Arsip | 15.16

Kadar Kemukjizatan al-Qur’an

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keseluruhan al-Qur’an, bukan dengan sebagiannya, atau dengan setiap surahnya secara lengkap.

2. Sebagian ulama berpendapat, sebagian kecil atau sebagian besar al-Qur’an, tanpa satu surah penuh, juga merupakan mukjizat, berdasarkan firman Allah:
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an…” (at-Tuur: 34)

3. Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat.

Memang, al-Qur’an telah mengajukan tantangan agar didatangkan sesuatu yang sama persis dengan al-Qur’an; dengan keseluruhannya [al-Israa’: 88], dengan sepuluh surah (Huud: 13), dengan satu surah (Yunus: 38), dan dengan suatu pembicaraan seperti al-Qur’an (at-Thuur: 34)

Namun demikian, kita tidak berpendapat, kemukjizatan itu hanya terdapat pada kadar tertentu, sebab kita dapat menemukannya pula pada bunyi huruf-hurufnya dan alunan kata-katanya, sebagaimana kita mendapatkannya pada ayat-ayat dan surah-surahnya. Al-Qur’an adalah Kalamullah. Ini saja sudah cukup.

Adapun mengenai segi atau kadar manakah yang mukjizat itu, maka jika seorang penyelidik yang obyektif dan mencari kebenaran memperhatikan al-Qur’an dari aspek manapun yang ia sukai, segi uslubnya, segi ilmu pengetahuannya, segi pengaruh yang ditimbulkannya di dalam dunia dan wajah sejarah yang diubahnya atau semua segi tersebut, tentu kemukjizatan itu ia dapatkan dengan jelas dan terang.

&

Aspek-Aspek Kemukjizatan al-Qur’an

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Kelahiran ilmu kalam di dalam Islam mempunyai implikasi yang lebih tepat untuk dikatakan sebagai kalam di dalam kalam. Percikan pemikiran yang ada di dalamnya menarik pengikutnya ke dalam kerancuan pemikiran yang tumpang tindih, sebagaimana berada di atas sebagian yang lain. Tragedi tokoh-tokoh ilmu kalam ini mulai tampak ketika membicarakan kemakhlukan al-Qur’an. Maka pendapat dan pandangan mereka tentang kemukjizatan al-Qur’an pun berbeda-beda dan beragam.

1. Abu Ishaq Ibrahim an-Nizaam dan pengikutnya dari kaum Syi’ah seperti al-Murtada berpendapat, kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan cara sirfah [pemalingan]. Arti sirfah dalam pandangan an-Nizam ialah, bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang al-Qur’an. Padahal, sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingan inilah yang luar biasa [mukjizat]. Sedang sirfah menurut pandangan al-Murtada ialah bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi al-Qur’an agar mereka tidak mampu membuat seperti al-Qur’an.

Pendapat ini menunjukkan kelemahan pemiliknya itu sendiri. Sebab tidak akan dikatakan terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi yang melemahkan [mu’jiz] adalah kekuasaan Allah, dan dengan demikian al-Qur’an bukan mukjizat. Padahal pembicaraan kita tentang kemukjizatan al-Qur’an, bukan kemukjizatan Allah, akan tetap ada sepanjang masa.

Berkata Qadi Abu Bakar al-Baqalani: “Salah satu hal yang membatalkan pendapat sirfah ialah, kalaulah menandingi al-Qur’an itu mungkin tetapi mereka dihalangi oleh sirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan sirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apa pun atas kalam yang lain.”

Pendapat tentang sirfah ini batil dan ditolak oleh al-Qur’an sendiri dalam firman-Nya yang artinya:

“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.” (al-Israa’: 88)

Ayat ini menunjukkan kelemahan mereka meskipun mereka masih mempunyai kemampuan. Dan seandainya kemampuan mereka telah dicabut, maka berkumpulnya jin dan manusia tidak lagi berguna karena perkumpulan itu sama halnya dengan perkumpulan orang-orang mati. Sedang kelemahan orang mati bukanlah sesuatu yang patut disebut-sebut.

2. Satu golongan ulama berpendapat, al-Qur’an itu mukjizat dengan balaghahnya, yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya. Ini adalah pendapat ahli bahasa Arab yang gemar akan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang terjalin kokoh dan retorika yang menarik.

