): “Mereka yang mengingkari adz-Dzikr (al-Qur’an) ketika al-Qur’an itu datang kepada mereka, [mereka pasti celaka]. Al-Qur’an adalah kitab yang mulia.” (Fushshilat: 41)

7. Majiid (yang dihormati): “Bahkan yang mereka dustakan adalah al-Qur’an yang dihormati.” (al-Buruuj: 21)

8. Basyiir (pembawa khabar gembira) dan Nadziir (pembawa peringatan): “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui; yang membawa khabar gembira dan membawa peringatan.” (Fushshilat: 3-4)

Setiap penamaan atau pelukisan itu merupakan salah satu makna dalam al-Qur’an.

&