Tag Archives: 105

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah ayat 105

4 Nov

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah ayat 105
Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 105

“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya Serta orang orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.’” (At-Taubah ayat 105)

Mujahid mengatakan bahwa hal ini merupakan ancaman dari Allah terhadap orang-orang yang menentang perintah-perintah-Nya, bahwa amal perbuatan mereka kelak akan ditampilkan di hadapan Allah Swt. dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin. Hal ini pasti akan terjadi kelak di hari kiamat, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ}

Pada hari itu kalian akan dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah). (Al-Haqqah: 18)

{يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ}

Pada hari ditampakkan segala rahasia. (At-Thariq: 9)

{وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ}

Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada. (Al-‘Adiyat: 10)

Adakalanya Allah Swt. menampakkan hal tersebut kepada orang-orang di dunia ini, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad. Ia mengatakan:

حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا دَرَّاج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَعْمَلُ فِي صَخْرَةٍ صَماء لَيْسَ لَهَا بَابٌ وَلَا كُوَّة، لَأَخْرَجَ اللَّهُ عَمَلَهُ لِلنَّاسِ كَائِنًا مَا كَانَ”.

telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, telah menceritakan kepada kami Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa’id secara marfu’, dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Seandainya seseorang di antara kalian beramal di dalam sebuah batu besar, benda mati, tanpa ada pintu dan lubangnya, niscaya Allah akan mengeluarkan amalnya kepada semua orang seperti apa yang telah diamalkannya.

Telah disebutkan bahwa amal orang-orang yang masih hidup di­tampilkan kepada kaum kerabat dan kabilahnya yang telah mati di alam Barzakh, seperti apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, bahwa telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Dinar, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

“إن أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقْرِبَائِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ فِي قُبُورِهِمْ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا: “اللَّهُمَّ، أَلْهِمْهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِطَاعَتِكَ”.

Sesungguhnya amal-amal kalian ditampilkan kepada kaum kerabat dan famili kalian di dalam kubur mereka Jika amal perbuatan kalian itu baik, maka mereka merasa gembira dengannya. Dan jika amal perbuatan kalian itu sebaliknya, maka mereka berdoa, “Ya Allah, berilah mereka ilham (kekuatan) untuk mengamalkan amalan taat kepada-Mu.”

Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Sufyan, dari orang yang telah mendengarnya dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

“إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقَارِبِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ الْأَمْوَاتِ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا: اللَّهُمَّ، لَا تُمِتْهُمْ حَتَّى تَهْدِيَهُمْ كَمَا هَدَيْتَنَا”

Sesungguhnya amal-amal kalian ditampilkan kepada kaum kerabat dan famili kalian yang telah mati. Jika hal itu baik maka mereka bergembira karenanya; dan jika hal itu sebaliknya, maka mereka berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau matikan mereka sebelum Engkau beri mereka hidayah, sebagaimana Engkau telah memberi kami hidayah.”

Imam Bukhari mengatakan, Siti Aisyah pernah berkata bahwa apabila kamu merasa kagum dengan kebaikan amal seorang muslim, maka ucapkanlah firman-Nya: Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu. (At-Taubah: 105)

Dalam hadis terdapat hal yang semisal dengan asar di atas.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا حُمَيد، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَا عَلَيْكُمْ أَنْ تَعْجَبُوا بِأَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَ يُخْتَمُ لَهُ؟ فَإِنَّ الْعَامِلَ يَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ عُمُرِهِ -أَوْ: بُرهَة مِنْ دَهْرِهِ -بِعَمَلٍ صَالِحٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ لَدَخَلَ الْجَنَّةَ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلًا سَيِّئًا، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْبُرْهَةَ مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ سَيِّئٍ، لو مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ النَّارَ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلًا صَالِحًا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ”. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ: قَالَ: “يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ ثُمَّ يَقْبِضُهُ عَلَيْهِ”

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Janganlah dahulu kalian merasa kagum dengan (amal) seseorang sebelum kalian melihat apa yang diamalkannya pada penghujung usianya. Karena sesungguhnya seseorang melakukan amalnya pada suatu masa atau suatu hari dari usianya dengan amal yang saleh. Seandainya ia mati dalam keadaan mengamalkannya, niscaya ia masuk surga. Akan tetapi keadaannya berubah, ia mengamalkan amalan yang buruk. Dan sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan suatu amal buruk dalam suatu saat dari usianya. Seandainya ia mati dalam keadaan mengamalkannya, niscaya ia masuk neraka. Tetapi keadaannya berubah, lalu ia mengamalkan amalan yang saleh. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia memberikan dorongan kepadanya untuk beramal sebelum matinya.Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah caranya Al­lah memberikan dorongan untuk beramal kepadanya?” Rasulullah Saw. bersabda, “Allah memberinya taufik (bimbingan) untuk melakukan amal saleh, kemudian Allah mencabut nyawanya dalam keadaan demikian.”

