Arsip | 09.15

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 71

26 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 71“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. at-Taubah/ al-Bara’ah:71)

Setelah menyebutkan sifat-sifat buruk yang dimiliki oleh orang-orang munafik, Allah melanjutkan dengan penyebutan sifat-sifat baik yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman.

Allah berfirman: wal mu’minuuna wal mu’minaatu ba’dluHum auliyaa-u ba’dlin (“Orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan, sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain.”) Yakni, saling menolong dan menopang, seperti yang disebutkan dalam hadits shahih:
“Orang beriman terhadap orang beriman yang lain adalah ibarat bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” (Muttafaq ‘alaiHi)
Rasulullah saw. mengatakan itu sambil merapatkan antara jari-jari beliau.

Dalam hadits lain disebutkan:
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam berkasih-sayang, seperti perumpamaan satu tubuh. Jika ada satu anggota tubuh yang mengeluh kesakitan, maka seluruh tubuh yang lain ikut meresponnya dengan demam dan tidak tidur.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Firman-Nya: ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanHauna ‘anil munkari (“Memerintahkan kepada yang ma’ruf dan meninggalkan apa yang munkar.”) seperti firman-Nya yang artinya: “Dan hendaklah di antara kamu ada sekelompok yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar.” (Ali ‘Imraan: 104)

Dan firman-Nya lebih lanjut: wa yuqiimuunash shalaata wa yu’tuunaz zakaata (“Mendirikan shalat dan menunaikan zakat.”) maksudnya mereka menaati Allah dan berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya.

Wa yuthii’uunallaaHa wa rasuulaHuu (“Dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya”) yaitu terhadap apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.

Ulaa-ika sayarhamu HumullaaHu (“Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.”) yaitu Allah akan memberi rahmat kepada orang-orang yang menghiasi diri dengan sifat-sifat tersebut.

innallaaHa ‘aziizun (“Sesungguhnya Allah Mahaperkasa.”) Maksudnya, Allah akan memuliakan orang-orang yang mentaati-Nya, karena kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. hakiimun (“Lagi Mahabijaksana.”) Dalam pembagiannya, sifat-sifat ini semua untuk mereka orang-orang yang beriman. Dan Allah mengkhususkan sifat-sifat yang terdahulu kepada orang-orang munafik, karena sesungguhnya Allah mempunyai hikmah dalam setiap apa yang Allah kerjakan. Mahasuci Allah lagi Mahatinggi.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 70

26 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 70“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah. Telah datang kepada mereka para Rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. at-Taubah/ Bara’ah: 70)

Allah berfirman seraya memberi teguran kepada orang-orang munafik yang mendustakan para Rasul itu: alam ya’tiHim naba-ul ladziina min qabliHim (“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang sebelum mereka.”) Yakni, belumkah mereka diberi kabar tentang orang-orang sebelum mereka yang mendustakan para Rasul?

Qaumu nuuhin (“Kaum Nabi Nuh,”) dan banjir besar yang menenggelamkan seluruh penduduk bumi kecuali orang-orang yang beriman kepada Nabi Nuh as.
Wa ‘aadin (“Dan kaum Aad,”) bagaimana mereka dimusnahkan dengan angin dahsyat; ketika mereka mendustakan Nabi Hud.
Wa tsamuuda (“Dan kaum Tsamud,”) bagaimana mereka, ketika mereka mendustakan Nabi Shalih as dan membunuh unta yang diamanatkan.
Wa qaumi ibraaHiima (“Dan kaumnya Ibrahim, “) bagaimana Allah menolong Nabi Ibrahim atas mereka, memperkuatnya dengan mukjizat-mukjizat yang nyata dan menghancurkan raja mereka, Namrudz -semoga Allah melaknatnya-.
Wa ash-haabi madyana (“Dan penduduk Madyan,”) mereka adalah kaumnya Nabi Syu’aib as, bagaimana mereka ditimpa gempa dan adzab pada hari panen.
Wal mu’tafikaat (“Dan negeri-negeri yang telah musnah,”) kaumnya Nabi Luth, di mana mereka waktu itu tinggal di Madain.

Allah berfirman dalam ayat lain yang artinya: “Dan negeri-negeri kauna Luth yang telah dihancurkan Allah.” (QS. An-Najm: 53). Disebutkan, bahwa ia adalah kota utama mereka yang bernama Sadum. Maksudnya, bahwa Allah telah menghancurkan mereka semua karena mereka telah mendustakan Nabi Luth as. dan mereka telah melakukan penyimpangan seksual yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat sebelumnya.

atatHum rusuluHum bil bayyinaat (“Para Rasul telah datang kepada mereka dengan membawa
keterangan.”) Yakni, dengan membawa argumentasi dan bukti-bukti yang kuat dan pasti.

Famaa kaanallaaHu liyadhlimaHum (“Maka Allah sekali-sekali tidak menganiaya mereka.”) Yakni, dengan menghancurkan mereka, kerena Allah telah mendatangkan alasan (hujjah) dengan mengutus para Rasul dan membuang segala yang meragukan.

