Tag Archives: 171

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 171

17 Nov

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 171
Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 171

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kalian mengatakan, ‘(Tuhan itu) tiga,’ berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. Sesung­guhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Allah dari mem­punyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah untuk menjadi Pemelihara.” (An-Nisaa’ ayat 171)

Allah Swt. melarang Ahli Kitab bersikap melampaui batas dan me­nyanjung secara berlebihan. Hal ini banyak dilakukan oleh orang-orang Nasrani, karena sesungguhnya mereka melampaui batas sehu­bungan dengan Isa. Mereka mengangkatnya di atas kedudukan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, lalu memindahkannya dari tingkat kenabian sampai menjadikannya sebagai tuhan selain Allah yang mereka sembah sebagaimana mereka menyembah Dia.

Bahkan pengikut dan golongannya —yaitu dari kalangan orang-orang yang mengakui bahwa dirinya berada dalam agamanya (Isa)— bersikap berlebihan pula, lalu mereka mengakui dirinya terpelihara dari kesalahan. Akhirnya para pengikut mereka mengikuti semua yang dikatakannya, baik hak atau batil, baik sesat atau benar, baik jujur ataupun dusta. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mere­ka sebagai tuhan selain Allah. (Ai-Taubah: 31), hingga akhir ayat.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم قَالَ: زَعَمَ الزُّهْرِي، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبة بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: “لَا تُطْرُوني كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ”.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan bahwa Az-Zuhri menduga dari Ubaidillah ibnu Ab­dullah ibnu Atabah ibnu Mas’ud, dari Ibnu Abbas, dari Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana orang-orang Nasrani menyanjung-nyanjung Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakan­lah, “Hamba dan utusan Allah.”

Kemudian ia meriwayatkannya pula —juga Ali ibnul Madini-— dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri. yang lafaznya seperti berikut:

«إنما أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ»

Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah oleh kalian, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Ali ibnul Madini mengatakan bahwa predikat hadis ini sahih lagi musnad. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Al-Humaidi. dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri yang lafaznya berbunyi seperti berikut:

“فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ”

Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا حمَّاد بْنِ سَلَمَة، عَنْ ثَابِتٍ البُناني، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَجُلًا قَالَ: مُحَمَّدٌ يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَهْويَنَّكُمُ الشيطانُ، أَنَا محمدُ بنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ”

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit Al-Bannani, dari Anas ibnu Malik, bahwa seorang lelaki pernah mengatakan, “Ya Muhammad, ya tuan kami, anak tuan kami yang paling baik dari kami, dan anak orang yang paling baik dari kami.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai manusia, peliharalah ucapan kalian, dan jangan sekali-kali setan menjerumuskan kalian. Aku adalah Muhammad ibnu Ab­dullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak suka bila kalian mengangkatku di atas kedudukanku yang telah diberi­kan oleh Allah Swt. kepadaku.

Hadis ini bila ditinjau dari segi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (sendirian).

*

Firman Allah Swt.:

{وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ}

dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.(An-Nisa: 171)

Maksudnya, janganlah kalian membuat kedustaan terhadap-Nya dan menjadikan bagi-Nya istri dan anak. Mahasuci Allah lagi Mahatinggi dari hal itu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya, Mahasuci lagi Maha Esa Zat Allah dalam sifat Keagungan dan Kebesaran-Nya. Tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada Rabb selain Dia.

Dalam ayat Selanjutnya disebutkan:

{إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ}

Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan(yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan­Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171)

Sesungguhnya Isa itu hanyalah seorang hamba Allah dan makhluk yang diciptakan-Nya. Allah berfirman kepadanya, “Jadilah kamu,” maka jadilah dia. Dia (Isa) hanyalah utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Allah sampaikan kepada Maryam. Dengan kata lain, Allah menciptakan Isa melalui kalimat perintah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril a.s. dari Allah Swt. kepada Maryam. Lalu Malaikat Jibril me­niupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh Maryam dengan seizin Allah. Maka jadilah Isa dengan seizin Allah.

Embusan itu ditiupkan oleh Malaikat Jibril ke dalam baju kurung Maryam, lalu tiupan itu turun hingga masuk ke dalam farjinya, sama kedudukannya dengan pembuahan yang dilakukan oleh seorang lelaki kepada istrinya: semuanya adalah makhluk Allah Swt. Karena itu, di­katakan bahwa Isa adalah kalimat Allah dan roh dari ciptaan-Nya, mengingat kejadiannya tanpa melalui proses seorang ayah. Sesung­guhnya ia timbul dari kalimah yang diucapkan oleh Allah melalui Jib­ril kepada Maryam, yaitu kalimat kun (Jadilah), maka jadilah Isa, dan roh yang dikirimkan oleh Allah kepada Maryam melalui Jibril. Allah Swt berfirman:

{مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلانِ الطَّعَامَ}

Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesung­guhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya se­orang yang sangat benar, keduanya biasa memakan makanan. (Al-Maidah: 75)

Allah Swt. telah berfirman:

{إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}

Sesungguhnya misal penciptaan Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudi­an Allah berfirman kepadanya, “Jadilah!” (seorang manusia). Maka jadilah dia. (Ali Imran: 59)

{وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِلْعَالَمِينَ}

Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormat­annya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 91)

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا

dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormat­annya. (At-Tahrim: 12), hingga akhir ayat.

