Arsip | 20.17

Definisi Kemukjizatan al-Qur’an dan Ketetapannya

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

I’jaz [kemukjizatan] adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz [sesuatu yang melemahkan].

Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembicaraan ini adalah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Dan mu’jizat adalah sesuatu yang luar biasa yang disertai dengan tantangan dan selamat dari perlawanan.

Al-Qur’anul Karim digunakan oleh Nabi untuk menantang orang-orang Arab tetapi mereka tidak sanggup menghadapinya, padahal mereka sedemikian tinggi tingkat fashaahah dan balaghah-nya. Hal ini tiada lain karena al-Qur’an adalah mu’jizat.

Rasulullah saw. telah meminta orang-orang Arab menandingin al-Qur’an dalam tiga tahapan:

1. Menantang mereka dengan seluruh al-Qur’an dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tangangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.’” (al-Israa’: 88)

2. Menantang mereka dengan sepuluh surah saja dari al-Qur’an dalam firman-Nya:

“Ataukah mereka mengatakan: ‘Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu,’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.’ Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu Maka ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah,” (Huud: 13-14)

3. Menantang mereka dengan satu surah saja dari al-Qur’an, dalam firman-Nya:

“Atau (patutkah) mereka mengatakan: ‘Muhammad membuat-buatnya.’ Katakanlah: ‘(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar.’” (Yunus: 38)

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 23)

Orang yang mempunyai sedikit saja pengetahuan tentang sejarah bangsa Arab dan sastra bahasanya, tentu akan mengetahui faktor-faktor bagi diutusnya Rasulullah yang meninggikan bahasa Arab, menghaluskan tutur katanya dan mengumpulkan ragam dialeknya yang paling banyak dari pasar-pasar sastra dan perlombaan puisi dan prosa. Sehingga muara selokan-selokan fasahah dan peredaran kalam yang retorik berakhir pada bahasa Quraisy, dengan bahasa mana al-Qur’an diturunkan.

Selain itu bangsa Arab mempunyai kebanggaan diri yang mereka unggul-unggulkan atas bangsa-bangsa lain dengan congkak dan sombong, sehingga menjadi perumpamaan di dalam sejarah yang mencatat “kejayaan” mereka karena pertempuran dan peperangan hebat yang dinyalakan oleh api kesombongan dan kecongkakan.

Bangsa seperti mereka, dengan terpenuhinya potensi kebahasaan dan kekuatan retorika yang dinyalakan oleh semangat kesukuan dan dikobarkan oleh tungku fanatisme, andaikata telah dapat menandingi al-Qur’an tentu hal demikian akan menjadi buah bibir dan beritanya akan tersiar di setiap generasi.

Sebenarnya mereka telah menelaah ayat-ayat kitab, membolak-baliknya dan mengujinya dengan metode yang mereka gunakan untuk menguntai puisi dan prosa, namun mereka tidak mendapatkan jalan untuk menirunya atau celah-celah untuk menghadapinya.

Sebaliknya yang meluncur dari mulut mereka adalah kebenaran yang membuat mereka bisu secara spontan ketika ayat-ayat al-Qur’an menggoncangkan hati mereka, seperti yang terjadi pada Walid bin Mughirah.

Dan di saat mereka sudah tidak sanggup lagi berdaya upaya, mereka melemparkan kepada al-Qur’an itu kata-kata yang membingungkan: “Al-Qur’an ini adalah sihir yang dipelajari, karya penyair gila atau dongengan bangsa purbakala.”

Mereka tidak dapat menghindar lagi di hadapan kelemahan dan kesombongannya selain harus menyerahkan leher kepada pedang; seakan-akan keputusasaan yang mematikan telah memindahkan para penderitanya dari pandangan mereka terhadap kehidupan panjang dan umur panjang ke saat kematian, sampai akhirnya mereka menyerah pada kematian yang mendadak. Dengan demikian terbuktilah sudah kemukjizatan al-Qur’an tanpa diragukan lagi.

Mendengarkan al-Qur’an juga merupakan hujjah yang pasti: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (at-Taubah: 6).

Aspek-aspek mukjizat yang dikandungnya pun melebihi segala mukjizat kauniyah terdahulu dan tidak membutuhkan semua itu:

“Dan orang-orang kafir Mekah berkata: ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata.’ Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (al-Ankabut: 50-51)

Kelemahan orang Arab untuk menandingi al-Qur’an padahal mereka memiliki faktor-faktor dan potensi untuk itu, merupakan bukti tersendiri bagi kelemahan bahasa Arab di masa bahasa itu berada pada puncak kemajuan dan kejayaannya.

