Tag Archives: 23

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 22-23

11 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 22-23“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah pohon itu, nampaklah baginya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupi dengan daun-daun Surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: ‘Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua.’’ (QS. 7:22) Keduanya berkata: ‘Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.’ (QS. 7:23)” (al-A’raaf: 22-23)

Mengenai firman Allah: rabbanaa dhalamnaa anfusanaa wa illam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khaasiriin (“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”) Adh-Dhahhak bin Muzahim berkata: “Kata-kata itu merupakan kalimat yang diterima Adam as. dari Rabbnya.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yunus ayat 21-23

4 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Yunus
Surah Makkiyyah; surah ke 10: 109 ayat

tulisan arab alquran surat yunus ayat 21-23“Dan apabila Kami merasakan kepada manusia suatu rahmat, sesudah (datangnya) bahaya menimpa mereka, tiba-tiba mereka mempunyai tipu daya dalam (menentang) tanda-tanda kekuasaan Kami. Katakanlah: ‘Allah lebih cepat pembalasannya (atas tipu daya itu).’ Sesungguhnya para Malaikat Kami menuliskan tipu dayamu. (QS. 10:21) Allahlah yang menjadikanmu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dati segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo’a kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata. (Mereka berkata): ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’ (QS. 10:22) Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kedhaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kedhalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kedhalimanmu) itu hanyalah kenikmatan bidup duniawi, kemudian kepada Kamilah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. 10:23)” (Yunus: 21-23)

Allah memberi kabar, bahwa sesungguhnya jika Allah memberikan rasa nikmat kepada manusia setelah bahaya menimpa mereka, seperti sejahtera setelah susah-payah, subur setelah kering, hujan setelah kemarau dan lain sebagainya.

Idzaa laHum makrun fii aayaatinaa (“Tiba-tiba mereka mempunyai tipu-daya dalam [Menentang] tanda-tanda kekuasaan Kami.”) Mujahid berkata: “Yaitu menertawakan dan mendustakan.” Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring duduk, atau berdiri…” (QS. Yunus: 12)

Diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih, sesungguhnya Rasulullah saw. melakukan shalat shubuh bersama para sahabat (di Hudaibiyyah-Ed) setelah malamnya turun hujan. Ketika usai shalat, beliau menghadap para sahabat lalu bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan Rabb kalian tadi malam?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Beliau bersabda: “Allah berfirman: ‘Saat pagi hari, sebagian hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barangsiapa berkata: ‘Kami-mendapat hujan berkat karunia Allah dan rahmat-Nya,’ maka dia beriman kepada-Ku, kafir kepada bintang. Dan adapun yang berkata: ‘Kami diberi hujan oleh bintang ini dan bintang itu,’ maka dia kafir kepada-Ku, beriman kepada bintang.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Firman-Nya: qulillaaHu asra-‘u makran (“Katakanlah, Allah lebih cepat pembalasan-Nya [atas tipu daya itu]”) Maksudnya, sangat bertahap dan pelan-pelan, sehingga sebagian orang-orang yang durhaka menyangka bahwa dirinya tidak disiksa, padahal sebenarnya dia sedang berada dalam penangguhan, kemudian dia disiksa ketika sedang lalai. Malaikat juru-tulis yang mulia pun menulis segala sesuatu yang dikerjakannya, kemudian menyimpannya dan menyerahkannya kepada Dzat yang Mahamengetahui yang ghaib dan yang nampak. Maka Allah membalasnya, baik amal itu sepele maupun besar, bahkan (sekecil) bagian yang ada pada sebuah biji ataupun (setipis) kulit yang ada pada biji kurma.

Kemudian Allah Ta’ala memberi kabar, sesungguhnya Allah: Huwal ladzii yusarri-‘ukum fil barri wal bahri (“Dialah yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan.”) Maksudnya, Allah menjaga dan memeliharamu dengan penjagaan-Nya.

Hattaa idzaa kuntum fil fulki wa jaraina biHim biriihin thayyibatiw wa farihuu biHaa (“Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik dan mereka bergembira karenanya.”) Maksudnya, cepatnya perjalanan mereka bersama-sama dengan baik, kemudian pada saat itu tiba-tiba: jaa-atHaa (“Datanglah kepadanya.”) Maksudnya, kepada bahtera-bahtera itu. Riihun ‘aashifun (“Angin badai.”) Maksudnya, dengan kencang.

Wa jaa-a Humul mauju min kulli makaanin (“Dan datanglah gelombang dari segenap penjuru menimpanya.”) Maksudnya, lautan telah menggoncang mereka. Wa dhannuu annaHum uhiitha biHim (“Mereka yakin bahwa mereka terkepung [bahaya].”) maksudnya, mereka akan mati. Da’awullaaHa mukhlishiina laHuddiin (“Mereka berdo’a kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.”) Maksudnya, mereka tidak berdo’a kepada berhala dan tidak pula kepada patung, akan tetapi mereka mengkhususkan do’a dan permohonan kepada Allah.

Sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, maka tatkala Dia menyelamatkanmu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterimakasih.” (QS.Al-Israa’: 67)

Di sini Allah berfirman: Da’awullaaHa mukhlishiina laHuddiina la in anjaitanaa min HaadziHii lanakuunanna minasy syaakiriin (“Mereka berdo’a kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya. Mereka berkata: ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”) Maksudnya, kami tidak menyekutukan Engkau dengan seorang pun dan sungguh Kami benar-benar mengesakan Engkau dengan ibadah di sana. Sebagaimana kami mengesakan Engkau dengan do’a di sini.

Allah Ta’ala berfirman: falammaa anjaaHum (“Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka.”) Maksudnya, dari bahaya itu. Idzaa Hum yabghuuna fil ardli bighairil haqqi (“Tiba-tiba mereka membuat kedhaliman di bumi tanpa [alasan] yang benar.”) Maksudnya, seolah-olah tidak pernah berdoa sama sekali.
Ka allam yad’unaa ilaa dlurrim massaHu (“Seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk [menghilangkan] bahaya yang telah menimpanya.”) (QS. Yunus :12)

Kemudian Allah Ta’ala berfirman: yaa ayyuHan naasu innamaa baghyukum ‘alaa anfusikum (“Hai manusia, sesungguhnya [bencana] kezhalinianmu akan menimpa dirimu sendiri.”) Maksudnya, yang merasakan bahaya dari kedhaliman ini hanyalah diri kalian sendiri dan tidak mengenai seseorang selain kalian, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: “Tidak ada suatu dosa pun yang Allah segerakan siksanya di dunia, bersamaan dengan disimpan untuk pelakunya (untuk disiksa) di akhirat, melainkan dosa kedhaliman dan pemutusan tali persaudaraan.” (HR Abu Dawud no. 4902)

Firman-Nya: mataa’al hayaatid dun-yaa (“[Hasil kedhaliman itu] hanyalah kenikmatan hidup di dunia.”) maksudnya untuk kalian kenikmatan dunia yang sedikit lagi hina. Tsumma ilainaa marji’ukum (“Kemudian kepada Kami lah kembalimu.”) Maksudnya, tempat kembali dan tempat berlindung kalian. Fa nunabbi-ukum (“Lalu Kami kabarkan kepadamu.”) Maksudnya, Kami mengabari kalian dengan semua amal kalian dan Kami balas amal-amal itu. Maka barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah. Dan barangsiapa mendapati selain itu, maka janganlah dia menyesali kecuali karena dirinya sendiri.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 23-24

28 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 23-24“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS. 11:23) Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)? (QS.-11:24)” (Huud: 23-24)

Setelah Allah menceritakan keadaan orang-orang yang hidup sengsara, kemudian Allah menceritakan golongan orang-orang yang berbahagia, yaitu mereka yang beriman dan mengerjakan amal shalih. Hati mereka benar-benar beriman dan seluruh anggota tubuh mereka berbuat amal shalih, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yakni dengan mengerjakan berbagai ketaatan dan menjauhi berbagai kemungkaran.

Dengan demikian, mereka menjadi pewaris beraneka ragam surga yang mempunyai banyak kamar yang tinggi, pelaminan yang berderet rapi, aneka buah-buahan yang segar, permadani yang tebal, serta berbagai keindahan yang menyenangkan, berbagai macam makanan yang lezat dan minuman yang segar, serta kesempatan memandang kepada Rabb Pencipta langit dan bumf. Di dalamnya mereka benar-benar kekal untuk selamanya, tidak akan mati, tidak tua, tidak juga sakit, tidak tidur, tidak buang kotoran, tidak meludah dan tidak berdahak, melainkan ia selalu mengeluarkan bau yang sangat harum.

Kemudian Allah memberikan perumpamaan antara orang orang kafir dengan orang-orang yang beriman, di mana Allah berfirman: matsalul fariqaini (“Perumpamaan kedua golongan itu.”) Yakni, golongan orang-orang kafir yang disifati dengan kesengsaraan dan golongan orang-orang mukmin yang memperoleh kebahagiaan.

Kelompok yang pertama itu adalah seperti orang buta dan tuli sedangkan kelompok kedua adalah seperti orang yang dapat melihat dan mendengar. Dengan demikian, orang kafir itu buta dari kebenaran selama hidup di dunia dan di akhirat ia tidak akan pernah mendapat petunjuk menuju kepada kebaikan dan tidak pula mengetahuinya, serta tuli dari berbagai hujjah sehingga ia tidak dapat mendengar apa yang bermanfaat baginya.

Sebagaimana yang difirmankan Allah: “Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (QS. Al-Anfaal: 23)

Sedangkan orang mukmin, mempunyai kecerdasan dan pikiran yang cemerlang, serta mampu melihat kebenaran, dapat membedakan antara yang haq dengan yang bathil, sehingga ia akan mengikuti kebaikan dan meninggalkan segala hal yang buruk. Dan ia juga dapat mendengar hujjah dan mampu membedakannya dari hal-hal yang syubhat (samar-samar), sehingga ia tidak akan terjebak dalam kebathilan. Dengan demikian, apakah sama antara kelompok pertama dengan kelompok yang kedua?

