Tag Archives: 111

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah ayat 111

5 Nov

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah ayat 111
Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan)
Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

tulisan arab alquran surat at taubah ayat 111

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah ayat 111)

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia membeli dari hamba-hamba-Nya yang beriman, diri dan harta benda mereka yang telah mereka korbankan di jalan Allah dengan surga. Hal ini termasuk karunia dan kemurahan serta kebajikan-Nya kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah telah menerima apa yang telah dikorbankan oleh hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya, lalu menukarnya dengan pahala yang ada di sisi-Nya dari karunia-Nya. Al-Hasan Al-Basri dan Qatadah mengatakan, “Mereka yang berjihad di jalan Allah, demi Allah, telah berjual beli kepada Allah, lalu Allah memahalkan harganya.”

Syamr ibnu Atiyyah mengatakan, “Tiada seorang muslim pun melainkan pada lehernya terkalungkan baiat kepada Allah yang harus ia tunaikan atau ia mati dalam keadaan tidak menunaikannya.” Kemudian Syamr ibnu Atiyyah membaca ayat ini. Karena itulah maka dikatakan bahwa barang siapa yang berangkat di jalan Allah, berarti dia telah berbaiat kepada Allah. Dengan kata lain, Dia menerima transaksinya dan akan memenuhi balasannya.

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ القُرَظي وَغَيْرُهُ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -يَعْنِي لَيْلَةَ العقبةِ -: اشْتَرِطْ لِرَبِّكَ وَلِنَفْسِكَ مَا شِئْتَ! فَقَالَ: “أَشْتَرِطُ لِرَبِّي أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَشْتَرِطُ لِنَفْسِي أَنْ تَمْنَعُونِي مِمَّا تَمْنَعُونَ مِنْهُ أَنْفُسَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ”. قَالُوا: فَمَا لَنَا إِذَا فَعَلْنَا ذَلِكَ؟ قَالَ: “الْجَنَّةُ”. قَالُوا: رَبِح البيعُ، لَا نُقِيل وَلَا نَسْتَقِيلُ، فَنَزَلَتْ: {إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ} الْآيَةَ.

Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi dan lain-lainnya mengatakan bahwa Abdullah ibnu Rawwahah r.a. pernah berkata kepada Rasulullah Saw. dalam malam ‘Aqabah, “Berilah persyaratan bagi Tuhanmu dan bagi dirimu sesuka hatimu.” Maka Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Aku memberikan syarat bagi Tuhanku, hendaklah kalian menyembah-Nya dan janganlah kalian mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun. Dan aku memberikan syarat bagi diriku, hendaklah kalian membelaku sebagaimana kalian membela diri dan harta benda kalian sendiri. Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah yang akan kami peroleh jika kami mengerjakan hal tersebut?” Rasulullah Saw. menjawab, “Surga.” Mereka berkata, “Jual beli yang menguntungkan, kami tidak akan mundur dan tidak akan mengundurkan diri.” Lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri. (At-Taubah: 111), hingga akhir ayat.

*******

Adapun firman Allah Swt.:

{يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ}

Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (At-Taubah: 111)

Maksudnya, baik mereka terbunuh atau membunuh, atau keduanya mereka alami, maka sudah menjadi ketetapan bagi mereka beroleh Balasan surga karena itu dalam hadist Sahihain disebutkan:

وَتَكَفَّلَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِهِ، لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا جِهَادٌ فِي سَبِيلِي، وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِي، بِأَنْ تَوَفَّاهُ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يُرْجِعَهُ إِلَى مَسْكَنِهِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ، نَائِلًا مَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ”

Allah menjamin bagi orang yang berangkat berjihad di jalan-Nya, yang tidak sekali-kali ia berangkat melainkan untuk berjihad di jalan-Ku dan membenarkan rasul-rasul-Ku; bahwa jika Allah mewafatkannya, maka Dia akan memasukkannya ke dalam surga atau mengembalikannya pulang ke tempat tinggalnya yang ia berangkat darinya seraya memperoleh pahala yang digondolnya atau ganimah.

