Tag Archives: 109

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 109

26 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 109“109. (ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan Para Rasul lalu Allah bertanya (kepada mereka): ‘Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu?.’ Para Rasul menjawab: ‘Tidak ada pengetahuan Kami (tentang itu); Sesungguhnya Engkau-lah yang mengetahui perkara yang ghaib.’” (al-Maaidah: 109)

Ini merupakan pemberitahuan tentang dialog Allah dengan para Rasul-Nya pada hari Kiamat, yaitu mengenai jawaban umat mereka yang telah diutus para rasul kepada mereka. sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya:
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus para Rasul kepada mereka, dan sesungguhnya Kami akan menanyai [pula] Rasul-Rasul [Kami].” (al-A’raaf: 6)

Dari Ibnu ‘Abbas: yauma yajma’ullaaHur rusula fayaquulu maa dzaa ujibtum, qaaluu laa ‘ilma lanaa, innaka anta ‘allaamul ghuyuub (“Ingatlah, hari pada waktu Allah mengumpulkan para Rasul. Lalu Allah bertanya [kepada mereka]: ‘Apa jawaban kaummu terhadap [seruan]mu ?’ Para Rasul menjawab: ‘Tidak ada pengetahuan kami [tentang itu], sesungguhnya Engkau-lah yang mengetahui perkara yang ghaib.’”)
Mereka berkata kepada Rabb: “Tidak ada ilmu yang kami miliki, melainkan ilmu yang telah Engkau lebih mengetahuinya daripada kami.” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarir, kemudian ia memilih penafsiran ini.

Tidak diragukan lagi bahwa jawaban itu merupakan ungkapan yang sangat bagus, dan ia merupakan bagian dari sopan santun berinteraksi dengan Rabb. Maksudnya: “Kami tidak mempunyai ilmu sama sekali jika dibandingkan dengan ilmu-Mu yang meliputi segala sesuatu. Meskipun kami menjawab dan mengetahui siapa yang menanggapi kami ketika di dunia, kami hanya melihat lahiriyahnya saja dan tidak mengetahui batinnya, sedangkan Engkau mengetahui segala sesuatu, yang mengawasi segala sesuatu. Dengan demikian, dibandingkan dengan ilmu-Mu, seolah-olah Kami tidak mempunyai ilmu sama sekali. Sesungguhnya: anta ‘llaamul ghuyuub (“Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghaib”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yunus ayat 104-107

5 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Yunus
Surah Makkiyyah; surah ke 10: 109 ayat

tulisan arab alquran surat yunus ayat 104-107“Katakanlah: ‘Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak beribadah kepada apa yang kamu ibadahi selain Allah, tetapi aku beribadah kepada Allah yang akan mematikanmu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman (QS. 10:104) dan (aku telah diperintah): ‘Hadapkanlah mukamu kepada agama yang tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. 10:105) Dan janganlah kamu beribadah kepada apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu jika begitu termasuk orang-orang yang dhalim.’ 10:106) Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Allah. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Allah memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya antara hamba-hamba-Nya dan Allahlah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 10:107)” (Yunus: 104-107)

Allah berfirman kepada Rasul-Nya: “Katakanlah, wahai Muhammad: ‘Hai manusia, jika kamu ragu dalam kebenaran apa yang aku bawa kepadamu, yaitu agama yang lurus, yang Allah telah wahyukan kepadaku, maka tidak akan beribadah kepada ilah-ilah yang kamu ibadahi selain Allah, akan tetapi aku hanya beribadah kepada Allah saja, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Allahlah yang mematikanmu sebagaimana Allah menciptakanmu dan kepada-Nya kamu dikembalikan. Seandainya ilah-ilah yang kamu panggil selain Allah adalah benar, maka aku tidak akan beribadah kepadanya. Panggillah mereka agar mereka menyakitiku, maka sesungguhnya mereka tidak dapat memberi bahaya dan tidak dapat memberi manfaat, akan tetapi yang memiliki bahaya dan manfaat adalah hanya Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya dan aku diperintah agar aku termasuk orang-orang mukmin.”