Wa laakin anfusaHum yadhlimuun (“Akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”) Yakni, dengan sikap mereka yang mendustakan para Rasul dan mengingkari kebenaran. Maka, mereka menjerumuskan diri mereka ke dalam adzab dan kehancuran.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 119-120

26 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 119-120“119. Allah berfirman: ‘Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapnya. Itulah keberuntungan yang paling besar.’ 120. kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Maaidah: 119-120)

Allah memberikan jawaban kepada hamba dan Rasul-Nya, ‘Isa Putra Maryam mengenai pembebasan dirinya dari kaum Nasrani yang ingkar lagi mendustakan Allah dan Rasul-Nya, dan mengenai pengembalian kehendak kepada Allah swt. mengenai mereka, maka pada saat itu Allah berfirman:
Haadzaa yaumuy yanfa’ush shaadiqiina shidquHum (“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.”)

Adh-Dhahhak mengatakan, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Yaitu hari yang mana ketauhidan orang-orang yang bertauhid bermanfaat bagi mereka.”

laHum jannaatun tajrii min tahtiHal anHaaru khaalidiina fiiHaa abadan (“Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”) maksudnya mereka akan tinggal di dalamnya dengan tidak mengalami perubahan, dan tidak pula mengalami kebinasaan, Allah ridla terhadap mereka dan merekapun ridla terhadap-Nya. hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan keridlaan Allah adalah lebih besar.” (at-Taubah: 72) dan nanti akan dikemukakan lebih lanjut hadits yang berkenaan dengan ayat ini.

Firman-Nya: dzaalikal fauzul ‘adhiim (“Itulah keberuntungan yang paling besar.”) maksudnya, inilah keberuntungan yang sangat besar yang tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari itu. Sebagaimana difirmankan-Nya yang artinya:
“Untuk kemenangan serupa ini, hendaklah berusaha orang-orang yang beramal.” (ash-Shaaffaat: 61)

Firman Allah selanjutnya: lillaaHi mulkus samaawaati wal ardli wa maa fiiHinna wa Huwa ‘alaa kulli syai-in qadiir (“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan apa yang ada di dalamnya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”)

Maksudnya, Allah lah pencipta segala sesuatu dan juga sebagai pemiliknya, Allah lah yang mengendalikan segala sesuatu dan yang berkuasa atasnya. Dengan demikian, segala sesuatu adalah milik-Nya dan berada di bawah pemaksaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan kehendak-Nya. maka tidak ada yang dapat menandingin-Nya, tidak ada yang membantu-Nya, tidak ada pula yang setara, tidak ber-orang tua, tidak ber-anak, tidak tidak beristri; tidak ada Ilah dan Rabb [yang sebenarnya] selain Dia.

Ibnu Wahab mengatakan: “Aku pernah mendengar Huyay bin ‘Abdullah menceritakan hadits dari Abu ‘Abdurrahman al-Hibali, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata: ‘Surah al-Qur’an yang terakhir diturunkan adalah surah al-Maaidah.’”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 109

26 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 109“109. (ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan Para Rasul lalu Allah bertanya (kepada mereka): ‘Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu?.’ Para Rasul menjawab: ‘Tidak ada pengetahuan Kami (tentang itu); Sesungguhnya Engkau-lah yang mengetahui perkara yang ghaib.’” (al-Maaidah: 109)

Ini merupakan pemberitahuan tentang dialog Allah dengan para Rasul-Nya pada hari Kiamat, yaitu mengenai jawaban umat mereka yang telah diutus para rasul kepada mereka. sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya:
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus para Rasul kepada mereka, dan sesungguhnya Kami akan menanyai [pula] Rasul-Rasul [Kami].” (al-A’raaf: 6)

Dari Ibnu ‘Abbas: yauma yajma’ullaaHur rusula fayaquulu maa dzaa ujibtum, qaaluu laa ‘ilma lanaa, innaka anta ‘allaamul ghuyuub (“Ingatlah, hari pada waktu Allah mengumpulkan para Rasul. Lalu Allah bertanya [kepada mereka]: ‘Apa jawaban kaummu terhadap [seruan]mu ?’ Para Rasul menjawab: ‘Tidak ada pengetahuan kami [tentang itu], sesungguhnya Engkau-lah yang mengetahui perkara yang ghaib.’”)
Mereka berkata kepada Rabb: “Tidak ada ilmu yang kami miliki, melainkan ilmu yang telah Engkau lebih mengetahuinya daripada kami.” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarir, kemudian ia memilih penafsiran ini.

