Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik Itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. 9:73) Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak [pula] penolong di muka bumi. (QS. 9:74)” (at-Taubah / al-Baraah: 73-74)
Allah telah menyuruh Rasul-Nya untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta bersikap keras kepada mereka. Sebagaimana Allah juga telah menyuruhnya untuk bersikap lemah-lembut kepada orang-orang mukmin yang mengikutinya. Selain itu, Allah juga memberitahukan bahwa tempat kembali orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu adalah neraka di akhirat kelak.
Dari Amirul Mukminin `Ali bin Abi Thalib, ia menceritakan, bahwa Rasulullah saw diutus dengan empat macam ayat saif (ayat pedang):
Pertama, ayat saif Yang ditujukan kepada orang-orang musyrik: “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu.” (at-Taubah: 5)
Kedua, ayat sair yang ditujukan kepada orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir. Dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya serta tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah]. [Yaitu orang-orang] yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)
Ketiga, ayat saif yang ditujukan kepada orang-orang munafik: “Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu.” (QS. At-Taubah: 73)
Keempat, ayat saif yang ditujukan kepada orang-orang yang berbuat aniaya: “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya tersebut, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujuraat: 9)
Yang demikian itu menunjukkan, bahwa mereka berjihad dengan membawa pedang, jika mereka memperlihatkan kemunafikan. Pendapat ini merupakan pilihan Ibnu Jarir.
Mengenai firman Allah: JaaHidil kuffaara wal munaafiqiin (“Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu.”) Ibnu Mas’ud mengatakan: “Yaitu dengan menggunakan tangan, jika tidak mampu, maka dengan memperlihatkan wajah muram.”
Sedangkan Ibnu `Abbas mengatakan: “Allah telah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk berjihad melawan orang-orang kafir dengan menggunakan pedang dan terhadap orang-orang munafik dengan menggunakan lisan, serta tidak menampakkan kelembutan kepada mereka”.
Adh-Dhahhak mengatakan: “Perangilah orang-orang kafir dengan menggunakan pedang dan bersikap keraslah terhadap orang-orang munafik melalui ucapan, yang demikian itu merupakan jihad melawan mereka.”
Hal yang senada juga diceritakan dari Muqatil dan ar-Rabi’ bin Anas.
Al-Hasan al-Bashri, Qatadah dan Mujahid mengatakan: “Jihad melawan mereka itu berwujud pemberlakuan hudud [hukum] kepada mereka.”
Ada yang mengatakan, bahwa di antara semua pendapat di atas terclapat pertentangan satu dengan yang lainnya, karena terkadang sekali waktu mereka memang diberi hukuman yang satu dan pada kesempatan lain diberi hukuman yang selain dari itu, semuanya bergantung pada keadaan. Wallahu a’lam.
Dan firman Allah: yahlifuuna billaaHi maa qaaluu wa laqad qaaluu kalimatal kufri wa kafaruu ba’da iimaaniHim (“Orang-orang munafik itu) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan [sesuatu yang menyakitimu]. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam.”)
Qatadah mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan`Abdullah bin Ubay. Yaitu, ketika ada dua orang, seorang Juhani dan seorang Anshari yang saling membunuh. Lalu, orang Juhani itu unggul atas Anshari tersebut. Maka `Abdullah bin Ubay mengatakan kepada kaum Anshar ‘Apakah kalian tidak membantu saudara kalian? Demi Allah, perumpamaan hubungan kami dengan Muhammad adalah seperti apa yang dikatakan pepatah, ‘berilah makan kepada anjingmu sampali gemuk untuk menerkammu.’ Jika kami kembali ke Madinah, niscaya orang-orang yang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari kota tersebut.”
Kemudian, ada seseorang dari kaum muslimin yang pergi menghadap Nabi saw untuk mengadukan hal tersebut kepada beliau. Maka, beliau mengirimkan utusan kepada `Abdullah bin Ubay dan menanyakan kepadanya. Lalu `Abdullah bin Ubay bersumpah dengan menggunakan Nama Allah, bahwa ia tidak mengucapkannya. Maka turunlah ayat ini.
`Urwah bin az-Zubair mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan al-Jallas bin Suwaid bin ash-Shamit, di mana ia bersama anak tirinya yang bernama Mush’ab datang dari Quba’.” Al-Jallas mengatakan: ‘Jika apa yang dibawa Muhammad itu benar, maka kami lebih jelek dari keledai-keledai kami tunggangi ini. Maka Mush’ab berkata: ‘Demi Allah, hai musuh Allah, aku akan beritahukan apa yang engkau katakan itu kepada Rasulullah saw.”