Firman Allah Swt. menceritakan perihal Isa Al-Masih, yaitu:

إِنْ هُوَ إِلا عَبْدٌ أَنْعَمْنَا عَلَيْهِ

Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepa­danya nikmat (kenabian). (Az-Zukhruf: 59), hingga akhir ayat.

Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya:

{وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ}

dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa:171)

Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:

{كُنْ}

Jadilah/ Maka terjadilah ia. (Yasin: 82)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ah­mad ibnu Sinan Al-Wasiri yang mengatakan bahwa ia pernah mende­ngar Syaz ibnu Yahya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

{وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ}

dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171)

Bahwa bukanlah kalimat yang menjadikan Isa, tetapi dengan kalimat itu akhirnya jadilah Isa.

Pendapat ini lebih baik daripada apa yang di­katakan oleh Ibnu Jarir sehubungan dengan firman-Nya:

{أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ}

Yang disampaikan-Nya kepada Maryam. (An-Nisa: 171)

Makna yang dimaksud ialah Allah mengajarkan kalimat itu kepada Maryam. sama seperti apa yang dikatakannya sehubungan dengan makna firman-Nya:

{إِذْ قَالَتِ الْمَلائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ}

(Ingatlah) ketika malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya. (Ali Imran: 45)

Makna yang dimaksud ialah mengajarkan kepadamu suatu kalimat dari-Nya. Ibnu Jarir menjadikan makna ayat ini sama dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:

{وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ}

Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu. (Al-Qashash: 86)

Bahkan pendapat yang sahih (benar) ialah yang mengatakan bahwa kalimat tersebut didatangkan oleh Malaikat Jibril kepada Maryam, lalu Malaikat Jibril meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh Mar­yam dengan seizin Allah. Maka jadilah Isa a.s.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي عُمَيْر بْنُ هَانِئٍ، حَدَّثَنِي جُنَادةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وروحٌ مِنْهُ، والجنةَ حُقٌّ، والنارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ”. قَالَ الْوَلِيدُ: فَحَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ عُمير بْنِ هَانِئٍ، عَنْ جُنَادة زَادَ: “مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid Al-Auza’i, telah menceritakan kepadaku Umair ibnu Hani’, telah mence­ritakan kepada kami Junadah ibnu Abu Umayyah, dari Ubadah ibnus Samit, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya serta kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta roh dari-Nya, dan bahwa surga itu benar, neraka itu benar, nis­caya Allah akan memasukkannya ke dalam surga berdasarkan amal yang telah dikerjakannya. Al-Walid mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, dari Umair ibnu Hani’, dari Junadah yang di dalamnya disebutkan tambahan, yaitu: (Allah memasukkannya) ke dalam salah satu dari pintu-pintu surga yang delapan buah, dia boleh memasukinya dari pintu ma­na pun yang disukainya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Daud ibnu Rasyid, dari Al-Walid, dari Ibnu Jabir dengan lafaz yang sama. Dari jalur yang lain dari Al-Auza’i dengan lafaz yang sama.

Firman Allah yang ada dalam ayat, dan hadis yang semakna, ya­itu:

{وَرُوحٌ مِنْهُ}

dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171) semakna dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

{وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ}

Dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. (Al-Jatsiyah: 13)

Yakni dari kalangan makhluk-Nya dan dari sisi-Nya. Lafaz min di sini bukan untuk makna tab’id (sebagian) seperti yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani —semoga laknat Allah yang berturut-turut menimpa mereka— melainkan makna yang dimaksud ialah ibtida-ul goyah, seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

{وَرُوحٌ مِنْهُ}

dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa; 171)

Yang dimaksud dengan ruhun dalam ayat ini ialah rasulun minhu, yakni urusan dari-Nya. Sedangkan selain Mujahid mengatakan ma-habbatan minhu, yakni kasih sayang dari-Nya. Tetapi pendapat yang kuat ialah yang pertama, yaitu yang mengatakan bahwa Nabi Isa di-ciptakan dari roh ciptaan-Nya. Kemudian lafaz roh di-mudaf-kan (di­gandengkan) dengan-Nya dengan maksud mengandung pengertian tasyrif (kehormatan), sebagaimana lafaz naqah (unta) di-mudaf-kan kepada Allah, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

{هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ}

Unta betina Allah ini. (Al-A’raf: 73) Dan lafaz baitun (rumah) yang terdapat di dalam firman-Nya:

{وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ}

Bersihkanlah rumah-Ku, untuk orang-orang yang tawaf. (Al-Hajj: 26)

Juga seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengata­kan:

“فَأَدْخُلُ عَلَى رَبِّي فِي دَارِهِ”

Maka aku masuk menemui Tuhanku di dalam rumah-Nya.

Nabi Saw. me-mudaf-kan lafaz darun (rumah) kepada Allah dengan maksud sebagai kehormatan terhadap rumah tersebut. Masing-masing dari apa yang telah disebutkan termasuk ke dalam bab yang sama.

*

Firman Allah Swt,:

{فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ}

Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. (An-Nisa: 171)

Maksudnya, percayalah bahwa Allah adalah Satu, lagi Maha Esa, ti­ada beranak, dan tiada beristri; dan ketahuilah serta yakinilah bahwa Isa itu adalah hamba dan Rasul-Nya.

