Arsip | 03.38

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 83

28 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 83“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah: ‘Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya, dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela (untuk) tidak pergi berperang (pada) kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (QS. at-Taubah / al-Baraah: 83)

Allah berfirman sambil memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw.: fa ir raja’akallaaHu (“Maka jika Allah mengembalikanmu.”) Maksudnya, Allah mengembalikanmu dari peperanganmu ini.”) ilaa thaa-ifatim minHum (“Kepada suatu golongan dari mereka.”) Qatadah mengatakan: “Disebutkan kepada kami, bahwa mereka berjumlah dua belas orang.”
Fasta’dzanuuka lil khuruuji (“Kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar.”) Yaitu pergi berperang bersamamu dalam peperangan yang lain.
Fa qul lan takhrujuu ma’iya abadaw walan tuqaatiluu ma’iya ‘aduwwan (“Maka katakanlah: ‘Kalian tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku.’”) Yang demikian itu sebagai hukuman dan siksaan bagi mereka.

Kemudian hal itu dijelaskan melalui firman-Nya: innakum radliitum bil qu’uudi awwala marratin (“Sesungguhnya kalian telah rela [untuk] tidak pergi berperang [pada] kali yang pertama.”) Yang, demikian itu adalah sama seperti firman-Nya yang artinya berikut ini: “Dan orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata, ‘Apabila kalian berangkat untuk mengambil barang rampasan.’” (QS. Al-Fath: 15)

Firman-Nya: faq’uduu ma’al khaalifiin (“Karena itu duduklah [tinggallah] bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.”) Ibnu `Abbas mengatakan: “Yaitu (bersama) orang-orang yang tidak mau mengikuti berbagai macam peperangan.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 81-82

28 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 81-82“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidal suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, dan mereka berkata: ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah: ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya), jikalau mereka mengetahui. (QS. 9:81) Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. 9:82)” (at-Taubah / al-Baraah: 81-82)

Allah berfirman (yang firman-Nya ini) sebagai bentuk celaan bagi orang-orang munafik yang tidak mau menemani para sahabat Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Dan justru mereka merasa gembira dengan ketidakberangkatan mereka setelah kepergian beliau. Wa kariHuu ay yujaaHiduu (“Dan mereka tidak suka berjihad.”) Bersama beliau.

Bi amwaaliHim wa anfusiHim fii sabiilillaaHi wa qaaluu (“Dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata.”) Yaitu, sebagian mereka kepada sebagian lainnya. Laa tanfiruu fil harri (“Janganlah kalian berangkat [pergi berperang[ dalam panas terik ini.”) Yang demikian itu karena pada saat berangkat menuju perang Tabuk dalam keadaan benar-benar panas, pada musim panen buah. Oleh karena itu mereka mengatakan: Laa tanfiruu fil harri (“Janganlah kalian berangkat [pergi berperang[ dalam panas terik ini.”)

Maka Allah berfirman kepada Rasul-Nya: qul (“katakan”) Kepada mereka. Naaru jaHannama (“Api neraka jahanam itu”) yang akan kalian tuju akibat keingkaran kalian atas panggilan jihad adalah: asyaddu harra (“lebih panas”) daripada panas yang kalian lari darinya. Bahkan lebih panas daripada api.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abi az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Api yang dimiliki oleh anak cucu Adam yang kalian nyalakan itu merupakan satu bagian saja dari tujuh puluh bagian api neraka Jahannam.”
Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, tetapi api dunia itu sudah cukup panas.” Kemudian beliau bersabda: “Api tersebut akan bertambah lagi dengan enam puluh sembilan bagian.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam ash-Shahihain, dari Malik.

Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan memberitahu kami, dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya api yang ada pada kalian ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari api neraka Jahannam dan dipukulkan ke laut dua kali. Seandainya tidak demikian, niscaya Allah tidak menjadikan manfaat padanya bagi seorangpun.” (HR. Ahmad dengan isnad yang shahih.)

Imam Abu `Isa at-Tirmidzi dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ad-Duuri, dan dari Yahya bin Abi Bukair, dari Abu Hurairah menceritakan, Rasulullah telah bersabda: “Allah telah menyalakan api itu seribu tahun hingga menjadi merah. Kemudian Allah menyalakan lagi seribu tahun sehingga menjadi putih. Selanjutnya Allah menyalakan lagi seribu tahun hingga menjadi hitam, yaitu hitam laksana malam yang gelap.”