Kemudian aku mendatangi beliau dan aku takut hal itu akan turun dalam al-Qur’an, atau aku tertimpa bencana, atau aku akan terkena kesalahannya itu. Maka kukatakan: “Ya Rasulullah, aku dan al Jallas datang dari Quba’, tiba-tiba ia mengatakan begini dan begitu, kalau bukan karena aku takut terjerumus ke dalam kesalahannya, atau akan tertimpa bencana, niscaya tidak akan memberitahumu.’ Lalu Rasulullah saw mengatakan: ‘Hal Jallas, apakah benar engkau mengatakan apa yang dikatakan Mush’ab?’ Kemudian al-Jallas bersumpah, sehingga turunlah ayat: yahlifuuna billaaHi maa qaaluu (“Mereka [orang-orang munafik itu] bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan.”)
Muhammad bin Ishaq mengatakan: “Yang sampai kepadaku, orang yang mengatakan itu adalah al-Jallas bin Suwaid bin ash-Shamit. Kemudian orang yang berada di kamarnya yang bernama `Umair bin Sa’ad melaporkannya kepada Nabi saw. namun ia tidak mengakuinya dan bersumpah dengan nama Allah, bahwa ia tidak mengatakan hal itu. Dan yang aku dengar, setelah turun ayat al-Qur’an mengenai dirinya, ia pun bertaubat dengan sungguh-sungguh.”
Imam Abu Ja’far bin Jarir menuturkan dari Ibnu `Abbas, ia menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah duduk di bawah naungan sebatang pohon seraya berkata: “Sesungguhnya akan datang kepada kalian seseorang, lalu ia akan melihat kalian -yakni syaitan-. Jika ia datang, maka janganlah kalian berbicara dengannya.
Tidak lama kemudian, muncul seseorang berbaju biru, lalu beliau memanggilnya seraya bertanya: “Atas dasar apa engkau dan sahabat-sahabatmu mencaciku?”
Kemudian orang itu bersama dengan sahabat-sahabatnya mendatangi Rasulullah, lalu mereka bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak pernah mengatakannya, sehingga Rasulullah membiarkannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: yahlifuuna billaaHi maa qaaluu (“Mereka [orang-orang munafik itu] bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan.”)
Firman Allah: wa Hammuu bimaa lam yanaaluu (“Serta menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya.”) Ada yang mengatakan, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan `Abdullah bin Ubay, di mana ia berkeinginan keras untuk membunuh Rasulullah saw.
As-Suddi mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan beberapa orang yang hendak mendatangi `Abdullah bin Ubay, meskipun Rasulullah saw. tidak meridhai”.
Disebutkan bahwa, ada beberapa orang munafik yang berkeinginan keras untuk membunuh Nabi ketika dalam perang Tabuk pada malam hari ketika dalam perjalanan. Mereka berjumlah belasan orang. Adh-Dhahhak mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang tersebut.”
Yang demikian itu telah dijelaskan melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, dari Abu ath-Thufail, ia menceritakan: “Ketika Rasulullah pulang dari perang Tabuk, beliau menyuruh seorang penyeru. Maka ia pun menyerukan: ‘Sesungguhnya Rasulullah hendak mengambil jalan bukit, maka tidak seorang pun diperbolehkan ke sana.’
Ketika Rasulullah saw dikawal oleh Hudzaifah dan untanya ditarik oleh `Ammar tiba-tiba sekumpulan orang yang memakai topeng dengan berkendaraan, mendatangi mereka. Kemudian mereka merintangi `Ammar yang sedang dalam keadaan menarik unta Rasulullah saw. Lalu `Ammar menghadapi mereka dan memukul bagian muka unta-unta mereka. Maka Rasulullah bertutur kepada Hudzaifah: qad, qad (“Sudah, sudah.”)
Sehingga menelusuri jalan turun, dan setelah turun dari bukit, beliau turun dari unta. Setelah beliau turun, `Ammar menghampiri beliau. Lalu beliau berkata: “Hai `Ammar, apakah engkau mengenal orang-orang itu?”
`Ammar menjawab: “Aku mengenal seluruh binatang tunggangan mereka itu, sedangkan orang-orang itu semuanya bertopeng.”
Rasulullah bertanya: “Apakah engkau mengetahui apa yang mereka inginkan?”
“Allah dan kasul-Nya yang lebih tahu,” jawab ‘Ammar.
Beliau bertutur: “Mereka bermaksud mengagetkan hewan tunggangan Rasulullah saw, sehingga
mereka dapat melemparkannya ke jurang.”