*******

Firman Allah Swt.:

{وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ}

(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam kitab Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. (At-Taubah: 111)

Hal ini merupakan pengukuhan dari janji tersebut, dan sebagai berita bahwa Allah telah mencatat janji yang telah Dia ikrarkan kepada diri­Nya ini, lalu Dia menurunkannya kepada rasul-rasul-Nya melalui kitab-kitab-Nya yang besar, yaitu Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Firman Allah Swt.:

{وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ}

Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? (At-Taubah: 111)

Karena sesungguhnya Dia tidak pernah mengingkari janji. Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt. lainnya yaitu:

{وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ حَدِيثًا}

Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (An-Nisa: 87)

{وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلا}

Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (An-Nisa: 122)

Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

{فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

Maka bergembiralah dengan jual beli yang lelah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah: 111)

Maksudnya, bergembiralah orang yang menjalani transaksi ini dan menunaikan janji ini, karena dia akan mendapat keberuntungan yang besar dan nikmat yang kekal.

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 111

18 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah; surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 111“Kalau sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. al-An’aam: 111)

Allah berfirman, kalau seandainya pun Kami mengabulkan permintaan orang-orang yang bersumpah dengan menyebut narna Allah dengan segala kesungguhan, “Bahwa sesungguhnya jika datang kepada mereka suatu mukjizat, pastilah mereka beriman kepadanya.” Lalu Kami menurunkan kepada mereka para Malaikat yang memberitahukan risalah dari Allah kepada mereka untuk membenarkan Para Rasul, seperti yang mereka minta, di mana mereka berkata yang artinya:
“Atau kamu datangkan Allah dan Malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami.” (QS. Al-Israa’: 92)

Firman-Nya: wa kallamaHumul mautaa (“Dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka.”) Maksudnya, orang-orang yang sudah mati itu memberitahu mereka akan kebenaran apa yang dibawa oleh para Rasul kepada mereka.

Wa hasyarnaa ‘alaiHim kulla syai-in qubulan (“Dan Kami kumpulkan [pula] segala sesuatu ke hadapan mereka.”) sebagian ulama membacanya qibala dengan mengkasrahkan huruf qaf dan memfathahkan huruf ba, yang maknanya yaitu berhadapan dan menyaksikan dengan mata kepala. Sedangkan yang lainnya membacanya dengan mendhammahkannya (qubula), yang juga berarti berhadapan dan menyaksikan dengan mata kepala. Sebagaimana yang diriwayatkan `Ali bin Abi Thalhah dan al-‘Aufi dari Ibnu `Abbas. Hal itu Pula yang dikemukakan oleh Qatadah dan `Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.

Mujahid berkata: “(Qubulan berarti) datang berbondong-bondong, kabilah demi kabilah.” Artinya, diperlihatkan kepada mereka setiap umat satu persatu. Lalu semuanya memberitahukan tentang kebenaran para Rasul dan apa yang dibawa mereka.
Maa kaanuu liyu’minuu illaa ay yasyaa-allaaH (“Niscaya mereka tidak [juga] akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki.”) Maksudnya, bahwa petunjuk itu bergantung kepada-Nya dan bukan kepada mereka, dan Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki dan menyesatkan siapa saja yang Allah kehendaki pula, Allah Mahakuasa berbuat apa yang Allah kehendaki,

“Dia tidak akan ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya.” (al-Anbiyaa’: 23) hal ini disebabkan oleh ilmu, hikmah, kekuasaan, kebesaran, dan penguasaan-Nya. Dan ayat ini adalah sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang sudah pasti terhadap mereka kalimat Rabb-mu, tidaklah akan beriman meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan sehingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.” (QS. Yunus: 96-97)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 109-111

1 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 109-111“Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang diibadahi oleh mereka. Mereka tidak beribadah melainkan sebagaimana nenek-moyang mereka beribadah dahulu. Dan sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi sedikit pun. (QS. 11:109) Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab (Taurat) kepadaMusa, lalu diperselisihkan tentang Kitab itu. Dan seandainya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Rabbmu, niscaya telah ditetapkan hukuman di antara inereka. Dan sesungguhnya mereka (orang-orang kafir Makkah) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap al-Qur’an. (QS. 11:110) Dan sesungguhnya kepada masing-masing (mereka yang berselisih itu) pasti Rabbmu akan menyempurnakan dengan cukup, (balasan) pekerjaan mereka. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. 11:111)” (Huud: 109-111)