Setelah itu, Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Aku tidak mengetahui seorang pun yang memarfu’kan (menyampaikan riwayat kepada Rasulullah saw. hadits ini kecuali Yahya.”

Juga diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar bin Mardawaih Syuraik, yaitu Ibnu `Abdillah an-Nakha’i.

Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan dari riwayat Mubarak bin Fadhalah, dari Tsabit dari Anas ia menceritakan, Rasulullah saw. pernah membaca ayat: naaraw wa quuduHan naasu wal hijaaratu (“Api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”) Kemudian beliau bersabda: “Allah menyalakan api itu selama seribu tahun hingga menjadi putih, dan seribu tahun lagi sehingga menjadi merah, dan seribu tahun lagi sehingga menjadi hitam, yakni hitam laksana malam yang tidak bercahaya.”

Al-Hafizh Abul Qasim ath-Thabrani juga meriwayatkan dari hadits Tamam bin Najih, dan telah terjadi perbedaan pendapat di dalamnya, dari al-Hasan, dari Anas, dan ia memarfu’kannya [menyampaikan riwayatnya sampai pada Rasulullah], Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya kilatan api itu, yaitu api dari neraka jahannam ada di belahan timur, maka panasnya (pun) akan terasa di belahan barat.”

Al-Hafizd Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Abu Hurairah menceritakan, Rasulullah bersabda, dan juga al-A’masy berkata, dari Abu Ishaq, dari an-Nu’man bin Basyir, bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya penghuni neraka yang mendapatkan adzab yang paling ringan pada hari Kiamat kelak adalah orang yang mempunyai satu pasang sandal dan 2 tali sandal yang terbuat dari api neraka Jahannam, yang membakar otaknya, sebagaimana terbakarnya periuk. Ia tidak mengetahui, bahwa ada seorang dari penghuni neraka yang mendapatkan adzab yang lebih keras dari dirinya, dan sesungguhnya ia adalah orang yang mendapatkan adzab yang paling ringan di antara mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kemudian Allah berfirman dengan nada mengancam orang-orang munafik, atas apa yang mereka perbuat tersebut: fal yadl-hakuu qaliilaw wal yabkuu katsiiran (“Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis.”) Ibnu Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas: “Dunia ini hanya sebentar, maka biarlah mereka tertawa sekehendak hati mereka. Jika dunia ini telah berakhir dan mereka kembali kepada Allah maka mereka akan menyambung tertawanya itu dengan tangisan yang tidak akan pernah berakhir untuk selamanya.”

Demikian itulah yang dikemukakan oleh Abu Razin, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, ar-Rabi’ bin Khutsaim, `Aun al-‘Uqaili dan Zaid bin Aslam.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 80

28 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 80“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun kepada mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. at-Taubah / al-Baraah: 80)

Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw. bahwa orang-orang munafik itu tidak layak untuk dimintakan ampunan. Bahkan jika beliau memintakan ampunan bagi mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka Allah tidak akan memberikan ampunan bagi mereka.

Ada yang mengatakan, bilangan tujuh puluh itu disebutkan untuk menyatakan kesungguhannya dalam memintakan ampunan bagi mereka, karena dalam ungkapan masyarakat Arab bilangan tujuh puluh itu digunakan untuk menyatakan kesungguhan ucapan mereka. Bukan digunakan untuk memberikan batasan, juga tidak berarti bila bilangannya (dari bilangan tersebut) ditambah akan mempunyai pengertian yang lain.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 79

28 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 79“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu dan untuk mereka adzab yang pedih.” (QS. at-Taubah / al-Baraah: 79)

Di antara sifat orang-orang munafik yang lainnya adalah, bahwasanya tidak akan ada seorang pun yang lepas dari celaan dan ejekan mereka dalam segala hal. Bahkan orang-orang yang suka bersedekah pun tidak lepas dari celaan orang-orang munafik tersebut. Jika ada salah seorang yang suka bersedekah datang dengan membawa harta yang banyak, maka mereka (orang-orang munafik) mengatakan: “Ia lakukan hal itu karena riya’.” Dan jika ia membawa pemberian yang sedikit, maka mereka akan mengatakan: “Allah tidak membutuhkan sedekah ini.”

