Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Naskh dalam al-Qur’an ada tiga macam:
1. Pertama, naskh tilawah dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari ‘Aisyah ra, ia berkata:
“Di antara yang diturunkan kepada beliau ialah ‘sepuluh susunan yang maklum itu menyebabkan muhrim,’ kemudian [ketentuan] ini dinaskh oleh ‘lima susunan yang maklum.’ Maka ketika Rasulullah saw. wafat, ‘lima susunan’ ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca [matlu’].
Kata-kata ‘Aisyah: “lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca,” pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’alaq, dari Umar).
Yang jelas ialah bahwa tilawah-nya itu telah dinaskh [dihapuskan], tetapi penghapusan itu tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
Qadi Abu Bakar menceritakan dalam al-Intisaar tentang kaum yang mengingkari naskh seperti ini, sebab khabar yang berkaitan dengannya adalah khabar ahad. Padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah al-Qur’an atau menasakh al-Qur’an dengan khabar ahad. Khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian, tetapi yang ditunjukkannya hanya bersifat dugaan.
Pendapat ini dijawab, bahwa penetapan naskh adalah suatu hal sedang penetapan sesuatu sebagai al-Qur’an adalah hal lain. Penetapan naskh cukup dengan khabar ahad yang dhanni, tetapi penetapan sesuatu sebagai al-Qur’an harus dengan dalil qath’i, yakni khabar mutawatir. Pembicaraan kita di sini adalah mengenai penetapan naskh, bukan penetapan al-Qur’an, sehingga cukuplah dengan khabar ahad. Dan andaikata dikatakan bahwa qira’ah ini tidak ditetapkan dengan khabar mutawatir, maka hal ini adalah benar.
2. Kedua, naskh hukum sedang tilawahnya tetap. Misalnya naskh hukum ayat ‘idah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak dikarang kitab-kitab yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah diteteliti, ayat-ayat seperti ini hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi.
Dalam hal ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua segi:
a. al-Qur’an, disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah yang membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
b. Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingat akan nikmat dihapuskannya kesulitan [masyaqqah].
3. Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh. Di antaranya ayat rajam yang artinya:
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Dan di antaranya pula adalah apa yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain, dari Anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh dekat sumur Ma’unah, sehingga Rasulullah saw. berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: “Dan berkenaan dengan mereka turunlah [ayat] al-Qur’an yang kami baca sampai ia diangkat kembali yaitu: an ballaghuu ‘annaa qaumanaa annaa laqainaa rabbanaa faradliya ‘annaa wa ardlaanaa (“Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami, maka Dia ridla kepada kami dan menyenangkan kami.”). ayat ini kemudian dinasakh tilawahnya.
Sementara itu sebagian ahli Ilmu tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dengan khabar ahad.
Ibnu Hassar menjelaskan, naskh ini sebenarnya kembali ke nukilan [kutipan keterangan] yang jelas dari Rasulullah, atau dari shahabat, seperti perkataan “Ayat ini menasakh ayat anu.”
Naskh, jelasnya lebih lanjut, dapat ditetapkan pula ketika terdapat pertentangan pasti [tidak dapat dipertemukan] serta diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu dan mana pula yang datang kemudian.
Di samping itu, naskh tidak dapat didasarkan pada pendapat pada mufasir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para mujtahid, tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh mengandung arti penghapusan dan penetapan sesuatu hukum yang telah tetap pada masa Nabi.
Jadi yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada di antara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang mufasir atau mujtahid. Dan yang benar adalah kebalikan dari kedua pendapat ini. (lihat al-Itqaan, jilid 2 hal 24).
Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya ayat dan hukum yang ditunjukkannya adalah dua hal yang saling berkaitan, sebab ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian jika ayat dinasakh maka secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal tersebut akan menimbulkan kekaburan.
Pendapat demikian dijawab: bahwa ketetapan antara ayat dengan hukum tersebut dapat diterima jika Syaari’ [Allah, Rasul] tidak menegakkan dalil atas naskh tilawah dan ketetapan hukumnya. Tetapi jika Syaari’ telah menegakkan dalil bahwa sesuatu tilawah telah dihapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun batil. Dan kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar’i yang menunjukkan naskh tilawah sedang hukumnya tetap.
&
Tinggalkan Balasan