Allah berfirman: falaa taku fii miryatim mimmaa ya’budu Haa-ulaa-i (“Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang diibadahi oleh mereka.”) Orang-orang musyrik, sesungguhnya apa yang mereka ibadahi itu merupakan suatu kebathilan, kebodohan dan kesesatan, karena mereka hanyalah beribadah kepada apa yang diibadahi oleh bapak-bapak mereka sebelumnya, maksudnya mereka tidak mempunyai pegangan dalam apa yang mereka kerjakan kecuali hanyalah mengikuti bapak-bapak mereka dalam kebodohan dan Allah akan membalas perbuatan mereka dengan balasan yang paling sempurna, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang tidak pernah disiksakan kepada seorang pun, meskipun mereka mempunyai kebaikan dan Allah telah membalasnya di dunia sebelum di akhirat.

Sufyan ats-Tsauri berkata dari Jabir al-Ju’fi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas: wa innaa lamuwaffuuHum nashiibaHum ghaira manquush (“Dan sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan terhadap mereka tidak dikurangi sedikitpun.”) ia berkata: “Yaitu sesuatu yang dijanjikan kepada mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan.”

`Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam berkata: “Sungguh Kami menimpakan siksaan sebagai adzab bagi mereka tanpa dikurangi.” Lalu Allah menyebutkan tentang diberikannya Musa al-Kitab (Taurat), maka manusia ketika itu saling berbeda pendapat dalam menanggapi al-Kitab tersebut, sebagian orang mau beriman dan sebagian lagi menolaknya. Dengan demikian, hal sebagai contoh bagimu terhadap kejadian-kejadian para Nabi sebelummu nereka juga(mereka juga banyak yang mendustakan), maka pendustaan-pendustaan dari umatmu ya Muhammad, jangan membuatmu panik (emosi) dan jangan membuatmu bimbang.

Wa lau laa kalimatun sabaqat mir rabbika laqudliya bainaHum (“Dan seandainya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Rabbmu, niscaya telah ditetapkan hukuman di antara mereka.”) Ibnu Jarir berkata: “Seandainya penangguhan siksa belum diputuskan dalam waktu yang telah ditentukan, niscaya Allah menurunkan siksa di antara mereka dan dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan kata “al-kalimah”, bahwasanya Allah tidak menyiksa seseorang kecuali setelah Allah mendirikan hujjah dan mengutus seorang Rasul kepadanya, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (QS. Al-Israa’: 15)

Allah telah berfirman di ayat lain yang artinya: “Dan sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang telah terdahulu atau tidak ada yang telah ditentukan, pasti (adzab) itu menimpa mereka. Maka sabarlah kamu atas yang mereka katakan.” (QS. Thaahaa: 129-130)

Kemudian, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Allah akan mengumpulkan dari mulai manusia yang pertama sampai manusia yang terakhir dan Allah akan membalas amal-amal mereka. Jika baik, dibalas dengan kebaikan dan jika uruk dibalas dengan keburukan, maka Allah berfirman: wa inna kulla lammaa layuwaffiyannaHum rabbuka a’maalaHum innaHuu bimaa ya’lamuuna khabiir (“Dan sesungguhnya kepada masing-masing [mereka yang berselisih itu] pasti Rabbmu akan menyempurnakan dengan cukup, (balasan) pekerjaan mereka. “Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka kerjakan.” Maksudnya, Allah Mahamengetahui tentang amal perbuatan mereka semua, baik yang bernilai tinggi maupun yang bernilai rendah, baik kecil maupun besar.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 111

27 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 111“Sesungguhnya pada kisab-kisab mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)

Allah berfirman bahwa sesungguhnya, dalam kisah para Rasul dan kaum mereka serta bagaimana Allah telah menyelamatkan orang-orang yang beriman dan menghancurkan orang-orang yang kafir: ‘ibratul li ulil albaabi maa kaana hadiitsaya yuftaraa (“Terdapat pengajaran bagi orang-yang berakal. Al-Qur’an itu bukanlah kitab yang dibuat-buat.”) maksudnya al-Qur’an itu tidak seharusnya di didustakan dan dibuat-buat dari selain Allah.

