Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketetapannya

18 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:

1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep “al-badaa’” yakni nampak jelas setelah kabur [tidak jelas]. Yang mereka maksud ialah, naksh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak tampak. Ini berarti suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.

Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, karena masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi, pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Dia membawa hamba-hamba-Nya dari suatu hukum ke hukum lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.

Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan syariat sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman yang artinya:

“Semua makanan adalah hala bagi bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil [Ya’qub] untuk dirinya sendiri.” (Ali ‘Imraan: 93)

Dan firman-Nya yang artinya:
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku.” (al-An’am: 146)

Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah itu dicabut kembali.

2. Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-badaa’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi.

Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali ra. secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah yang artinya:

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan [apa yang Dia kehendaki].” (ar-Ra’d: 39), dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapus dan menetapkan.

Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap al-Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapus sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Di samping itu, penghapusan dan penetapan terjadi dalam bentuk banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dan kebaikan:

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan [dosa] perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)

Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan mereka. Hal demikian itu tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Dia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.

3. Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya naskh dalam al-Qur’an berdasarkan firman-Nya yang artinya:

“Yang tidak datang kepadanya [al-Qur’an] kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Rabb Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.” (Fushshilat: 42). Dengan pengertian bahwa hukum-hukum al-Qur’an tidak akan dibatalkan selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh, semuanya ia takhsiskan.

Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebu ialah bahwa al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.

4. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi pula dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:

a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Dia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dia lah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.

b. Nas-Nas Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antara lain:

Firman Allah yang artinya: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…” (an-Nahl: 101) dan firman-Nya yang artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106)

Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibnu Abbas ra, Umar ra. berkata: “Yang paling paham dan paling menguasai al-Qur’an di antara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya karena ia mengatakan: ‘Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw.’ padahal Allah telah berfirman: ‘Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya…’ (al-Baqarah: 106).”

&

Tinggalkan komentar