Hadis dengan melalui jalur ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 105

3 Nov

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 105
Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 105

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kalian kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (al-Maaidah: 105)

Allah berfirman, memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar mereka memperbaiki diri dan mengerjakan kebaikan dengan segala kemampuan dan kekuatan yang mereka miliki. Allah memerintahkan agar mereka berbuat demikian seraya memberitahukan kepada mereka bahwa ‘barang siapa yang memperbaiki urusannya, maka tidak dapat membahayakannya kerusakan yang menimpa diri orang lain, baik dia sebagai kerabatnya ataupun orang yang jauh darinya’.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa Allah berfirman, “Apabila seseorang hamba taat kepada-Ku dalam apa yang Kuperintahkan kepadanya —yaitu perkara halal— dan apa yang Aku larang dia darinya —yaitu perkara haram—, maka tidak akan membahayakannya kesesatan yang dialami oleh orang lain sesudahnya, bilamana ia terus-menerus mengerjakan semua hal yang Aku perintahkan kepadanya.” Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Walibi, dari Ibnu Abbas. Demikian pula yang dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan.

Firman Allah Swt.:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ}

Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. (Al-Maidah: 105)

Lafaz anfusakum dinasabkan karena mengandung makna igra yakni anjuran.

{لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}

Tiadalah orang yang sesat itu akan memberikan mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk Hanya kepada Allah kalian kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan. (Al-Maidah: 105)

Yakni Allah akan membalas setiap orang yang beramal sesuai dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya baik; dan jika amal perbuatannya buruk, balasannya buruk pula.

Ayat ini sama sekali tidak mengandung pengertian yang membolehkan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Dengan kata lain, amar ma’ruf dan nahi munkar tetap dilaksanakan jika pelaksanaannya memungkinkan.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ:حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا زُهَيْر -يَعْنِي ابْنَ مُعَاوِيَةَ-حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، حَدَّثَنَا قَيْس قَالَ: قَامَ أَبُو بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ تَقْرَؤُونَ هَذِهِ الْآيَةَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} إِلَى آخَرِ الْآيَةِ، وَإِنَّكُمْ تَضَعُونَهَا عَلَى غَيْرِ مَوْضِعِهَا، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ وَلَا يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، أَنْ يَعُمَّهُمْ بعِقَابه”. قَالَ: وَسَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِيَّاكُمْ والكَذِب، فَإِنَّ الْكَذِبَ مُجَانِبُ الْإِيمَانَ.

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Zuhair (yakni Ibnu Muawiyah), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Khalid, telah menceritakan kepada kami Qais, bahwa Khalifah Abu Bakar berkhotbah; ia memulainya dengan memanjatkan puja dan puji serta syukur kepada Allah, kemudian menyerukan kepada orang-orang, “Hai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini,” yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk (Al-Maidah: 105) Tetapi kalian menempatkan pengertiannya bukan pada tempat yang sebenarnya. Dan sesungguhnya aku (Abu Bakar r.a.) pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya manusia itu apabila melihat perkara munkar; lalu mereka tidak mencegahnya, maka dalam waktu yang dekat Allah Swt. akan menurunkan siksa-Nya kepada mereka semua. Qais mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar r.a. berkata, “Hai manusia, hindarilah oleh kalian perbuatan dusta, karena sesungguhnya dusta itu bertentangan dengan iman.”

Asar ini telah diriwayatkan oleh Ashabus Sunan yang empat dan Ibnu Hibban di dalam kitab Sahih-nya serta lain-lainnya melalui berbagai jalur yang cukup banyak dari sejumlah perawi yang banyak melalui Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafaz yang sama secara muttasil lagi marfu. Di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Ismail ibnu Abu Khalid secaramauquf hanya sampai pada Abu Bakar r.a.

Tetapi Imam Daruqutni dan lain-lainnya men-tarjih predikat marfu-nya, dan kami telah menyebutkan semua jalurnya. Pembahasan mengenainya cukup panjang lebar disebutkan di dalam musnad Abu Bakar As-Siddiq.

قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَعْقُوبَ الطَالَقَاني، وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، حَدَّثَنَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ جَارِيَةَ اللَّخْمِيُّ، عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ الشَّعْباني قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا ثَعْلَبَةَ الخُشَنِي فَقُلْتُ لَهُ: كَيْفَ تَصْنَعُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ؟ فَقَالَ: أيَّة آيَةٍ؟ قُلْتُ: قَوْلُهُ [تَعَالَى] {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} فَقَالَ: أَمَا وَاللَّهِ لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْهَا خَبِيرًا، سألتُ عَنْهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “بَلِ ائْتَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ، وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحّا مُطاعًا، وهَوًى مُتَّبعًا، وَدُنْيَا مُؤْثَرة، وإعجابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ، وَدَعِ الْعَوَامَّ، فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ القَبْضِ عَلَى الجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مثلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ كَعَمَلِكُمْ” -قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: وَزَادَ غَيْرُ عُتْبَةَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَجْرُ خَمْسِينَ رَجُلًا مِنْهُمْ أَوْ مِنَّا؟ قَالَ: “بَلْ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ”.