Tidak diragukan lagi bahwa jawaban itu merupakan ungkapan yang sangat bagus, dan ia merupakan bagian dari sopan santun berinteraksi dengan Rabb. Maksudnya: “Kami tidak mempunyai ilmu sama sekali jika dibandingkan dengan ilmu-Mu yang meliputi segala sesuatu. Meskipun kami menjawab dan mengetahui siapa yang menanggapi kami ketika di dunia, kami hanya melihat lahiriyahnya saja dan tidak mengetahui batinnya, sedangkan Engkau mengetahui segala sesuatu, yang mengawasi segala sesuatu. Dengan demikian, dibandingkan dengan ilmu-Mu, seolah-olah Kami tidak mempunyai ilmu sama sekali. Sesungguhnya: anta ‘llaamul ghuyuub (“Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghaib”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 100-102

26 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 100-102“100. Katakanlah: ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.’ 101. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. 102. Sesungguhnya telah ada segolongsn manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (Al-Maaidah: 100-102)

Allah berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad saw.: Qul (“Katakanlah”) hai Muhammad: laa yastawil khabiitsu wath thayyibu wa lau a’jabaka (“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun menarik hatimu.”) hai sekalian manusia, kats-ratul khabiits (“Banyaknya yang buruk”) yakni bahwa sesuatu yang halal lagi bermanfaat dan berjumlah sedikit adalah lebih baik bagi kalian daripada hal yang haram lagi berbahaya yang berjumlah banyak.

Fat taqullaaHa yaa ulil albaab (“Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal”) maksudnya, hai orang-orang yang berakal yang sehat dan normal, hindari dan tinggalkanlah hal-hal yang haram, serta berpuas diri dari merasa cukuplah dengan hal-hal yang halal.
La’allakum tuflihuun (“Agar kamu mendapat keberuntungan”) yaitu di dunia dan di akhirat.

Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tas-aluu ‘an asy-yaa-a in tubda lakum tasu’kum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Muhammad] hal-hal yang tidak diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu.”) hal ini merupakan pendidikan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah melarang mereka menanyakan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka. karena jika hal itu diterangkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka, dan menjadikan orang yang mendengarnya merasa keberatan.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: Nabi berkhutbah yang belum pernah aku mendengarnya sama sekali sebelumnya, beliau bersabda: “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”
Anas bin Malik melanjutkan: Maka para sahabat beliau menutupi wajah mereka seraya menangis. Kemudian ada seseorang yang bertanya: “Siapakah ayahku?” Beliau menjawab: “Si Fulan.” Maka turunlah ayat ini: laa yas-aluu ‘an asy-yaa-a (“Janganlah kamu menanyakan [kepada Nabi mu] hal-hal….”
(Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)

Mengenai firman-Nya: Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tas-aluu ‘an asy-yaa-a in tubda lakum tasu’kum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Muhammad] hal-hal yang tidak diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu.”) Ibnu Jarir mengatakan dari Qatadah: Dia menceritakan kepada kami bahwa Anas bin Malik pernah mengabarkan kepadanya: Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw. sehingga mereka terlalu berlebihan dalam bertanya. Lalu pada suatu hari beliau menemui mereka, kemudian beliau menaiki mimbar seraya bersabda: “Tidaklah kalian bertanya kepadaku pada hari ini tentang sesuatu, melainkan aku akan menjelaskannya kepada kalian.”

Maka para sahabat Rasulullah saw merasa takut akan mendapatkan suatu perintah yang telah diturunkan. Lalu aku tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri melainkan aku melihat setiap orang menyembunyikan kepalanya di balik kainnya seraya menangis. Lalu muncullah seseorang, yang mana ia dicela dan diseru bukan dengan nama ayahnya, kemudian bertanya: “Wahai Nabiyullah [Nabi Allah], siapakah ayahku?” Beliau menjawab: “Ayahmu adalah Hudzaifah.”

Lebih lanjut Anas menceritakan, kemudian ‘Umar bangkit dan berkata: “Kami ridla Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul, dan berlindung kepada Allah –atau ia [‘Umar] mengucapkan: “Aku berlindung kepada Allah –dari keburukan fitnah.”

Selanjutnya Anas menuturkan: maka Rasulullah saw. bersabda: “Aku belum pernah sama sekali menyaksikan kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Telah digambarkan kepadaku surga dan neraka sampai aku dapat melihat keduanya tanpa dinding penghalang.”
(Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalan Sa’id)

Lahiriyah ayat di atas menunjukkan larangan menanyakan sesuatu, yang jika diberitahukan kepada seseorang hanya akan menjadikannya merasa kesusahan, maka yang lebih baik adalah menghindari dan meninggalkannya.

Sungguh amat baik hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat beliau: “Janganlah ada seseorang yang menyampaikan kepadaku sesuatu tentang orang lain. Aku lebih suka menemui kalian, sementara itu hatiku dalam keadaan bersih.” (hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Firman-Nya: wa in tas-aluu ‘anHaa hiina yunazzalul qur-aanu tubda lakum (“Dan jika kamu menanyakan pada waktu al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.”)
Maksudnya jika kalian menanyakan tentang sesuatu yang kalian telah dilarang untuk menanyakannya ketika diturunkan wahyu kepada Rasulullah saw, wahyu itu akan menjelaskan kepada kalian.