Wa laakin tashdiiqal ladzii baina yadaiHi (“Akan tetapi membenarkan kitab-kitab sebelumnya”) dari kitab-kitab yang diturunkan dari langit, dan membenarkan apa yang benar dari isinya, membantah pemutarbalikan, penyelewengan, dan perubahan yang terjadi di dalamnya, dan menentukan mana yang dinasakh (dihapus) atau ditetapkan.

Wa tafshiila kulla syai-in (“Dan menjelaskan segala sesuatu”) tentang halal, haram, sunnah, makruh, dan lain-lainnya. Seperti memerintahkan berbagai perbuatan taat, wajib, dan sunnah; dan melarang berbagai perbuatan haram dan sejenisnya, seperti makruh; memberitahukan hal-hal yang nyata dan ghaib yang akan datang, secara garis besar maupun rinci, memberitahukan tentang Rabb Ta’ala, dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan ke-Mahasucian-Nya dari persamaan dengan makhluk-Nya.

Oleh karena itu, al-Qur’an adalah: Hudaw wa rahmatal li qaumiy yu’minuun (“Sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”) yang membimbing hati mereka dari kesalahan menuju kebenaran, dari kesesatan menuju jalan yang lurus.

Dengan al-Qur’an itu, mereka mengharapkan rahmat dari Rabb seluruh hamba ini dalam kehidupan di dunia dan akhirat.

alhamdulillaaH
selesai

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 110-111

14 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 110-111“Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al Asmaa’ al-Husnaa (nama-nama yang terbaik) dan jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.’ (QS. 17:110) Dan katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya.’ (QS. 17:111)” (al-Israa’: 110-111)

Allah berfirman, katakanlah hai Muhammad kepada orang-orang musyrik yang mengingkari sifat rahmat bagi Allah, dan yang menolak menamakan-Nya ar-Rahman terhadap-Nya: ud’ullaaHa awid’ur rahmaana ayyam maa tad’uu falaHul asmaa-ul husnaa (“Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaa’ al-Husnaa [nama-nama yang terbaik].”)

Maksudnya, tidak ada perbedaan antara penyebutan kalian dengan sebutan Allah atau ar-Rahman, karena Dia mempunyai Asmaa’ al-Husnaa. Telah diriwayatkan oleh Mak-hul, bahwasanya ada seseorang dari kaum musyrik yang mendengar Nabi dalam sujudnya mengucapkan: “Ya Rahmaan, ya Rahiim (wahai yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang).” Lalu orang itu beranggapan bahwa beliau telah menyeru satu orang dengan dua nama, lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat ini. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Firman-Nya: wa laa tajHar bishalaatika (“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu.”) Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia mengatakan, ayat ini turun ketika Rasulullah saw. tengah bersembunyi di Makkah;
wa laa tajHar bishalaatika walaa takhaafit biHaa (“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya.”) Ia (Ibnu `Abbas) mengatakan, jika Rasulullah mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, maka beliau membaca ayat al-Qur’an dengan suara keras. Dan ketika mendengar bacaan itu, orang-orang musyrik mencela al-Qur’an dan mencela Rabb yang menurunkan serta orang yang membawanya. Lebih lanjut, Ibnu `Abbas
menuturkan, maka Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad saw: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu,” yakni dalam bacaanmu, sehingga akan didengar oleh orang-orang musyrik, lalu mereka akan mencela al-Qur’an.

walaa takhaafit biHaa (“Dan janganlah pula merendahkannya.”) Yakni dari para sahabatmu, sehingga engkau tidak dapat memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada mereka yang akhirnya mereka tidak dapat mengambilnya darimu. Wabtaghi baina dzaalika sabiilan (“Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”)

Demikianlah hadits yang ditakhrij oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain.

Wa laa tajHar bishalaatika (“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu,”) sehingga akan bercerai berai darimu. Wa laa takhaafit biHaa (“Dan jangan pula merendahkannya,”) sehingga orang yang bermaksud mendengarnya tidak dapat mendengar, siapa tahu mereka akan mengambil pelajaran dari sebagian yang didengarnya, sehingga dengannya ia dapat mengambil manfaat.