Abu Isa At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Ya’qub At-Taliqani, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Atabah ibnu Abu Hakim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Jariyah Al-Lakhami, dari Abu Umayyah Asy-Sya’bani yang mengatakan bahwa ia pernah datang kepada Abu Sa’labah Al-Khusyani, lalu bertanya kepadanya, “Bagaimanakah sikapmu terhadap ayat ini (Al-Maidah: 105)?” Abu Sa’labah bertanya, “Ayat apakah yang kamu maksudkan?” Ia menjawab, “Yang kumaksud adalah firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk’ (Al-Maidah: 105).” Abu Sa’labah menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya kamu menanya­kannya kepada orang yang mengetahuinya. Aku pernah menanyakannya kepada Rasulullah Saw., maka beliau Saw. bersabda:’Tidak, tetapi tetaplah ber-amar ma’ruf dan bernahi munkar hingga kamu melihat sifat kikir ditaati, hawa nafsu diikuti, duniawi dipentingkan(diprioritaskan), dan setiap orang merasa kagum dengan pendapatnya sendiri, maka (saat itulah) kamu harus memperhatikan dirimu sendiri dan tinggalkanlah orang-orang awam. Karena sesungguhnya di balik itu kalian akan mengalami berbagai macam cobaan, yaitu di hari-hari di mana orang yang bersikap sabar dalam menjalani masa itu sama dengan seseorang yang menggenggam bara api. Orang yang beramal (kebaikan) di masa itu beroleh pahala semisal dengan pahala lima puluh orang lelaki yang beramal seperti amal kalian”. Abdullah ibnul Mubarak mengatakan bahwa yang lainnya selain Atabah menambahkan seperti berikut: Bahwa ketika ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah pahala lima puluh orang lelaki itu dari kalangan kami ataukah dari kalangan mereka?” Rasulullah Saw. menjawab: Tidak, bahkan pahala lima puluh orang dari kalian.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib sahih.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui jalur Ibnul Mubarak. Dan Ibnu Majah, Ibnu Jarir serta Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya dari Atabah ibnu Abu Hakim.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Al-Hasan, bahwa Ibnu Mas’ud r.a. pernah ditanya oleh seorang lelaki mengenai makna firman-Nya: Jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk (Al-Maidah: 105) Maka Ibnu Mas’ud menjawab, “Sesungguhnya sekarang bukan masanya, sesungguhnya kalau sekarang masih dapat diterima, tetapi kelak dalam waktu yang dekat akan datang masanya, yaitu di saat kalian melakukan amar ma’ruf, lalu kalian dikerjai dengan cara anu dan anu. Atau amar ma’ruf kalian tidak diterima, maka saat itulah kalian harus menjaga diri kalian sendiri, dan tidak akan membahayakan kalian orang yang telah sesat.”

Abu Ja’far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi’, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Mas’ud sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian. (Al-Maidah: 105), hingga akhir ayat. Abul Aliyah mengatakan bahwa saat itu mereka sedang duduk di hadapan Abdullah ibnu Mas’ud, kemudian terjadilah suatu pertengkaran di antara dua orang lelaki yang hadir, hingga masing-masing dari kedua belah pihak bangkit mendamprat lawannya. Maka seorang lelaki dari ka­langan orang-orang yang duduk didekat Ibnu Mas’ud berkata, “Apakah aku harus bangkit untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap keduanya?” Sedangkan orang lain yang duduk di dekatnya mengatakan, “Jagalah dirimu saja, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: jagalah diri kalian (Al-Maidah: 105). Ibnu Mas’ud mendengar perkataannya itu, maka ia mengatakan, “Hus, penakwilan seperti itu masih belum tiba masanya. Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan seperti apa adanya; sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang telah berlalu takwilnya sebelum diturunkan, sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang telah terjadi takwilnya di masa Rasulullah Saw., sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang telah terjadi takwilnya sesudah masa Nabi Saw. dalam jarak waktu yang tidak lama, sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang takwilnya baru ada sesudah hari ini, sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang takwilnya nanti di saat hari kiamat, yaitu yang menceritakan perihal hari kiamat; dan sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang takwilnya baru ada pada hari hisab, yaitu ayat-ayat yang menuturkan masalah hisab, surga, dan neraka. Selagi kalbu kalian bersatu dan kecenderungan kalian sama, keadaan kalian masih belum berpecah belah menjadi banyak golongan, dan sebagian dari kalian tidak menyerang sebagian yang lain, maka ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar-lah kalian. Tetapi apabila kalbu kalian dan kecenderungan kalian telah berbeda-beda, kalian telah terbagi-bagi menjadi banyak golongan serta sebagian dari kalian menyerang sebagian yang lain, maka seseorang harus menjaga dirinya masing-masing. Dan bila masa ini tiba, berarti takwil ayat ini telah terjadi.”

Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Syababah ibnu Siwar, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi’ ibnu Sahlh, dari Sufyan ibnu Iqal yang menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Umar, “Sebaiknya engkau tetap duduk di masa-masa sekarang ini, jangan ber­-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk’ (Al-Maidah: 105).” Maka Ibnu Umar berkata, “Sesungguhnya makna ayat ini bukan ditujukan kepadaku, tidak pula kepada murid-muridku, karena Rasulullah Saw. telah bersabda: Ingatlah hendaklah orang yang hadir menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir. Maka kamilah yang dimaksud dengan orang-orang yang hadir, dan kalian adalah orang-orang yang absen (karena masih belum ada). Tetapi ayat ini ditujukan kepada kaum-kaum yang datang sesudah kita, yaitu jikalau mereka melakukan amar ma’ruf ‘dan nahi munkar tidak diterima.”

Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far dan Abu Asim; mereka berdua mengatakan, telah menceri­takan kepada kami Auf, dari Siwar ibnu Syabib yang menceritakan bahwa ketika ia berada di hadapan sahabat Ibnu Umar, tiba-tiba ia kedatangan seorang lelaki yang bermata tajam dan berlisan ke­ras, lalu lelaki itu berkata, “Hai Abu Abdur Rahman, ada enam orang ikut bergabung dengan pasukan, semuanya telah membaca Al-Qur’an dan melakukannya dengan cepat, semuanya ahli dalam ijtihad tanpa mengenal lelah, dan semuanya tidak suka melakukan perbuatan yang rendah melainkan hanya kebaikan saja yang mereka lakukan. Tetapi sekalipun demikian, sebagian dari mereka mempersaksikan sebagian yang lain melakukan perbuatan yang musyrik.” Lalu ada seseorang lelaki dari para hadirin berkata, “Kerendahan apa lagi yang engkau maksudkan bila sebagian dari mereka mempersaksikan sebagian yang lain melakukan perbuatan yang musyrik. Tiada yang lebih parah daripada itu?” Kemudian lelaki yang bermata tajam itu menjawab, “Sesungguhnya aku tidak bertanya kepadamu, melainkan aku bertanya kepada guru ini.” Lalu ia mengulangi kisah tersebut kepada Abdullah ibnu Umar. Maka barulah Abdullah ibnu Umar menjawab, “Barangkali kamu menduga bahwa aku akan menyuruhmu untuk pergi memerangi mereka. Tidak, tetapi nasihatilah mereka dan cegahlah mereka. Dan jika mereka tidak menurutimu, maka jagalah dirimu sendiri. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. (Al-Maidah; 105), hingga akhir ayat.”

Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadanya Ahmad ibnul Miqdam, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir ibnu Sulaiman; ia pernah mendengar ayahnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Abu Mazin yang menceritakan bahwa ia berangkat menuju ke Madinah di masa Khalifah Usman. Dan ia menjumpai suatu kaum dari kalangan orang-orang muslim sedang duduk-duduk, lalu seseorang dari mereka membaca firman-Nya: jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian. (Al-Maidah: 105) Lalu kebanyakan dari mereka mengatakan, “Takwil ayat masih belum ada di masa sekarang ini.”

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudalah, dari Mu’awiyah ibnu Saleh, dari Jubair ibnu Nafir yang mengatakan bahwa ia pernah berada di tengah halqah sahabat-sahabat Rasulullah Saw., dan dia adalah orang yang paling muda di antara kaum yang hadir. Kemudian mereka membicarakan perihal amar ma’ruf dan nahi munkar. Maka Jubair (perawi) mengatakan, “Bukankah Allah Swt. telah berfirman di dalam kitab-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk (Al-Maidah: 105) Maka dengan spontan mereka menyerangku dengan kalimat yang sama, ‘Kamu memetik suatu ayat dari Al-Qur’an, sedangkan kamu masih belum memahaminya dan belum mengetahui takwilnya.’ Jawaban tersebut membuat aku merasa menyesal akan kata-kata yang telah kulontarkan tadi. Kemudian mereka kembali berbincang-bincang; dan ketika pertemuan mereka akan bubar, maka mereka berkata (kepadaku), ‘Sesungguhnya kamu adalah seorang pemuda yang masih remaja, dan kamu telah memetik sebuah ayat tanpa mengetahui maknanya. Tetapi mudah-mudahan kamu bakal mengalami masa tersebut, yaitu apabila kamu melihat sifat kikir ditaati, hawa nafsu diikuti, dan setiap orang merasa kagum dengan pendapatnya sendiri; maka jagalah dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kesesatan orang yang sesat apabila kamu mendapat petunjuk’.”

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Damrah ibnu Rabi’ah, bahwa Al-Hasan membaca firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk. (Al-Maidah: 105) Maka Al-Hasan berkata, “Segala puji bagi Allah dengan adanya ayat ini, dan segala puji bagi Allah berkat ayat ini. Tidak sekali-kali seorang mukmin —baik di masa lalu maupun di masa mendatang— melainkan di sisinya akan ada seorang munafik yang membenci amal perbuatannya.”

Sa’id ibnul Musayyab mengatakan, “Apabila engkau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka tidak akan memberi mudarat kepadamu kesesatan orang yang sesat apabila kamu telah mendapat petunjuk.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui jalur Sufyan As-Sauri, dari Abul Umais, dari Abul Bukhturi, dari Huzaifah dengan lafaz yang semisal. Hal yang sama telah dikatakan bukan hanya oleh seseorang dari kalangan ulama Salaf.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Luhai’ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Ka’b sehubungan dengan makna firman-Nya: jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk. (Al-Miidah: 105) Bahwa apabila gereja Dimasyq (Damaskus) diruntuhkan, lalu dijadikan masjid, dan kain ‘a’sab mulai dipakai, maka pada saat itulah takwil ayat ini.

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 103-105

1 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 103-105“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Hari Kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). (QS. 11:103) Dan kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. (QS. 11:104) Dikala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. (QS. 11:105)” (Huud: 103-105)

Allah berfirman, sesungguhnya dalam pembinasaan yang Kami lakukan terhadap orang-orang kafir dan penyelamatan Kami terhadap orang-orang mukmin; la aayatan (“Terdapat pelajaran.”) Maksudnya, sebagai nasehat dan pelajaran atas kebenaran janji Kami di akhirat. Dan firman-Nya: dzaalika yaumum majmuu’ul laHun naasu (“Hari kiamat itu adalah hari yang semua manusia dikumpulkan untuk [menghadapi]nya.”) Maksudnya, dikumpulkan dari mulai manusia yang pertama diciptakan sampai manusia yang terakhir. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.” (QS. Al-Kahfi: 47)

Dzaalika yaumum masyHuud (“Dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan [oleh segala makhluk].”) Maksudnya, hari yang besar, yang dihadiri oleh para Malaikat dan berkumpul seluruh Rasul, di mana dikumpulkan seluruh makhluk mulai manusia, jin, burung, binatang buas, bahkan semua makhluk yang melata.