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dari Abi Mas’ud, ia menceritakan: “Setelah ayat sedekah turun, kami membawa barang di atas punggung kami. Lalu ada seseorang yang datang dan bersedekah dengan jumlah yang sangat banyak. Lalu orang-orang munafik itu berkata: ‘Orang itu berbuat demikian karena riya.’ Kemudian datang orang yang lain dan bersedekah dengan satu sha’. Maka orang-orang munafik itu berkata: ‘Sesunguhnya Allah tidak membutuhkan sedekah ini.’ Lalu turunlah ayat: alladziina yalmizuunal muthawwi’iina (“[Orang-orang munafik] yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela.”)

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim.

Adapun orang yang bersedekah dengan usahanya itu adalah Abu ‘Uqail saudara Bani Anif al-Arasyi, sekutu Bani `Amr bin `Auf, di mana ia datang dengan membawa satu sha’ kurma, untuk ia berikan sebagai sedekah.

Firman-Nya: fa yaskharuuna minHum sakhirallaaHu minHum (“Sehingga orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu.”) Yang demikian ini termasuk (dalam) masalah pembalasan terhadap perbuatan mereka yang buruk dan penghinaan mereka terhadap orang-orang yang beriman, karena balasan itu sejenis (setimpal) dengan perbuatan. Sehingga mereka diperlakukan seperti orang-orang yang mereka olok-olok, sebagai wujud memenangkan orang-orang mukmin di dunia. Dan Allah telah menyediakan adzab yang pedih di akhirat bagi orang-orang munafik, karena balasan itu sejenis (setimpal) dengan jenis amal perbuatan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 75-78

28 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 75-78“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ (QS. 9:75) Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS. 9:76) Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya, dan (juga) karena mereka selalu berdusta. (QS. 9:77) Tidakkah mereka tahu bahwasannya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib? (QS. 9:78)” (at-Taubah / al-Baraah: 74-78)

Allah berfirman, di antara orang-orang munafik itu ada yang mengikrarkan janjinya kepada Allah Ta’ala, yaitu jika Allah memberikan kecukupan karunia-Nya kepadanya, niscaya mereka akan menyedekahkan sebagian dari hartanya dan akan termasuk orang-orang yang shalih. Setelah apa yang diinginkan itu dipenuhi, ia tidak melaksanakannya, maka Allah memberikan akibat kepada mereka atas perbuatan ini, berupa kemunafikan yang memenuhi hati mereka, sampai saat mereka kelak bertemu dengan Allah swt pada hari Kiamat. Semoga Allah melindungi kita dari hal demikian itu.

Firman-Nya: bimaa akhlafullaaHa maa wa’aduuHu (“Karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya.”) Yaitu, menimbulkan kemunafikan dalam hati mereka, karena mengingkari dan mendustakan janji mereka. Sebagaimana yang dijelaskan ash-Shahihain, dari Rasulullah saw. beliau bersabda:
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits itu mempunyai syahid (penguat) yang sangat banyak. Wallahu a’lam.

Firman-Nya: alam ya’lamuu annallaaHa ya’lamu sirraHum wa najwaaHum (“Tidakkah mereka tahu Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka.”) Allah berfirman, bahwa Allah mengetahui rahasia dan sesuatu yang sangat tersembunyi dan Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kecil mereka, meskipun secara lahiriyah mereka menampakkannya, yaitu jika mereka mempunyai harta benda, mereka akan menyedekahkan sebagian darinya, serta mensyukurinya.

Sesungguhnya Allah lebih mengetahui tentang mereka daripada diri mereka sendiri, karena Allah Ta’ala itu mengetahui setiap yang ghaib dan yang nyata, setiap rahasia dan bisikan, serta mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 73-74

28 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 73-74“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik Itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. 9:73) Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak [pula] penolong di muka bumi. (QS. 9:74)” (at-Taubah / al-Baraah: 73-74)

Allah telah menyuruh Rasul-Nya untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta bersikap keras kepada mereka. Sebagaimana Allah juga telah menyuruhnya untuk bersikap lemah-lembut kepada orang-orang mukmin yang mengikutinya. Selain itu, Allah juga memberitahukan bahwa tempat kembali orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu adalah neraka di akhirat kelak.