Wabtaghi baina dzaalika sabiilan (“Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”) Hal yang sama juga dikemukakan oleh `Ikrimah, al-Hasan al-Bashri dan Qatadah: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan bacaan al-Qur’an dalam shalat.”

Syu’bah menuturkan dari Ibnu Masud, “Dan jangan pula merendahkannya,” dari orang yang telah memasang kedua telinganya guna mendengarnya.

Ibnu Jarir menceritakan dari Muhammad bin Sirin, ia bercerita, aku pernah diberitahu, jika Abu Bakar mengerjakan shalat, lalu membaca al-Qur’an, maka ia merendahkan suaranya. Dan bahwasanya `Umar mengeraskan suaranya. Kemudian dikatakan kepada Abu Bakar: “Mengapa engkau lakukan ini?” Abu Bakar menjawab: “Aku bermunajat kepada Rabbku yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, sedang Dia telah mengetahui hajatku.” Maka dikatakan kepadanya: “Engkau telah berbuat suatu hal yang baik.” Kepada `Umar juga dikatakan: “Mengapa engkau lakukan hal itu?” `Umar menjawab: “Aku mengusir syaitan dan membangunkan orang-orang yang terkantuk.” Lalu dikatakan kepadanya: “Engkau telah melakukan suatu hal yang baik.”

Ketika turun ayat, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara keduanya itu,” dikatakan kepada Abu Bakar: “Angkat suaramu sedikit.” Dan kepada `Umar dikatakan: “Rendahkanlah suaramu sedikit lagi.”

Firman-Nya: wa qulil hamdulillaaHil ladzii lam yattakhidz waladan (“Dan katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak.’”) Sebagaimana Allah telah menetapkan bagi diri-Nya al-Asmaa’ al-Husnaa (nama-nama yang baik), Dia juga mensucikan diri-Nya dari berbagai macam kekurangan. Di mana Dia telah berfirman: wa qulil hamdulillaaHil ladzii lam yattakhidz waladaw wa lam yakul laHuu syariikuun fil mulki (“Dankatakanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya.”) Melainkan Dia adalah Rabb yang Mahaesa, yang menjadi tempat bergantung, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang sebanding dengan-Nya.

Wa lam yakul laHuu waliyyum minadh-dhull (“Dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong.”) Maksudnya, Dia bukanlah seorang yang hina, sehingga membutuhkan penolong atau pembantu atau penasihat, tetapi Dia adalah Rabb yang Mahatinggi, Pencipta segala sesuatu, sendiri, tanpa membutuhkan sekutu. Dia juga yang mengatur dan menentukan sesuai dengan kehendak-Nya semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Mengenai firman-Nya ini, Mujahid berkata: “Dia tidak pernah menyalahi seseorang dan tidak pula mengharap bantuan seseorang.”

Wa kabbirHu takbiiran (“Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.”) Maksudnya, agungkan dan tinggikanlah Dia setinggi-tingginya dari apa yang dikatakan oleh orang-orang dhalim yang melampaui batas, Dia Mahatinggi lagi Mahabesar. WallaHu a’lam.

Selesai

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 111-113

31 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 111-113“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkan kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. 2:111) (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. 2:112) Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan,” dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,” padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengucapkan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.” (QS. 2:113)

Allah menjelaskan ketertipuan orang-orang Yahudi dan Nasrani oleh apa yang ada pada diri mereka, dimana setiap kelompok dari keduanya (Yahudi dan Nasrani) mengaku bahwasanya tidak akan ada yang masuk surga kecuali memeluk agama mereka, sebagaimana yang diberitahukan Allah Tabaraka wa Ta’ala melalui firman-Nya dalam Surat al-Maa-idah berikut ini, mereka menyatakan, “Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” (QS. A1-Maa-idah: 18)

Kemudian Allah Ta’ala mendustakan pengakuan mereka itu melalui pemberitahuan yang disampaikan dalam firman-Nya bahwa Dia akan mengadzab mereka akibat dosa yang mereka perbuat. Seandainya keadaan mereka sebagaimana yang mereka katakan, niscaya keadaannya tidak demikian. Sebagaimana pengakuan mereka sebelumnya yang menyatakan bahwa mereka
tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali beberapa hari saja. Kemudian mereka masuk ke surga. Tetapi pengakuan mereka ini pun mendapat bantahan dari Allah swt. Berikut ini adalah bantahan Allah Ta’ala berkenaan dengan pengakuan mereka yang tidak berdasarkan dalil, hujjah, dan keterangan yang jelas, di mana Dia berfirman, tilka ammaaniyyuHum (“Itulah angan-angan mereka.”)

