Tag Archives: 176

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 176

17 Nov

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 176
Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 176

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu); Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan sau­daranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara pe­rempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perem­puan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian supaya kalian tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisaa’ ayat 176)

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ الْبَرَاءَ قَالَ: آخِرُ سُورَةٍ نَزَلَتْ: “بَرَاءَةٌ”، وَآخِرُ آيَةٍ نَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ}

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Su­laiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Barra (Ibnu Azib r.a.) berkata, “Surat yang paling akhir diturunkan adalah surat Al-Bara’ah (At-Taubah), dan ayat yang paling akhir diturunkan ada­lah firman-Nya: ‘Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)’ (An-Nisa: 176). hingga akhir ayat.”

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: دَخَلَ عَلَيّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَا مَرِيضٌ لَا أَعْقِل، قَالَ: فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَبَّ عَلَيّ -أَوْ قَالَ صُبُّوا عَلَيْهِ -فَعَقَلْتُ فَقُلت: إِنَّهُ لَا يَرِثُنِي إِلَّا كَلَالَةٌ، فَكَيْفَ الْمِيرَاثُ؟ قَالَ: فَنَزَلَتْ آيَةُ الْفَرَائِضِ.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Mu­hammad ibnul Munkadir yang menceritakan bahwa ia pernah mende­ngar Jabir ibnu Abdullah mengatakan: “Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku ketika aku sedang sakit dan dalam keadaan tidak sadar.” Jabir melanjutkan kisah­nya, “Lalu Rasulullah Saw. berwudu, kemudian mengucurkan bekasnya kepadaku; atau perawi mengatakan bahwa mereka (yang hadir) menyiramkan (bekas air wudu)nya kepada Jabir. Karena itu aku sadar, lalu aku bertanya, ‘Sesungguhnya tidak ada yang mewarisiku kecuali kalalah. Bagaimanakah cara pem­bagiannya?’.” Lalu Allah menurunkan ayat faraid.

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain melalui Syu’bah.

Jama’ah meriwayatkannya melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir dengan lafaz yang sama.

Sedangkan dalam lafaz yang lainnya disebutkan bahwa lalu turunlah ayatmiras, yaitu firman-Nya:

{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah.” (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Zubair (yakni Jabir) mengatakan bahwa ayat ber­ikut diturunkan berkenaan dengan diriku, yaitu firman-Nya:

{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang katalah.” (An-Nisa: 176)

Seakan-akan makna ayat —hanya Allah Yang lebih mengetahui— bahwa mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah.

*******

{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}

Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kala­lah.” (An-Nisa: 176)

Yakni perihal mewaris secara kalalah. Lafaz yang disebutkan ini me­nunjukkan adanya lafaz yang tidak disebutkan.

Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan makna lafaz ka­lalah dan akar katanya, bahwa kalalah itu diambil dari pengertian un­taian bunga yang dikalungkan di atas kepala sekelilingnya. Karena itulah mayoritas ulama menafsirkannya dengan pengertian orang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua. Menurut salinan yang lain, tidak mempunyai anak, tidak pula cucu.

Sebagian ulama mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Seperti yang ditunjukkan oleh pengertian ayat ini, yaitu firman-Nya:

{إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ} {لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ}

jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak, (An-Nisa: 176)

Sesungguhnya hukum masalah kalalah ini sulit dipecahkan oleh Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a.. seperti yang disebutkan di da­lam kitab Ash-Shahihain darinya, bahwa ia telah mengatakan:

ثَلَاثٌ وَدِدْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم كان عَهِدَ إِلَيْنَا فِيهِنَّ عَهْدًا نَنْتَهِي إِلَيْهِ: الْجَدُّ، وَالْكَلَالَةُ، وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا.