Kemudian Allah berfirman: ‘afallaaHu ‘anHaa (“Allah memaafkan [kamu] tentang hal-hal itu”) maksudnya hal-hal yang telah berlalu dari kalian sebelum itu. wallaaHu ghafuurun haliim (“Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”)

Ada yang menyatakan, bahwa maksud firman Allah: wa in tas-aluu ‘anHaa hiina yunazzalul qur-aanu tubda lakum (“Dan jika kamu menanyakan pada waktu al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.”) yaitu janganlah kalian menanyakan segala sesuatu yang kalian memang ingin menyegerakannya, karena mungkin dengan pertanyaan itu akan turun kepada kalian keberatan dan kesempitan.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Orang Muslim yang paling besar kesalahannya adalah orang yang menanyakan tentang sesuatu yang tidak diharamkan sebelumnya, lalu menjadi haram serbab pertanyaannya tersebut.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Tetapi jika al-Qur’an menurunkan perkara itu secara global lalu kalian menanyakan penjelasannya, pada saat itu akan dijelaskan kepada kalian. Karena kalian memang membutuhkannya.

‘afallaaHu ‘anHaa (“Allah memaafkan [kamu] tentang hal-hal itu.”) maksudnya apa-apa yang tidak Allah sebutkan di dalam kitab-Nya, adalah dari sesuatu yang Allah maafkan. Maka diamlah kalian darinya, sebagaimana Allah diam.

Disebutkan dalam hadits shahih dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian bertanya kepadaku mengenai apa yang aku diamkan pada kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian, karena mereka banyak bertanya dan menyalahi Nabi-Nabi mereka.”

Dalam hadits shahih juga disebutkan: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Allah juga menetapkan beberapa batasan maka janganlah kalian melampauinya. Allah juga mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Allah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakannya.”

Setelah itu firman Allah: qad sa-alaHaa qaumum min qablikum tsumma ash-bahuu biHaa kaafiriin (“Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu, menanyakan hal-hal yang serupa itu [kepada Nabi mereka], kemudian mereka tidak percaya kepadanya.”)

Maksudnya: ada suatu kaum sebelum kalian yang menanyakan hal-hal yang dilarang, lalu diberikan jawaban kepada mereka atas pertanyaan tersebut, tetapi setelah itu mereka tidak mempercayainya. Sehingga dengan demikian mereka menjadi kafir, yaitu sebab pertanyaan tersebut. Maksudnya, mereka diberi penjelasan, tetapi mereka tidak memanfaatkan hal itu karena mereka menanyakan hal itu bukan untuk mencari petunjuk, tetapi hanya sebagai bentuk keingkaran dan pembangkangan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 96-99

26 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 96-99“96. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. 97. Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 98. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya dan bahwa Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 99. kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” (al-Maa-idah: 96-99)

Dalam sebuah riwayat yang masyur, Ibnu Abbas berkata: “Yang dimaksud dengan buruan laut adalah binatang yang ditangkap dalam keadaan hidup, wa tha’aamuHuu (“dan makanan [yang berasal] dari laut.”) adalah binatang laut yang diambil dalam keadaan telah mati.” Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin ‘Amr, dan Abu Ayyub al-Anshari, juga ‘Ikrimah, Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, Ibrahim an-Nakha’i dan al-Hasan al-Bashri.

Firman Allah: mataa’al lakum wa lis-sayyaarati (“Sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.”) maksudnya sebagai sesuatu yang berguna dan makanan pokok bagi kalian, hai orang-orang yang diajak bicara.

Wa lis-sayyaarati (“Dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.”) kata “sayyaaratun” adalah jamak dari “sayyaarun”.

Ikrimah berkata: “Yaitu bagi orang yang tinggal di sekitar laut dan juga dalam perjalanan.” Sedangkan ulama lain berkata: “Yaitu ikan laut segar bagi orang yang berburu dari kalangan penduduk sekitar laut.” Makanan laut adalah bangkai ikan atau hasil tangkapan yang digarami, dan biasanya dijadikan persediaan bekal oleh para musafir dan orang-orang yang tinggal jauh dari laut. Hal yang sama juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, as-Suddi, dan ulama lainnya.

Jumhur ulama telah menjadikan ayat tersebut sebagai dalil mengenai penghalalan bangkai laut, dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas, dari Ibnu Wahab dan Ibnu Kisan, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulullah pernah mengirim sebuah utusan menuju ke daerah pantai. Beliau mengangkat Ubaidah Ibnul Jarrah untuk memimpin mereka.

Rombongan itu terdiri dari tiga ratus orang, dan aku adalah salah satu dari mereka. maka kami pun berangkat hingga tiba di salah jalan dan kami kehabisan bekal. Lalu Abu Ubaidah memerintahkan untuk mengumpulkan semua bekal pasukan tersebut. Kemudian semuanya itu dikumpulkan dan ternyata yang terkumpul hanya kurma saja. maka Abu Ubaidah menjatahkan kepada kami setiap hari sedikit demi sedikit sampai habis, sehingga yang ada pada kami masing-masing satu butir kurma.