Afalaa tadzakkaruun (“Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran [dari perbandingan itu]?”) Tidakkah kalian memperhatikan, sehingga kalian dapat membedakan antara masing-masing kelompok di atas?

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 23

26 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 23“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya, menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang yang dhalim tidak akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23)

Allah menceritakan tentang isteri al-‘Aziz yang Yusuf tinggal di rumahnya di Mesir dan suaminya telah berpesan agar Yusuf diperlakukan dengan baik dan dihormati. Tetapi dia menggoda dan memanggilnya agar mendekat padanya. Rasa cintanya yang mendalam kepada Yusuf disebabkan karena ketampanan dan keelokannya, sehingga membuat wanita itu bersolek, lalu menutup semua pintu dan memanggil Yusuf untuk mendekat kepadanya. la mengatakan: Haita laka (“Marilah ke sini,”) tetapi Yusuf menolaknya dengan keras dan mengatakan: ma’aa dzallaaHi innaHuu rabbii ahsana matswaay (“Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.”)

Mereka biasa menggunakan kata “rabb” untuk menyebut tuan, atau orang besar. Maksudnya, suamimu adalah tuanku yang telah memberiku tempat yang baik dan berbuat baik kepadaku. Maka, aku tidak akan membalasnya dengan berbuat keji kepada keluarganya.

innaHuu laa yuflihudh dhaalimiin (“Sesungguhnya orang-orang yang dhalim tidak akan beruntung.”) Sebagaimana dikatakan oleh Mujahid, as-Suddi, Muhammad bin Ishaq dan lain-lain.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ibrahim ayat 22-23

23 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Ibrahim
Surah Makkiyyah; surah ke 14: 52 ayat

tulisan arab alquran surat ibrahim ayat 22-23“Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.’ Sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS. 14:22) Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal shalih ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan izin Rabb mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam surga itu ialah ‘salaam.’ (QS. 14:23)” (QS. Ibrahim: 22-23)

Allah memberitahukan tentang kata-kata Iblis kepada para pengikutnya setelah Allah memutuskan nasib hamba-hamba-Nya, dengan memasukkan orang-orang yang beriman ke dalam surga dan menempatkan orang-orang kafir di dasar neraka, maka Iblis yang terlaknat itu berdiri dan berbicara untuk menambah kesusahan, penipuan dan penyesalan kepada mereka. Ia berkata: innallaaHa wa’adakum wa’dal haqqi (“Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang henar,”) melalui para Rasul-Nya dan menjanjikan keselamatan bagi siapa yang mengikuti mereka, itu adalah janji yang benar dan berita yang benar. Adapun aku (Iblis) berjanji kepada kalian, tetapi aku (Iblis) menyalahinya.

Seperti firman Allah Ta’ala: “Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. An-Nisaa’: 120)

Kemudian syaitan itu berkata: wa maa kaana liya ‘alaikum min sulthaan (“Sekali-sekali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu.”) Maksudnya, tidak ada bagiku dalil atau argumentasi apapun dalam janji yang kuberikan kepada kalian: illaa an da’autukum fastajabtum lii (“Melainkan [sekedar] aku menyerumu, lalu kamu mematuhi seruanku,”) hanya dengan cara seperti itu (saja).

Sedangkan para Rasul itu telah membawa bukti, alasan dan dalil yang benar yang membuktikan
kebenaran misi yang mereka bawa, tetapi kalian menyelisihi mereka sehingga kalian menerima akibat seperti ini.
Falaa taluumuunii (“Oleh sebab itu janganlah kamu mencercaku,”) hari ini;
Waluumuu anfusakum (“Akan tetapi, cercalah dirimu sendir.”) karena itu adalah dosa kalian sendiri akibat kalian menyelisihi Rasul, dan kalian mengikutiku begitu kuajak kalian kepada kebathilan.

Maa ana bimushrikhikum (“Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu,”) tidak dapat memberi manfaat, menolong dan membebaskan kalian dari apa yang menimpa kalian. Wa maa antum bimush-rikhiy (“Dan kamu pun sekali- sekali tidak dapat menolongku.”) dengan menyelamatkanku dari penderitaan yang sedang kualami ini.
Innii kafaitu bimaa asyraktumuuni min qablu (“Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku [dengan Allah] sejak dulu.”) Ibnu Jarir mengatakan: “Sesungguhnya aku mengingkari bahwa aku adalah sekutu Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung.”

Seperti firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang beribadah kepada selain Allah yang tidak dapat mengabulkan doanya pada hari kiamat, sedang mereka itu lalai dari memperhatikan do’a mereka? Dan sesungguhnya apabila manusia dikumpulkan (pada hari Kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaaf: 5-6)

Firman Allah: innadh dhaalimiina (“Sesungguhnya orang-orang dhalim itu,”) yang berpaling dari kebenaran dari mengikuti kebathilan; laHum ‘adzaabun aliim (“Bagi mereka [mendapat] siksaan yang pedih.”)