3. Sebagian mereka berpendapat, segi kemukjizatan al-Qur’an itu ialah karena ia mengandung badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal perkataan orang Arab, seperti faasilah dan maqta.

4. Golongan lain berpendapat, kemukjizatan al-Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal ghaib yang akan datang yang tidak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada pemberitaannya tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin dapat diterangkan oleh seorang ummi yang tidak pernah berhubungan dengan ahli kitab. Misalnya firman Allah tentang penduduk Badar:

“Golongan itu pasti dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (al-Qamar: 45)

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya.” (al-Fath: 27)

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi.” (an-Nuur: 55)

“Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” (ar-Ruum: 1-3)

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadanya [Muhammad]; tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini.” (Huud: 49) dan kisah-kisah orang-orang terdahulu lainnya.

Pendapat golongan ini tidak dapat diterima [mardud], sebab ia menuntut ayat-ayat yang tidak mengandung berita tentang hal-hal ghaib yang akan datang dan yang telah lalu, tidak mengandung mukjizat. Dan ini adalah bathil, sebab Allah telah menjadikan setiap surah sebagai mukjizat tersendiri.

5. Satu golongan berpendapat, al-Qur’an itu mukjizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah sangat dalam. Dan masih banyak lagi aspek-aspek kemukjizatan lainnya yang berkisar pada sekitar tema-tema di atas, sebagaimana telah dihimpun oleh sebagian ulama, mencapai sepuluh aspek atau lebih. Padalah hakekatnya al-Qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang dibawakan dan dikandung oleh lafadz-lafadznya.

Ia mukjizat dalam lafadz-lafadz dan uslubnya. Satu huruf daripadanya yang berada di tempatnya merupakan suatu mukjizat yang diperlukan oleh lainnya dalam ikatan kata. Satu kata yang berada di tempatnya juga merupakan mukjizat dalam ikatan kalimat. Dan satu kalimat yang ada di tempatnya pun merupakan mukjizat dalam jalinan surahl

Ia mukjizat dalam hal bayaan [penjelasan, retorika] dan nazam [jalinan]-nya. Di dalamnya seorang pembaca akan menemukan gambaran hidup bagi kehidupan, alam dan manusia. Ia adalah mukjizat dalam makna-maknanya yang telah menyingkapkan tabir hakekat kemanusiaan dan misinya di dalam kosmos ini.

Ia mukjizat dengan segala ilmu dan pengetahuan yang sebagian besar hakekatnya yang ghaib telah diakui dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.

Ia adalah mukjizat dalam tasyri’ dan pemeliharaannya terhadap hak-hak asasi manusia serta dalam pembentukan masyarakat teladan yang di tangannya dunia akan berbahagia.

Al-Qur’an, seluruhnya, itulah yang membuat orang Arab yang semula hanya penggembala domba dan kambing, menjadi pemimpin bangsa-bangsa dan panutan umat. Dan ini saja cukup menjadi bukti mukjizat.

Berkata al-Khattabi dalam kitabnya:

Maka dapat disimpulkan dari keterangan tersebut bahwa al-Qur’an itu mukjizat karena ia datang dengan lafadz-lafadz yang paling fasih, dalam susunan yang paling indah dan mengandung makna-makna yang paling valid, sahih, seperti peng-Esa-an Allah, penyucian sifat-sifat-Nya, ajakan taat kepada-Nya, penjelasan cara ibadah kepada-Nya, dengan menerangkan hal yang dihalalkan dan diharamkan, dilarang dan dibolehkan. Juga seperti nasehat dan bimbingan, amar makruf, nahi munkar, serta bimbingan akhlak yang baik dan larangan dari akhlak buruk.

Semua hal di atas diletakkan pada tempatnya masing-masing sehingga tidak tampak ada sesuatu lain yang lebih baik daripadanya, dan tidak bisa dibayangkan dalam imajinasi akal ada sesuatu lain yang lebih pantas daripadanya.

Di samping itu, ia juga memuat berita tentang sejarah manusia di abad-abad silam dan azab yang diturunkan Allah kepada orang-orang yang durhaka dan menentangnya di antara mereka.

Juga ia menceritakan tentang realitas-realitas yang akan terjadi jauh sebelum terjadi, mengemukakan secara lengkap argumentasi dan hal yang diberi argumentasi, dalil atau bukti dan hal yang dibuktikannya, agar dengan demikian ia lebih kuat, mantap, dalam menetapkan kewajiban dan diperintahkannya dan larangan yang dicegahnya, sebagaimana diserukan dan diberitakannya.