Lebih lanjut Abu ath-Thufail bercerita, lalu `Ammar bertanya kepada salah seorang sahabat Rasulullah saw. berapakah jumlah Ashabul Aqabah (orang-orang yang berada di jalan pendakian bukit itu) yang engkau ketahui?” Ia menjawab: “Empat belas orang.” Lebih lanjut `Ammar mengatakan: “Jika engkau termasuk salah satu dari mereka, berarti mereka berjumlah lima belas orang.”
Maka Rasulullah menghitung tiga orang dari mereka, yang mengatakan: “Demi Allah, kami tidak mendengar penyeru Rasulullah saw dan kami tidak mengetahui apa yang diinginkan orang-orang tersebut (orang-orang yang mendaki jalan bukit itu).”
Lalu `Ammar pun berkata: “Aku bersaksi, bahwa dua belas orang lainnya (selain tiga orang di atas) memerangi Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan dunia dan pada hari dibangkitkannya para saksi.
Keshahihan kisah ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya kepada Abu ath-Thufail, ia menceritakan: Abu ath-Thufail memberitahu kami, ia mengatakan, antara seseorang dari kelompok ‘Aqabah dan Hudzaifah, terjadi peristiwa yang dialami itu. Kemudian ia bertanya: “Berapakah jumlah Ashabul Aqabah (yang berada di jalan pendakian bukit)?”
Kemudian ada suatu kaum yang mengatakan kepadanya: “Beritahukan kepadanya apa yang ditanyakan kepadamu.” Ia pun menjawab: “Kami beritahukan bahwa mereka berjumlah empat belas orang, jika engkau termasuk mereka, maka mereka berjumlah lima belas orang. Dan aku bersaksi dengan nama Allah, bahwa dua belas orang lainnya memerangi Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan dunia dan pada hari dibangkitkannya para saksi. Sedangkan yang tiga orang lainnya beralasan dengan mengatakan: “Kami tidak mendengar penyeru Rasulullah dan kami tidak mengetahui mengenai apa yang diinginkan oleh orang-orang tersebut (orang-orang yang melalui jalan ‘aqabah).”
Beliau berjalan di bawah terik matahari yang sangat panas, lalu berkata: “Sesungguhnya air sangat sedikit, sehingga tidak seorang pun boleh mendahuluiku ke sana.” Ternyata beliau mendapatkan suatu kaum yang telah mendahuluinya dan pada hari itu juga beliau melaknat mereka.
Firman-Nya: wa maa naqamuu illaa an aghnaa HumullaaHu wa rasuuluHuu min fadl-liHi (“Dan mereka tidak mencela [Allah dan Rasul-Nya], kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.”) Maksudnya, Rasulullah saw tidak bersalah kepada mereka, melainkan Allah membuat mereka kaya dengan berkah-Nya dan menganugerahkan kebahagiaan-Nya. Jika telah sempurna kebahagiaan atas mereka, niscaya Allah Ta’ala akan menunjukkan mereka kepada apa yang dibawa oleh Nabi saw.
Shighah (pengutaraan) ini dikemukakan, di mana tidak ada kesalahan Rasulullah saw. Yang demikian itu seperti firman-Nya yang artinya: “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu, melainkan hanya karena orang-orang itu beriman kepada Allah.” (QS. Al-Buruuj: 8)
Selanjutnya, Allah Tabaraka wa Ta ala menyeru mereka supaya bertaubat. Di mana Allah berfirman: fa iy yatuubuu yaku khairal laHum wa iy yatawallau yu’adz-dzibu HumullaaHu ‘adzaaban aliiman fid dun-yaa wal aakhirati (“Jika mereka bertaubat, maka yang demikian itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.”) Maksudnya, jika mereka masih terus menempuh jalan mereka [orang-orang munafik] niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang sangat pedih di dunia, yaitu berupa pembunuhan, kegoncangan dan kesusahan. Sedangkan di akhirat berupa adzab, siksaan, kehinaan dan kenistaan.
Wa maa laHum fil ardli miw waliyyiw wa laa nashiir (“Dan mereka sekali-sekali tidak mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di muka bumi.”) Yakni, mereka tidak mendapatkan seorang pun yang bisa menolong dan menyelamatkan mereka, tidak dapat memberikan kebaikan, serta tidak dapat menghindarkan mereka dari bahaya dan keburukan.
&
Tag:73-74, 9, agama islam, al bara'ah, Al-qur'an, at-taubah, ayat, bahasa indonesia, ibnu katsir, islam, religion, surah, surah al bara’ah, surah at taubah, surat, surat at taubah, tafsir, tafsir alquran, tafsir ibnu katsir