Setelah Allah menyebutkan nasib dan kesudahan orang-orang yang celaka berupa kehinaan dan siksa dan menyebutkan bahwa juru bicara mereka adalah Iblis, maka Allah menyeruakan pula nasib dan kesudahan dari orang-orang yang bahagia seraya berfirman: wa udkhilal ladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati jannaatin tajrii min tahtiHal anHaaru (“Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal shalih ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”) yakni mengalir disana, kemanapun dan dimanapun mereka berjalan; khaalidiina fiiHaa (“mereka kekal di dalamnya”) tinggal selama-lamanya di sana, mereka tidak berpindah dan tidak binasa.

Bi idzni rabbiHim tahiyyatuHum fiiHaa salaamun (“Dengan izin Rabb mereka, ucapan penghormatan mereka di dalam surga itu ialah `salaam,”) artinya, sejahtera dan selamat dari segala bencana.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 22-23

15 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 22-23“Ilah kamu adalah Ilah Yang Mahaesa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. (QS. 16:22) Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (QS. 16:23)” (an-Nahl: 22-23)

Allah memberi khabar bahwasannya tidak ada Ilah kecuali Dia yang Mahaesa, Mahasatu, Mahatunggal dan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dan Allah memberi khabar bahwasanya hati orang-orang kafir mengingkari hal itu, sebagaimana Allah memberi khabar tentang mereka, bahwa mereka itu heran kalau Ilah itu hanya satu: “Mengapa Dia menjadikan ilah-ilah itu Ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5)

Firman Allah: wa Hum mustakbiruun (“Sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong,”) maksudnya dari beribadah kepada Allah serta ingkarnya hati mereka untuk mentauhidkan Allah, maka dari itu Allah berfirman: laa jarama (“Tidak diragukan lagi,”) maksudnya dengan benar. annallaaHa ya’lamu maa yusirruuna wamaa yu’linuun (“Bahwa sesunguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan,”) maksudnya Allah akan membalas mereka atas itu semua, dengan balasan yang sempurna.
innaHuu laa yuhibbul mustakbiriin (“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”)

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 23-24

13 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 23-24“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS.17:23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.’ (QS. 17:24)” (al-Israa’: 23-24)

Allah berfirman seraya memerintahkan agar hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Kata “qadhaa” dalam ayat ini berarti perintah. Mengenai firman-Nya: wa qadlaa (“Dan telah memerintahkan,”) Mujahid berkata: “Artinya berwasiat.” Demikian pula Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan adh-Dhahhak bin Muzahim membaca ayat tersebut dengan bacaan: wa washshaa rabbuka allaa ta’buduu illaa iyyaaHu (“Rabbmu berwasiat agar kamu tidak beribadah kecuali kepada-Nya semata.”)

Oleh karena itu Allah menyertakan perintah ibadah kepada-Nya dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, di mana Dia berfirman: wa bilwaalidaini ihsaanan (“Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”) Maksudnya, Dia menyuruh hamba-Nya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Yang demikian itu seperti firman-Nya dalam Surat yang lain, di mana Dia berfirman yang artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku tempat kembalimu.” (QS. Luqman: 14)

Dan firman-Nya lebih lanjut: immaa yablughanna ‘indakal kibara ahaduHumaa au kilaaHumaa falaa taqul laHumaa uffin (“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’. “) Maksudnya, janganlah engkau memperdengarkan kata-kata yang buruk, bahkan sampai kata “ah” sekalipun yang merupakan tingkatan ucapan buruk yang paling rendah/ringan.

Wa laa tanHar Humaa (“Dan janganlah kamu membentak keduanya,”) maksudnya, jangan sampai ada perbuatan buruk yang kamu lakukan terhadap keduanya. Sebagaimana yang dikatakan `Atha’ bin Abi Rabah mengenai firman-Nya ini ia berkata: “Artinya, janganlah kamu meringankan tangan kepada keduanya.” Dan setelah Allah melarang melontarkan ucapan buruk dan perbuatan tercela, Allah, menyuruh berkata-kata baik dan berbuat baik kepada keduanya, di mana Dia berfirman: wa qul laHumaa qulan kariiman (“Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”) Yakni, dengan lemah lembut, baik, penuh sopan santun, disertai pemuliaan dan penghormatan.

Wakhfidl laHumaa janaahadz dzulli minar rahmati (“Dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan,”) maksudnya, bertawadhu’lah kamu kepada keduanya melalui tindakanmu.
Wa qur rabbirham Humaa kamaa rabbayaanii shaghiiran (“Dan ucap-kanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.’”) Yakni, pada usia tuanya dan pada saatwafatnya.

Ibnu’Abbas mengatakan, kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat yang artinya: “Tidak sepatututnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, ” dan ayat seterusnya. (QS. At-Taubah: 113)

Mengenai masalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) ini, telah banyak hadits yang membahasnya. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalan Anas dan juga yang lainnya, bahwasanya Rasulullah pernah menaiki mimbar, kemudian berucap: “Amin. Amin. Amin.” Lalu ditanyakan: “Ya Rasulullah, apa yang engkau aminkan tadi” Beliau menjawab: “Aku telah didatangi Jibril, lalu ia berkata: ‘Sungguh hina orang yang (namamu disebut di sisinya), namun ia tidak bershalawat kepadamu. Maka ucapkanlah amin.’ Maka Aku mengucapkan amin. Kemudian ia berkata lagi: ‘Sungguh hina orang yang masuk bulan Ramadhan, lalu ia keluar darinya dengan tidak mendapatkan ampunan. Maka ucapkanlah amin.’ Maka kuucapkan amin. Selanjutnya Jibril berkata: ‘Sungguh hina orang yang mendapatkan kedua atau salah satu orang tuanya, namun (kesempatan bakti kepada) keduanya tidak memasukkannya ke surga. Maka ucapkanlah amin.’ Maka kuucapkan amin.”