Dari Amirul Mukminin `Ali bin Abi Thalib, ia menceritakan, bahwa Rasulullah saw diutus dengan empat macam ayat saif (ayat pedang):
Pertama, ayat saif Yang ditujukan kepada orang-orang musyrik: “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu.” (at-Taubah: 5)
Kedua, ayat sair yang ditujukan kepada orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir. Dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya serta tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah]. [Yaitu orang-orang] yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)
Ketiga, ayat saif yang ditujukan kepada orang-orang munafik: “Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu.” (QS. At-Taubah: 73)
Keempat, ayat saif yang ditujukan kepada orang-orang yang berbuat aniaya: “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya tersebut, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujuraat: 9)

Yang demikian itu menunjukkan, bahwa mereka berjihad dengan membawa pedang, jika mereka memperlihatkan kemunafikan. Pendapat ini merupakan pilihan Ibnu Jarir.

Mengenai firman Allah: JaaHidil kuffaara wal munaafiqiin (“Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu.”) Ibnu Mas’ud mengatakan: “Yaitu dengan menggunakan tangan, jika tidak mampu, maka dengan memperlihatkan wajah muram.”

Sedangkan Ibnu `Abbas mengatakan: “Allah telah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk berjihad melawan orang-orang kafir dengan menggunakan pedang dan terhadap orang-orang munafik dengan menggunakan lisan, serta tidak menampakkan kelembutan kepada mereka”.

Adh-Dhahhak mengatakan: “Perangilah orang-orang kafir dengan menggunakan pedang dan bersikap keraslah terhadap orang-orang munafik melalui ucapan, yang demikian itu merupakan jihad melawan mereka.”
Hal yang senada juga diceritakan dari Muqatil dan ar-Rabi’ bin Anas.

Al-Hasan al-Bashri, Qatadah dan Mujahid mengatakan: “Jihad melawan mereka itu berwujud pemberlakuan hudud [hukum] kepada mereka.”

Ada yang mengatakan, bahwa di antara semua pendapat di atas terclapat pertentangan satu dengan yang lainnya, karena terkadang sekali waktu mereka memang diberi hukuman yang satu dan pada kesempatan lain diberi hukuman yang selain dari itu, semuanya bergantung pada keadaan. Wallahu a’lam.

Dan firman Allah: yahlifuuna billaaHi maa qaaluu wa laqad qaaluu kalimatal kufri wa kafaruu ba’da iimaaniHim (“Orang-orang munafik itu) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan [sesuatu yang menyakitimu]. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam.”)

Qatadah mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan`Abdullah bin Ubay. Yaitu, ketika ada dua orang, seorang Juhani dan seorang Anshari yang saling membunuh. Lalu, orang Juhani itu unggul atas Anshari tersebut. Maka `Abdullah bin Ubay mengatakan kepada kaum Anshar ‘Apakah kalian tidak membantu saudara kalian? Demi Allah, perumpamaan hubungan kami dengan Muhammad adalah seperti apa yang dikatakan pepatah, ‘berilah makan kepada anjingmu sampali gemuk untuk menerkammu.’ Jika kami kembali ke Madinah, niscaya orang-orang yang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari kota tersebut.”

Kemudian, ada seseorang dari kaum muslimin yang pergi menghadap Nabi saw untuk mengadukan hal tersebut kepada beliau. Maka, beliau mengirimkan utusan kepada `Abdullah bin Ubay dan menanyakan kepadanya. Lalu `Abdullah bin Ubay bersumpah dengan menggunakan Nama Allah, bahwa ia tidak mengucapkannya. Maka turunlah ayat ini.

`Urwah bin az-Zubair mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan al-Jallas bin Suwaid bin ash-Shamit, di mana ia bersama anak tirinya yang bernama Mush’ab datang dari Quba’.” Al-Jallas mengatakan: ‘Jika apa yang dibawa Muhammad itu benar, maka kami lebih jelek dari keledai-keledai kami tunggangi ini. Maka Mush’ab berkata: ‘Demi Allah, hai musuh Allah, aku akan beritahukan apa yang engkau katakan itu kepada Rasulullah saw.”

Kemudian aku mendatangi beliau dan aku takut hal itu akan turun dalam al-Qur’an, atau aku tertimpa bencana, atau aku akan terkena kesalahannya itu. Maka kukatakan: “Ya Rasulullah, aku dan al Jallas datang dari Quba’, tiba-tiba ia mengatakan begini dan begitu, kalau bukan karena aku takut terjerumus ke dalam kesalahannya, atau akan tertimpa bencana, niscaya tidak akan memberitahumu.’ Lalu Rasulullah saw mengatakan: ‘Hal Jallas, apakah benar engkau mengatakan apa yang dikatakan Mush’ab?’ Kemudian al-Jallas bersumpah, sehingga turunlah ayat: yahlifuuna billaaHi maa qaaluu (“Mereka [orang-orang munafik itu] bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan.”)