Dan firman-Nya: wa maa mu-akhkhiruHuu illaa li-ajalim ma’duud (“Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.”) Maksudnya, Kami tidak mengundurkan terjadinya hari Kiamat, karena telah terdahulu ketetapan Allah dalam mewujudkan manusia dengan jumlah yang telah ditentukan dari anak cucu Adam as. dan dalam masa yang telah ditentukan lamanya. Maka apabila waktu tersebut telah habis masanya dan keberadaan mereka yang keseluruhannya itu telah ditentukan dan telah terealisasi, maka terjadilah hari Kiamat.

Untuk itu Allah Ta’ala berfirman: wa maa mu-akhkhiruHuu illaa li-ajalim ma’duud (“Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.”) maksudnya untuk masa yang sudah ditentukan, tidak diundur dan tidak dimajukan.

Yauma ya’ti laa yatakallamu nafsun illaa bi-idzniHi (“Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang bicara, melainkan dengan izin-Nya.”) Maksudnya, pada hari kedatangan hari Kiamat, tidak seorang pun dapat berbicara kecuali dengan izin Allah, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Rabb yang pemurah, dan ia mengucapkan kata yang benar.” (QS. An-Naba’: 38)

Dalam ash-shahihain dalam hadits tentang syafa’at: “Tidak berbicara pada hari itu kecuali para Rasul, dan do’anya para Rasul hari itu adalah: ‘Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.”‘

Dan firman-Nya: wa minHum syaqiyyuw wa sa’iid (“Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia.”) maksudnya di antara mereka yang berkumpul ada yang velaka dan ada yang beruntung. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (QS. Asy-Syuura: 7)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 105-107

27 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 105-107“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka berpaling daripadanya. (QS. 12:105) Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan ilah-ilah lain). (QS. 12:106) Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka, atau dari kedatangan Kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya. (QS. 12:107)” (Yusuf: 105-107)

Allah memberitahukan bahwa kebanyakan manusia lalai berfikir tentang ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah dan dalil-dalil keesaan-Nya dengan berbagai macam ciptaan Allah di langit dan di bumi, berupa bintang-bintang yang berkerlap-kerlip cemerlang yang tetap maupun yang berjalan, dan falak yang berputar dalam peredarannya, yang semuanya dikendalikan oleh Allah. Betapa banyak di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun dan taman, gunung-gunung yang tegak kuat, lautan yang mengandung banyak kekayaan, gelombang yang saling menghantam, dan padang kering yang luas.

Dan berapa banyak makhluk yang hidup dan yang mati, binatang dan tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang serupa tetapi berbeda-beda rasanya, baunya, warnanya, dan sifatnya. Mahasuci Allah yang Mahaesa, Pencipta segala makhluk, satu-satunya yang kekal, abadi, dan tempat berlindung dan Esa dalam nama dan sifat-sifat-Nya, dan lain-lainnya.

Firman Allah: wa maa yu’minu aktsaruHum billaaHi illaa wa Hum musyrikuun (“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Alah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah [dengan ilah-ilah lain].”) Ibnu `Abbas berkata: “Di antara iman mereka adalah apabila mereka ditanya: ‘Siapakah yang menciptakan langit, siapakah yang menciptakan bumi, siapakah yang menciptakan gunung-gunung mereka pasti menjawab, `Allah.’ Sedangkan mereka tetap menyekutukan (musyrik) kepada Allah.”

Mujahid, `Atha’, `Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah, adh-Dhahhak, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan seperti itu juga.

Disebutkan dalam shahih al-Bukhari dan shahih Muslim, bahwa orang-orang musyrik mengatakan dalam talbiyah mereka: “Aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang memang dia milik-Mu. Engkau memilikinya dan apa yang dimilikinya.” Disebutkan dalam shahih Muslim bahwa bila mereka mengatakan: “Aku memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu,” Rasulullah bersabda: “Cukup, cukup, jangan kalian tambah lagi!”

Allah berfirman: innasy syirka ladhulmun ‘adhiim (“Sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kedhaliman yang besar.”) Ini adalah syirik besar, yaitu beribadah kepadia Allah juga kepada ilah yang lain.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud, aku bertanya kepada Rasulullah saw: “Apakah dosa yang paling besar?” Beliau menjawab: “Kamu menjadikan sekutu bagi Allah, sedang Dia-lah yang menciptakanmu.”

Al-Hasan al-Bashri mengatakan tentang firman Allah: wa maa yu’minu aktsaruHum billaaHi illaa wa Hum musyrikuun (“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Alah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah [dengan ilah-ilah lain].”) yang dimaksud adalah orang munafik, kalau ia berbuat sesuatu, hal itu karena pamer (riya’) kepada orang lain, dengan demikian ia mempersekutukan Allah dalam amal perbuatannya tadi, sebagaimana firmanAllah:

“Sesunggubnya orang-orang munafik itu menipu Allah, sedang Allah menipu mereka. Bila mereka mengerjakan shalat mereka mengerjakannya dengan malas-malasan, mereka pamer (riya) kepada orang lain dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” (QS. An-Nisaa’: 142)

Kemudian macam lain dari syirik yaitu syirik yang tersembunyi yang biasanya tidak dirasakan (disadari) oleh pelakunya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah dari `Ashim bin Abi an-Najud, dari `Urwah ia berkata: “Hudzaifah menjenguk seorang yang sakit dan ia melihat ikatan pada pangkal lengannya, maka ia memotong, atau melepaskannya, lalu berkata: wa maa yu’minu aktsaruHum billaaHi illaa wa Hum musyrikuun (“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Alah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah [dengan ilah-ilah lain].”)

