Tag Archives: 157

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 157

4 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 157“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-A’raaf: 157)

Alladziina yattabi’uunar rasuulan nabiyyal ummiyyal ladzii yajiduunaHuu maktuuban ‘indaHum fit tauraati wal injiili (“[Yaitu] orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang [namanya] mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.”) Ini adalah sifat Muhammad dalam kitab-kitab para Nabi. Mereka telah menyampaikan kabar gembira kepada umat mereka, akan diutusnya Muhammad, serta mereka memerintahkan untuk mentaatinya. Sifat-sifat Nabi Muhammad masih tetap ada di dalam kitab-kitab, yang diketahui oleh para pemuka agama dan pendeta mereka.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Isma’il menceritakan kepada kami, dari al-Jurairi, dari Abu Shakhr al-‘Uqaili, dari seseorang Badui, ia berkata: “Aku pernah membawa kambing perahan ke Madinah pada masa Rasulullah saw. Setelah selesai menjualnya, aku katakan: ‘Akan aku temui orang ini, lalu akan kudengar petuah darinya.’ Kemudian beliau bertemu denganku, sedang (beliau) berada di antara Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka semua berjalan, lalu aku mengikuti mereka sehingga melewati seseorang dari kaum Yahudi yang sedang membuka Taurat. la membacanya untuk menghibur dirinya karena puteranya yang paling bagus dan paling tampan akan meninggal dunia. Lalu Rasulullah bertanya: ‘Aku bertanya kepadamu, demi Yang menurunkan Taurat, apakah kau mendapatkan di dalam kitabmu ini sifat dan tempat kemunculanku?’ la menjawab dengan memberikan isyarat gelengan kepala, yang berarti tidak. Tetapi puteranya (yang akan mati itu) berkata: ‘Demi Yang menurunkan Taurat, sesungguhnya kami mendapati di dalam kitab kami sifat dan tempat kemunculanmu. Dan sesungguhnya aku bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah.’
Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Hindarkan orang-orang Yahudi itu dari saudaramu ini.’ Setelah itu, beliau mengkafani dan menshalatkannya. (Hadits ini jayyid qawiyy [baik dan kuat] serta mempunyai bukti yang memperkuatnya dalam kitab shahih, dari Anas)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari `Atha’ bin Yasar, ia mengatakan, aku pernah bertemu dengan ‘Abdullah bin ‘Amr, lalu kukatakan: “Beritahukan kepadaku mengenai sifat Rasulullah saw. yang terdapat di dalam Taurat!” la menjawab: “Baiklah, demi Allah, beliau disifati di dalam Taurat sama dengan sifat beliau di dalam al-Qur’an: ‘Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan, juga sebagai pelindung bagi kaum ummiyyin (orang-orang yang tidak dapat membaca dan menulis). Engkau adalah hamba dan Rasul-Ku. Sebutanmu al-Mutawakkil (yang berserah diri), tidak berperangai jahat dan kasar, serta tidak diwafatkan Allah sehingga (sebelum) ia dapat menegakkan agama yang telah menyimpang dengan mengajak mereka mengucapkan, bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan hanya Allah semata. Yang dengannya ia membuka quluuban ghulfan wa adzanan shumman wa a’yanan ‘amiyyan (hati yang tertutup, telinga yang tuli dan mata yang buta)

Selanjutnya `Atha’ berkata: “Lalu kutemui Ka’ab dan kutanyakan hal tersebut kepadanya, namun jawabannya tidak berbeda, hanya saja ia meIjawab: “Telah datang kepadaku,” lalu ia berkata: ” quluuban ghuluufiyan wa adzanan shumuumiyan wa a’yanan ‘amuumiyan (hati yang tertutup, telinga yang tuli dan mata yang buta).”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, dari Muhammad bin Sinan, Fulaih, dari Hilal bin ‘Ali. Dan ia menyebutkan hadits yang sama dengan isnadnya. Dan setelah ungkapannya: “Tidak berperangai jahat dan kasar,” ia menambahkan: “Dan tidak suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi ia suka memaafkan dan mengampuni.”