Ada tiga perkara yang sejak semula aku sangat menginginkan bi­la Rasulullah Saw. memberikan keterangan kepada kami tentang­nya dengan keterangan yang sangat memuaskan kami, yaitu ma­salah kakek, masalah kalalah, dan salah satu bab mengenai masalah riba.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادة، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الجَعْد، عَنْ مَعْدان بْنِ أَبِي طَلْحَةَ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَا سألتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ أَكْثَرَ مِمَّا سَأَلْتُهُ عَنِ الْكَلَالَةِ، حَتَّى طَعَنَ بأُصْبُعِه فِي صَدْرِي وَقَالَ: ” يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ الَّتِي فِي آخِرِ سُورَةِ النِّسَاءِ”.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Salim ibnu Abul Ja’d, dari Ma’dan ibnu Abu Talhah yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan bahwa ia belum pernah menanyakan ke­pada Rasulullah Saw. suatu masalah pun yang lebih banyak dari per­tanyaannya tentang masalah kalalah, sehingga Rasulullah Saw. menotok dada Umar dengan jari telunjuknya seraya bersabda: Cukuplah bagimu ayat saif (ayat yang diturunkan di musim pa­nas) yang terdapat di akhir surat An-Nisa.

Demikianlah riwayat Imam Ahmad secara singkat. Imam Muslim mengetengahkannya dengan lafaz yang panjang dan lebih banyak daripada riwayat Imam Ahmad.

Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

قَالَ [الْإِمَامُ] أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيم، حَدَّثَنَا مالك -يعني ابن مِغْل-سَمِعْتُ الْفَضْلَ بْنَ عَمْرٍو، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عُمَرَ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: ” يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ “. فَقَالَ: لَأَنْ أَكُونَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا أحبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يكونَ لِي حُمْر النَّعم.

Disebutkan bahwa te­lah menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami Malik (yakni Ibnu Magul) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Fadl ibnu Amr, dari Ibrahim, dari Umar yang menga­takan, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah. Maka beliau Saw. menjawab: “Cukuplah bagimu ayat saif.” Umar mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang kalalah lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah.”

Sanad hadis ini jayyid, hanya di dalamnya terdapat inqita’ (mata rantai sanad yang terputus) antara Ibrahim dan Umar, karena sesungguhnya Ibrahim tidak menjumpai masa Umar r.a.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ البَراءِ بْنِ عازبٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: ” يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ “.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa se­orang lelaki datang kepada Nabi Saw. dan menanyakan kepadanya tentang masalah kalalah. Maka Nabi Saw. menjawab: Cukuplah bagimu ayat saif.

Sanad hadis ini jayyid, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui Abu Bakar ibnu Ayyasy dengan lafaz yang sama. Seakan-akan yang dimaksud dengan ayat saif ialah ayat yang diturun­kan pada musim panas.

Mengingat Nabi Saw. memberikan petunjuk kepadanya untuk memahami ayat tersebut, hal ini berarti di dalam ayat terkandung ke­cukupan yang nisbi untuk tidak menanyakannya kepada Nabi Saw. tentang maknanya. Karena itulah maka Khalifah Umar r.a. mengata­kan, “Sesungguhnya jika aku menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah ini, lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah.”

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيعٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرة، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المسيَّب قَالَ: سَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: ” أَلَيْسَ قَدْ بَيَّنَ اللَّهُ ذَلِكَ؟ ” فَنَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الكَلالَةِ]} الْآيَةَ.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’. telah menceritakan kepada kami Jarir. telah menceritakan ke­pada kami Asy-Syaibani, dari Amr ibnu Murrah, dari Sa’id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Umar r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah. Maka Nabi Saw. men­jawab: Bukankah Allah telah menjelaskan hal tersebut? Lalu turunlah firman-Nya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat.

Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq mengatakan di dalam khotbahnya: Ingatlah, sesungguhnya ayat yang diturunkan pada permulaan surat An-Nisa berkenaan dengan masalah faraid, Allah menurun­kannya untuk menjelaskan warisan anak dan orang tua. Ayat yang kedua diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan suami, istri, dan saudara-saudara lelaki seibu. Ayat yang meng­akhiri surat An-Nisa diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan saudara-saudara laki-laki dan perempuan yang seibu seayah (sekandung). Dan ayat yang mengakhiri surat Al-Anfal diturunkan berkenaan dengan masalah orang-orang yang mem­punyai hubungan darah satu sama lain yang lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitabullah sesuai dengan ketentuan asabah dari hubungan darah.