Firman-Nya: wa an aqim wajHaka lid diini haniifan (“Dan [aku telah diperintahkan]: ‘Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas…’”) Maksudnya, murnikanlah ibadah hanya kepada Allah saja, secara hanif, maksudnya jauh dari kemusyrikan. Untuk itu Allah berfirman: wa laa takuunanna minal musyrikiin (“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik.”)
Dan ayat ini diathafkan (disambungkan/dihubungkan) kepada firman-Nya: wa umirtu an akuuna minl mu’miniin (“Dan aku telah diperintahkan agar termasuk orang yang beriman.”)

Sedangkan firman-Nya: wa iy yamsaskallaaHu bidlurrin (“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu,”) adalah sebagai penjelasan, karena sesungguhnya kebaikan, keburukan, manfaat dan bahaya hanyalah milik Allah Ta’ala saja, tidak ada seorang pun menyekutui-Nya dalam yang demikian, maka hanya Allah sajalah yang berhak diibadahi tidak ada sekutu bagi-Nya.

Dan firman-Nya: wa Huwal ghafuurur rahiim (“Dan Allahlah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Maksudnya, untuk orang yang bertaubat kepada-Nya walau dari dosa apa saja, hingga dari syirik sekalipun, maka Allah akan menerima taubat itu.
bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yunus ayat 108-109

5 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Yunus
Surah Makkiyyah; surah ke 10: 109 ayat

tulisan arab alquran surat yunus ayat 108-109“Katakanlah hai manusia: ‘Sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (al-Qur’an) dari Rabbmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk, maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” (QS. 10:108) Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Allah adalah sebaik-baik Hakim. (QS. 10:109)” (Yunus: 108-109)

Allah berfirman, seraya menyuruh Rasul-Nya (Muhammad) agar dia memberi kabar kepada manusia, bahwa apa yang ia bawa dari sisi Allah adalah benar, tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya, maka barangsiapa mengambil petunjuk darinya dan mengikutinya, maka manfaat dari mengikutinya itu kembali kepada dirinya. Dan barangsiapa mengingkarinya, maka bahayanya juga kembali terhadap dirinya.

Wa maa ana ‘alaikum biwakiil (“Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu,”) maksudnya, aku bukanlah wakilmu sehingga kamu menjadi orang-orang mukmin, akan tetapi aku hanyalah memberi peringatan kepadamu, sedangkan hidayah (petunjuk) adalah atas Allah Ta’ala.

Dan firman-Nya: wat tabi’ maa yuuhaa ilaika washbir (“Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dan bersabarlah.”) Maksudnya, berpeganglah kepada apa yang diturunkan dan diwahyukan kepadamu dan bersabarlah atas pengingkaran orang-orang yang mengingkarimu.
hattaa yahkumallaaHu (“Hingga Allah memberi keputusan,”) maksudnya, membuka antara kamu dengan mereka.
Wa Huwa khairul haakimiin (“Dan Allahlah sebaik-baik hakim”) Allahlah sebaik-baik pembuka dengan keadilan-Nya dan hikmah-Nya.

Selesai

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 109-111

1 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 109-111“Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang diibadahi oleh mereka. Mereka tidak beribadah melainkan sebagaimana nenek-moyang mereka beribadah dahulu. Dan sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi sedikit pun. (QS. 11:109) Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab (Taurat) kepadaMusa, lalu diperselisihkan tentang Kitab itu. Dan seandainya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Rabbmu, niscaya telah ditetapkan hukuman di antara inereka. Dan sesungguhnya mereka (orang-orang kafir Makkah) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap al-Qur’an. (QS. 11:110) Dan sesungguhnya kepada masing-masing (mereka yang berselisih itu) pasti Rabbmu akan menyempurnakan dengan cukup, (balasan) pekerjaan mereka. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. 11:111)” (Huud: 109-111)

Allah berfirman: falaa taku fii miryatim mimmaa ya’budu Haa-ulaa-i (“Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang diibadahi oleh mereka.”) Orang-orang musyrik, sesungguhnya apa yang mereka ibadahi itu merupakan suatu kebathilan, kebodohan dan kesesatan, karena mereka hanyalah beribadah kepada apa yang diibadahi oleh bapak-bapak mereka sebelumnya, maksudnya mereka tidak mempunyai pegangan dalam apa yang mereka kerjakan kecuali hanyalah mengikuti bapak-bapak mereka dalam kebodohan dan Allah akan membalas perbuatan mereka dengan balasan yang paling sempurna, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang tidak pernah disiksakan kepada seorang pun, meskipun mereka mempunyai kebaikan dan Allah telah membalasnya di dunia sebelum di akhirat.