Kemukjizatan al-Qur’an bagi bangsa-bangsa lain tetap berlaku di sepanjang zaman dan akan selalu ada dalam posisi tantangan yang tegar. Misteri-misteri yang disingkapkan oleh ilmu pengetahuan modern hanyalah sebagian dari fenomena hakekat-hakekat tinggi yang terkandung dalam misteri alam wujud yang merupakan bukti bagi eksistensi Pencipta dan Perencananya. Dan inilah yang dikemukakan secara global atau diisyaratkan oleh al-Qur’an. Dengan demikian, al-Qur’an tetap merupakan mukjizat bagi seluruh umat manusia.

&

Macam-Macam Qasam

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Qasam itu adakalanya dzahir [jelas, tegas] dan adakalanya mudmar [tidak jelas, tersirat].

1. Dzahir, ialah sumpah yang di dalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam biHi. Dan di antaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jarr berupa “ba”, “wawu” dan “ta”.

Di beberapa tempat, fi’il qasam terkadang didahului [dimasuki] “laa” nafy, seperti: laa uqsimu biyaumil qiyaamati, walaa uqsimu bin nafsil lawwaamati (“Tidak, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali [dirinya sendiri].”) (al-Qiyaamah: 1-2)

Dikatakan “laa” di dua tempat ini adalah “laa” nafy yang berarti “tidak”, untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan sesuai dengan konteks sumpah. Dan taqdiir [perkiraan arti]-nya adalah: “Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada.”

Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: “Aku bersumpah dengan hari kiamat dan dengan nafsu lawwaamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan.”

Dikatakan pula “laa” tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan Dia berfirman: “Aku tidak bersumpah kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu. Tetapi Aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Sungguh masalahnya teramat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.”

Tetapi dikatakan pula “Laa” tersebut zaa’idah [tambahan]. Pernyataan jawab qasam ayat di atas tidak disebutkan tetapi telah ditunjukkan oleh perkataan sesudahnya, “Apakah manusia mengira…” (al-Qiyaamah: 3). Taqdiirnya ialah: “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.”

2. Mudmar, yaitu yang ada di dalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam biHi, tetapi ia ditunjukkan oleh “lam tauqid” yang masuk ke dalam qasam, seperti firman Allah: latublawunna fii amwaalikum wa anfusikum (“Kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.”) (Ali ‘Imraan: 186). Maksudnya, Demi Allah, kamu sungguh-sungguh akan diuji…

&

Muqsam BiHi dalam al-Qur’an

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Allah bersumpah dengan Dzat-Nya yang qudus yang mempunyai sifat-sifat khusus, atau dengan ayat-ayat-Nya yang memantapkan eksistensi dan sifat-sifat-Nya. Dan sumpah-Nya dengan sebagian makhluk menunjukkan bahwa makhluk itu termasuk salah satu ayat-Nya yang besar.

Allah bersumpah dengan Dzat-Nya sendiri dalam al-Qur’an pada tujuh tempat:

1. “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan,..’” (at-Taghaabun: 7)

2. “Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami”. Katakanlah: ‘Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu.’” (Saba’: 3)

3. “Dan mereka menanyakan kepadamu: ‘Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu adalah benar..’” (Yunus: 53)

Dalam ketiga ayat ini, Allah memerintahkan Nabi agar bersumpah dengan Dzat-Nya:

4. “Demi Tuhanmu, Sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan,” (Maryam: 68)

5. “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua,” (al-Hijr: 92)

6. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,” (an-Nisaa’: 65)

7. “Maka aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat, Sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.” (al-Ma’aarij: 40)

Selain ketujuh tempat ini semua sumpah dalam al-Qur’an adalah dengan makhluk-Nya. Misalnya:

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),” (asy-Syams: 1-7)

“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.” (al-Lail: 1-3)

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu.” (al-Fajr: 1-4)

“Sungguh, aku bersumpah dengan bintang-bintang,” (at-Takwir: 15)

“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai,” (at-Tiin: 1-2)

Sumpah dengan makhluk-Nya inilah yang paling banyak dalam al-Qur’an. Allah dapat saja bersumpah dengan apa yang Dia kehendaki. Akan tetapi sumpah manusia dengan selain Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan.

Dari Umar bin al-Khaththab ra. diceritakan, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan selain [nama] Allah, maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan [Allah].” (HR Tirmidzi yang menilainya hadits hasan, dan dinilai shahih oleh Hakim)

Allah bersumpah dengan makhluk-Nya, karena makhluk itu menunjukkan Penciptanya, yaitu Allah, di samping menunjukkan pula akan keutamaan dan kemanfaatan makhluk tersebut, agar dijadikan pelajaran bagi manusia.