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda: “Sungguh hina, sungguh hina, kemudian sungguh hina orang yang mendapatkan salah seorang atau kedua orang tuanya di sisinya (semasa hidupnya), namun ia (orang tuanya) tidak memasukkannya ke surga.”

Hadits terakhir shahih dari sisi ini, dan tidak ada yang meriwayatkannya kecuali Muslim. Selain itu, Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Usail, yakni Malik bin Rabi’ah as-Sa’idi, ia bercerita: Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah tiba-tiba beliau didatangi oleh seseorang dari kaum Anshar, lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah, masihkah ada sesuatu dari bakti kepada orang tuaku yang harus kulakukan setelah keduanya wafat?” Beliau menjawab: “Ya, masih, ada empat perkara, yaitu menshalatkan keduanya (shalat jenazah), memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, dan menghormati sahabat keduanya serta menyambung tali silaturahmi yang engkau tidak akan mempunyai hubungan silaturahmi kecuali melalui keduanya. Demikian itulah yang masih tersisa dari bakti kepada orang tua yang harus kamu lakukan setelah keduanya wafat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Jahimah as-Sulami, bahwasanya Jahimah pernah datang kepada Nabi dan berkata: “Ya Rasulullah, aku ingin ikut perang dan aku datang kepadamu untuk meminta saran.” Maka beliau pun bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai ibu?” “Ya, masih,” jawabnya. Maka beliau berkata: “Kalau begitu, temanilah ia, karena surga itu terletak di kedua kakinya.”

Kemudian hadits yang kedua, lalu ketiga di beberapa kedudukan, sama seperti ucapan beliau ini. Dan demikian itulah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Ibnu Majah.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 23-24

5 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 23-24“Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu (tiri) dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. An-Nisaa’: 23) Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tidaklah mengapa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. An-Nisaa’: 24)

Ayat yang mulia ini adalah ayat yang menerangkan haramnya mahram berdasarkan nasab (keturunan) dan hal-hal yang mengikutinya berupa persusuan dan kemertuaan. hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum (“Diharamkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan.”) Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Yang diharamkan karena nasab ada tujuh dan karena kemertuaan ada tujuh, kemudian ia membaca: hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum wa ‘ammaatukum wa khaalaatukum wa banaatul akhi wa banaatul ukhti (“Di-haramkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramuyang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan,”) merekalah [mahram dari] nasab.

Jumhur ulama menggunakan dalil tentang haramnya anak zina dengan keumuman firman Allah Ta’ala: wa banaatukum (“Dan anak-anak perempuanmu.”) Karena ia adalah anak perempuan, maka ia masuk dalam keumuman ayat tersebut, sebagaimana madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Ada pendapat dari asy-Syafi’i yang membolehkannya, karena ia bukanlah anak menurut hukum syar’i. Sebagaimana ia tidak dapat masuk dalam firman: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan,” (QS. An-Nisaa’: 11) sesungguhnya ia tidak mendapatkan warisan menurut ijma’, maka ia pun tidak termasuk ke dalam ayat ini. Wallahu a’lam.

Firman-Nya: wa ummaHaatu kumul laatii ardla’nakum wa akhawaatukum minar radlaa’ati (“Ibu ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan.”) Artinya, sebagaimana kamu diharamkan terhadap ibu-ibu yang melahirkanmu, maka begitu pula kamu diharamkan dengan ibu-ibu yang menyusuimu.

Untuk itu, di dalam ash-Shahihain tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram apa-apa yang dapat menjadikan mahram karena kelahiran.”

Dan dalam lafazh Muslim: “Diharamkan karena persusuan, apa-apa yang di haramkan karena nasab”.

Sebagian ahli fiqih berkata, “Setiap apa saja yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan kecuali empat bentuk.” Sebagian lagi mengatakan, kecuali enam bentuk yang kesemuanya tersebut di dalam kitab-kitab furu’. Setelah diteliti, ternyata tidak ada pengecualian sedikitpun dalam masalah tersebut. Karena sebagian terdapat dalam nasab dan sebagian lagi terdapat dalam kemertuaan, maka secara (mendasar) tidak ada yang menolak hadits tersebut sedikitpun. Segala puji hanya milik Allah, dan kepercayaan hanya dengan-Nya.

Di antaranya yaitu: Ibu saudaramu yang laki-laki dan Ibu saudaramu yang perempuan karena sepersusuan. Jika ada seorang perempuan (lainnya) menyusui saudara laki-lakimu atau saudara perempuanmu, maka perempuan itu tidak haram bagimu karena penyusuan keduanya. Akan tetapi diharamkan bagimu ibu dan keduanya berdasarkan nasab, karena ibu dari keduanya itu adalah sebagai ibumu atau isteri ayahmu. Inilah yang menjadi sisa permasalahan tersebut.