Dalam firman Selanjutnya disebutkan:

{وَلا تَقُولُوا ثَلاثَةٌ}

dan janganlah kalian mengatakan, “(Tuhan itu) tiga.” (An-Nisa: 171)

Yakni janganlah kalian menjadikan Isa dan ibunya digandengkan de­ngan Allah sebagai dua orang yang mcnyekutui-Nya. Mahatinggi Allah dari hal tersebut dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Di dalam surat Al-Maidah Allah Swt. berfirman:

{لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ}

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwa­sanya Allah salah seorang dari yang tiga,” padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. (Al-Maidah: 73}

Dalam ayat lainnya —masih dalam surat yang sama— Allah Swt. berfirman pula:

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman.”Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku.’ (Al-Maidah: 116) hingga akhir ayat.”

Dalam Surat Al-Maidah pada ayat lainnya Allah Swt. berfirman:

{لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ}

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Se­sungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam.” (Al-Maidah: 17 dan 72), hingga akhir ayat.

Orang-orang Nasrani —la’natullahi ‘alaihim— karena kebodohan mereka, maka mereka tidak ada pegangan; kekufuran mereka tidak terbatas, bahkan ucapan dan kesesatannya sudah parah. Ada yang beranggapan bahwa Isa putra maryam adalah Tuhan, ada yang menganggapnya sebagai sekutu, dan ada yang menganggapnya sebagai anak. Mereka terdiri atas berbagai macam sekte yang cukup banyak jumlahnya; masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, dan penda­pat mereka tidak ada yang sesuai, semuanya bertentangan.

Salah seorang ahli ilmu kalam (Tauhid) mengatakan suatu penda­pat yang tepat, bahwa seandainya ada sepuluh orang Nasrani berkum­pul, niscaya pendapat mereka berpecah-belah menjadi sebelas penda­pat.

Salah seorang ulama Nasrani yang terkenal di kalangan mereka (yaitu Sa’id ibnu Patrik yang tinggal di Iskandaria pada sekitar tahun empat ratus Hijriah) menyebutkan bahwa mereka mengadakan suatu pertemuan besar yang di dalamnya mereka melakukan suatu misa be­sar.

Padahal sesungguhnya hal tersebut tiada lain hanyalah suatu pengkhianatan yang hina lagi rendah. Hal ini terjadi pada masa Kon­stantinopel, pembangun kota yang terkenal itu. Lalu mereka berselisih pendapat dalam pertemuan tersebut dengan perselisihan yang tidak terkendali dan tidak terhitung banyaknya pendapat yang ada. Jumlah mereka lebih dari dua ribu uskup. Mereka menjadi golongan yang banyak lagi berpecah belah. Setiap lima puluh orang dari mereka mem­punyai pendapat sendiri, dan setiap dua puluh orang dari mereka mempunyai pendapat sendiri, setiap seratus orang dari mereka ada yang mempunyai pendapatnya sendiri, dan setiap tujuh puluh orang mem­punyai pendapatnya sendiri, ada pula yang lebih dan kurang dari jumlah tersebut mempunyai pendapat yang berbeda.

Ketika Raja Konstantinopel melihat kalangan mereka demikian, ada sejumlah orang yang banyaknya kurang lebih tiga ratus delapan belas orang uskup sepakat dengan suatu pendapat Maka raja meng­ambil golongan itu, lalu mendukung dan memperkuatnya.

Raja Konstantinopel dikenal sebagai seorang filosof berwatak ke­ras dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Lalu raja menghim­pun persatuan mereka dan membangun banyak gereja buat mereka serta membuat kitab-kitab dan undang-undang untuk mereka. Lalu mereka membuat suatu amanat yang mereka ajarkan kepada anak-anak agar mereka meyakininya sejak dini, mengadakan pembaptisan besar-besaran atas dasar itu. Para perigikut mereka dikenal dengan nama sekte Mulkaniyah.

Kemudian mereka mengadakan suatu pertemuan lain yang kedua, maka terjadilah di kalangan mereka sekte Ya’qubiyah. Pada pertemu­an yang ketiga terbentuklah sekte Nusturiyan.

Ketiga golongan tersebut pada dasarnya mengukuhkan ajaran tri­nitas yang antara lain ialah Al-Masih. Tetapi mereka berbeda pen­dapat mengenai kaifiyatnya sehubungan dengan masalah lahut dan nasut-nya, masing-masing mempunyai dugaan sendiri. Apakah dia manunggal atau tidak, bersatukah atau menitis. Pada kesimpulannya pendapat mereka terpecah menjadi tiga pendapat, masing-masing go­longan mengalirkan golongan yang lain, sedangkan kita mengalirkan semuanya. Karena itu, dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:

{انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ}

berhentilah kalian (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. (An-Nisa: 171)

Maksudnya, akan lebih baik bagi kalian.

{إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ}

Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Allah da­ri mempunyai anak. (An-Nisa: 171)

Yakni Mahasuci lagi Mahatinggi Allah dari hal tersebut dengan ke­tinggian yang setinggi-tingginya.

{لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا}

Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cu­kuplah Allah untuk menjadi Pemelihara. (An-Nisa: 171)

Artinya, semuanya adalah makhluk dan milik Allah, dan semua yang ada di antara keduanya adalah hamba-hamba-Nya, mereka berada da­lam pengaturan dan kekuasaan-Nya. Dialah Yang memelihara segala sesuatu, mana mungkin bila dikatakan bahwa Dia mempunyai istri dan anak dari kalangan mereka. Dalam ayat yang lain disebutkan me­lalui firman-Nya:

{بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ}

Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak. (Al-An’am: 101), hingga akhir ayat.

Allah Swt. telah berfirman dalam ayat yang lain, yaitu:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا. لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا

Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. (Maryam: 88-89)

sampai dengan firman-Nya:

فَرْدًا

dengan sendiri-sendiri. (Maryam: 95)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 171

6 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 171“Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan, dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka): ‘Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu [amalkanlah] apa yang tersebut di dalamnya, supaya kamu menjadi orang-orang
yang bertakwa.’” (QS. al-A’raaf: 171)

Mengenai firman-Nya: wa idz nataqnal jabala fauqaHum (“Dan [ingatlah], ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka,”) `Ali bin’ Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu Abbas: “nataqnaa” artinya adalah: “rafa’naa” (Kami angkat). Sebagaimana firman-Nya: wa rafa’naa fauqaHum thuura (“Dan telah Kami angkat ke atas [kepala] mereka bukit Thursina.” (QS. An-Nisaa’: 154).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 170-171

6 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 170-171“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telab diturunkan Allah.’ Mereka menjawab: ‘(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.’ (QS. Al-Baqarah: 170) Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalab seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 171)

Allah Ta’ala berfirman, dan jika dikatakan kepada orang-orang kafir dari kalangan kaum musyrikin, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah Ta’ala kepada rasul-Nya dan tinggalkanlah kesesatan dan kebodohan yang sedang menyelimuti kalian.” Menjawab firman-Nya itu, mereka mengatakan, “Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari nenek moyang kami, yaitu berupa penyembahan berhala dan membuat sekutu-sekutu bagi-Nya.”

Lalu dengan nada mengingkari mereka, Allah berfirman: a walau kaana aabaa-uHum (“Meskipun nenek moyang mereka itu,”) yaitu orang-orang yang mereka jadikan panutan dan ikutan; laa ya’qiuluuna syaiaw walaa yaHtaduun (“Mereka tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?”) Maksudnya mereka tidak mempunyai pemahaman dan petunjuk.

Selanjutnya Allah Ta’ala membuat sesuatu perumpamaan, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhir mempunyai sifat yang buruk.” (QS. An-Nahl: 60). Di mana Dia berfirman: wa matsalul ladziina kafaruu (“Dan perumpamaan [orang yang menyeru] orang-orang kafir.”) Yaitu mereka yang sedang tenggelam dalam kesewenang-wenangan, kesesatan, dan kebodohan adalah seperti binatang gembalaan yang tidak memahami dan mengerti apa yang dikatakan kepadanya, bahkan apabila ia diseru penggembalanya, maka ia sama sekali tidak memahami ucapan si pengembala itu, dan ia hanya dapat mendengar suaranya saja. Hal senada juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, Ikrimah, Atha’, Hasan al-Bashri, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas.

Sedangkan firman Allah, Artinya, mereka tidak dapat mendengar kebenaran, tidak mengatakannya, dan tidak dapat melihat jalan menuju kebenaran itu.

Firman-Nya selanjutnya: shummum bukmun ‘umyun (“Mereka tuli, bisu, buta”) artinya mereka tidak dapat mendengar kebenaran, tidak mengatakannya, dan tidak dapat melihat jalan menuju kebenaran itu.

Firman Allah selanjutnya: faHum laa ya’qiluun (“[oleh sebab itu] mereka tidak mengerti.”) Artinya, mereka tidak dapat memikirkan dan memahami sesuatu apa pun.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 169-175

18 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 169-175“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapat rezeki. (QS. Ali ‘Imraan: 169) Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka. Dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka. Bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Ali ‘Imraan: 170) Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (QS. Ali ‘Imraan: 171) (Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (QS. Ali ‘Imraan: 172) (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”; maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. (QS. Ali ‘Imraan: 173) Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Ali ‘Imraan: 174) Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imraan: 175)

Allah memberitahukan mengenai keadaan orang-orang yang mati syahid bahwa mereka itu meskipun telah mati di dunia ini, namun ruh mereka tetap hidup dan mendapat rizki di akhirat. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya telah ditegaskan bahwa ayah Jabir, yaitu Abdullah bin ‘Amr bin Haram al-Anshari terbunuh dalam perang Uhud sebagai syahid.