Sufyan ats-Tsauri berkata dari Jabir al-Ju’fi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas: wa innaa lamuwaffuuHum nashiibaHum ghaira manquush (“Dan sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan terhadap mereka tidak dikurangi sedikitpun.”) ia berkata: “Yaitu sesuatu yang dijanjikan kepada mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan.”

`Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam berkata: “Sungguh Kami menimpakan siksaan sebagai adzab bagi mereka tanpa dikurangi.” Lalu Allah menyebutkan tentang diberikannya Musa al-Kitab (Taurat), maka manusia ketika itu saling berbeda pendapat dalam menanggapi al-Kitab tersebut, sebagian orang mau beriman dan sebagian lagi menolaknya. Dengan demikian, hal sebagai contoh bagimu terhadap kejadian-kejadian para Nabi sebelummu nereka juga(mereka juga banyak yang mendustakan), maka pendustaan-pendustaan dari umatmu ya Muhammad, jangan membuatmu panik (emosi) dan jangan membuatmu bimbang.

Wa lau laa kalimatun sabaqat mir rabbika laqudliya bainaHum (“Dan seandainya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Rabbmu, niscaya telah ditetapkan hukuman di antara mereka.”) Ibnu Jarir berkata: “Seandainya penangguhan siksa belum diputuskan dalam waktu yang telah ditentukan, niscaya Allah menurunkan siksa di antara mereka dan dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan kata “al-kalimah”, bahwasanya Allah tidak menyiksa seseorang kecuali setelah Allah mendirikan hujjah dan mengutus seorang Rasul kepadanya, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (QS. Al-Israa’: 15)

Allah telah berfirman di ayat lain yang artinya: “Dan sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang telah terdahulu atau tidak ada yang telah ditentukan, pasti (adzab) itu menimpa mereka. Maka sabarlah kamu atas yang mereka katakan.” (QS. Thaahaa: 129-130)

Kemudian, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Allah akan mengumpulkan dari mulai manusia yang pertama sampai manusia yang terakhir dan Allah akan membalas amal-amal mereka. Jika baik, dibalas dengan kebaikan dan jika uruk dibalas dengan keburukan, maka Allah berfirman: wa inna kulla lammaa layuwaffiyannaHum rabbuka a’maalaHum innaHuu bimaa ya’lamuuna khabiir (“Dan sesungguhnya kepada masing-masing [mereka yang berselisih itu] pasti Rabbmu akan menyempurnakan dengan cukup, (balasan) pekerjaan mereka. “Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka kerjakan.” Maksudnya, Allah Mahamengetahui tentang amal perbuatan mereka semua, baik yang bernilai tinggi maupun yang bernilai rendah, baik kecil maupun besar.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 109

27 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 109“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu mereka melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya.” (QS. Yusuf: 109)

Allah memberitahukan bahwa Dia mengutus para Rasul-Nya dari kaum laki-laki, bukan dari kaum wanita. Ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang ditunjukkan oleh teks ayat yang mulia ini, yaitu bahwa Allah tidak memberi wahyu kepada perempuan dari anak cucu Adam, yaitu wahyu yang berisi syari’at. Tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Sarah, isteri Nabi Ibrahim as, ibu Musa dan Maryam binti ‘Imran, mereka adalah Nabi, dengan dalil bahwa Malaikat telah memberi kabar gembira kepada Sarah bahwa dia akan mendapat anak yaitu Ishaq, kemudian Ishaq akan mempunyai anak yaitu Ya’qub, dan Allah berfirman: “Dan kami wahyukan kepada ibu Musa hendaklah ia menyusuinya.” (QS. Al-Qashash: 7)

Dan Malaikat telah datang kepada Maryam dan memberinya kabar gembira bahwa dia akan melahirkan `Isa as, dan dalil lainnya adalah firman Allah:
“(Ingatlah) tatkala Malaikat berkata. ‘Wahai Maryam sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikanmu dan melebihkanmu di atas semua wanita di dunia ini. Wahai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujud dun ruku’lah bersama orang-orang yang ruku.’”