Abul ‘Aliyah mengatakan: “Artinya, yaitu angan-angan yang mereka dambakan dari Allah tanpa alasan yang benar.” Hal senada juga dikemukakan oleh Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas.

Selanjutnya Allah swt. berfirman: qul (“Katakan,”) hai Muhammad, Haatuu burHaanakum (“Kemukakanlah penjelasan kalian.”) Abul ‘Aliyah, Mujahid, as-Suddi, dan ar-Rab’i bin Anas mengatakan, “(Artinya) kemukakanlah hujjah kalian.” Sedangkan Qatadah mengatakan: “Berikanlah keterangan mengenai pengakuan kalian itu, ‘Jika kalian orang-orang yang benar, dalam pengakuan kalian ini.’”

Setelah itu Allah Ta’ala berfirman: balaa man as-lama waj-HaHu lillaaHi wa Huwa muhsinun (“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat baik.”) Maksudnya, barangsiapa yang mengikhlaskan amalnya hanya untuk Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya.

Berkaitan dengan firman-Nya, balaa man as-lama waj-HaHu lillaaHi wa Huwa muhsinun (“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat baik.”) Abu al-Aliyah dan ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, “(Yaitu), barangsiapa yang benar-benar tulus karena Allah. ”

Masih berkenaan dengan ayat tersebut, “wajHaHu” (dirinya) Jubair mengatakan, yaitu yang tulus ikhlas menyerahkan “agamanya”. Sedang “wa Huwa muhsinun” (Ia berbuat baik) artinya, mengikuti Rasulullah saw. Karena amal perbuatan yang diterima itu harus memenuhi dua syarat, yaitu harus didasarkan pada ketulusan karena Allah Ta’ala semata, dan syarat kedua, harus benar dan sejalan dengan syari’at Allah. Jika suatu amalan sudah didasarkan pada keikhlasan hanya karena Allah, tetapi tidak benar dan tidak sesuai dengan syariat, maka amalan tersebut tidak diterima.

Oleh karena itu, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak sejalan dengan perintah kami, maka amal itu tertolak.” (HR. Imam Muslim, dari hadits ‘Aisyah ra.)

Dengan demikian, perbuatan para pendeta ahli ibadah dan yang semisalnya, meskipun mereka tulus ikhlas dalam mengerjakannya karena Allah, namun perbuatan mereka itu tidak akan diterima hingga mereka mengikuti ajaran Rasulullah yang diutus kepada mereka dan kepada seluruh umat manusia. Mengenai mereka dan orang yang semisalnya, Allah berfirman: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqaan: 23)

Sedangkan amal yang secara lahiriyah sejalan dengan syariat tetapi pelakunya tidak mendasarinya dengan keikhlasan karena Allah Ta’ala, maka amal perbuatan seperti itu ditolak. Demikian itulah keadaan orang-orang yang riya dan orang-orang munafik, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun: 4-7).

Oleh karena itu, Dia berfirman yang artinya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Dalam surat al-Baqarah ini, Allah Ta’ala berfirman: balaa man as-lama waj-HaHu lillaaHi wa Huwa muhsinun (“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat baik.”)

Dan firman-Nya: falaHuu ajruHuu ‘inda rabbiHii walaa khaufun ‘alaiHim wa laa Hum yahzanuun (“Maka baginya pahala di sisi rabbn dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati.”) Dengan amal perbuatan itu Allah menjamin sampainya pahala pada mereka serta memberikan rasa aman dari hal-hal yang mereka khawatirkan. “wa laa khaufun ‘alaiHim” (dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka) dari yang mereka hadapi; “wa laa Hum yahzanuun” (dan tidak pula mereka bersedih hati) atas apa yang mereka tinggalkan di masa lalu. Sebagaimana dikatakan oleh Sa’id bin Jubair: “wa laa khaufun ‘alaiHim” (dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka) yaitu di akhirat kelak. “wa laa Hum yahzanuun” (dan tidak pula mereka bersedih hati) atas datangnya kematian.