Al-Bukhari meriwayatkan, Abu Walid mengatakan dari Syu’bah, dari Ibnu Munkadir, ia berkata, aku pernah mendengar Jabir berkata, ketika ayahku terbunuh, aku menangis dan membuka kain penutup wajahnya. Lalu para Sahabat Rasulullah melarangku, sedang Nabi sendiri tidak melarangku, maka beliau bersabda, “Jangan engkau menangisinya, Malaikat masih terus menaunginya dengan kedua sayapnya sehingga ia diangkat.” Al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i menyandarkan sanad kepadanya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Ketika saudara-saudara kalian mendapatkan musibah perang Uhud, Allah telah menempatkan arwah mereka dalam perut burung hijau yang mendatangi sungai-sungai di Surga, dan makan dari buah-buahannya serta kembali ke pelita yang terbuat dari emas di bawah naungan ‘Arsy. Ketika mereka mendapatkan makan dan minum mereka yang baik, mereka berkata, ‘Andai saja sahabat-sahabat kami mengetahui apa yang diperbuat oleh Allah terhadap kami niscaya mereka tidak enggan dalam berjihad dan tidak mundur dari perang.’ Maka Allah pun berfirman, ‘Aku akan menyampaikan kepada mereka mengenai keadaan kalian.’ Lalu Dia menurunkan ayat, ‘Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapat rizki.’ Dan ayat-ayat setelah-nya.” (HR. Imam Ahmad).

Dan juga diriwayatkan Abu Dawud dan al-Hakim dari Ibnu ‘Abbas Dan ini lebih kuat. Sedang al-Hakim meriwayatkannya dalam kitab al-Mustadrak. Seolah-olah para syuhada’ itu terbagi menjadi beberapa kelompok, ada yang arwahnya berterbangan di Surga, ada juga yang berada di atas sungai-sungai di pintu Surga. Bisa diartikan perjalanan mereka berakhir sampai pada sungai tersebut. Di sana mereka berkumpul dan disana pula mereka diberi makan dan rizki serta beristirahat. Wallahu a’lam.

Dan kami telah meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Musnad Imam Ahmad, yang di dalamnya terdapat kabar gembira untuk semua orang yang beriman, bahwa arwah mereka bebas di Surga, makan dari buah-buahan yang terdapat di sana, dan di sana pula mereka merasakan kesenangan dan kebahagiaan. Selain itu arwah-arwah mereka juga menyaksikan kemuliaan yang dijanjikan Allah kepadanya.

Hadits di atas dengan isnad shahih, di dalamnya terdapat tiga orang dari empat imam. Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Idris asy-Syafi’i – dari Malik bin Anas al-Ashbahi dari az-Zuhri Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Arwah seorang mukmin itu adalah berupa burung yang bergantung pada pohon di Surga sehingga Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari ia dibangkitkan.”
Sabda beliau (bergantung), maksudnya ialah makan.

Dalam hadits ini juga disebutkan: “Sesungguhnya arwah seorang mukmin itu berwujud burung di Surga.”

Sedangkan arwah para syuhada’, sebagaimana yang di sebutkan pada hadits sebelumnya, yaitu berada dalam perut burung hijau. Arwah mereka itu seperti bintang jika dibandingkan arwah orang-orang mukmin lainnya, karena itu dapat terbang. Kita berdo’a semoga Allah mematikan kita dalam keadaan beriman.

Firman-Nya yang artinya, “Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati,” Artinya, para syuhada’ yang terbunuh di jalan Allah tetap hidup di sisi Rabb mereka dan mereka merasa gembira atas kenikmatan dan kesenangan bersama saudara-saudara mereka yang terbunuh setelah mereka berjihad di jalan Allah, karena mereka dipertemukan dengan saudara-saudara mereka. Dan mereka tidak pernah takut terhadap apa yang ada di hadapan mereka dan tidak bersedih atas apa yang mereka tinggalkan. Dan kita memohon kepada Allah dimasukkan ke Surga.

Mengenai firman-Nya, wa yastabsyiruuna (“Dan mereka bergirang hati,”) Muhammad bin Ishaq berkata, maksudnya, mereka merasa senang hati bertemu dengan saudara-saudara mereka atas apa yang mereka pernah lakukan dari jihad di jalan Allah. Dan mereka berharap agar dapat bergabung menikmati pahala Allah yang diberikan kepada mereka.

As-Suddi berkata, “Orang yang mati syahid akan didatangkan sebuah kitab yang di dalamnya tercata, akan datang kepadamu si fulan pada hari ini dan ini, dan akan datang kepadamu si fulan hari ini dan ini. Maka bergembiralah dia atas kedatangannya, sebagaimana penduduk dunia bergembira ketidak hadiran mereka apabila datang.

Sa’id bin Jabir berkata, “Ketika mereka memasuki surga dan menyaksikan kemuliaan yang disediakan untuk para syuhada, mereka berkata, ‘Seandainya saudara-saudara kami yang masih hidup di dunia mengetahui kemuliaan yang kami saksikan ini, maka apabila mereka mendapati perang pasti mereka akan menyambut dengan sendirinya sehingga mereka mati syahid dan mendapatkan sebagaimana kami peroleh dari kebaikan.’ Maka Rasulullah memberitahukan tentang keadaan mereka serta kemuliaan yang mereka terima. Dan Allah memberitahukan mereka, sesungguhnya Aku telah menurunkan dan memberitahukan Nabi kalian mengenai keadaan kalian dan apa yang kalian peroleh, maka bergembiralah atas itu. Dan itulah makna firman Allah: wa yastab-syiruunal ladziina lam yalhaquu biHim min khalfiHim (“Dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka dan belum menyusul mereka.”)

Dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari Anas bin Malik mengenai kisah 70 shahabat dari kaum Anshar di sumur Ma’unah yang terbunuh dalam waktu satu hari. Kemudian Rasulullah saw. membacakan qunut nazilah seraya mendoakan atas pembunuh serta melaknat mereka yang membunuh para shahabat beliau itu. Anas berkata, dan mengenai mereka ini diturunkan ayat yang kami baca, hingga kemudian ayat tersebut diangkat. “Sampaikanlah kepada kaum kami dari kami, sesungguhnya kami telah bertemu Rabb kami, lalu Dia ridla kepada kami dan kami pun ridla.”

Kemudian Dia berfirman: yastabsyiruuna bi ni’matim minallaaHi wa fadl-liw wa annallaaHa laa yudlii’u ajral mu’miniin (“Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.”)

Muhammad bin Ishaq berkata, mereka merasa senang hati atas dipenuhinya apa yang dijanjikan, serta pahala yang besar yang diberikan kepada mereka.

Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Ayat ini mencakup orang-orang mukmin secara keseluruhan, baik yang mati sebagai syuhada’ maupun yang tidak. Tidak sedikit Allah menyebutkan karunia dan pahala yang diberikan kepada para Nabi, maka Allah juga menyebutkan apa yang diberikan kepada orang-orang yang beriman setelah mereka.”

Dan firman-Nya, alladziina yastajaabuu lillaaHi war rasuuli mim ba’di maa ashaabaHumul qarh (“Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka [dalam perang Uhud].”) Ini terjadi pada hari Hamra’ul Asad, di mana ketika orang-orang musyrik mendapatkan musibah seperti yang menimpa kaum muslimin, maka mereka berputar dan kembali pulang ke negerinya. Dan pada saat mereka meneruskan perjalanan, mereka menyesal, mengapa tidak menyerang dan membinasakan penduduk Madinah. Ketika berita itu terdengar oleh Rasulullah, maka beliau menganjurkan kaum muslimin untuk menyusul mereka guna menakut-nakuti mereka, serta memperlihatkan bahwa kaum muslimin mempunyai kekuatan dan kemampuan. Dan untuk itu, beliau tidak mengizinkan seorang pun melainkan yang pernah mengikuti peristiwa perang Uhud kecuali Jabir bin ‘Abdullah karena suatu sebab yang akan kami kemukakan nanti.

Maka kaum muslimin pun berangkat meskipun mereka dalam keadaan terluka dan letih, sebagai wujud ketaatan mereka kepada Allah danRasul-Nya.

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari ‘Ikrimah, ia berkata, ketika orang-orang musyrik kembali dari Uhud, mereka berkata: “Bukan Muhammad yang kalian bunuh dan bukan persendian tulangnya yang kalian hantam. Alangkah buruknya apa yang kalian lakukan, maka kembalilah.” Kemudian Rasulullah mendengar hal tersebut, maka beliau pun menganjurkan kaum muslimin untuk berangkat. Dan mereka pun berangkat hingga sampai di Hamra’ul Asad yaitu sumur Abu ‘Uyainah. Maka orang-orang musyrik berkata, “Kami akan kembali tahun depan.” Lalu Allah menurunkan ayat: alladziina yastajaabuu lillaaHi war rasuuli mim ba’di maa ashaabaHumul qarhu lilladziina ahsanuu minHum wat taqau ajrun ‘adhiim (“Orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka [dalam perang Uhud]. Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.”) Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawih dari Ibnu ‘Abbas.

Muhammad bin Ishaq berkata, peristiwa perang Uhud itu terjadi pada hari Sabtu, pertengahan bulan Syawal. Dan pada keesokan harinya, yaitu hari Ahad pada enam belas malam berlalu dari bulan Syawal, penyeru Rasulullah menyerukan kepada khalayak untuk mengejar musuh. Selain itu, penyeru itu juga menyerukan agar tidak seorang pun keluar bersama kami kecuali mereka yang hadir dalam perang Uhud kemarin. Kemudian Jabir bin ‘Abdullahbin ‘Amr bin Haram memberitahukan kepada Rasulullah: ‘Ya Rasulullah, ayahku mengamanatkan kepadaku untuk menjaga saudara-saudara perempuanku yang berjumlah tujuh orang’, dan ayahku berkata: ‘Hai anakku, tidak seharusnya aku dan engkau meninggalkan para wanita sendirian tanpa adanya seorang laki-laki pun di tengah-tengah mereka, dan aku bukanlah orang yang mengutamakanmu untuk berjihad bersama Rasulullah atas diriku sendiri. Tinggallah bersama saudara perempuanmu. Maka aku tinggal bersama mereka. “‘

Maka Rasulullah pun mengizinkannya, dan akhirnya ia berangkat bersama beliau. Beliau keluar dengan maksud untuk menakut-nakuti musuh dan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa beliau keluar dengan maksud mencari mereka, agar dengan demikian mereka menduga beliau masih mempunyai kekuatan, dan apa yang menimpa beliau bersama para Sahabatnya tidak menyebabkan mereka menjadi gentar menghadapi musuh.