Muhammad bin Ishaq mengatakan: “Yang sampai kepadaku, orang yang mengatakan itu adalah al-Jallas bin Suwaid bin ash-Shamit. Kemudian orang yang berada di kamarnya yang bernama `Umair bin Sa’ad melaporkannya kepada Nabi saw. namun ia tidak mengakuinya dan bersumpah dengan nama Allah, bahwa ia tidak mengatakan hal itu. Dan yang aku dengar, setelah turun ayat al-Qur’an mengenai dirinya, ia pun bertaubat dengan sungguh-sungguh.”

Imam Abu Ja’far bin Jarir menuturkan dari Ibnu `Abbas, ia menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah duduk di bawah naungan sebatang pohon seraya berkata: “Sesungguhnya akan datang kepada kalian seseorang, lalu ia akan melihat kalian -yakni syaitan-. Jika ia datang, maka janganlah kalian berbicara dengannya.

Tidak lama kemudian, muncul seseorang berbaju biru, lalu beliau memanggilnya seraya bertanya: “Atas dasar apa engkau dan sahabat-sahabatmu mencaciku?”
Kemudian orang itu bersama dengan sahabat-sahabatnya mendatangi Rasulullah, lalu mereka bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak pernah mengatakannya, sehingga Rasulullah membiarkannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: yahlifuuna billaaHi maa qaaluu (“Mereka [orang-orang munafik itu] bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan.”)

Firman Allah: wa Hammuu bimaa lam yanaaluu (“Serta menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya.”) Ada yang mengatakan, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan `Abdullah bin Ubay, di mana ia berkeinginan keras untuk membunuh Rasulullah saw.

As-Suddi mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan beberapa orang yang hendak mendatangi `Abdullah bin Ubay, meskipun Rasulullah saw. tidak meridhai”.

Disebutkan bahwa, ada beberapa orang munafik yang berkeinginan keras untuk membunuh Nabi ketika dalam perang Tabuk pada malam hari ketika dalam perjalanan. Mereka berjumlah belasan orang. Adh-Dhahhak mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang tersebut.”

Yang demikian itu telah dijelaskan melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, dari Abu ath-Thufail, ia menceritakan: “Ketika Rasulullah pulang dari perang Tabuk, beliau menyuruh seorang penyeru. Maka ia pun menyerukan: ‘Sesungguhnya Rasulullah hendak mengambil jalan bukit, maka tidak seorang pun diperbolehkan ke sana.’
Ketika Rasulullah saw dikawal oleh Hudzaifah dan untanya ditarik oleh `Ammar tiba-tiba sekumpulan orang yang memakai topeng dengan berkendaraan, mendatangi mereka. Kemudian mereka merintangi `Ammar yang sedang dalam keadaan menarik unta Rasulullah saw. Lalu `Ammar menghadapi mereka dan memukul bagian muka unta-unta mereka. Maka Rasulullah bertutur kepada Hudzaifah: qad, qad (“Sudah, sudah.”)

Sehingga menelusuri jalan turun, dan setelah turun dari bukit, beliau turun dari unta. Setelah beliau turun, `Ammar menghampiri beliau. Lalu beliau berkata: “Hai `Ammar, apakah engkau mengenal orang-orang itu?”
`Ammar menjawab: “Aku mengenal seluruh binatang tunggangan mereka itu, sedangkan orang-orang itu semuanya bertopeng.”
Rasulullah bertanya: “Apakah engkau mengetahui apa yang mereka inginkan?”
“Allah dan kasul-Nya yang lebih tahu,” jawab ‘Ammar.
Beliau bertutur: “Mereka bermaksud mengagetkan hewan tunggangan Rasulullah saw, sehingga
mereka dapat melemparkannya ke jurang.”

Lebih lanjut Abu ath-Thufail bercerita, lalu `Ammar bertanya kepada salah seorang sahabat Rasulullah saw. berapakah jumlah Ashabul Aqabah (orang-orang yang berada di jalan pendakian bukit itu) yang engkau ketahui?” Ia menjawab: “Empat belas orang.” Lebih lanjut `Ammar mengatakan: “Jika engkau termasuk salah satu dari mereka, berarti mereka berjumlah lima belas orang.”