Kemudian, para Imam berbeda pendapat tentang jumlah bilangan susuan yang diharamkan. Ada yang berpendapat hanya dengan (sekedar) menyusu dapat mengharamkan, berdasarkan keumuman ayat ini. Inilah pendapat Malik ,riwayat dari Ibnu `Umar, pendapat Sa’id bin al-Musayyab, `Urwah bin az-Zubair dan az-Zuhri. Ulama lain berkata, “Kurang dari tiga kali susuan tidak mengharamkan. Sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari jalan Hasyim bin `Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: “Satu atau dua isapan (susuan) tidak mengharamkan.”

Qatadah berkata dari Abil Khalil, dari `Abdullah bin al-Harits bahwa Ummul Fadhl berkata, Rasulullah bersabda: “Satu dan dua susuan atau satu dan dua isapan tidak mengharamkan,” di dalam lafazh yang lain, “Satu dua sedotan tidaklah mengharamkan.” (HR. Muslim)

Dan di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu `Ubaid dan Abu Tsaur; yaitu diriwayatkan dari `Ali, ‘Aisyah, Ummul Fadhl, Ibnuz-Zubair, Sulaiman bin Yasar dan Sa’id bin Jubair ra,. Ulama yang lain berkata “Kurang dari lima isapan tidak mengharamkan, berdasarkan hadits dalam Shahib Muslim dari riwayat Malik dari `Abdullah bin Abi Bakar, dari `Urwah dari `Aisyah W, ia berkata, dahulu (ayat ini) termasuk di antara ayat al-Qur’an: “Sepuluh kali susuan yang diketahui (dapat) mengharamkan.” Kemudian di-nasakh (dihapus hukum itu) dengan lima kali susuan yang diketahui. Di saat Nabi wafat, maka hal tersebut adalah ayat al-Qur’an yang dibaca.

`Abdurrazzaq meriwayatkan yang serupa dari Ma’mar, dari az-Zuhri, dari `Urwah, dari `Aisyah. Di dalam hadits Sahlah binti Suhail bahwasanya Rasulullah memerintahkannya untuk menyusui Salim, maula Abu Hudzaifah sebanyak lima kali susuan. Dan `Aisyah memerintahkan orang yang akan masuk kepadanya untuk menyusu lima kali. Inilah pendapat Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Kemudian, hendaklah diketahui bahwa susuan itu terjadi di masa kecil kurang dari dua tahun, menurut pendapat Jumhur. Masalah ini sudah dibahas sebelumnya dalam surat al-Baqarah pada firman-Nya,”Hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Kemudian, para ulama berbeda pendapat tentang apakah menjadi haram akibat air susu dari pihak ayah persusuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur empat Imam dan lain-lain. Atau hanya dikhususkan dengan pihak ibu persusuan saja dan tidak merembet hingga pihak ayah persusuan, sebagaimana satu pendapat sebagian ulama Salaf yang sebenarnya terbagi pada dua golongan. Rincian masalah ini terdapat dalam kitab besar yang berisi hukum-hukum.

Firman-Nya: wa ummaHaatu nisaa-ikum wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum min nisaa-ikumul latii dakhaltum biHinna fail lam takuunuu dakhaltum biHinna falaa junaaha ‘alaikum (“Dan ibu-ibu isterimu serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bawah pemeliharanmu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli. Jika kamu belum menggauli mereka, maka tidak ada dosa bagimu.” Ibu mertua diharamkan dengan (hanya sekedar) akad terhadap puterinya, baik sudah digauli ataupun belum. Sedangkan rabibah yaitu anak isteri tidak diharamkan, hingga ibunya digauli. Jika ibunya dicerai sebelum digauli, maka ia boleh mengawini puterinya.

Untuk itu Allah berfirman: wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum min nisaa-ikumul latii dakhaltum biHinna fail lam takuunuu dakhaltum biHinna falaa junaaha ‘alaikum (“Serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bahwa pemeliharanmu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli. Jika kamu belum menggauli mereka, maka tidak ada dosa bagimu,”) dalam mengawini mereka.

Hal ini merupakan kekhususan bagi anak tiri. Dan Jumhur ulama berpendapat bahwa anak tiri tidak diharamkan dengan semata-mata akad terhadap ibunya, berbeda dengan ibu mertua yang diharamkan dengan semata-mata akad. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, bahwa ia berkata, “Apabila seorang suami menceraikan isteri sebelum menggaulinya atau ditinggal wafat, maka ibu mertua tetap haram baginya. Inilah madzhab empat Imam dan tujuh ahli fiqih serta Jumhur fuqaha, baik yang lalu maupun sekarang. Segala puji hanya milik Allah.