Kami benar-benar membutuhkan pada saat bekal telah habis. Hingga akhirnya tibalah kami di pantai, ternyata ada seekor ikan paus sebesar anak bukit. Kemudian rombongan itu memakan ikan itu selama 18 hari. Selanjutnya Ubaidah menyuruh mengambil dua potong tulang iganya, lalu dipancangkan. Setelah itu ia menyuruh rombongan itu lewat di bawah kedua tulang itu, dan ternyata tidak menyentuhnya.”

(Hadits tersebut terdapat dalam kitab ash-Shahihain melalui jalur dari Jabir)

Sedangkan di dalam Shahih Muslim disebutkan, “Setelah sampai di Madinah, kami langsung menemui Rasulullah saw. lalu kami ceritakan hal itu, maka beliau bersabda: ‘Yang demikian itu adalah rizki yang dikeluarkan Allah untuk kalian. Apakah kalian masih membawa dagingnya untuk kalian berikan kepada kami?’

Selanjutnya kami mengirimkan utusan kepada Rasulullah saw. untuk memberikan beberapa potong daging kepada beliau, maka beliau pun memakannya.”

Malik meriwayatkan dari Shafwan bin Salim, dari Sa’id bin Salamah seorang keturunan Ibnu Azraq, bahwa Mughirah bin Abu Burdah seorang keturunan Bani Abduddar pernah mendengar Abu Hurairah ra berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., orang itu mengatakan: “Ya Rasulallah, kami pernah berlayar mengarungi lautan, dan kami hanya membawa sedikit air. Jika kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Maka Rasulullah pun menjawab: “Air [laut] itu suci, dan bangkainya pun halal.”

(Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta para penulis kitab as-Sunan yang berjumlah empat orang, dan dishahihkan oleh Imam al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan yang lainnya.)

Menurut riwayat an-Nasa’i juga Imam Ahmad dan Abu Dawud, dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah saw. melarang membunuh katak.”

Ulama lainnya berpendapat: binatang buruan laut yang dapat dimakan adalah ikan, dan tidak diperbolehkan memakan katak. Lalu mereka berbeda pendapat tentang binatang selain kedua binatang di atas [ikan dan katak].

Ada juga yang berpendapat bahwa binatang selain kedua hal itu tidak boleh dimakan. Dan ada lagi yang berpendapat, apa yang serupa dengan yang boleh dimakan di darat boleh juga dimakan di laut. Dan apa saja yang serupa tidak boleh dimakan di darat tidak boleh juga dimakan di laut. Semua itu merupakan pendapat-pendapat yang ada di kalangan madzhab Syafi’i.

Adapun Abu Hanifah mengatakan, bangkai binatang laut tidak boleh dimakan, sebagaimana halnya bangkai binatang darat juga tidak boleh dimakan. Yang demikian itu berdasarkan kepada keumuman firman Allah: hurrimat ‘alaikumul maitatu (“Diharamkan bagi kamu [memakan] bangkai.”) (al-Maa-idah: 3)

Jumhur pengikut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan dalil dengan hadits tetang ikan paus yang telah dikemukakan di atas dan dengan hadits Rasulullah saw.: “Air [laut] itu suci dan bangkainya pun halal.”

Allah berfirman: wa harrama ‘alaikum shaidul barri maa dumtum huruman (“Dan diharamkan [menangkap] binatang buruan darat selama kamu dalam ihram.”) yaitu ketika kalian sedang menjalani ihram, kalian diharamkan untuk berburu. Dalam hal ini terdapat dalil yang menunjukkan pengharaman hal itu.

Jadi, jika seseorang yang berihram berburu binatang buruan dengan sengaja, ia berdosa dan harus membayar denda, atau jika membunuhnya karena kelalaian [tidak sengaja], ia harus membayar denda dan diharamkan baginya memakannya, karena baginya binatang itu adalah ibarat bangkai. Demikian halnya bagi yang lainnya dari kalangan orang-orang yang berihram dan yang tidak berihram, menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i pada salah satu dari dua pendapatnya. Dan hal itu juga dikemukakan oleh ‘Atha’, al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan yang lainnya.

Jika ia memakannya atau sebagian darinya, apakah ia harus membayar denda yang kedua kalianya? Mengenai hal ini ada dua pendapat:

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ia harus membayar denda. Abdurrazzaq mengatakan dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’: “Jika ia menyembelih, lalu memakannya, dia harus membayar dua kafarat.” Dan pendapat itu pula yang menjadi pegangan sekelompok ulama.

Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak harus membayar denda karena memakannya. Demikian ditetapkan oleh Imam Malik bin Anas.

Abu Umar bin Abdil Barr berkata: “Pendapat ini merupakan pendapat para fuqaha kota-kota besar dan jumhur ulama.” Kemudian Abu Umar berkomentar terhadap permasalahan, jika seseorang berhubungan badan, lalu ia melakukan hubungan badan lagi, kemudian ia melakukan lagi [ketiga kalinya] sebelum diputuskan baginya hukuman, maka baginya hanya satu hukuman.