Atsar diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 174-176

6 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 174-176“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, Yaitu Al kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang Amat pedih. (QS Al-Baqarah: 174) Mereka Itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka Alangkah beraninya mereka menentang api neraka! (QS Al-Baqarah: 175) Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al kitab dengan membawa kebenaran; dan Sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” (QS Al-Baqarah: 176)

Allah berfirman: innal ladziina yaktumuuna maa anzalallaaHu minal kitaabi (“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab.”) Yakni orang-orang Yahudi yang menyembunyikan sifat Nabi Muhammad yang terdapat dalam kitab-kitab yang berada di tangan mereka, seperti sifat-sifat yang membuktikan kerasulan dan kenabiannya. Mereka menyembunyikannya agar kepemimpinan mereka tidak hilang serta hadiah dan pemberian yang diterimanya dari masyarakat Arab sebagai penghormatan terhadap nenek moyang mereka tidak lenyap begitu saja, tetapi mereka tak berhasil dan merugi di dunia dan akhirat, serta mendapatkan kemurkaan yang berlipat ganda.

Allah mencela mereka mereka dalam kitabnya dalam beberapa surat, di antaranya adalah firman-Nya: innal ladziina yaktumuuna maa anzalallaaHu minal kitaabi wa yasy-taruuna biHii tsamanan qaliilan (“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang murah.”) yaitu berupa harta benda dan kehidupan dunia.

Ulaa-ika maa ya’kuluuna fii buthuuniHim illan naara (“Mereka itu sebenarnya tidak memakan [tidak menelan] ke dalam perutnya melainkan api.”) Artinya, apa yang mereka makan tersebut sebenarnya merupakan balasan atas perbuatan mereka menyembunyikan kebenaran, yaitu berupa api yang menyala-nyala di dalam perut mereka pada hari kiamat kelak.

Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala [neraka].” (QS. An-Nisaa’: 10).

Dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang makan dan minum dalam bejana emas dan perak, sebenarnya ia menelan api neraka Jahanam ke dalam perutnya.”

Dan firman Allah: walaa yukallamu HumullaaHu yaumal qiyaamati walaa yuzakkiiHim wa laHum ‘adzaabun aliim (“Dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.”) Yang demikian itu karena Allah sangat murka kepada mereka sebab mereka menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya. Sehingga dengan itu mereka berhak mendapatkan kemurkaan. Maka Allah Ta’ala tidak melihat ke arah mereka dan tidak pula menyucikannya, artinya Dia tidak memuji dan menyanjung mereka melainkan mengadzab mereka dengan adzab yang sangat pedih.

Selanjutnya untuk memberitahukan tentang keadaan mereka itu Allah Ta’ala berfirman: ulaa-ikal ladziinasy-tarawudl-dlalaalata bil Hudaa (“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.”) Maksudnya, mereka menukar petunjuk, yaitu perintah menyebarluaskan sifat Rasulullah yang terdapat dalam kitab-kitab mereka, berita tentang pengutusannya, dan penyampaian berita gembira mengenai kedatangannya melalui kitab-kitab para nabi, serta keharusan mengikuti dan membenarkannya. Namun mereka menukar hal itu dengan kesesatan, yaitu dengan cara mendustakan, mengingkari, serta menyembunyikan sifat-sifat Rasulullah di dalam kitab-kitab mereka.

Wal ‘adzaaba bil maghfirati (“[Membeli] siksaan dengan ampunan.”) Artinya, mereka menukar ampunan dengan adzab, sehingga mendapat siksa.