Disebutkan dalam hadits bahwa: “Barangsiapa bersumpah selain dengan nama Allah, maka dia telah berbuat syirik (mempersekutukan Allah).” Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibnu `Umar, dan dinilainya sebagai hadits hasan.

Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain dari Ibnu Masud ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ar-ruqa’ (mantra/jampi), at-tamaim (jimat untuk menolak hasad) dan at-tiwalah (sihir pengasih) itu adalah perbuatan syirik (mempersekutukan Allah).”

Keduanya juga meriwayatkan dengan lafazh lain: “Thiyarah (berfirasat buruk, merasa bernasib sial) itu adalah perbuatan syirik, tidak ada orang di antara kita yang tidak melakukannya, tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.”

Riwayat Imam Ahmad lebih luas (lengkap) lagi. Dari Zainab, isteri `Abdullah bin Mas’ud berkata: “Setiap kali `Abdullah pulang dari suatu keperluan, sesampainya di pintu ia berdehem dan meludah supaya tidak ada di antara kami yang tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan.” Zainab berkata: “Pada suatu hari ia datang dan berdehem seperti biasanya, sedang di rumah ada seorang wanita tua yang sedang mengobatiku dari merah-merah (di kulitku), maka ia segera kumasukkan (sembunyikan) di bawah tempat tidur. `Abdullah pun masuk dan duduk di sampingku dan melihat benang melingkar di leherku.” Ia bertanya: “Benang apa ini?” Aku menjawab: “Ini benang ruqyah untukku.” Maka ia segera memutuskannya sambil berkata: “Sesungguhnya keluarga `Abdullah tidak memerlukan perbuatan syirik, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya ar-ruqa’, at-tamaim, dan at-tiwalah itu perbuatan syirik (mempersekutukan Allah).’” Aku bertanya kepadanya: “Mengapa engkau mengatakan demikian, padahal dulu mataku pernah sakit, lalu aku pergi kepada seorang Yahudi untuk mengobatinya dengan ruqyah, dan setelah diobati pun sembuh.” Ia menjawab: “Hal itu disebabkan oleh syaitan, ia mencolok (matamu)
itu dengan tangannya, maka jika dijampinya, syaitan pun berhenti mengganggu matamu. Cukuplah bagimu mengatakan seperti yang dikatakan Rasulullah saw: ‘Hilangkanlah penyakit, wahai Rabb manusia, sembuhkanlah, karena Engkau-lah penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali (dengan) kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit apapun.”

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari `Isa bin `Abdurrahman berkata: Saya masuk ke tempat `Abdullah bin `Ukaim yang sedang sakit untuk menjenguknya. Lalu, ada orang yang menasehatinya supaya mengalungkan sesuatu pada lehernya. Maka ia berkata: “Bagaimana aku mengalungkan sesuatu, sedang Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mengalungkan sesuatu, maka ia dibuat bergantung kepadanya.’

Hadits ini juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Abu Hurairah ra. Disebutkan dalam Musnad al-Imam Ahmad dari `Uqbah bin `Amir, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mengalungkan tamimah (jimat untuk menolak hasad dan lain-lain), maka dia telah berbuat syirik (mempersekutukan Allah).”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka Allah tidak menyempurnakan (kesembuhan) baginya, dan barangsiapa menggantungkan wada’ah (sejenis jimat), maka Allah tidak memberikan ketenangan baginya.”

Dan hadits dari al-‘Ala’, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Allah berfirman: `Aku adalah sekutu yang paling kaya, tidak memerlukan sekutu lagi. Barangsiapa berbuat suatu amal perbuatan dan ia menyekutukan-Ku dengan yang lain, maka akan Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.’” (Hadits diriwayatkan oleh Muslim)

Dari Mahmud bin Labid, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan atas diri kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: “Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu riya’ (pamer), Allah pada hari Kiamat nanti, ketika membalas amal perbuatan manusia, mengatakan: `Pergilah kepada orang-orang yang kalian pameri waktu di dunia dahulu, dan lihatlah apakah mereka menyediakan balasan untuk kalian?’”) Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

A fa aminuu an ta’tiyaHum ghaasyiyatum min ‘adzaabillaaHi (“Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah”) maksudnya, apakah orang-orang yang mempersekutukan Allah itu merasa aman dari kedatangan sesuatu yang meliputi mereka, sedang mereka tidak menyadarinya.

Ini seperti firman Allah Ta’ala yang artinya: “Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu merasa aman jika Allah melenyapkan bumi ini, atau (merasa aman dari) kedatangan siksa secara mendadak yang tidak mereka sadari?” (QS. An-Nahl: 45)

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 105-106

14 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 105-106“Dan Kami turunkan (al-Qur’an itu) dengan sebenar-benarnya dan al-Qur’an telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (QS. 17: 105) Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. 17:106)” (al-Israa’: 105-106)

Allah berfirman seraya memberitahukan tentang Kitab-Nya yang mulia, yakni al-Qur’an. Sesungguhnya ia diturunkan dengan sebenar-benarnya, yakni mengandung kebenaran, sebagaimana yang difirmankan-Nya berikut ini: “[Mereka tidak mengakui yang diturunkan kepadamu itu], tetapi Allah mengakui al-Qur’an yang Dia turunkan kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para Malaikat pun menjadi saksi pula.” (QS. An-Nisaa’: 166)

Yakni, mengandung ilmu Allah yang memang dikehendaki-Nya untuk diperlihatkan kepada kalian, berupa hukum-hukum-Nya, perintah-Nya dan larangan-Nya.