Abu Hanifah berkata: “Ia berkewajiban membayar nilai yang setara dengan apa yang ia makan.” wallaaHu a’lam.

Jika orang yang bertahallul berburu binatang buruan, lalu ia memberikannya kepada orang yang berihram, menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dalam sebuah riwayat, dan jumhur ulama berpendapat: orang yang berihram itu tidak boleh memakannya. Hal ini didasarkan pada hadits ash-Sha’b bin Jas-tsamah. Dia pernah menghadiahkan seekor keledai liar kepada Nabi saw ketika beliau sedang berada di Abwa’ atau Waddan. Maka beliau mengembalikannya. Tatkala beliau melihat perubahan raut wajahnya, beliau bersabda:

“Sesungguhnya kami tidak mengembalikannya kepadamu, melainkan karena kami tengah mengerjakan ihram.”
(Hadits ini dikeluarkan di dalam ash-Shahihain, dan hadits ini mempunyai lafadz yang banyak sekali)

Para ulama berkata: “Maksud dari penolakan Nabi saw. adalah beliau menduga orang itu memburu keledai liar tersebut semata-mata untuk diberikan kepada beliau. Oleh karena itu beliau menolaknya.” Akan tetapi jika hal tersebut tidak dimaksudkan demikian, dagingnya boleh dimakan, yaitu berdasarkan hadits Abu Qatadah ketika ia berburu keledai liar, yang ketika itu ia tidak dalam keadaan berihram. Sedangkan para shahabanya tengah berihram. Maka mereka tidak langsung memakannya, tetapi mereka bertanya terlebih dahulu kepada Rasulullah saw. beliau bertanya: “Apakah ada seorang di antara kalian yang menunjukkannya, atau membantu membunuhnya?” “Tidak,” jawab mereka. Maka beliau bersabda: “Makanlah.” Rasulullah saw pun ikut memakan daging buruan itu. (kisah ini telah ditegaskan dalam ash-shahihain dengan lafadz yang banyak).

Imam Ahmad mengatakan dari Jabir bin ‘Abdillah: “Rasulullah bersabda –Qutaibah menceritakan dalam haditsnya: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Berburu binatang daratan adalah halal bagi kalian.”
Sa’id berkata: “Dan kalian dalam keadaan berikhram, selama kalian bukan orang yang memburunya, atau bukan sengaja diburu untuk kalian.”

(Hal yang sama juga diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Nasa-i, yang semuanya dari Qutaibah. At-Tirmidzi mengatakan: “Kami tidak mengetahui bahwa Muththalib pernah mendengar dari Jabir.” Juga diriwayatkan Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i melalui jalan ‘Amr bin Abi ‘Amr, dari maulanya, al-Muththalib, dari Jabir. Kemudian asy-Syafi’i berkata: “Ini merupakan hadits terbaik yang diriwayatkan dalam masalah ini.”)

Malik mengatakan dari ‘Abdullah bin Abu Bakar, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah, ia berkata: Aku pernah melihat ‘Utsman bin ‘Affan di ‘Araj ketika ia sedang berihram saat di musim panas, dan ia menutup wajahnya dengan kain beludru berwarna ungu. Lalu ia datang dengan membawa daging binatang buruan. Kemudian ia berkata kepada para sahabatnya: “Makanlah.” Maka mereka berkata: “Apakah engkau tidak ikut makan?” Utsman menjawab: “Keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya binatang buruan itu diburu hanya untukku.”

Allah berfirman: wat taqullaaHal ladzii ilaiHi tuhsyaruun (“Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.”) maksudnya bertakwalah kepada Allah atas apa yang Allah larang kalian melakukannya. Yaitu yang kepada-Nya kalian akan dikumpulkan dan bukan kepada selain-Nya. Dalam penggalan ayat tersebut terdapat penekanan dan penegasan pada peringatan. Setelah itu Allah menyebutkan tentang pengumpulan dan hari kiamat sebagai tekanan pada ancaman dan peringatan.

Allah berfirman: ja’alallaaHul ka’batal baital haraama qiyaamal linnaasi wasy syaHral haraama wal Hadya wal qalaa-ida dzaalika lita’lamuu annallaaHa ya’lamu maa fis samaawaati wamaa fil ardli wa annallaaHa bikulli syai-in ‘aliim.
(“Allah telah menjadikan ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia] bagi manusia, dan [demikian pula] bulan Haram, hadya, dan qalaid. [Allah menjadikan yang] demikian itu agar kamu tahu bahwa –sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”)

Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa Allah telah membangunkan Baitul Haram sebagai tempat ibadah, tempat berlindung, dan mencari keamanan bagi umat manusia, di sana mereka tinggal dengan penuh rasa aman. Ada yang berpendapat: di tempat itu mereka menjalankan semua syariat-Nya.