Derajat ini telah dicapai mereka, tetapi tidak berarti mereka itu menjadi Nabi. Jika yang mereka maksud dengan kenabian itu adalah derajat kemuliaan yang tinggi, maka hal itu memang tidak perlu diragukan, tetapi apakah dengan derajat seperti itu telah cukup untuk memasukkan mereka ke dalam golongan para Nabi?

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah seperti yang dikutip oleh Syaikh Abul Hasan `Ali bin Isma’il al-Asy’ari tentang mereka, bahwa tidak ada di antara kaum wanita yang menjadi Nabi, tetapi ada di antara mereka itu wanita-wanita shiddiqah sebagaimana firman Allah swt. yang memberitahukan bahwa wanita termulia adalah Maryam binti `Imran, Allah berfirman yang artinya:
“Masih bin Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya juga sudah ada para Rasul yang lain dan ibunya adalah seorang wanita yang sangat jujur. Keduanya juga makan makanan.” (QS. Al-Maaidah: 75). Allah menyebutnya pada tingkat yang paling mulia dengan shiddiiqah (sangat jujur)

Jika dia seorang Nabi perempuan, pasti Allah menyebutnya dengan kata Nabi pada kedudukan paling mulia dan paling agung ini. Tetapi dalam nash al-Qur’an hanya disebut dengan ash-shiddiqah.

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu `Abbas tentang firman Allah: wa maa arsalnaa min qablika illaa rijaalan (“Kami tidak mengutus sebelum kamu melainkan orang laki-laki.”) Maksudnya, para Rasul itu bukan dari penduduk langit (Malaikat) sebagaimana yang kalian katakan. Pendapat Ibnu `Abbas ini diperkuat dengan firman Allah: wa maa arsalnaa min qablika minal mursaliina illaa innaHum laya’kuluunath th’aama wa yamsyuuna fil aswaaq (“Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pun dari para Rasul kecuali mereka itu pasti makan makanan dan mereka pun berjalan di pasar-pasar.”)

Firman Allah: min aHlil quraa (“Di antara penduduk negeri,”) maksudnya dari penduduk kota, bukan penduduk Badui (pedalaman) yang keras (kasar) tabi’at dan akhlaknya. Sebagaimana yang kita saksikan bahwa penduduk kota lebih halus tabi’atnya, dan lebih lembut daripada penduduk Badui (pedalaman). Sedangkan warga desa itu lebih dekat dengan penduduk pedalaman.

Karena itu Allah berfirman yang artinya: “Orang-orang A’rab (penduduk Badui atau pedalaman) itu rebih kufur dan lebih nifak.” (QS. At-Taubah: 97)

Qatadah berkata tentang firman Allah: min aHlil quraa (“Di antara penduduk negeri,”) karena mereka lebih mengetahui dan lebih halus daripada penduduk Badui.

Sedang firman Allah: afalam yasiiruu fil ardli (“Tidakkah mereka berjalan di muka bumi”) yaitu orang-orang yang mendustakanmu, wahai Muhammad; fa yandhuruu kaifa kaana ‘aaqibatul ladziina min qabliHim (“Lalu mereka melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka”) dari umat-umat yang mendustakan Rasul, bagaimana Allah menghancurkan mereka, dan orang-orang kafir pun bagi mereka adalah nasib yang sama.

Jika mereka mendengar berita umat-umat tersebut, maka mereka dapat melihat bahwa Allah telah menghancurkan orang-orang yang kafir dan menyelamatkan orang-orang mukmin. Dan itulah sunnatullah (aturan Allah Ta’ala) untuk makhluk-Nya.