Dan firman Allah: wa qaalatil yaHuudu laisatin nashaaraa ‘alaa syai-iw wa qaalatin nashaaraa laisatil yaHuudu ‘alaa syai-iw wa Hum yatluunal kitaab (“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab.”) Allah Ta’ala menjelaskan mengenai pertentangan, kebencian, permusuhan, dan keingkaran di antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.

Sebagaimana yang diriwayatkan Muhammad bin Ishak, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan ketika orang-orang Nasrani Najran menghadap Rasulullah Allah Ta’ala, datang pula kepada mereka para pendeta dari Yahudi. Lalu mereka saling berselisih di hadapan Rasulullah saw. Maka Rafi’ bin Ramalah (salah seorang pendeta Yahudi) mengatakan, “Kalian tidak mempunyai pegangan apapu. Dan mengingkari Isa dan Injil.” Lalu salah seorang dari Nasrani Najran itu berkata kepada orang-orang Yahudi: “Kalian tidak mempunyai pegangan apapun, dan mengingkari kenabian Musa dan kufur terhadap Taurat.” Berkenaan dengan hal itu Allah berfirman:

wa qaalatil yaHuudu laisatin nashaaraa ‘alaa syai-iw wa qaalatin nashaaraa laisatil yaHuudu ‘alaa syai-iw wa Hum yatluunal kitaab (“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab.”)

Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Masing-masing kelompok itu membaca dalam kitabnya membenarkan orang yang mereka ingkari. Orang-orang Yahudi kufur terhadap Isa padahal di tangan mereka terdapat Taurat yang di dalamnya Allah mengambil janji melalui lisan Musa as. untuk membenarkan Isa as. Sedangkan dalam kitab Injil yang dibawa Isa as. terdapat perintah untuk membenarkan Musa dalam kitab Taurat yang diturunkan dari sisi Allah swt. Masing-masing kelompok mengingkari kitab yang ada di tangan mereka sendiri. Mereka itu ahlul kitab yang hidup di zaman Rasulullah saw.

pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa masing-masing dari kedua kelompok membenarkan apa yang mereka tuduhkan kepada kelompok lain. Namun secara lahiriyah redaksi ayat di atas mengandung celaan terhadap apa yang mereka ucapkan, padahal mereka mengetahui kebalikan apa yang mereka ucapkan tersebut. Oleh karena itu Allah berfirman: wa Hum yatluunal kitaab (“Padahal mereka [sama-sama] membaca kitab”) maksudnya mereka mengetahui syariat Taurat dan Injil. Kedua kitab tersebut telah disyariatkan pada waktu tertentu, tetapi mereka saling mengingkari karena membangkang dan kufur serta menghadapkan suatu kebatilan dengan kebatilan yang lain. wallaaHu a’lam.

Firman Allah: kadzaalika qaalal ladziina laa ya’lamuuna mitsla qauliHim (“Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti perkataan mereka itu.”) dengan ayat ini Allah menjelaskan kebodohan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka saling melempar ucapan. Dan ini adalah nada yang bernada isyarat.

Para ulama masih berbeda pendapat siapakah yang dimaksud dalam firman Allah: alladziina laa ya’lamuun (“Orang-orang yang tidak mengetahui.”) mengenai ayat ini ar-Rabi’ bin Anas dan Qatadah mengatakan: “Orang-orang Nasrani mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh orang Yahudi.”

Masih mengenai firman-Nya: kadzaalika qaalal ladziina laa ya’lamuuna mitsla qauliHim (“Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti perkataan mereka itu.”) as-Suddi mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang Arab yang mengatakan bahwa Muhammad tidak mempunyai pegangan apapun.”

Sedangkan Abu Ja’far bin Jabir berpendapat bahwa hal itu bersifat umum berlaku bagi semua umat manusia. Dan tidak ada dalil pasti yang menetapkan salah satu dari beberapa pendapat tersebut. Maka membawa makna untuk semua pendapat di atas adalah lebih tepat. wallaaHu a’lam.