Adapun firman Allah: wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum (“Serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bawah pemeliharanmu,”) menurut Jumhur ulama bahwa rabibah itu haram, baik berada di bawah pemeliharaannya atau tidak. Mereka mengatakan: “Firman Allah ini berdasarkan kebiasaan yang banyak terjadi dan tidak mengandung pengertian apa pun, seperti firman Allah yang artinya: “Dan budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian.” (QS. An-Nuur: 33)

Di dalam ash-Shahihain tercantum bahwa Ummu Habibah berkata, “Ya Rasulullah, nikahilah saudariku puteri Abu Sufyan -dalam lafazh Muslim disebutkan: `Izzah binti Abu Sufyan- Rasulullah bertanya, “Apakah engkau menyenangi demikian?” la menjawab, “Ya, aku tidak sombong padamu dan aku senang ada orang yang bergabung denganku untuk kebaikan saudariku.” Beliau bersabda, “Hal itu tidak halal bagiku.” Ia berkata, “Kami menceritakan bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu Salamah.” Beliau bersabda, “Puteri Ummu Salamah?” la menjawab, “Ya”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya seandainya ia bukan anak tiri yang ada dalam pemeliharaanku, niscaya ia pun tetap tidak halal bagiku. la adalah anak perempuan saudara lelaki sepersusuan-ku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh Tsuwaibah. Maka, janganlah engkau tawarkan anak-anak perempuan dan saudari-saudari kalian.”

Di dalam riwayat al-Bukhari, “Sesungguhnya sekalipun aku tidak mengawini Ummu Salamah, ia (puterinya Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.” Beliau menjadikan sebab keharamannya hanya sekedar perkawinan beliau dengan Ummu Salamah dan yang demikian itu dihukumi haram oleh beliau. Inilah madzhab empat Imam, tujuh ahli fiqih serta Jumhur ulama Salaf dan Khalaf. Satu pendapat mengatakan, anak tiri tidak diharamkan kecuali jika di bawah pemeliharaan si laki-laki tersebut. Jika tidak, maka tidak diharamkan. Inilah pendapat Dawud bin `Ali azh-Zhahiri dan para pengikutnya serta dipilih oleh Ibnu Hazm. Syaikh Abu `Umar bin `Abdil Barr berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya tidak halal bagi seseorang untuk menggauli seorang budak wanita dan menggauli anak perempuan (budak tersebut) karena Allah telah mengharamkan hal itu dalam nikah.” Sebagaimana firman-Nya, ibu-ibu isterimu serta anak-anak perempuan (tiri) yang berada di bawah pemeliharaanmu.” Kepemilikan budak (milkul yamin) menurut mereka mengikuti (hukum-hukum) pernikahan, kecuali apa yang diriwayatkan dari `Umar dan Ibnu `Abbas. Namun, pendapat tersebut tidak didapatkan dari seorang ahli fatwa pun yang mengikuti mereka.

Makna firman-Nya: allatii dakhaltum biHinna (“Yang telah kamu campuri.”) Artinya kalian telah nikahi mereka. Hal itu dikatakan oleh Ibnu `Abbas dan lain-lain. Ibnu Juraij berkata dari `Atha’, “Bahwa yang dimaksud yaitu si isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, lalu si suami menyingkapnya, menelitinya dan menjima’nya. Aku bertanya, “Apa pendapatmu jika aku lakukan hal itu di rumah keluarganya?” Dia menjawab, “Hal itu sama saja, dengan dia berbuat demikian, maka sudah diharamkan menikahi puteri wanita itu.” Ibnu Jarir berkata, “Menurut ijma’ ulama bahwa khalwatnya seorang laki-laki dengan seorang wanita tidak mengharamkan bagi puterinya jika telah dicerai wanita itu sebelum digauli, dan sebelum farjinya dipandang dengan syahwat yang menunjukkan bahwasanya makna hal tersebut adalah untuk sampai padanya dengan jima’.”

Firman Allah: wa halaa-ilu abnaa-ikumul ladziina min ash-laabikum (“[Dan diharamkan bagimu] isteri-isteri anak kandungmu [menantu].”) Artinya, diharamkan bagi kalian isteri-isteri anak-anak yang kalian lahirkan dari sulbi kalian. Dan dikecualikan anak-anak angkat, yang mereka jadikan sebagai anak pada masa Jahiliyyah, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.” (QS. Al-Ahzab: 37)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Hasan bin Muhammad, bahwasanya ayat-ayat tersebut adalah mubham (tidak jelas maknanya). Yaitu ayat: wa halaa-ilu abnaa-ikumul; dan: wa ummaHaatu nisaa-akum. Kemudian ia berkata: “Hal itu diriwayatkan pula dari Thawus, Ibrahim, az-Zuhri dan Mak-hul. Saya (Ibnu Katsir) berpendapat makna mubhamat artinya umum untuk yang sudah digauli ataupun yang belum digauli, maka diharamkan dengan semata-mata akad dengannya. Dan hal ini yang disepakati.

Jika ada yang bertanya; dari segi apa diharamkannya isteri anak-anak dari sepersusuan sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur ulama, bahkan dihikayatkan sebagian orang bahwa hal ini sebagai ijma’, padahal anak dari sepersusuan itu bukan dari keturunannya? Maka jawabnya ialah berdasarkan sabda Rasulullah: “Diharamkan karena sepersusuan apa-apa yang diharamkan karena nasab.”