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: wa ladarul aakhirati khairul lilladziinat taqau (“Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa”) maksudnya, sebagaimana Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman di dunia, demikian pula Kami tetapkan keselamatan bagi mereka di kampung akhirat, dan kampung akhirat itu jauh lebih baik bagi mereka daripada kampung dunia ini.

Kata daar itu dimudhafkan kepada kata al-akhirat seperti dikatakan shalatul ula dan masjidul jami’.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 107-109

14 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 107-109“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, (QS. 17:107) dan mereka berkata: ‘Mahasuci Rabb kami; sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ (QS. 17:108) Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. (QS. 17:109)” (al-Israa’: 107-109)

Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, “Hai Muhammad,” qul (“Katakanlah”) kepada orang-orang kafir tentang al-Qur’an yang engkau bawa kepada mereka ini; aaminuu biHii au laa tu’minuu (“Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman.”) Maksudnya, kalian beriman atau tidak adalah sama saja bagi Allah Ta’ala, ia tetap merupakan kebenaran yang Dia turunkan dan telah disebutkan pada zaman-zaman terdahulu melalui kitab-
kitab yang diturunkan kepada para Rasul-Nya sebelumnya.

Oleh karena Dia berfirman: innal ladziina uutul kitaaba minn qabliHi (“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya,”) yakni, orang-orang shalih dari kalangan Ahlul Kitab yang berpegang teguh kepada kitab mereka, menegakkan, serta tidak mengganti dan merubahnya; idzaa yutlaa ‘alaiHim (“Apabila dibacakan kepada mereka,”) yakni, al-Qur’an ini, yakhirruuna lil adzqaani sujjadan (“Mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.”) Adzqaan adalah jamak dari dziqn, yaitu bagian dari wajah (dagu). Yakni, sujud kepada Allah seraya bersyukur atas yang Dia anugerahkan kepada mereka, yakni berupa dijadikannya mereka sebagai orang-orang yang mengetahui para Rasul yang diturunkan kepadanya kitab ini.

Oleh karena itu, mereka berkata: Subhaana rabbinaa (“Mahasuci Rabb kami.”) Yakni, sebagai penghormatan dan penyanjungan atas kekuasaan-Nya yang sangat sempurna. Dan bahwasanya Dia tidak pernah menyalahi yang telah dijanjikan kepada mereka melalui lisan para Nabi-Nya terdahulu mengenai pengutusan Muhammad saw. Oleh karena itu, mereka pun berkata: subhaana rabbinaa inkaana wa’du rabbinaa lamaf’uulan (“Mahasuci Rabb kami, sesungguhnya Rabb kami pasti dipenuhi.”)

Dan firman-Nya: wa yakhirruuna lil adzqaani yabkuuna (“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis.”) Yakni, sebagai bentuk ketundukan mereka kepada Allah sekaligus sebagai keimanan dan pembenaran terhadap al-Qur’an dan Rasul-Nya. Wa yaziiduHum khusyuu’an (“Dan mereka bertambah khusyu.”) Yakni, bertambahnya iman dan penyerahan diri. Firman-Nya: “Wa yakhirruuna” merupakan ‘athaf sifat atas sifat lainnya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 109-110

31 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 109-110“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah: 109) Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 110)

Allah Ta’ala mengingatkan hamba-Nya yang beriman, agar tidak menempuh jalan orang kafir dari ahlil kitab. Dia juga memberitahukan mereka tentang permusuhan orang-orang kafir terhadap mereka, baik secara batiniyah maupun lahiriyah. Dan berbagai kedengkian yang menyelimuti mereka terhadap orang mukmin karena mereka mengetahui kelebihan yang dimiliki orang-orang mukmin dan Nabi mereka. selain itu Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berlapang dada dan memberi maaf sampai tiba saatnya Allah memberikan pertolongan dan kemenangan. Juga menyuruh mereka mengerjakan shalat dan menunaikan zakat.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishak dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, Huyay bin Akhtab dan Abu Yasir bin Akhtab merupakan orang Yahudi yang paling dengki terhadap masyarakat Arab, karena Allah telah mengistimewakan mereka dengan mengutus Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw. Selain itu keduanya gigih menghalangi manusi untuk memeluk agama Islam. Berkaitan dengan kedua orang tersebut turunlah ayat: wad da katsiirum min aHlil kitaabi lau yarudduunakum (“Sebagian besar ahlil kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian pada kekafiran setelah kalian beriman.”)