Firman-Nya: wa bil haqqi nazala (“Al-Qur’an itu datang dengan membawa kebenaran,”) yakni, al-Qur’an itu turun kepadamu, hai Muhammad, dalam keadaan terpelihara dan terjaga, dan tidak akan pernah tercampur baur oleh hal-hal lainnya, tidak ada pengurangan dan penambahan, tetapi ia turun kepadamu benar-benar membawa kebenaran. Kitab itu dibawa turun oleh Jibril yang mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat, jujur, penuh ketaatan, di Mala-ul A’la (alam Malaikat).

Firman-Nya lebih lanjut: wa maa arsalnaaka (“Dan Kami tidak mengutusmu,”) hai Muhammad; illaa mubasysyiraw wa nidziiran (“Melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.”) Yakni, pembawa berita gembira bagi orang-orang mukmin yang mentaatimu, dan pemberi peringatan bagi orang-orang kafir yang menentangmu.

Firman Allah Ta’ala: wa qur-aanan faraqnaaHu (“Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur.”) Adapun bacaan orang yang membaca dengan takhfif tanpa faraqnaa, maka artinya adalah Kami pisahkan Kitab itu dari Lauhil Mahfuzh ke Baitul `Izzah di langit dunia. Kemudian diturunkan kepada Rasulullah secara berangsur-angsur dan teratur sesuai dengan peristiwa yang terjadi selama dua puluh tiga tahun. Demikian yang dikemukakan oleh `Ikrimah dari Ibnu `Abbas. Dari Ibnu `Abbas juga, bahwa ia membaca dengan menggunakan tasydid (farraqnaa) yang berarti Kami turunkan Kitab itu ayat demi ayat disertai dengan penjelasan dan penafsiran.

Oleh karena itu, Dia berfirman: litaqra-aHuu ‘alan naasi (“Agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia.”) Maksudnya, supaya kamu menyampaikan dan membacakannya kepada umat manusia. ‘alaa muktsiw wa nazzalnaaHu tanziilan (“Dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”) Yakni, datang dengan tenggang waktu dan sedikit demi sedikit.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 104-105

25 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 104-105Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Nabi Muhammad saw.): “Raa’ina”(a), tetapi katakanlah. “Unzhurna,” dan “dengarlah.” Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS. Al-Baqarah: 104) Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Baqarah: 105)

Allah melarang hamba-hamba-Nya menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Karena orang-orang Yahudi (semoga laknat Allah atas mereka) senang bermain kata-kata yang mempunyai arti samar dengan maksud untuk mengurangi makna yang dikandungnya. Jika mereka hendak mengatakan: “Dengarlah kami,” maka mereka mengatakan:
“raa’ina, padahal yang dimaksudkan adalah ru’unah (sangat bodoh). Sebagaimana firman Allah Tabaraka wa Ta’ala yang artinya sebagai berikut ini:

“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempatnya. Mereka berkata: ‘Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya (b). Dan (mereka mengatakan pula): Dengarlah,’ padahal sebenarnya kamu tidak mau mendengar apa-apa (c). Dan mereka mengatakan: Raa’ina,’ dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: Kami mendengar dan patuh. Dengar dan perhatikanlah kami.’ Maka yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (QS. An-Nisaa’: 46).

(a) “raa’inaa” berarti sudilah kiranya engkau memperlihatkan kami. Pada saat para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang-orang Yahudi pun memakai pula kata, ini dan digunakan seakan-akan menyebut “raa’inaa” padahal yang mereka maksudkan adalah “ra’uunatun” yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan bagi Rasulullah saw. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para sahabat menukar kata “raa’inaa” dengan kata “undzurnaa” yang mempunyai arti yang sama.-Pent.
(b) Maksudnya; mereka mengatakan: “Kami mendengar,” padahal hati mereka mengatakan:
“Kami tidak mau menuruti.”-Pent.
Maksudnya; mereka mengatakan: “Dengarlah,” tetapi hati mereka mengatakan: “Mudah-mudahan kamu tidak dapat mendengar (tuli).”‘Pent.

Banyak juga hadits yang menceritakan mengenai diri mereka ini. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa jika orang-orang Yahudi itu mengucapkan salam, sebenarnya yang mereka ucapkan adalah: “as-saamu ‘alaikum” (semoga kematian menimpa kalian). “as-saamu” berarti kematian. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk membalas salam yang mereka sampaikan dengan mengucapkan: “wa’alaikum” (dan juga atasmu) supaya dengan demikian ucapan kita kepada mereka dikabulkan sedangkan ucapan mereka kepada kita tidak dikabulkan. Maksudnya bahwa Allah melarang orang-orang mukmin menyerupai orang-orang kafir baik dalam ucapan maupunperbuatan.