Firman Allah: fallaaHu yahkumu bainaHum yaumal qiyaamati fiimaa kaanuu fiiHi yakhtalifuun (“Maka Allah akan mengadili di antara mereka di hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih tentangnya.”) artinya Allah akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat kelak, serta memutuskan hukum di antara mereka dengan keputusan-Nya yang adil serta tidak ada kedhaliman serta mereka tidak akan didhalimi sedikitpun.

&

Tafsir Jalalayn Surah 111 Al-Lahab (Al-Masad)

12 Sep

Tafsir Jalalayn Surah 111 Al-Lahab (Al-Masad)
Tafsir Jalalayn Bahasa Indonesia

603 al kafirun an nashr al lahab

1. (Binasalah) atau merugilah (kedua tangan Abu Lahab) maksudnya diri Abu Lahab; di sini diungkapkan dengan memakai kata-kata kedua tangan sebagai ungkapan Majaz, karena sesungguhnya kebanyakan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia itu dikerjakan dengan kedua tangannya; Jumlah kalimat ini mengandung makna doa (dan sesungguhnya dia binasa) artinya dia benar-benar merugi. Kalimat ayat ini adalah kalimat berita; perihalnya sama dengan perkataan mereka: Ahlakahullaahu Waqad Halaka, yang artinya: “Semoga Allah membinasakannya; dan sungguh dia benar-benar binasa.” Ketika Nabi saw. menakut-nakutinya dengan azab, ia berkata, “Jika apa yang telah dikatakan oleh anak saudaraku itu benar, maka sesungguhnya aku akan menebus diriku dari azab itu dengan harta benda dan anak-anakku.” Lalu turunlah ayat selanjutnya, yaitu:
2. (Tidaklah berfaedah kepadanya harta benda dan apa yang ia usahakan) maksudnya apa yang telah diusahakannya itu, yakni anak-anaknya. Lafal Aghnaa di sini bermakna Yughnii, artinya tidak akan berfaedah kepadanya harta dan anak-anaknya.
3. (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak) yang besar nyalanya; kata-kata ini pun dijadikan pula sebagai julukan namanya, karena ia mempunyai muka yang berbinar-binar memancarkan sinar merah api.
4. (Dan begitu pula istrinya) lafal ini di’athafkan kepada Dhamir yang terkandung di dalam lafal Yashlaa, hal ini diperbolehkan karena di antara keduanya terdapat pemisah, yaitu Maf’ul dan sifatnya; yang dimaksud adalah Umu Jamil (pembawa) dapat dibaca Hammalaatun dan Hammaalatan (kayu bakar) yaitu duri dan kayu Sa’dan yang banyak durinya, kemudian kayu dan duri itu ia taruh di tengah jalan tempat Nabi saw. lewat.
5. Yang di lehernya) atau pada lehernya (ada tali dari sabut) yakni pintalan dari sabut; Jumlah ayat ini berkedudukan menjadi Haal atau kata keterangan dari lafal Hammaalatal Hathab yang merupakan sifat dari istri Abu Lahab. Atau kalimat ayat ini dapat dianggap sebagai Khabar dari Mubtada yang tidak disebutkan.

&

111. Surah Al-Lahab

29 Nov

Pembahasan Tentang Surat-Surat Al-Qur’an (Klik di sini)
Tafsir Ibnu Katsir (Klik di sini)

Surat ini terdiri atas 5 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Al Fath. Nama Al Lahab diambil dari kata Al Lahab yang terdapat pada ayat ketiga surat ini yang artinya gejolak api. Surat ini juga dinamakan surat Al Masad.

Pokok-pokok isinya:
Cerita Abu Lahab dan isterinya yang menentang Rasul s.a.w. Keduanya akan celaka dan masuk neraka. Harta Abu Lahab, tak berguna untuk keselamatannya demikian pula segala usaha-usahanya.
Surat Al Lahab menjelaskan kegagalan lawan-lawan Muhammad s.a.w.

HUBUNGAN SURAT AL LAHAB DEGAN SURAT AL IKHLASH

Surat Al Lahab mengisyaratkan bahwa kemusyrikan itu tidak dapat dipertahankan dan tidak akan menang walaupun pendukung-pendukungnya bekerja keras. Surat Al Ikhlash mengemukakan bahwa tauhid dalam Islam adalah tauhid yang semurni-murninya.