Dan firman-Nya: famaa ashbaraHum minan naar (“Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.”) Allah Ta’ala memberitahukan bahwa mereka berada dalam siksaan yang teramat pedih, seram, dan menakutkan, orang yang menyaksikan mereka merasa heran atas keberanian mereka menghadapi api neraka tersebut, padahal siksaan, hukuman dan belenggu yang mereka jalani sangatlah berat. Semoga Allah melindungi kita darinya.

Ada juga yang mengatakan: firman Allah Ta’ala: famaa ashbaraHum minan naar; berarti betapa tegar mereka berbuat berbagai kemaksiatan yang mengantarkan mereka ke dalam api neraka.

Sedangkan firman Allah Ta’ala berikutnya: dzaalika bi-annallaaHa nazzalal kitaaba bil haqqi (“Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran.”) Artinya, mereka berhak mendapatkan siksaan yang pedih seperti itu karena Allah Ta’ala telah menurunkan kitab-kitab kepada rasul-Nya, Muhammad dan juga para nabi sebelumnya untuk menegaskan kebenaran dan mengikis kebatilan. Namun mereka menjadikan ayat-ayat Allah itu sebagai bahan ejekan belaka. Kitab yang ada pada mereka menyuruh mereka menampakkan dan menyebarluaskan pengetahuan, tetapi mereka menolak dan mendustakannya. Dan Rasulullah, penutup para Nabi, menyeru mereka ke jalan Allah, memerintahkan untuk berbuat kebaikan dan mencegah dari berbuat kemungkaran; tetapi mereka mendustakannya.

Dengan mengingkari, dan menyembunyikan sifat-sifat beliau, berarti mereka telah menghina ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu mereka berhak mendapatkan siksaan dan hukuman. Oleh sebab itu pula Allah swt. berfirman: dzaalika bi-annallaaHa nazzalal kitaaba bil haqqi wa innal ladziinakhtalafuu fil kitaabi lafii syiqaaqim ba’iid (“Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-kitab dengan membawa kebenaran; dan Sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang [kebenaran] Al kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh [dari kebenaran].”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 176-180

18 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 176-180“Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir; sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. Allah berkehendak tidak akan memberi sesuatu bahagian (dari pahala) kepada mereka di hari akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar. (QS. Ali ‘Imraan:176) Sesungguhnya orang-orang yang menukar iman dengan kekafiran, sekali-sekali mereka tidak akan dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun; dan bagi mereka adzab yang pedih. (QS. Ali ‘Imraan:177) Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka adzab yang menghinakan. (QS. Ali ‘Imraan:178) Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Allah menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang di-kehendaki-Nya di antara Rasul-Rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali ‘Imraan:179) Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imraan:180)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya: wa laa yahzunkal ladziina yusaari’uuna fil kufri (“Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir.”) Hal itu terjadi karena keinginan kuat beliau pada keimanan keseluruhan manusia, maka beliau bersedih ketika melihat orang-orang kafir segera menyelisihi, mengingkari dan menentang sehingga Allah pun berfirman, janganlah hal itu menjadikanmu sedih.

innaHum lay yadlurrullaaHa syai-an. yuriidullaaHu allaa yaj’ala laHum hadh-dhan fil aakhirati (“Sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi mudharat kepada Allah sedikit pun. Allah berkehendak tidak akan memberi sesuatu bahagian [dari pahala] kepada mereka di akhirat.”) Yakni, hikmah Allah terhadap mereka, bahwa melalui kehendak dan kekuasaan-Nya, Allah bermaksud agar mereka tidak mendapatkan apa-apa di akhirat kecuali adzab, wa laHum ‘adzaabun ‘adhiim (“Dan bagi mereka adzab yang besar.”)

Kemudian Allah memberitahukan dan memberikan ketegasan mengenai hal itu, Allah berfirman, innal ladziina yasytarul kufra bil iimaani (“Sesungguhnya orang orang yang menukar iman dengan kekafiran.”) Artinya, menggantinya. Lay yadlurrullaaHa syai-an (“Sekali-kali mereka tidak akan dapat memberi mudharat kepada Allah sedikit pun.”) Bahkan sebaliknya, mereka memberi mudharat terhadap diri mereka sendiri. wa laHum ‘adzaabun ‘adhiim (“Dan bagi mereka adzab yang besar.”)