Lebih lanjut Allah berfirman: kuffaaran hasadam min anfusiHim mim ba’di maa tabayyana laHumul haqqu (“Karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran.”) Dia berfirman, yaitu setelah kebenaran yang terang benderang di hadapan mereka dan tidak ada yang sedikitpun yang tidak mengetahuinya, tetapi kedengkian menyeret mereka pada pengingkaran. Maka Allah pun benar-benar mencelanya, menghina dan mencaci mereka, serta menyegerakan Rasulullah saw. dan oang-orang yang beriman yang telah membenarkan, mengimani, dan mengakui apa yang diturunkan oleh Allah swt. kepada mereka dan kepada orang-orang sebelum mereka, kemuliaan, pahala yang besar, dan pertolongan-Nya.

Mengenai firman-Nya: min ‘indi anfusiHim; ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, “(Hal itu berarti), berasal dari diri mereka sendiri.”

Sedangkan mengenai firman-Nya: mim ba’di maa tabayyana laHumul haqqu (“Setelah nyata bagi mereka kebenaran,”) Abul Aliyah mengatakan, “Yaitu setelah mereka melihat dengan jelas bahwa Nabi Muhammad, Rasulullah saw. tertulis dalam kitab Taurat dan Injil. Lalu mereka mengingkarinya karena dengki dan iri, karena Nabi Muhammad bukan dari kalangan mereka (Yahudi).”

Hal serupa juga dikatakan oleh Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas.

Dan firman Allah: fa’fuu wash-fahuu hattaa ya’tiyallaaHu bi amriHi (“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.”) Ayat ini sama seperti firman Allah yang artinya berikut ini:
“Dan juga kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang Ahli Kitab sebelum kalian dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati.” (QS. Ali Imraan: 186)

Mengenai firman-Nya: fa’fuu wash-fahuu hattaa ya’tiyallaaHu bi amriHi (“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.”) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat berikut ini: faqtulul musyrikiina haitsu wajadtumuuHum (“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.”) (QS. At-Taubah: 5)

Juga (dengan) firman-Nya yang artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29)

Dengan demikian pemberian maaf tersebut dinasakh (dihapuskan) bagi orang-orang musyrik. Hal yang sama dikemukakan oleh Abul Aliyah, ar-Rabi bin Anas, Qatadah, dan as-Suddi, bahwa ayat tersebut mansukh dengan ayat saif (perintah berperang). Hal itu ditunjukkan pula oleh firman-Nya: “Sehingga Allah mendatangkan perintah-Nya.” Rasulullah melaksanakan untuk memberikan maaf seperti yang diperintahkan Allah, sehingga Allah mengizinkan kaum muslimin memerangi mereka. Lalu dengannya Allah membunuh para pemuka kaum Quraisy.

Hadits tersebut sanadnya shahih, meskipun aku sendiri tidak mendapatkannya di dalam Kutubus Sittah (enam kitab hadits: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan an-Nasa i), tetapi asalnya terdapat dalam kitab Shahihain, dari Usamah bin Zaid.

Firman Allah: wa aqiimush shalaata wa aatuz zakaata wa maa tuqaddimuu li anfusikum min khairin tajiduuHu ‘indallaHi (“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kebaikan apapun yang kamu lakukan untuk dirimu, maka kamu akan menemukan pahalanya pada sisi Allah.”) Allah swt. memerintahkan mereka untuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka yang pahalanya adalah untuk mereka pada hari kiamat kelak, misalnya mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sehingga Allah memberikan kepada mereka kemenangan dalam kehidupan dunia ini dan ketika hari kebangkitan kelak, “Yaitu hari yang tidak berguna bagi orang-orang zhalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi mereka pula tempat tinggal yang buruk.” (QS. Al-Mu’min: 52)

Oleh karena itu Allah berfirman, innallaaHa bimaa ta’maluuna bashiir (“Sesungguhnya Allah Mahamelihat apa-apa yang kamu kerjakan.”) Artinya Allah Ta’ala tidak akan lengah terhadap suatu amalan yang dikerjakan seseorang dan tidak pula menyia-nyiakannya, apakah itu berupa amal kebaikan maupun kejahatan. Dan Dia akan memberikan balasan kepada setiap hamba-Nya sesuai dengan amal perbuatannya.

