Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
1. Tujuan qasam adalah untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam ‘alaiHi [jawab qasam, pernyataan yang karenanya qasam diucapkan]. Karena itu muqsam ‘alaiHi haruslah berupa hal-hal yang layak didatangkan qasam baginya, seperti hal-hal ghaib dan tersembunyi jika qasam itu dimaksudkan untuk menetapkan keberadaannya.
2. Jawab qasam itu pada umumnya disebutkan. Namun terkadang ada juga yang dihilangkan, sebagaimana jawab “lau” [jika] sering dibuang, seperti firman Allah: kallaa lau ta’lamuuna ‘ilmal yaqiin (“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yaqin”) (at-Takaatsur: 5)
Penghilangan seperti ini merupakan salah satu uslub yang paling baik, sebab menunjukkan kebesaran dan keagungan. Dan taqdiir ayat ini adalah: “Seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya.”
Penghilangan jawab qasam, misalnya: wal fajri, walayaalin ‘asyrin, wasy syaf’i wal watri, wal laili idzaa yasri, Hal fii dzaalika qasamul lidzii hijri (“Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang gelap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah [yang dapat diterima] oleh orang-orang yang berakal. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabb-mu berbuat terhadap kaum ‘Aad?”) (al-Fajr: 1-6)
Yang dimaksud qasam di sini ialah, waktu yang mengandung amal-amal seperti ini pantas untuk dijadikan oleh Allah sebagai muqsam biHi. Karena itu ia tidak memerlukan jawaban lagi. Namun demikian, ada sementara pendapat mengatakan, jawab qasam itu dihilangkan, yakni: “Kamu pasti akan disiksa wahai orang kafir Makkah.”
Juga ada pendapat lain yang mengatakan, jawab itu disebutkan, yaitu firman Allah: inna rabbaka labir mirshaad (“Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasi”) (al-Fajr: 14). Pendapat yang benar dan sesuai dalam hal ini adalah bahwa qasam tidak memerlukan jawaban.
Jawab qasam terkadang dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh perkataan yang disebutkan sesudahnya, seperti: laa uqsimu biyaumil qiyaamati, walaa uqsimu bin nafsil lawwaamati (“Aku bersumpah dengan hari kiamat dan Aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela”) (al-Qiyaamah: 1-2)
Jawab qasam disini dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman sesudahnya, yaitu: ayahsabul insaanu allan najma’a ‘idhaamaH (“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan [kembali] tulang belulangnya?”) (al-Qiyaamah: 3). Taqdiirnya ialah: Sungguh kamu akan dibangkitkan dan dihisab.
3. Fi’il maadi musbat mutasarrif tidak didahului ma’mul-nya apabila menjadi jawab qasam, harus disertai dengan “lam” dan “qad”. Dan salah satu keduanya ini tidak boleh dihilangkan kecuali jika kalimat terlalu panjang, seperti:
Wasy syamsi wa dluhaaHaa…. qad aflaha man zakkaaHaa (“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,” (asy-Syams: 1-9)
Jawab qasamnya adalah: qad aflaha man zakkaaHaa (ayat ke-9). “Lam” pada ayat ini dihilangkan karena kalam terlalu panjang.
Atas dasar itu para ulama berpendapat tentang firman Allah: was samaa-i dzaatil buruuji, wal yaumil mau’uudin, wa syaaHidiw wa masyHuudin, qutila ash-haabul ukhduudi (“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Telah dibinasakan orang-orang yang membuat parit.”) (al-Buruuj: 1-4)
Yang paling baik adalah qasam di sini tidak memerlukan jawab, sebab maksudnya ialah mengingatkan akan muqsam biHi karena ia termasuk ayat-ayat Allah yang besar. Dalam hal ini ada yang berpendapat, jawab qasam tersebut dihilangkan dan ditunjukkan oleh ayat keempat. Maksudnya mereka itu –yaitu orang kafir Makkah- terkutuk sebagaimana ash-haabul ukhduud terkutuk.
Juga ada yang mengatakan, yang dihilangkan itu hanyalah permulaan saja, dan taqdirnya ialah: laqad qutila, sebab fi’il madli jika menjadi jawab qasam harus disertai “lam” dan “qad”, dan tidak boleh dihilangkan salah satunya kecuali jika kalam terlalu panjang sebagaimana telah dikemukakan di atas, berkenaan dengan firman-Nya: QS asy-Syams: 1-9.
4. Allah bersumpah atas [untuk menetapkan] pokok-pokok keimanan yang wajib diketahui makhluk. Dalam hal ini terkadang Dia bersumpah untuk menjelaskan tauhid, seperti firman-Nya:
“Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya, dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.” (ash-Shaaffaat: 1-4)
Terkadang untuk mengaskan bahwa al-Qur’an itu haq, seperti firman-Nya:
“Maka aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia,” (al-Waaqi’ah: 75-77)
Terkadang untuk menjelaskan bahwa Rasul itu benar, dalam:
“Yaa siin. demi Al Quran yang penuh hikmah, Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul,” (Yaasiin: 1-3)
Terkadang untuk menjelaskan balasan, janji dan ancaman, seperti dalam:
“Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan kuat. Dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah. dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar. dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (adz-Dzaariyaat: 1-6)
Dan terkadang juga untuk menerangkan keadaan manusia, seperti dalam:
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (al-Lail: 1-4)
Siapa saja yang meneliti dengan cermat qasam-qasam dalam al-Qur’an, tentu ia akan memperoleh berbagai macam pengetahuan yang tidak sedikit.
5. Qasam itu adakalanya atas jumlah khabariyah, dan inilah yang paling banyak, seperti firman-Nya:
“Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti Perkataan yang kamu ucapkan.” (adz-Dzaariyaat: 23) dan adakalanya dengan jumlah talabiyah secara maknawi, seperti:
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (al-Hijr: 92-93). Yang dimaksud dengan ayat ini adalah ancaman dan peringatan.
&
Tinggalkan Balasan