Dan firman Allah: ya’muruHum bilma’ruufi wa yanHaaHum ‘anil munkar (“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang baik dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar.”) Demikian itulah sifat Rasulullah saw yang tertulis dalam kitab-kitab yang turun sebelum al-Qur’an. Dan demikian itu pula keadaan Rasulullah saw., beliau tidak menyuruh melainkan kebaikan dan tidak mencegah melainkan kejahatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Abdullah bin Masud. “Jika engkau mendengar Allah berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanuu (“Hai orang-orang yang beriman,”) maka hendaklah engkau memasang pendengaranmu, karena seperti itu merupakan kebaikan yang engkau diperintahkan untuk mengerjakannya, atau keburukan yang engkau diperintahkan untuk menghindarinya.”

Di antara yang terpenting dan paling agung dari pengutusan beliau adalah perintah untuk beribadah kepada-Nya semata, yang tiada sekutu bagi-Nya serta larangan untuk beribadah kepada selain-Nya. Sebagaimana hal itu telah diemban oleh seluruh Rasul sebelum beliau. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat [untuk menyerukan]: Beribadahlah kepada Allah saja dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl: 36)

Dari Abu Humaid dan Abu Usaid ra. bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda:
“Jika kalian mendengar hadits dariku, sedang hati kalian dapat mengenalnya, perasaan dan kulit kalian pun dapat menerimanya dan kalian memandang bahwa ia (hadits) itu sangat dekat dari kalian, maka aku adalah orang yang paling pertama dekat dengannya daripada kalian. Dan jika kalian mendengar sebuah hadits dariku, sedang hati kalian menolaknya, serta perasaan dan kulit kalian pun menjauhinya dan kalian memandang bahwa ia (hadits) itu sangat jauh dari kalian, maka aku adalah orang yang paling jauh darinya daripada kalian.” (HR. Imam Ahmad, dengan isnad jayyid, tetapi tidak dikeluarkan oleh seorang pun dari penulis kitab hadits lainnya)

Dan firman-Nya: wa yuhillu laHumuth thayyibaati wa yuharrimu ‘alaiHimul khabaa-its (“Serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.”) Artinya, la menghalalkan bagi mereka apa-apa yang sebelumnya mereka haramkan terhadap diri mereka sendiri, seperti binatang; bahiirah, saa-ibah, washiilah, ham (Lihat tafsir surat al-Maa-idah, ayat 103) dan lain sebagainya, yang karenanya mereka telah mempersempit diri mereka sendiri. Juga mengharamkan bagi mereka semua hal yang buruk.

‘Ali bin Abi Thalhah menuturkan, dari Ibnu ‘Abbas: Misalnya; daging babi, riba dan berbagai makanan haram yang mereka halalkan, yang telah diharamkan oleh Allah Ta’ala.
Sebagian ulama mengatakan, setiap makanan yang dihalalkan Allah adalah baik dan bermanfaat dalam badan dan agama. Dan setiap makanan yang diharamkan Allah Ta’ala, adalah buruk dan berbahaya dalam badan dan agama.

Firman-Nya: wa yadla’u ‘anHum ishraHum wal aghlaalal latii kaanat ‘alaiHim (“Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.”) Maksudnya, bahwa ia datang dengan membawa kemudahan. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan melalui beberapa jalan, dari Rasulullah saw. beliau bersabda:
“Aku diutus dengan (agama yang) haniifiyyatis samhah (lures, bersih dari syirik, yang penuh kemudahan).” (HR Ahmad)

Dan Rasulullah pernah berpesan kepada kedua amirnya, Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari, ketika beliau mengutus keduanya ke Yaman: “Sampaikanlah berita gembira dan janganlah kalian membuat orang lari. Berikanlah kemudahan dan jangan mempersulit, serta hendaklah kalian saling bersepakat dan janganlah berselisih.” (Muttafaq’alaih)

Salah seorang Sahabat Rasulullah saw, Abu Barzah al-Aslami berkata: “Aku pernah menemani Rasulullah saw. dan aku pernah menyaksikan kemudahan yang disampaikannya.”

Umat-umat terdahulu sebelum kita merasa sempit atas syariat yang diberikan kepada mereka. lalu Allah mempermudah dan memperluas urusan umat ini. Oleh karena itu Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah memberi maaf bagi umatku yang terbersit dalam dirinya, selama ia belum mengucapkan atau mengerjakannya.”