Kemudian Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka adzab yang menghinakan,” seperti firman-Nya, “Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (QS. At-Taubah: 55)

Selanjutnya Allah berfirman yang artinya, “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Allah menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).” Maksudnya, merupakan suatu keharusan adanya suatu ujian, untuk menampakkan mana yang termasuk wali-Nya dan mana yang termasuk musuh-Nya.

Dengan ujian itu akan tampaklah mana orang mukmin yang sabar dan mana orang munafik yang durhaka. Yaitu pada waktu terjadi perang Uhud, yang didalamnya Allah memberikan ujian kepada orang-orang yang beriman. Dan dari sana terlihat keimanan, kesabaran, keteguhan, dan ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan di sana pula terbukalah kedok orang-orang munafik, maka terlihatlah kedurhakaan, pembangkangan, dan keengganan orang-orang munafik untuk berjihad, serta pengkhianatan mereka kepada Allah
dan Rasul-Nya.

Mujahid berkata, “Pada saat terjadi perang Uhud itu Allah membedakan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang munafik.” Sedangkan Qatadah berkata, “Allah membedakan mereka melalui jihad dan hijrah.”

Setelah itu Allah berfirman, wa maa kaanallaaHu liyuth-li’akum ‘alal ghaibi (“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib.”) Arti-nya, kalian tidak akan mengetahui perkara ghaib yang Allah sembunyikan tentang makhluk-Nya sehingga Allah membedakan orang-orang mukmin dari orang-orang munafik dengan sebab-sebab yang menyingkap keadaan mereka.

Selanjutnya Allah berfirman, wa laakinnallaaHa yajtabii mir rusuliHii may yasyaa-u (“Akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-Rasul-Nya,”) seperti firman-Nya, “(Allah adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Allah tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang di-ridhai-Nya. Maka sesungguhnya Allah mengadakan penjaga penjaga (Malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

Kemudian Allah berfirman, fa aaminuu billaaHi wa rusuliHii (“Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya.”) Maksudnya, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ikutilah apa yang telah disyari’atkan kepada kalian. Wa in tu’minuu wa tattaquu falakum ajrun ‘adhiim (“Dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”)

Dan firman-Nya, “Janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepadamereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.” Artinya, janganlah orang bakhil mengira bahwa harta kekayaan yang ia kumpulkan bermanfaat baginya, bahkan harta itu memberikan mudharat kepadanya dalam agamanya, atau bahkan dalam kehidupan duniawinya. Selanjutnya Allah memberitahukan ihwal kesudahan harta kekayaan itu pada hari Kiamat kelak melalui firman-Nya, sayuthawwaquuna maa bakhiluu biHii yaumal qiyaamati (“Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari Kiamat.”)

Imam Bukhaari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa diberi harta kekayaan oleh Allah, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, maka hartanya akan diperumpamakan baginya seperti seekor ular besar yang mempunyai dua taring yang akan mengalunginya pada hari Kiamat. Kemudian ular itu akan mematuknya dengan dua tulang rahangnya seraya berkata, ‘Aku adalah harta kekayaanmu, aku adalah simpananmu.”‘ Setelah itu Rasulullah membacakan ayat ini, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya di hari Kiamat.”

Firman Allah: wa lillaaHi miiraatsus samaawaati wal ardla (“Dan kepunyaan Allah segala warisan [yang ada] di langit dan di bumi.”) Maksudnya, dan nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian menguasainya, karena tempat kembali semua perkara itu hanya kepada Allah itu, nafkahkanlah sebagian dari harta yang kalian miliki itu yang akan memberikan manfaat kepada kalian pada hari Kiamat kelak. wallaaHu bimaa ta’maluuna bashiir (“Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”) Yaitu mengetahui segala hal yang ada pada kalian, niat-niat kalian dan hati-hati kalian.

&