Muhammad bin Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dari Abu Sa’ib maula ‘Aisyah binti ‘Utsman, bahwasanya ada seorang Sahabat Rasulullah dari Bani ‘Abdul Asyhal, yang ikut menyaksikan perang Uhud, ia berkata, “Kami ikut menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah, lalu bersama saudaraku aku pulang dalam keadaan luka. Dan ketika penyeru Rasulullah menyerukan agar keluar mencari musuh, maka kukatakan kepada saudaraku. “Apa kita harus melewatkan kesempatan berperang bersama Rasulullah?” Demi Allah, pada saat itu kami tidak memiliki binatang yang dapat dikendarai sedang kami menderita luka yang cukup parah. Namun demikian, kami tetap berangkat berperang bersama Rasulullah, ternyata aku menderita luka yang lebih ringan daripada beliau. Hingga akhirnya kami sampai di tempat kaum muslimin ber-kumpul.

Dan mengenai ayat: alladziinas tajaabuullaaHa war rasuuli (“Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya,”) Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah. ‘Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putera saudara perempuanku, orang tuamu termasuk dalam golongan mereka, yaitu az-Zubair dan Abu Bakar Ketika sesuatu telah menimpa Rasulullah pada perang Uhud, dan orang-orang musyrik telah pulang meninggalkannya, beliau khawatir mereka akan kembali. Maka beliau telah bersabda, “Siapakah yang akan pergi menyusul (mengejar mereka)?” Maka tujuh puluh orang dari mereka mengajukan diri, antara lain adalah Abu Bakar dan az-Zubair.

Redaksi hadits di atas hanya diriwayatkan Imam al-Bukhari. Hadits yang sama juga diriwayatkan al-Hakim dalam Kitab al-Mustadrak. Maka Allah – menurunkan firman-Nya, alladziina yastajaabuu lillaaHi war rasuuli mim ba’di maa ashaabaHumul qarhu (“Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka [dalam perang Uhud].”)

Lebih lanjut Muhammad bin Ishaq berkata, maka Rasulullah pun berangkat hingga sampai di Hamra’ul Asad, sebuah tempat yang jaraknya darikota Madinah 8 Mil.

Ibnu Hisyam berkata: “Rasulullah menjadikan Ibnu Ummi Maktum sebagai Amir di Madinah, beliau tinggal di Hamra’ul Asad hari Senin, Selasa dan Rabu kemudian pulang ke Madinah.”

Ibnu Hisyam berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin AbuBakar tentang Ma’bad bin Abi Ma’bad al-Khuza’i dan ketika itu suku Khuza’ahbaik yang muslim maupun yang musyrik mempunyai perjanjian setia dengan Rasulullah di Tihamah yang tidak tersembunyi sedikitpun di antara mereka. Dan Ma’bad ketika itu masih musyrik, dia berkata: “Wahai Muhammad, demi Allah sungguh berat kami atas apa yang menimpamu dan para Sahabatmu dan mudah-mudahan Allah memberikan keselamatan kepadamu.” Kemudian Ma’bad keluar dari Hamra’ul Asad sampai bertemu dengan Abu Sufyan bin Harb dan orang yang bersamanya di Rauha’. Mereka sepakat kembali menyerang Rasulullah dan para Sahabatnya. Mereka berkata: “Kami sudah melukai Muhammad dan para Sahabatnya, komandan dan pemimpinnya, kemudian kita pulang sebelum meluluh lantakkan mereka? Kami akan kembali dan menghancurkan sisa mereka.” Ketika berbicara demikian Abu Sufyan melihat Ma’bad seraya berkata: “Siapa dibelakangmu wahai Ma’bad?” “Muhammad dan para Sahabatnya mengejar kalian dengan pasukan yang sangat banyak yang aku belum pernah melihat sebanyak itu dan mereka akan membakar kamu. Telah berhimpun bersamanya orang-orang yang tertiggal pada hari pertempuran, mereka menyesal terhadapnya yang mereka perbuat, maka mereka marah terhadap kalian yang aku tidak pernah melihat marah yang seperti itu.” Abu Sufyan berkata: “Celakalah apa yang kamu katakan.” Ma’bad berkata:
“Demi Allah saya tidak melihat bahwa anda menaiki pelana sehingga anda melihat jambul-jambul kuda.” Abu Sufyan jawab: “Demi Allah kami sudah siap untuk menyerang lagi dan menghabisi mereka.” Kata Ma’bad: “Aku larang kalian, Demi Allah, apa yang aku lihat itu telah membawaku untuk mengungkapkan beberapa bait sya’ir yang menggambarkan keadaan mereka. “Apakah yang akan kau katakan itu?” Tanya Abu Sufyan. Ma’bad lalu bersya’ir:

Hampir roboh untaku, karena hiruk pikuk suara itu
Tatkala bumi mengalirkan sekawanan kuda-kuda yang berpacu
Yang membinasakan dengan para pemberani ketika, menyongsong per-tempuran
Bukan pemberani yang kerdil, bukan pula yang dungu
Aku melompat, karena mengira bumi ini miring
Ketika mereka keluar bersama pimpinan yang disegani
Kukatakan: “Celakalah putra Harb” karena peperangan dengan kalian
Saat tanah lapang penuh dengan bala tentara berkuda
Aku ingatkan dengan lantang kepada penghuni daerah banjir
Kepada setiap yang berakal dan dapat berfikir di antara mereka
Dari tentara Ahmad yang tidak sedikit dan tidak kecil
Dan yang kuingatkan ini bukanlah isu belaka