Beliau juga bersabda:
“Dimaafkan atas umatku kesalahan, kelupaan dan apa yang dipaksakan kepada mereka.” (HR Ibnu Majah, Baihaqi dll)

Oleh karena itu, Allah telah membimbing umat ini untuk berdo’a:
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Berikanlah maaf kepada kami, ampunilah kami, dan berilah rahmat kepada kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dan dalam Shahih Muslim ditegaskan, bahwa Allah Ta’ala menjawab setiap permohonan tersebut, “Qad fa’altu, qad fa’altu” (“Sungguh, Aku telah melakukannya. Sungguh, Aku telah melakukannya.”)

Firman Allah selanjutnya: fal ladziina aamanuu biHii wa ‘azzaruuHu wanasharuuHu (“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, dan menolongnya.”) Maksudnya, mengagungkan dan menghormatinya.

Sedangkan firman-Nya: wat taba’un nuural ladzii unzila ma’aHu (“Dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya.”) Yaitu, al-Qur’an dan wahyu yang dibawanya untuk disampaikan kepada umat manusia.
Ulaa-ika Humul muflihuun (“Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”) Yakni di dunia dan di akhirat.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 155-157

6 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 155-157“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (QS. Al-Baqarah: 155) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. Al-Baqarah: 156) Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 157)

Allah swt. memberitahukan bahwa Dia akan menguji hamba-hamba-Nya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surat lain yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan mengujimu agar Kami mengetabui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antaramu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS. Muhammad: 31)

Terkadang Dia memberikan ujian berupa kebahagiaan dan pada saat yang lain Dia juga memberikan ujian berupa kesusahan, seperti rasa takut dan kelaparan. Firman-Nya: fa adzaaqaHallaaHu libaasal juu’i wal khaufi (“Oleh karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan.”)(QS. An-Nahl: 112)

Karena orang yang sedang dalam keadaan lapar dan takut, ujian pada keduanya akan sangat terlihat jelas. Oleh karena itu Dia berfirman, “Pakaian kelaparan dan ketakutan.”

Dalam surat al-Baqarah ini, Allah swt. berfirman: bi syai-im minal minal khaufi wal juu-‘i (“Dengan sedikit ketakutan dan kelaparan.”) wa naqshim minal amwaali (“Dan kekurangan harta.”) Artinya, hilangnya sebagian harta. Wal anfusi (“serta jiwa”) misalnya meninggalnya para sahabat, kerabat, dan orang-orang yang dicintai. Wats-tsamaraaat (“Dan buah-buahan.”) Yaitu kebun dan sawah tidak dapat diolah sebagaimana mestinya. Sebagaimana ulama mengemukakan: “Di antara pohon kurma ada yang tidak berbuah kecuali hanya satu buah saja.”

Semua hal di atas dan yang semisalnya adalah bagian dari ujian Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Barangsiapa bersabar, maka Dia akan memberikan pahala baginya, dan barangsiapa berputus asa karenanya maka Dia akan menimpakan siksaan terhadapnya. Oleh karena itu, di sini Allah Ta’ala berfirman: wa basy-syirish shaabiriin (“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang sabar.”)

Setelah itu Allah menjelaskan tentang orang-orang yang sabar yang dipuji-Nya, dengan firman-Nya: alladziina idzaa ashaabatHum mushiibatun qaaluu innaa lillaaHi wa innaa ilaiHi raaji’uun (“Yaitu orang-orang yang apaabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un. [Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kami kembali].”)

Artinya, mereka menghibur diri dengan ucapan ini atas apa yang menimpa mereka dan mereka mengetahui bahwa diri mereka adalah milik Allah Ta’ala, la memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, mereka juga mengetahui bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amalan mereka meski hanya sebesar biji sawi pada hari kiamat kelak. Dan hal itu menjadikan mereka mengakui dirinya hanyalah seorang hamba di hadapan-Nya, dan mereka akan kembali kepada-Nya kelak di akhirat. Oleh karena itu, Allah swt. memberitahukan mengenai apa yang diberikan kepada mereka itu, di mana Dia berfirman: ulaa-ika ‘alaiHim shalawaatum mir rabbiHim wa rahmatun (“Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka.”) Artinya, pujian dari Allah Ta’ala atas mereka. Dan menurut Sa’id bin Jubair, “Artinya, keselamatan dari adzab.”