Dari al-Hasan diriwayatkan, ia berkata: “Allah boleh bersumpah dengan makhluk yang dikehendaki-Nya. Namun tidak boleh bagi seorang pun bersumpah kecuali dengan [nama] Allah.” (Dikeluarkan oleh Ibn Abi Hatim)

&

Faedah Qasam dalam al-Qur’an

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara [mukhaatab] mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu Ma’ani disebut adrubul khabar ats-tsalaatsah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita: ibtida’i, talabi, dan inkaari.

Mukhaatab terkadang seseorang berhati kosong [khaliyuz zihni] sama sekali tidak mempunyai persepsi pernyataan [hukum] yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat [ta’kid]. Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.

Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya. Perkataan demikian dinamakan talabi.

Dan terkadang ia inkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai kadar keingkarannya, kuat atau lemah. Pembicaraan demikian dinamakan inkaari.

Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Al-Qur’anul Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi.

Karena itulah dipakai qasam dalam Kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.

&

Definisi dan Sighat Qasam

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Aqsaam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-yamiin, yakni sumpah. Sighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta’addi [transisi]-kan dengan “ba” untuk sampai pada muqsam biHi [sesuatu yang digunakan untuk bersumpah], lalu disusul dengan muqsam ‘alaiHi [sesuatu yang karena sumpah diucapkan] yang dinamakan dengan jawab qasam.

Misalnya firman Allah: “Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-sungguh, bahwasannya Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” (an-Nahl: 38)

Dengan demikian, ada tiga unsur dalam sighat qasam: fi’il yang ditransitifkan dengan “ba”, muqsam biHi dan muqsam ‘alaiHi.

Oleh karena qasam itu sering dipergunakan dalam percakapan maka ia diringkas, yaitu fi’il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan “ba”. Kemudian “ba” pun diganti dengan “wawu” pada isim zahir, seperti: wal laili idzaa yaghsyaa (“Demi malam, bila menutupi [cahaya siang]”) (al-Lail: 1)

Dan digantinya “ta” pada lafadz jalalah, misalnya: wa tallaaHi la akiidanna ash-naamakum (“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu”) (al-Anbiyaa’: 57). Namun qasam dengan “ta” ini jarang dipergunakan, sedang yang banyak adalah dengan “wawu”.

Qasam dan yamiin adalah dua kata sinonim, mempunyai makna yang sama. Qasam didefinisikan sebagai “mengikat jiwa [hati] agar tidak melakukan, atau melakukan sesuatu, dengan “suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara haqiqi maupun i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu.”

Bersumpah dinamakan juga dengan yamiin [tangan kanan] karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan sahabatnya.

&

Qasam-Qasam al-Qur’an

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Kesiapan jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk pada cahayanya itu berbeda-beda. Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak ternodai oleh kejahatan akan segera menyambut petunjuk dan akan membukakan pintu hati bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk itu sampai kepadanya hanya sepintas kilas.

Sedang jiwa yang tertutup awan kejahilan dan diliputi gelapnya kebathilan tidak akan tergoncang hatinya kecuali dengan pukulan peringatan dan bentuk kalimat yang kokoh lagi kuat, sehingga dengan demikian barulah tergoncang keingkarannya itu.

Qasam [sumpah] dalam pembicaraan termasuk salah satu uslub pengukuh kalimat yang diselingi dengan bukti konkrit dan dapat menyeret lawan untuk mengakui apa yang diingkarinya.

&

Nasikh dan Mansukh

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Tasyri’ samawi diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya untuk memperbaiki umat di bidang aqidah, ibadah dan mu’amalah. Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan atas auhid uluhiyah dan rububiyyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada aqidah yang satu ini semuanya sama. Firman Allah:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’” (al-Anbiyaa’: 25)

Mengenai bidang ibadah dan mu’amalah maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain.

Di samping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa Pembuat syariat [Musyarri’] yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milik-Nya.

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (al-Anbiyaa’: 23)

Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasyri’ lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.

&

Amm dan Khaass

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

System tasyri’ [penetapan perundang-undangan] dan hukum agama mempunyai sasaran tertentu, kepada siapa hukum itu ditujukan. Terkadang suatu hukum perundang-undangan mengandung sejumlah karakteristik yang menjadikannya bersifat umum dan meliputi setiap individu dan atau cocok bagi semua keadaan. Dan terkadang juga tujuan itu terbatas dan khusus. Maka diktum hukum kategori kedua ini tetap bersifat umum namun kemudian diikuti diktum lain yang menjelaskan keterbatasannya atau mempersempit cakupannya.