Kata Ma’bad selanjutnya: “Maka hal itu membuat Abu Sufyan dan para pengikutnya mengurungkan niat mereka.” Ketika bertemu dengan kafilah dari suku ‘Abdul Qais, Abu Sufyan berkata: “Kemana kalian hendak pergi?” Mereka menjawab: “Ke Madinah.” Ia pun bertanya lagi: “Untuk apa?” Jawab mereka: “Keperluan persediaan bahan makanan.” Abu Sufyan: “Maukah kalian mengirimkan surat yang aku kirimkan untuk Muhammad melalui kalian, dan sebagai gantinya kubawakan untuk kalian anggur keying jika kalian menemui kami di Ukazh.” Mereka menjawab: “Ya, kami setuju.” Kata Abu Sufyan lagi: “Jika kalian menemuinya, kabarkan kepadanya bahwa kami telah siap dan bertekad menyerangnya lagi untuk menghabiskan sisa-sisa pengikutnya.” Maka bertemulah kafilah dengan Rasul di Hamra’ul Asad, lalu merekapun menyebarkan dengan apa yang dikatakan Abu Sufyan dan sahabatnya. Mendengar hal itu Nabi dan para Sahabatnya menyatakan: “Hasbunallah Wani’mal Wakil.”

Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abu ‘Ubaidah, ia berkata, bahwa ketika sampai kepada Rasulullah berita kepulangan pasukan musyrikin Quraisy, maka beliau bersabda: “Demi Rabb yang jiwaku berada ditangan-Nya, sesungguhnya telah di panaskan bebatuan untuk mereka, jika mereka bangun pagi, niscaya nasib mereka akan menjadi seperti kemarin.”

Dan firman-Nya, Alladziina qaala laHumun naasu innan naasa qad jama’uu lakum fakhsyauHum fazaadaHum iimaanan (“Yaitu orang-orang [yang mentaati Allah dan Rasul] yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.’ Maka perkataan itu menambah keimanan mereka.”) Maksudnya, orang-orang yang diancam dengan kumpulan pasukan dan ditakut-takuti dengan banyaknya jumlah musuh tidak menjadikan mereka gentar, bahkan mereka semakin bertawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya. Dan mereka menjawab, “Cukup-lah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.

Mengenai firman-Nya ini, hasbunallaaHa wa ni’mal wakiil (“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung,”) Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, yang demikian itu juga dikatakan oleh Ibrahim as. ketika ia dilemparkan ke dalam api, dan dikatakan pula oleh Muhammad ketika orang-orang mengatakan kepada orang-orang beriman, sesungguhnya orang-orang telah berkumpul untuk menyerang kalian, maka takutlah kepada mereka. Namun hal itu justru semakin menambah keimanan mereka, merekapun berkata, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Hadits tersebut juga diriwayatkan an-Nasa’i.

Dan kami juga meriwayatkan dari Ummul Mukminin Zainab dan Aisyah ra, ketika keduanya saling membanggakan diri, lalu Zainab berkata, “Allah-lah yang menikahkanku dari langit sementara kalian dinikahkan oleh wali kalian.” Sedangkan’Aisyah berkata, “Allah-lah yang menerangkan kebersihan dan kesucianku langsung dari langit dan hal itu termaktub dalam
al-Qur’an. Maka menyerahlah Zainab, lalu ia bertanya, “Apa yang anda ucapkan ketika menaiki kendaraan Shafwan bin al-Mu’aththal?” “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Zainab pun berkata, “Anda telah mengucapkan, ungkapan orang-orang yang beriman.”

Oleh karena itu Allah berfirman, fanqalibuu bini’matim minallaaHi wa fadl-lil lam yamsasHum suu’ (“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia [yang besar] dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa.”) Artinya, ketika mereka benar-benar bertawakkal kepada Allah yam, maka mereka pun diberikan kecukupan dari berbagai hal yang membuat mereka gelisah dan dihindarkan dari serangan orang-orang yang hendak menipunya, sehingga mereka kembali ke negerinya sendiri; bini’matim minallaaHi wa fadl-lil lam yamsasHum suu’ (“dengan nikmat dan karunia [yang besar] dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa.”) Yaitu, dari apa yang disembunyikan musuh-musuh mereka., wattaba’uu ridl-waanallaaHi wallaaHu dzuu fadl-lin ‘adhiim (“Mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”)

Setelah itu Dia berfirman, innamaa dzaalikumusy-syaithaanu yukhawwifu auliyaa-aHu (“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti [kamu] dengan
kawan-kawannya [orang-orang musyrik Quraisy].”) Maksudnya, syaitan itu menakut-nakuti kalian serta menanamkan perasaan pada diri kalian bahwa mereka memiliki kekuatan dan pengaruh.

Maka Allah swt. berfirman, falaa takhaafuuHum wa khaafuuni in kuntum mu’miniin (“Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”) Apabila kalian ditakut-takuti, maka bertawakkallah kepada-Ku, dan berlindunglah kepada-Ku, sebab cukuplah Aku sebagai Pelindung dan Penolong kalian, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah?” (QS. Az-Zumar: 36).

&