Mengenai firman-Nya: qiyaamal linnaasi (“Sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia] bagi manusia”) Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: “Sebagai tempat ummat untuk menjalankan agama mereka, dan sebagai syi’ar bagi haji mereka.” dari Mujahid, ia mengatakan: “Sebagai tempat beribadah bagi umat manusia.”

Disebut Ka’bah, karena ia merupakan bangunan persegi empat. Dan Baitul Haram disebut bait [rumah], karena ia mempunyai atap dan dinding, dan ia adalah hakekat rumah yang sebenarnya, meskipun tidak ada seorang pun yang menempatinya. Dan disebut “haram” karena pengharamannya oleh Allah, seperti pengharaman-Nya atas berburu binatang buruannya [di Tanah Haram] atau memotong pohonnnya.

Allah berfirman: al ka’batal baital haraama qiyaaman (“Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia]”) Ka’bah merupakan maf’ul [obyek] pertama bagi kata ja’ala [menjadikan]. Adapun kata al-bait [rumah] merupakan ‘athaf bayan. Adapun kata al-haram merupakan na’at [sifat] bagi kata al-bait. Dan kata qiyaman merupakan maf’ul kedua.

Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi mengatakan: “Para ulama mengemukakan: Hikmah dijadikannya semua itu sebagai tempat ibadah bagi umat manusia, adalah manusia menciptakan manusia dengan tabiat kemanusiaan, yaitu berupa kedengkian, saling bersaing, saling memutuskan, saling membelakangi, saling merampas, menyerang, membunuh, dan balas dendam. Merupakan suatu kepastian di balik hikmah Ilahiyyah dan kehendak-Nya, bahwa barangsiapa yang selalu menjaga dirinya dari sifat-sifat tercela tersebut, kesudahannya akan terpuji.

Allah berfirman: innii jaa’ilun fil ardli khaliifatan (“Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi”) dengan demikian Allah memerintahkan mereka untuk mendirikan kekhalifahan dan urusan mereka kepada satu orang, yang dapat menghindarkan mereka dari perselisihan dan mengarahkan mereka pada persatuan, serta menolak orang dhalim dari yang didhalimi, dan melindungi orang yang mengajukan perwakilan kepadanya.”

Ibnu Qasim meriwayatkan: Malik menceritakan kepada kami, bahwa ‘Utsman bin ‘Affan pernah berkata: “Karunia yang diberikan oleh Allah kepada seorang imam sehingga dapat berbuat adil, melebihi karunia yang Allah berikan kepada seseorang yang memahami al-Qur’an.”

Abu ‘Umar menyebutkan: “Adanya penguasa selama satu tahun dalam keadaan kacau akan lebih sedikit dampak negatifnya daripada keadaan manusia yang kacau tanpa penguasa dalam waktu sesaat.”
Lalu Allah mengadakan kekhalifahan untuk mendapatkan manfaat ini, supaya dengan demikian, semuanya dapat berjalan sesuai dengan pandangannya, dan karenanya Allah akan menjaga sikap berlebihan masyarakat. Maka Allah mengagungkan Baitul Haram di dalam hati mereka, dan memunculkan di dalam diri mereka kewibawaannya [Baitul Haram], dan mengagungkan kesuciannya di tengah-tengah mereka. orang yang berlindung kepadanya, akan terperlihara dan orang yang tertindas akan terjaga jika berada di dalamnya.

Berkenaan dengan ini Allah berfirman: awalam yaraw annaa ja’alnaa haraman aaminaw wa yutakhaththafun naasu min hauliHim (“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan [negeri mereka] tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya saling merampok?”)(al-Ankabuut: 67). Dan Baitul Haram adalah rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia. Firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia.” (Ali ‘Imraan: 96-97)

Firman Allah: wasy syaHral haraama (“Dan [demikian pula] bulan Haram”) maksudnya dan Allah menjadikan bulan Haram itu sebagai tempat perlindungan yang lain, yang memberikan rasa aman kepada umat manusia, dalam tindakan dan kehidupan mereka. dengan demikian Baitula Haram adalah perlindungan yang bersifat makani [tempat], sementara bulan Haram adalah sebagai perlindungan yang bersifat zamani [waktu]. Yang dimaksud dengan bulan Haram adalah empat bulan Haram, dan hal itu merupakan nama jenis. Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya adalah empat bulan Haram.” (at-Taubah: 36)

Tiga bulan di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, yang keempat adalah Rajab. Allah telah menjadikannya pada pertengahan tahun sebagai wujud kelembutan [kasih sayang-Nya] bagi semua hamba-Nya, dan pemberian rasa aman kepada mereka dalam setahun. Dengan rahmat dan kasih-sayang-Nya, Allah menciptakan “penghormatan” dan “pengagungan” pada hati dan diri manusia terhadap bulan-bulan Haram tersebut. Jiwa dan hati seseorang tidak merasa takut atau ingin membalas dendam pada bulan-bulan tersebut, sehingga ada seseorang yang bertemu dengan pembunuh ayahnya tetapi ia tidak melakukan balas dendam dan menyakiti sedikitpun.