Jelaslah bahwa mendatangkan hal-hal seperti itu lengkap dengan berbagai ragamnya hingga tersusun rapi dan teratur, merupakan sesuatu yang tidak ditanggapi kekuatan manusia dan di luar jangkauan kemampuannya. Dengan demikian, sia-sialah makhluk di hadapannya dan menjadi lemah, tidak mampu, untuk mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya.

&

Turunnya al-Qur’an

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasul kita, Muhammad saw. untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi.

Turunnya al-Qur’an pertama kali pada malam Lailatul Qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad saw. Umat ini telah dimuliakan dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia.

Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahab, berbeda dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya, sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahasia hikmah ilahi yang ada di balik itu.

Rasulullah saw. tidak menerima risalah agung ini sekaligus, dan kaumnya pun tidak pula puas dengan risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. oleh karena itu wahyu pun turun berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasulullah saw. dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.

&

Manfaat Pembahasan Mengenai Ayat yang Turun Pertama dan Terakhir

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Pengetahuan mengenai ayat-ayat yang pertama kali dan terakhir kali diturunkan itu mempunyai banyak manfaat, yang terpenting di antaranya:

1. Menjelaskan perhatian yang diperoleh al-Qur’an guna menjaganya dan menentukan ayat-ayatnya. Para shahabat telah menghayati al-Qur’an ini ayat demi ayat. Sehingga mereka mengerti kapan dan dimana ayat itu diturunkan. Mereka telah menerima dari Rasulullah saw. ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau dengan sepenuh hati, hati-hati dan percaya bahwa al-Qur’an adalah dasar agama, penggerak iman dan sumber kemuliaan serta kehormatannya.

Dan ini membawa pada akibat positif yaitu bahwa al-Qur’an selamat dari perubahan dan kekacauan. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan Kami pulalah yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)

2. Mengetahui rahasia perundang-undangan Islam menurut sejarah sumbernya yang pokok. Ayat-ayat al-Qur’an dapat mengatasi persoalan kejiwaan manusia dengan petunjuk ilahi, dan mengantarkannya dengan cara-cara yang bijaksana dan menempatkan mereka ke tingkat kesempurnaan. Ia dapat bertahan dalam menetapkan hukum-hukum, sehingga dengan demikian cara hidup mereka menjadi benar dan urusan masyarakat berada pada jalan yang lurus.

3. Membedakan yang nasikh dan mansukh. Kadang terdapat dua ayat atau lebih dalam satu masalah, tetapi ketentuan hukum dalam satu ayat berbeda dengan ayat lain. Apabila diketahui mana yang pertama diturunkan dan mana yang kemudian, maka ketentuan hukum dalam ayat yang diturunkan kemudian menasakh [menghapus] ketentuan ayat yang diturunkan sebelumnya.

&

Pengetahuan Mengenai Ayat yang Turun Pertama dan Terakhir

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Ungkapan bahwa Rasulullah saw. menerima al-Qur’an yang diturunkan kepadanya itu mengesankan suatu kekuatan yang dipegang seseorang dalam menggambarkan segala yang turun dari tempat yang lebih tinggi.

Hal ini karena tingginya kedudukan al-Qur’an dan agungnya ajaran-ajarannya yang dapat mengubah perjalanan hidup umat manusia, menghubungkan langit dan bumi, dan dunia dengan akhirat.

Pengetahuan mengenai sejarah perundang-undangan Islam dari sumber pertama dan pokok –yaitu al-Qur’an- akan memberikan kepada kita gambaran mengenai pentahapan hukum dan penyesuaiannya dengan keadaan temapt hukum itu diturunkan, tanpa adanya kontradiksi antara yang lalu dengan yang akan datang.

Hal demikian memerlukan pembahasan mengenai apa yang pertama kali turun dan apa yang terakhir turun. Demikian pula pembicaraan mengenai apa yang pertama kali dan yang teakhir kali turun itu memerlukan pembahasan mengenai segala perundang-undangan ajaran-ajaran Islam, seperti makanan, minuman, peperangan dan lain sebagainya.