Maka Rasulullah menghitung tiga orang dari mereka, yang mengatakan: “Demi Allah, kami tidak mendengar penyeru Rasulullah saw dan kami tidak mengetahui apa yang diinginkan orang-orang tersebut (orang-orang yang mendaki jalan bukit itu).”

Lalu `Ammar pun berkata: “Aku bersaksi, bahwa dua belas orang lainnya (selain tiga orang di atas) memerangi Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan dunia dan pada hari dibangkitkannya para saksi.

Keshahihan kisah ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya kepada Abu ath-Thufail, ia menceritakan: Abu ath-Thufail memberitahu kami, ia mengatakan, antara seseorang dari kelompok ‘Aqabah dan Hudzaifah, terjadi peristiwa yang dialami itu. Kemudian ia bertanya: “Berapakah jumlah Ashabul Aqabah (yang berada di jalan pendakian bukit)?”

Kemudian ada suatu kaum yang mengatakan kepadanya: “Beritahukan kepadanya apa yang ditanyakan kepadamu.” Ia pun menjawab: “Kami beritahukan bahwa mereka berjumlah empat belas orang, jika engkau termasuk mereka, maka mereka berjumlah lima belas orang. Dan aku bersaksi dengan nama Allah, bahwa dua belas orang lainnya memerangi Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan dunia dan pada hari dibangkitkannya para saksi. Sedangkan yang tiga orang lainnya beralasan dengan mengatakan: “Kami tidak mendengar penyeru Rasulullah dan kami tidak mengetahui mengenai apa yang diinginkan oleh orang-orang tersebut (orang-orang yang melalui jalan ‘aqabah).”

Beliau berjalan di bawah terik matahari yang sangat panas, lalu berkata: “Sesungguhnya air sangat sedikit, sehingga tidak seorang pun boleh mendahuluiku ke sana.” Ternyata beliau mendapatkan suatu kaum yang telah mendahuluinya dan pada hari itu juga beliau melaknat mereka.

Firman-Nya: wa maa naqamuu illaa an aghnaa HumullaaHu wa rasuuluHuu min fadl-liHi (“Dan mereka tidak mencela [Allah dan Rasul-Nya], kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.”) Maksudnya, Rasulullah saw tidak bersalah kepada mereka, melainkan Allah membuat mereka kaya dengan berkah-Nya dan menganugerahkan kebahagiaan-Nya. Jika telah sempurna kebahagiaan atas mereka, niscaya Allah Ta’ala akan menunjukkan mereka kepada apa yang dibawa oleh Nabi saw.

Shighah (pengutaraan) ini dikemukakan, di mana tidak ada kesalahan Rasulullah saw. Yang demikian itu seperti firman-Nya yang artinya: “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu, melainkan hanya karena orang-orang itu beriman kepada Allah.” (QS. Al-Buruuj: 8)

Selanjutnya, Allah Tabaraka wa Ta ala menyeru mereka supaya bertaubat. Di mana Allah berfirman: fa iy yatuubuu yaku khairal laHum wa iy yatawallau yu’adz-dzibu HumullaaHu ‘adzaaban aliiman fid dun-yaa wal aakhirati (“Jika mereka bertaubat, maka yang demikian itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.”) Maksudnya, jika mereka masih terus menempuh jalan mereka [orang-orang munafik] niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang sangat pedih di dunia, yaitu berupa pembunuhan, kegoncangan dan kesusahan. Sedangkan di akhirat berupa adzab, siksaan, kehinaan dan kenistaan.

Wa maa laHum fil ardli miw waliyyiw wa laa nashiir (“Dan mereka sekali-sekali tidak mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di muka bumi.”) Yakni, mereka tidak mendapatkan seorang pun yang bisa menolong dan menyelamatkan mereka, tidak dapat memberikan kebaikan, serta tidak dapat menghindarkan mereka dari bahaya dan keburukan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 72

28 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 72“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; Itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. at-Taubah/ al-Bara’ah:72)

Allah mengabarkan apa yang Allah janjikan kepada orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, berupa aneka kebaikan kenikmatan yang abadi di: jannaatin tajrii min tahtiHal anHaaru khaalidiina fiiHaa (“Surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.”) Yakni, mereka akan tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya.