Firman-Nya: ulaa-ika Humul muHtaduun (“Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”) Amirul Mu’minin Umar ra. mengatakan: “Alangkah nikmatnya dua balasan itu, dan betapa menyenangkan [anugerah] tambahan itu.” ulaa-ika ‘alaiHim shalawaatum mir rabbiHim wa rahmatun (“Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka.”) inilah tambahan. Mereka itulah orang-orang yang diberi pahala-pahala dan diberikan pula tambahan.

Mengenai pahala mengucapkan “Innaa lillaaHi wa innaa ilaiHi raaji’uun” ketika tertimpa musibah telah banyak dimuat di banyak hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Ummu Salamah ia bercerita, pada suatu hari Abu Salamah mendatangiku dari tempat Rasulullah saw. lalu ia menceritakan, aku telah mendengar ucapan Rasulullah saw. yang membuatku merasa senang, beliau bersabda:

“Tidaklah seseorang dari kaum Muslimin ditimpa musibah, lalu ia membaca =innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un= kemudian mengucapkan, (Ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini dan berikanlah ganti padaku yang lebih baik darinya) melainkan akan dikabulkan doanya itu.” Ummu Salamah bertutur, kemudian aku menghafal doa dari beliau itu, dan ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku pun mengucapkan, innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un, dan mengucapkan, ‘Ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini dan berikanlah ganti kepadaku yang lebih baik darinya.’ Kemudian mengintrospeksi diri, dengan bertanya, “Dari mana aku akan memperoleh yang lebih baik dari Abu Salamah?” Setelah masa iddahku berakhir, Rasulullah izin kepadaku. Ketika itu aku sedang menyamak kulit milikku, lalu aku mencuci tanganku dari qaradz (daun yang digunakan menyamak).
Lalu kuizinkan beliau masuk dan kusiapkan untuknya bantal tempat duduk yang isinya dari sabut, maka beliau pun duduk di atasnya. Lalu beliau menyampaikan lamaran kepada diriku. Setelah selesai beliau berbicara, kukatakan, “Ya Rasulullah, kondisiku akan membuat Anda tak berminat. Aku ini seorang wanita yang sangat pecemburu, maka aku takut Anda mendapatkan diriku sesuatu, yang karenanya Allah akan mengadzabku, dan aku sendiri sudah tua dan mempunyai banyak anak.” Maka beliau bersabda, “Mengenai kecemburuanmu yang engkau sebutkan, maka semoga Allah melenyapkannya dari dirimu. Dan usia tua yang engkau sebutkan, maka aku pun juga mengalami apa yang engkau alami. Dan mengenai keluarga yang engkau sebutkan itu, maka sesungguhnya keluargamu adalah keluargaku juga.”

Maka Ummu Salamah menyerahkan diri kepada Rasulullah saw. lalu beliau menikahinya, dan setelah itu Ummu Salamah berujar: “Allah telah memberikan ganti kepadaku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah saw.

Dalam kitab Shahih Muslim disebtukan bahwa Ummu Salamah mengatakan: aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seorang hamba ditimpa musibah, lalu ia mengucapkan: innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un. Ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini dan berikanlah ganti kepadaku yang lebih baik darinya; melainkan Allah akan memberikan pahala kepadanya dalam musibah itu dan memberikan ganti kepadanya dengan yang lebih baik darinya.” Kata Ummu Salamah, ketika Abu Salamah meninggal, maka aku mengucapkan apa yang diperintahkan Rasulullah kepadaku, maka Allah Ta’ala memberikan ganti kepadaku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah A. (HR. Muslim).

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Fatimah binti Husain, dari ayahnya, Husain bin Ali, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim, laki-laki maupun perempuan ditimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, meski waktunya sudah lama berlalu, kemudian ia membaca kalimat istirja’ (innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un) untuknya, melainkan Allah akan memperbaharui pahala baginya pada saat itu, lalu Dia memberikan pahala seperti pahala yang diberikan-Nya pada hari musibah itu menimpa.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah; Dha’if sekali; Dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iiful Jaami’ [5434].-ed.)

Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Abu Sinan, ia menceritakan, Aku sedang menguburkan anakku. Ketika itu aku masih berada di liang kubur, tiba-tiba tanganku ditarik oleh Abu Thalhah al-Khaulani dan mengeluarkan diriku darinya seraya berucap, “Maukah aku sampaikan berita gembira untukmu?” “Mau,” jawabnya. Ia berkata, adh-Dhahhak bin Abdur Rahman bin Auzab telah mengabarkan kepadaku, dari Abu Musa, katanya Rasulullah pernah bersabda:
“Allah berfirman, ‘Hai malaikat maut, apakah engkau sudah mencabut nyawa anak hamba-Ku? Apakah engkau mencabut nyawa anak kesayangannya dan buah hatinya?’ ‘Ya, jawab malaikat. ‘Lalu apa yang ia ucapkan?’ tanya Allah. Malaikat pun menjawab, ‘Ia memuji-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’. Maka Allah berfirman (kepada para malaikat): ‘Buatkan untuknya sebuah rumah di surga, dan namailah rumah itu dengan baitul hamdi (rumah pujian).’”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam at-Tirmidzi, dari Suwaid bin Nashr, dari Ibnu al-Mubarak. Menurutnya, hadits tersebut hasan gharib. Nama Abu Sinan adalah Isa bin Sinan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 156-158

18 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 156-158“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh”. Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Ali ‘Imraan: 156) Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.(QS. Ali ‘Imraan: 157) Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan.” (QS. Ali ‘Imraan:158)

Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam keyakinan mereka yang rusak seperti yang tertuang dalam ungkapan mereka mengenai saudara-saudara mereka yang meninggal dalam perjalanan dan peperangan, “Seandainya mereka meninggalkan perang tersebut, pasti mereka tidak akan tertimpa musibah itu.”

Maka Allah berfirman, yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa takuunuu kalladziina kafaruu wa qaaluu li ikhwaaniHim (“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir [orang-orang munafik] itu, yang mengadakan kepada saudara-saudara mereka.”) Yakni, mengenai saudara-saudara mereka.

Idzaa dlarabuu fil ardli (“Apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi.”) Yaitu, ketika mereka mengadakan perjalanan untuk berdagang atau kegiatan lainnya, au kaanuu ghuzzan (“atau mereka berperang.”) Yakni, ketika mereka berada dalam peperangan. Lau kaanuu ‘indanaa (“Kalau mereka tetap bersama-sama kita.”) Yakni, tetap menetap di kampung ini. Maa maatuu wa maa qutiluu (“Tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.”) Maksudnya, mereka tidak akan mati dalam perjalanan dan tidak dibunuh dalam peperangan.

Dan firman Allah: liyaj’alallaaHu dzaalika hasratan fii quluubiHim (“Akibat [dari per-kataan dan keyakinan mereka] yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat, di dalam hati mereka.”) Maksudnya, Allah menciptakan keyakinan tersebut dalam diri mereka untuk menambah penyesalan atas orang-orang yang mati dan terbunuh.

Kemudian Allah berfirman sebagai bantahan terhadap mereka: wallaaHu yuhyii wa yumiitu (“Allah menghidupkan dan mematikan.”) Artinya, di tangan-Nya penciptaan itu berada dan kepada-Nya segala sesuatu kembali. Tidak seorang pun hidup dan mati kecuali atas kehendak dan takdir-Nya. Dan tidak akan bertambah atau berkurang umur seseorang, karena semuanya telah ditetapkan melalui qadha dan qadar-Nya.

Firman-Nya, wallaaHu bimaa ta’maluuna bashiir (“Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.”) Maksudnya, ilmu dan penglihatan-Nya menembus seluruh makhluk-Nya. Tidak ada sesuatu pun dari urusan mereka yang tersembunyi dari-Nya.

Firman-Nya: wa la-in qutiltum fii sabiilillaaHi au muttum lamaghfiratum minallaaHi wa rahmatun khairum mimmaa yajma’uun (“Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik [bagimu] dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.”) Ayat ini mengandung makna bahwa berperang dan mati di jalan Allah merupakan salah satu sarana mendapatkan rahmat, ampunan, dan ke-ridhaan-Nya. Dan yang demikian itu lebih baik daripada tetap hidup di dunia ini dan memperoleh segala isinya yang fana ini.

Selanjutnya Allah memberitakan bahwa semua orang yang meninggal atau terbunuh tempat kembalinya adalah Allah. Dan Dia akan memberikan balasan sesuai dengan amal yang pernah dikerjakannya, jika berbuat baik, maka kebaikan yang akan diperolehnya. Dan sebaliknya, jika berbuat jahat, maka kejahatan pula yang akan didapatnya. Allah berfirman, wa la-im muttum au qutiltum la-ilallaaHi tuhsyaruun (“Dan sesungguhnya jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan.”)

&