Mengenai firman-Nya, innallaaHa bimaa ta’maluuna bashiir (“Sesungguhnya Allah Mahamelihat apa-apa yang kamu kerjakan.”) Abu fa’far Ibnu Jarir mengatakan, berita ini berasal dari Allah Ta’ala untuk orang-orang mukmin yang menjadi khithab (sasaran dalam pembicaraan) pada ayat ini, yaitu apa pun yang mereka kerjakan, baik maupun buruk, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, maka Dia senantiasa melihatnya, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Dia akan membalas perbuatan baik dengan kebaikan, kejahatan dengan kejahatan serupa. Firman-Nya ini meskipun berkedudukan sebagai berita, namun mengandung janji dan ancaman, sekaligus perintah dan larangan. Di mana Dia memberitahukan kepada umat manusia bahwa Dia Mahamengetahui seluruh amal yang mereka kerjakan, dengan tujuan agar mereka lebih bersungguh-sungguh untuk berbuat ketaatan, dan semuanya itu akan menjadi simpanan bagi mereka, sehingga Dia memberikan balasan kepada mereka.

Sebagaimana firman-Nya: wa maa tuqaddimuu li anfusikum khairin tajiduuHu ‘indallaaHi (“Kebaikan apapun yang kamu lakukan untuk dirimu, maka kamu akan menemukan pahalanya pada sisi Allah.”) mereka juga diperingatkan untuk tidak bermaksiat kepada Allah.

Sedangkan mengenai firman-Nya: bashiirun (“Mahamelihat”) lebih lanjut Ibnu Jarir mengatakan, Allah Ta’ala “mubshirun” (melihat), lalu kata itu berubah menjadi “bashiirun” sebagaimana “mubdi’un” (menciptakan) menjadi “bidii’un”dan “mu’limun” (pedih) menjadi “aliimun”. wallaaHu a’lam.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 104-109

6 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 104-109“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104). Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (QS. 3:105). Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu”. (QS. 3:106). Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (Surga); mereka kekal didalamnya. (QS. 3:107). Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya. (QS. 3:108). Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. (QS. 3:109).

Allah swt. berfirman: wal takum minkum ummatuy yad’uuna ilal khairi wa ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanHauna ‘anil munkari wa ulaa-ika Humul muflihuun (“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”)

Adh-Dhahhak berkata: “Mereka itu adalah khusus para Sahabat, khusus para Mujahidin dan ulama.”

Abu Ja’far al-Sair berkata, Rasulullah pernah membaca ayat: wal takum minkum ummatuy yad’uuna ilal khairi (“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan.”) Lalu beliau bersabda: “Kebajikan itu adalah mengikuti al-Qur’an dan Sunnahku.” (HR. Ibnu Mar-dawaih).

Maksud ayat ini, hendaklah ada segolongan dari umat yang siap memegang peran ini, meskipun hal itu merupakan kewajiban bagi setiap individu umat sesuai dengan kapasitasnya, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Shahih Muslim, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaklah ia merubah dengan lisannya dan jika tidak mampu juga, maka hendaklah ia merubah dengan hatinya dan yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan: “Dan setelah ketiganya (tangan, lisan, dan hati) itu, maka tidak ada lagi iman meskipun hanya sebesar biji sawi.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman, bahwa Nabi pernah bersabda: “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, atau Allah akan menyegerakan penurunan adzab untuk kalian dari sisi-Nya, lalu kalian berdo’a memohon kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkannya untuk kalian.” (HR. At-Tirmidzidan Ibnu Majah. At-Tirmidzi berkata, hadits ini hasan).

Dalam masalah ini terdapat banyak hadits dan ayat al-Qur’an, sebagai-mana yang akan kami kemukakan penafsirannya dalam masing-masing ayat.