Dalam hal apa yang pertama kali diturunkan dan apa yang terakhir kali, para ulama mempunyai banyak pendapat, yang akan diuraikan dalam bahasan berikutnya.

&

Syarat-Syarat dan Adab bagi Mufasir

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Kajian ilmiah yang obyektif merupakan asas utama bagi pengetahuan yang valid yang memberikan kemanfaatan bagi para pencarinya, dan buahnya merupakan makanan yang lezat bagi santapan fikiran dan perkembangan akal.

Oleh karena itu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan hal yang mempunyai nilai tersendiri bagi kematangan buah kajiannya dan kemudahan memetiknya.

Kajian ilmu-ilmu syariat pada umumnya dan ilmu tafsir khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan dan mengetahui sejumlah syarat dan adab, agar dengan demikian jernihlah salurannya dan terpelihara keindahan wahyu dan keagungannya.

&

Asbabun Nuzul

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia kepada tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-risalah-Nya. Juga memberikan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.

Sebagian besar al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para shahabat bersama Rasulullah saw. telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah saw. untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun nuzul.

&

Perhatian Para Ulama terhadap Asbabun Nuzul

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Para penyelidik ilmu-ilmu al-Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbabun nuzul. Untuk menafsirkan al-Qur’an maka ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan mengenai bidang ini. Yang terkenal di antaranya adalah Ali bin Madini, guru al-Bukhari, kemudian al-Wahidi dalam kitabnya Asbaabun Nuzuul, kemudian al-Ja’bari yang meringkaskan kitab al-Wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambah sesuatu. Menyusul Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul, satu juz dari naskah kitab ini didapatkan oleh as-Suyuti, tetapi ia tidak dapat menemukan seluruhnya. Kemudian as-Suyuti yang mengatakan tentang dirinya: “Dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum ada satu kitab pun dapat menyamainya. Kitab ini aku namakan Lubaabul Manquul fi ashaabin Nuzuul.”

&

Definisi Amtsaal

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Amtsaal adalah jamak dari kata matsal. Kata matsal, mitsl dan matsil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafadz maupun maknanya.

Dalam sastra, matsal adalah suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan. Maksudnya, menyerupakan sesuatu [seseorang, keadaan] dengan apa yang terkandung dalam perkataan itu.

Misalnya: rubba ramyatin min ghairi raamin (“Betapa banyak lemparan panah yang mengenai tanpa sengaja”) artinya, betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran itu dilakukan seorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya. Orang pertama mengucapkan matsal ini adalah al-Hakam bin Yaghus an-Nagri. Matsal ini ia katakan kepada orang yang biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini, matsal harus mempunyai maurid [sumber] yang kepadanya sesuatu yang lain diserupakan.

Kata matsal digunakan pula untuk menunjukkan arti “keadaan” dan “kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata “matsal” dalam jumlah besar ayat. Misalnya firman Allah yang artinya:

“[Apakah] matsal surga yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya…” (Muhammad: 15). Maksudnya, kisah dan sifat surga yang sangat mengagumkan.

Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketiga arti ini dalam kitabnya. Al-karsysyaaf. Ia berkata: “Matsal menurut asal perkataan mereka berarti al-mitsl dan an-nadzir [yang serupa, yang sebanding]. Kemudian setiap perkataan yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu [orang, keadaan dan sebagainya] dengan “maurid” [atau apa yang terkandung dalam] perkataan disebut matsal.

Mereka tidak menjadikan sebagai matsal dan tidak memandang pantas untuk dijadikan matsal yang layak diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari beberapa segi.

Dan katanya lebih lanjut, “matsal” dipinjam [dipakai secara pinjaman] untuk menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan.

Masih terdapat makna lain, yakni makna keempat, dari matsal menurut ulama Bayan. Menurut mereka, matsal adalah majaaz murakhab yang ‘alaaqah-nya musyaabahah jika penggunaannya telah populer. Majaz ini pada asalnya adalah isti’aarah tamsiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap orang yang ragu-ragu dalam melakukan suatu urusan: maa lii araaka tuqaddimu rijlan wa tu-akhkhiru ukhraa (“Mengapa aku lihat engkau melangkahkan satu kaki dan mengundurkan kaki yang lain?”)