Wa masaakina thayyibatan (“Juga mendapatkan tempat-tempat yang bagus.”) Yaitu, bangunan yang indah (baik lagi bagus sebagai tempat tinggal, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Abu `Imran al Jauni, dari Abu Bakar bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari, dari ayahnya, ia menceritakan, Rasulullah saw pernah bersabda: “Ada dua surga, yang mana bejana dan apa yang terdapat di dalamnya terbuat dari emas. Dan ada juga dua surga, yang mana bejana dan apa yang terdapat dalamnya terbuat dari perak. Pemisah antara suatu kaum untuk memandang Rabbnya hanyalah berupa rida’ (tirai) kebesaran yang terdapat pada wajah-Nya di surga `Adn.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan dalam kitab ash-shahihain juga disebutkan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya bagi orang-orang mukmin di dalam surga sebuah rumah yang terbuat dari satu mutiara yang bulat, yang panjangnya enam puluh mil di langit. Di dalamnya ada beberapa keluarga, ia mengelilingi mereka, yang sebagian mereka tidak mengetahui sebagian lainnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Masih dalam kitab ash-shahihain juga, disebutkan dari Abu Hurairah ia menceritakan, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, mengerjakan puasa Ramadhan, maka keharusan bagi Allah untuk memasukkannya ke dalam surga, baik ia sebagai orang yang berhijrah di jalan Allah, maupun ia tetap tinggal di tanah kelahirannya.”
Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kita tidak perlu memberitahu orang-orang?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya di dalam surga terdapat seratus derajat (tingkatan) yang disiapkan Allah bagi orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Jarak antara setiap dua derajat (tingkatan) adalah seperti jarak antara langit dan bumi. Jika kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya surga Firdaus, karena ia adalah surga yang paling tinggi dan paling tengah. Dari surga Firdaus itu memancar sungai-sungai surga, dan di atasnya terdapat ‘Arsy ar-Rahman.”

Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, dari ‘Ubadah bin ash-Shamith dan dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad, ia menceritakan, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya para penghuni surga itu dapat melihat kamar-kamar di dalam surga, sebagaimana mereka dapat melihat bintang di langit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam dua kitab shahih mereka, kemudian ia (penghuni surga) akan mengetahui bahwa tingkatan tertinggi di surga adalah tempat yang diberi nama al-wasilah. Diberi nama itu karena kedekatannya dari ‘Arsy. Itulah yang menjadi tempat Rasulullah di surga.

Sedangkan dalam kitab shahih Muslim disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Alqamah, dari `Abdurrahman bin Jubair Abdullah bin `Amr bin al-‘Ash, bahwasanya ia pernah mendengar Nabi saw. bersabda: “Jika kalian mendengar mu’adzdzin, maka ucapkanlah seperti apa yang ucapkannya, lalu bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barangsiapa
yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mintalah al-wasilah untukku, karena ia merupakan kedudukan di surga, yang tidak layak ditempati kecuali hanya oleh seorang hamba dari hamba-hamba-Nya. Dan aku berharap hamba itu adalah aku. Barangsiapa meminta al-wasilah kepada Allah untukku, maka halal baginya syafa’at pada hari Kiamat kelak.” (HR. Muslim)

Dan firman-Nya: wa ridlwaanum minallaaHi akbar (“Dan keridlaan Allah adalah lebih besar”) yakni keridlaan Allah kepada mereka lebih besar dan agung daripada kenikmatan yang mereka rasakan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

“Sesungguhnya Allah akan berkata kepada para penghuni surga: ‘Wahai para penghuni surga.’ Maka mereka pun menjawab: ‘Ya Rabb kami, kami penuhi panggilan-Mu, dan kebaikan berada di tangan-Mu.’ Allah bertanya: ‘Apakah kalian ridha?’ ‘Mengapa kami tidak ridha, ya Rabb kami, sedang Engkau telah memberi kami sesuatu yang belum pernah diberikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu?’ sahut mereka. Allah bertanya: ‘Maukah kalian Aku beri sesuatu yang lebih baik dari itu?’ Mereka menjawab: ‘Ya Rabb kami, apakah sesuatu yang lebih baik dari hal tersebut?’ Allah menjawab: ‘Aku telah tetapkan keridhaan-Ku bagi kalian, sehingga setelah ini Aku tidak akan pemah murka lagi kepada kalian.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Malik.)

&