Allah berfirman: wal Hadya wal qalaa-ida (“Dan [demikian pula] hadya dan qalaid.”) Allah telah menjadikan hadya sebagai pemberi rasa aman bagi orang yang menggiringnya. Karena menggiringnya berarti memberitahukan bahwa pelakunya itu tengah beribadah, sehingga tidak ada yang berbuat jahat kepadanya. Demikian halnya dengan pemakaian al-qalaid [kalung pada hewan kurban]. Dulu pada zaman Jahiliyyah, orang yang hendak berangkat haji mengalungi diri dengan tombak dan ketika pulang kembali ke rumah, ia mengalungi diri dengan salah satu pohon Tanah Haram. Hal tersebut diharapkan akan menghindarkannya dari pencuri atau perampok atau yang lainnya.
Hal yang sama terdapat pada pengalungan hewan kurban dan pemberian syi’ar padanya, maka hal itu memberikan rasa aman baginya. Kemudian datang Islam, maka rasa aman pun tersebar dimana-mana, dan dunia pun berjalan dengan teratur dan pada rel keadilan. Islam mengakui dan mendukung setiap kemaslahatan dan kebaikan; membasmi segala bentuk khurafat dan berbagai kebiasaan buruk. Segala puji dan karunia hanya milik Allah.

Firman Allah: dzaalika lita’lamuu annallaaHa ya’lamu maa fis samaawaati wa maa fil ardli wa annallaaHa bikulli syai-in ‘aliim (“[Allah menjadikan yang] demikian itu agar kamu tahu bahwa sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”)

Firman-Nya tersebut memberikan isyarat kepada dijadikannya semuanya itu sebagai tempat ibadah bagi manusia, agar kalian mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengetahui semua urusan secara terinci, baik yang terdapat di langit maupun dibumi, dan Allah mengetahui kemaslahatan makhluk yang menghuninya. Allah Mahalembut lagi Mahamengetahui.

Firman-Nya: i’lamuu annallaaHa syadiidul ‘iqaabi wa annallaaHa ghafuurur rahiim (“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya, dan bahwa sesungguhnya Allah Mahapengampun Lagi Mahapenyayang.”)

Allah memberitahukan bahwa Allah memiliki siksa yang amat pedih sebagai ancaman bagi orang-orang yang suka berbuat maksiat kepada-Nya, dan mendustakan Rasul-Rasul-Nya. Selain itu, agar orang-orang yang berbuat maksiat itu tidak merasa aman akan adzab-Nya, hanya karena keluasan rahmat-Nya dan penangguhan adzab-Nya yang cukup lama.

Allah pun memberitahukan bahwa Allah Mahapengampun Lagi Mahapenyayang, sebagai pemberi harapan dan dorongan bagi orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, menaati-Nya, membenarkan Rasul-Rasul-Nya, khususnya apa yang dibawa oleh Rasul-Nya, Muhammad saw., yang merupakan penutup para Nabi sekaligus pemimpin para Rasul.

Firman-Nya: maa ‘alar rasuuli illaal balaaghu (“Kewajiban Rasul itu tidak lain hanyalah menyampaikan”) maksudnya tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan hidayah, taufiq maupun pahala, karena tugasnya tidak lain hanyalah menyampaikan saja, sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya:
“Jika mereka berpaling, maka Kami tidak mengutusmu sebagai pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan [risalah].” (asy-Syuura: 48)

Dan Rasulullah saw. telah menyampaikan dan menunaikan amanah yang diembankan kepada beliau, dan sudah pula memberikan nasehat kepada umatnya. Allah berfirman yang artinya: “Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan kamu sekali-sekali tidak tercela.” (adz-Dzaariyaat: 54)

Dalam hadits mengenai Haji Wada’, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Muslim dan Abu Dawud, Rasulullah saw. bersabda:
“Aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang kalian tidak akan tersesat setelahku jika kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah. Dan kalian akan ditanya mengenai diriku, maka apa yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab: “Kami akan bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan amanat, serta memberikan nasehat.” Kemudian beliau bersabda seraya mengangkat jari telunjuk, dan mengarahkan kepada orang-orang: “[Ya] Allah saksikanlah!” sebanyak tiga kali.

Firman-Nya: wallaaHu ya’lamu maa tubduuna (“Dan Allah mengetahui apa yang kamu tampakkan.”) Yaitu yang kalian perlihatkan. Wa maa taktumuun (“Dan apa yang kamu sembunyikan”) maksudnya apa yang kalian rahasiakan di dalam hati kalian, berupa kekufuran dan yang lainnya. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun dari amal kalian yang tersembunyi bagi Allah, dan Dia akan memberikan balasan atasnya. Jika baik akan diberi balasan kebaikan, dan jika buruk akan diberi balasan keburukan. Dalam penggalan ayat ini terdapat ancaman dan peringatan yang keras.

&