Dia berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa taquuluu raa’inaa wa quulundhurnaa wasma’uu wa lil kaafiriina ‘adzaabun aliim (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan: “Raa’ina”, tetapi katakanlah. “Unzhurna,” dan “dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Munif, dari Ibnu Umar, ia menceritakan, Rasulullah bersabda: “Aku diutus menjelang kiamat dengan membawa pedang sehingga hanya Allah yang diibadahi yang tiada sekutu bagi-Nya. Rizkiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyalahi perintahku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad)

Abu Daud juga meriwayatkan dari Utsman bin Abi Syaibah, dari Abu an-Nadhr Hasyim, Ibnu Qasim memberitahu kami, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Abu Daud)

Hadits tersebut mengandung larangan keras sekaligus ancaman terhadap tindakan menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, perayaan hari-hari besar, dan ibadah mereka, maupun hal lainnya yang sama sekali tidak pernah disyari’atkan dan tidak kita akui keberadaannya.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Ayahku pernah bercerita kepadaku, ada seseorang yang mendatangi Abdullah Ibnu Mas’ud dan menuturkan, `Ajarilah aku.’ Maka Ibnu Mas’ud berujar, `Jika engkau mendengar Allah berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanuu (“Hai orang-orang yang beriman”) maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena itu adalah suatu kebaikan yang diperintahkan-Nya atau keburukan yang dilarang-Nya.”

Mengenai firman-Nya: raa’inaa; Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Maksudnya arahkanlah pendengaranmu pada kami.”

Berkenaan dengan firman-Nya: yaa ayyuHal ladziina aamanu laa taquuluu raa’inaa (“Hai orang-orang yang berimana, janganlah kalian mengatakan “raa’inaa”) dari Ibnu Abbas, adh-Dhahhak meriwayatkan: “Orang-orang Yahudi itu mengatakan kepada Rasulullah saw., ‘Pasanglah baik-baik pendengaranmu kepada kami.’ Sesungguhnya ucapan “raa’inaa” sama dengan “’aathinaa”

“Janganlah kalian mengatakan “raa’inaa” artinya janganlah kalian mengatakan sesuatu yang berbeda.”

Dalam suatu riwayat disebutkan, janganlah kalian mengatakan, dengarlah kami maka kami akan mendengarmu.

As-Suddi mengatakan, “Ada seorang Yahudi dari Bani Qainuqa’ yang dipanggil dengan nama Rifa’ah bin Zaid. la mendatangi Rasulullah, ketika bertemu beliau, ia mengatakan, `Pasanglah pendengaranmu dan dengarlah, sesungguhnya kamu tidak mendengar.”‘

Orang-orang muslim mengira bahwa para nabi itu diagungkan dengan ucapan itu. Beberapa orang dari mereka mengatakan: “Dengarlah, sebenarnya engkau tidak mendengar dan tidak hina.” Yang demikian itu seperti yang terdapat dalam surat an-Nisaa’. Kemudian Allah mengemukakan kepada orang-orang mukmin agar tidak mengatakan “raa’inaa”. Hal senada juga dikatakan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.

Dari Ibnu Jarir mengemukakan, “Menurut kami, pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa Allah Ta’ala melarang orang-orang mukmin mengatakan kepada nabi-Nya, Muhammad saw., “raa’inaa” karena hal itu merupakan kata yang tidak disukai Allah Ta’ala untuk diucapkan kepada nabi-Nya

Dan firman-Nya: maa yawaddul ladziina kafaruu min aHlil kitaabi wa lal musy-rikiina ay yunazzala ‘alaikum min khairim mir rabbikum (“Orang-orang kafir dari ahlul kitab din orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu.”) Allah mengungkapkan betapa sengit dan kerasnya permusuhan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan orang-orang Musyrik terhadap orang-orang Mukmin. Oleh karena itu kaum mukminin diperingatkan oleh Allah Ta’ala agar tidak menyerupai mereka, supaya dengan demikian terputus kasih sayang yang terjadi di antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir dan musyrik tersebut. Selain itu, Allah Ta’ala juga mengingatkan nikmat yang telah dikaruniakan kepada orang-orang mukmin berupa syari’at yang sempurna dan lengkap yang telah disyari’atkan kepada Nabi mereka, Muhammad Saw, di mana Dia berfirman: wallaaHu yakh-tashshu bi rahmatiHii may yasyaa-u wallaaHu dzul fadl-lil ‘adhiim. (“Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya [untuk diberi], rahmat-Nya [kenabian], dan Allah mempunyai karunia yang besar.”)

&

105. Surah Al-Fiil

4 Des

Pembahasan Tentang Surat-Surat Al-Qur’an (Klik di sini)
Tafsir Ibnu Katsir (Klik di sini)

Surat ini terdiri atas 5 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Al Kaafirun. Nama Al Fiil diambil dari kata Al Fiil yang terdapat pada ayat pertama surat ini, artinya gajah. Surat Al Fiil mengemukakan cerita pasukan bergajah dari Yaman yang dipimpin oleh Abrahah yang ingin meruntuhkan Ka’bah di Mekah. Peristiwa ini terjadi pada tahun Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan.

Pokok-pokok isinya:
Cerita tentang pasukan bergajah yang diazab oleh Allah s.w.t. dengan mengirimkan sejenis burung yang menyerang mereka sampai binasa.
Surat Al Fiil ini menjelaskan tentang kegagalan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, karena Ka’bah dipelihara oleh Allah s.w.t.

HUBUNGAN SURAT AL FIIL DENGAN SURAT QURAISY

Dalam surat Al Fiil, Allah s.w.t. menjelaskan kehancuran pasukan bergajah yang hendak merobohkan Ka’bah, sedang dalam surat Quraisy Allah memerintahkan kepada penduduk Mekah untuk menyembah Allah pemilik Ka’bah itu.