Keindahan retorika bahasa Arab dan kemampuannya dalam memvariasikan seruan serta menjelaskan sasaran dan tujuan, merupakan salah satu manifestasi kekuatan bahasa tersebut dan kekayaan khazanahnya. Apabila hal demikian dihubungkan dengan kalam Allah yang mukjizat, maka pengaruhnya dalam jiwa merupakan tanda kemukjizatan tersendiri, yakni kemukjizatan tasyri’i di samping kemukjizatan dari segi bahasa.

&

Amtsaalul Qur’an

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Hakekat-hakekat yang tinggi makna dan tujuannya akan lebih menarik jika dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan pada pemahaman, melalui analogi dengan sesuatu yang telah diketahui secara yakin.

Tamsiil [membuat permisalan, perumpamaan] merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap di dalam fikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang ghaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa.

Betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih indah, menarik dan mempesona oleh tamsil. Karena itulah maka tamsiil lebih dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksud dan membuat akal merasa puas dengannya. Dan tamsiil adalah salah satu uslub al-Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatannya.

Di antara para ulama ada sejumlah orang menulis sebuah kitab yang secara khusus membahas perumpamaan-perumpamaan [amtsaal] dalam al-Qur’an, dan ada pula yang hanya membuat satu bab mengenainya dalam salah satu kitab-kitabnya. Kelompok pertama misalnya Abul Hasan al-Mawardi. Sedangkan kelompok kedua, antara lain, Suyuti dalam al-Itqaan dan Ibnul Qayyim dalam A’laamul Muwaqqi’iin.

Bila kita meneliti amtsaal dalam al-Qur’an yang mengandung penyerupaan [tasybiih] sesuatu dengan hal serupa lainnya dan penyamaan antara keduanya dalam hukum, maka amtsaal demikian mencapai jumlah lebih dari empat puluh buah.

Allah mengemukakan dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa Dia membuat sejumlah amtsaal, misalnya:

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu dibuat-Nya untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr: 21)

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabuut: 43)

“Dan sungguh Kami telah membuat bagi manusia di dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran.” (az-Zumar: 27)

Dari Ali diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah menurunkan al-Qur’an sebagai perintah dan larangan, tradisi yang telah lalu dan perumpamaan yang dibuat.” (HR Tirmidzi)

Sebagaimana para ulama menaruh perhatian bersar terhadap amtsaal al-Qur’aan, mereka menaruh perhatian pula terhadap amtsaal yang dibuat oleh Nabi. Abu ‘Isa at-Tirmidzi telah membuat satu bab berisi amtsaal Nabi dalam kitab Jami’-nya, yang memuat 40 hadits.

Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi berkata: “Aku tidak melihat di antara para ahli hadits, seseorang yang menulis satu bab khusus tentang amtsaal Nabi selain Abu ‘Isa. Sungguh sangat mengagumkan ia. Ia telah membuka sebuah pintu dan membangun sebuah istana atau rumah. Sekalipun ia menulisnya hanya sedikit, namun kita merasa puas dan patut berterimakasih kepadanya.”

&

Definisi Mutlaq dan Muqayyad

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa sesuatu qayid [pembatas]. Jadi ia hanya menunjuk kepada satu individu tidak tertentu pada hakekat tersebut. Lafadz mutlaq ini pada umumnya berbentuk lafadz nakirah dalam konteks kalimat positif.

Misalnya lafadz “raqabatun” (budak) dalam ayat: fatahriiru raqabatin (“Maka [wajib] atasnya memerdekakan seorang budak.”) (al-Mujadalah: 3). Pernyataan ini meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun yang kafir.

Lafadz “raqabaH” adalah nakirah dalam bentuk positif. Karena itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apa pun juga. Juga seperti ucapan Nabi: “Tidak ada pernikahan tanpa seorang wali.” (Hadits Ahmad dan empat imam). “Wali” di sini adalah mutlak, meliputi segala jenis wali baik yang berakal sehat maupun tidak.

Oleh karena itu sebagian ulama Ushul mendifinisikan mutlaq dengan “suatu ungkapan tentang isim nakirah dalam konteks positif”.

Kata-kata “nakirah” mengecualikan isim ma’rifat dan semua lafadz yang menunjukkan sesuatu yang tertentu. Dan kata-kata “dalam konteks positif” mengecualikan isim nakirah dalam konteks negatif [nafy], karena nakirah dalam bentuk negatif mempunyai arti umum, meliputi semua individu yang termasuk jenisnya.

Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakekat dengan qayid [batasan], seperti kata-kata “raqabaH” (budak) yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat: fatahriiru raqabatim mu’minatin (“Maka [hendaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman.”) (an-Nisaa’: 92)

&