Selanjutnya Allah berfirman: wa laa takuunuu kal ladziina tafarraquu wakhtalafuu mim ba’di maa jaa-a Humul bayyinaaat (“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.”) Allah melarang umat ini menjadi seperti umat-umat yang terdahulu dalam perpecahan dan perselisihan mereka serta keengganan mereka menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, padahal hujjah sudah jelas bagi mereka.

Dan firman-Nya, yauma tab-yadl-dlu wujuuHuw wa taswaddu wujuuH (“Pada hari yang pada waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram.”) Yakni pada hari Kiamat kelak, ketika wajah Ahlussunnah wal Jama’ah putih berseri, sedangkan wajah ahlul bid’ah wal furqah (ahli bid’ah dan perpecahan) hitam muram. Demikian dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.`

Firman-Nya, fa ammal ladziins waddat wujuuHuHum akafartum ba’da iimaanikum (“Adapun orang-orang yang hitam muram wajahnya [kepada mereka dikatakan]: ‘Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman?’”) al-Hasan al-Bashri berkata: “Mereka itu adalah orang-orang munafik.” “Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.” Gambaran itu mencakup seluruh orang-orang kafir.

Dan firman-Nya, wa ammal ladziinabyadl-dlat wujuuHuHum fa fii rahmatillaaHi Hum fiiHaa khaaliduun (“Adapun orang-orang yang putih berseri wajahnya, maka mereka berada dalam rahmat Allah [Surga], mereka kekal di dalamnya.”) Rahmat Allah yaitu Surga, mereka akan tetap tinggal di sana selamanya dan tidak ingin beranjak darinya sejenak pun.

Setelah itu Allah berfirman, tilka aayaatullaaHi nat-luuHaa ‘alaika (“Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu.”) Maksudnya, inilah ayat-ayat, hujjah-hujjah dan penjelasan Allah yang Kami bacakan kepadamu, hai Muhammad, bil haqqi (“Dengan benar.”) Yakni, Kami menyingkapkan hakekat persoalannya di dunia dan di akhirat.

Wa mallaaHu yuriidu dhulmal lil ‘aalamiin (“Dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya.”) Maksud-nya, Allah tidak berbuat zhalim terhadap mereka, bahkan Dia bertindak bijaksana dan adil yang tidak menyimpang, karena Dia berkuasa atas segala sesuatu, yang Mahamengetahui atas segala sesuatu, sehingga dengan demikian itu Dia tidak perlu berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya. Oleh karena Dia berfirman: wa lillaaHi maa fis samaawaati wa maa fil ardli (“Kepunyaan Allah segala itu, yang ada di langit dan di bumi.”) Semuanya itu adalah kepunyaan-Nya dan menjadi hamba-Nya.

Wa lillaaHi turja’ul ‘umuur (“Dan kepada Allah dikembalikan segala urusan.”) Artinya, Dialah pengambil keputusan yang mengendalikan apa yang ada di dunia dan di akhirat.

&

109. Surah Al-Kaafiruun

4 Des

Pembahasan Tentang Surat-Surat Al-Qur’an (Klik di sini)
Tafsir Ibnu Katsir (Klik di sini)

Surat Al Kaafiruun terdiri atas 6 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Al Maa’uun. Dinamai Al Kaafiruun (orang-orang kafir), diambil dari perkataan Al Kaafiruun yang terdapat pada ayat pertama surat ini.

Pokok-pokok isinya:
Pernyataan Tuhan yang disembah Nabi Muhammad s.a.w. dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir, dan Nabi Muhammad s.a.w. tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir.
Surat Al Kaafiruun mengisyaratkan tentang habisnya semua harapan orang-orang kafir dalam usaha mereka agar Nabi Muhammad s.a.w. meninggalkan da’wahnya.

HUBUNGAN SURAT AL KAAFIRUUN DENGAN SURAT AN NASHR

Surat Al Kaafiruun menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak akan mengikuti agama orang-orang kafir, sedang dalam surat An Nashr diterangkan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. akan berkembang dan menang.