Dikatakan pula, definisi matsal ialah menonjolkan suatu makna [yang abstrak] dalam bentuk yang indrawi agar menjadi indah dan menarik. Dengan pengertian ini maka matsal tidak diisyaratkan harus mempunyai maurid sebagaimana tidak disyaratkan pula harus berupa majaz murakkab.

Apabila memperhatikan matsal-matsal al-Qur’an yang disebutkan oleh para pengarang, kita dapatkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran keadaan suatu hal dengan keadaan hal lain, baik penggambaran itu dengan cara isti’aarah maupun dengan tasybih sarih [penyerupaan yang jelas]; atau ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik dengan redaksi ringkas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah mengungkapkan ayat-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.

Dengan demikian, maka amtsaal Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologis, asy-syabiih dan an-nadzir. Juga tidak dapat diartikan dengan pengertian yang disebutkan dalam kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para penggubah matsal-matsal, sebab amtsal al-Qur’an bukanlah perkataan-perkataan yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak dapat diartikan dengan arti matsal menurut ulama Bayan, karena di antara amtsal al-Qur’an ada juga yang bukan isti’aarah dan penggunaannya pun tidak begitu populer.

Oleh karena itu maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian amtsal dalam al-Qur’an. Yang menonjol makna dalam bentuk [perkataan] yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas [lepas, bukan tasybih].

Ibnul Qayyim mendefinisikan amtsal al-Qur’an dengan “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak [ma’qul] dengan yang idrawi [konkrit, mahsus], atau mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”

Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasbiih sariih, seperti firman Allah:

“Sesungguhnya matsal kehidupan duniawi itu adalah seperti air [hujan] yang Kami turunkan dari langit.” (Yunus: 24). Sebagian lain berupa penggunaan tasybih dimni [penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung], misalnya:

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujuraat: 12). Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sariih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.” (al-Hajj: 73) firman-Nya: “Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-sekali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun” oleh Allah disebut dengan matsal padahal di dalamnya tidak terdapat isti’arah maupun tasybih.

&

Manfaat Amtsalul Qur’an

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Menonjolkan sesuatu ma’quul [yang hanya bisa dijangkau akal, abstrak] dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan oleh panca indera manusia, sehingga akal mudah menerimanya; sebab-sebab pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk idrawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya Allah membuat matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta dengan riya’ dimana ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun dari perbuatannya itu:

“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan.” (al-Baqarah: 264)

2. Menyingkapkan hakekat-hakekat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak. Misalnya:

“Mereka yang memakan [mengambil] riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran [tekanan] penyakit gila.” (al-Baqarah: 275)

3. Mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat, seperti amtsaal kaaminah dan amtsaal mursalah dalam ayat-ayat di atas.

4. Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuatkan matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, dimana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak. Allah berfirman yang artinya:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (al-Baqarah: 261)

5. Menjauhkan [tanfir, kebalikan no.4] jika isi matsal berupa sesuatu yang dibenci jiwa. Misalnya firman Allah tentang larangan bergunjing, yang artinya:

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujuraat: 12)

6. Untuk menguji orang yang diberi matsal. Seperti firman Allah tentang para shahabat yang artinya:

“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” (al-Fath: 29)

Demikianlah keadaan para shahabat. pada mulanya mereka hanya golongan minoritas, kemudian tumbuh berkembang hingga keadaannya semakin kuat dan mengagumkan hati karena kebesaran mereka.

7. Untuk menggambarkan [dengan matsal itu] sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya matsal tentang keadaan orang yang dikaruniai Kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamalkannya, dalam ayat:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (al-A’raaf: 175-176)

8. Amtsaal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasehat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih memuaskan hati. Allah banyak menyebut amtsaal dalam al-Qur’an untuk peringatan dan pelajaran. Ia berfirman yang artinya:

“Dan sungguh Kami telah membuat bagi manusia di dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan [matsal] supaya mereka mendapat pelajaran.” (az-Zumar: 27)

“Dan perumpamaan-perumpamaan [amtsal] itu Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabuut: 43)

Nabi juga membuat matsal dalam haditsnya. Demikian juga pada da’i yang menyeru manusia kepada Allah mempergunakannya di setiap masa untuk menolong kebenaran dan menegakkan hujjah. Para penyidikpun menggunakannya dan menjadikannya sebagai media untuk menjelaskan dan membangkitkan semangat, serta sebagai media untuk membujuk dan melarang, memuji dan mencela.

&