Firman Allah: wa antajma’uu bainal ukhtaini illaa maa qad salaf (“[Dan diharamkan bagimu] menghimpunkan [dalam perkawinan] dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau.”) Dan ayat seterusnya. Artinya, diharamkan bagi kalian menghimpun dua perempuan bersaudara secara bersama-sama dalam perkawinan, begitu pula dalam (perbudakan), kecuali apa yang terjadi pada masa Jahiliyyah kalian, maka Kami telah maafkan dan ampuni. Hal itu menunjukkan tidak bolehnya menghimpun (dua bersaudara) untuk masa mendatang, karena hanya dikecualikan untuk masa lampau. Sebagaimana firman Allah: laa yadzuuquuna fiiHal mauta illal mautatal uulaa (“Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama [di dunia].”) (QS. Ad-Dukhaan: 56)

Di mana hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak merasakan mati selama-lamanya. Para ulama di kalangan Sahabat, Tabi’in dan para Imam, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, mereka sepakat bahwa menggabung dua wanita bersaudara dalam pernikahan itu diharamkan. Barangsiapa yang masuk Islam dan telah memiliki isteri dua orang perempuan bersaudara, maka ia harus memilih (di antara keduanya) lalu menetapkan satu isterinya dan harus menceraikan yang lainnya, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari adh-Dhahhak bin Fairuz, dari ayah-nya, ia berkata; “Aku masuk Islam dan aku mempunyai dua isteri yang bersaudara, maka Nabi memerintahkanku untuk menceraikan salah satunya.” (HR. Ahmad).

Kemudian diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Lahi’ah serta dikeluarkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Di dalam lafazh at-Tirmidzi tercantum bahwa Nabi bersabda: “Pilihlah mana di antara keduanya yang kamu inginkan.”
Kemudian at-Tirmidzi berkata; “Hadits ini hasan dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dengan isnad lain.”

Sedangkan menggabungkan dua perempuan bersaudara dalam kepemilikan (perbudakan) juga diharamkan berdasarkan keumuman ayat tersebut. Inilah pendapat yang terkenal dari Jumhur ulama, empat Imam dan lain-nya. Sedangkan `Utsman berkata: “Tidak sepatutnya aku melarang hal itu.”

Dari Musa bin Ayyub al-Ghafiqi telah menceritakan kepadaku pamanku Iyas bin `Amir, ia berkata, aku bertanya kepada `Ali bin Abi Thalib: “Sesungguh-nya aku memiliki dua perempuan bersaudara dengan pemilikan (perbudakan). Salah satunya aku ambil dari tawanan dan sudah melahirkan beberapa anak, kemudian aku menyenangi yang lainnya. Maka, apakah yang harus aku lakukan?” `Ali berkata: “Engkau merdekakan wanita yang telah engkau gauli kemudian gaulilah yang lainnya.” Aku bertanya: “Sesungguhnya orang-orang mengatakan, engkau nikahi yang satunya dan gauli yang satunya lagi.” Maka, `Ali berkata: “Apa pendapatmu jika suaminya menceraikan atau ditinggal mati, bukankah dia (perempuan tersebut) kembali rujuk kepadamu? Sesungguhnya jika engkau memerdekakannya, lebih selamat bagimu.”

Kemudian `Ali menggenggam tanganku dan berkata: “Sesungguhnya haram bagimu yang dimiliki olehmu dengan perbudakan apa-apa yang diharamkan bagimu dalam Kitabullah terhadap wanita merdeka kecuali jumlahnya,” atau ia mengucapkan, “Kecuali empat isteri dan diharamkan bagimu karena persusuan apa yang diharamkan bagimu di dalam Kitabullah karena keturunan.”

Kemudian Abu `Umar berkata; “Hadits ini, seandainya seseorang berjalan dari ujung barat hingga ujung timur menuju Makkah, dia tidak akan mendapatkan (hadits dalam masalah ini) kecuali hadits ini saja, niscaya sia-sialah perjalanannya. Abu `Umar mengemukakan pendapat yang sama dengan`Utsman ‘, diriwayatkan pula dari sekelompok ulama Salaf; di antaranya Ibnu `Abbas, akan tetapi ia tidak sefaham terhadap mereka. Dan tidak ada seorang pun yang sependapat dengan pendapat tersebut di kalangan ahli fiqih (pada) beberapa negeri; Hijaz, Iraq, serta negeri-negeri sesudahnya, Syam dan juga Maroko, kecuali kelompok sempalan yang mengikuti dhahir ayat saja dan menghilangkan qiyas.

Sesungguhnya orang yang mengamalkan hal itu secara dhahir berarti telah meninggalkan apa yang telah kita sepakati. Dan para jama’ah ahli fiqih sepakat bahwasanya tidak halal menggabungkan dua orang perempuan bersaudara dengan perbudakan dalam berjima’ sebagaimana tidak halalnya hal tersebut dalam pernikahan. Kaum muslimin telah sepakat bahwa makna firman Allah: hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum (“Diharamkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan”) bahwa pernikahan dan perbudakan pada mereka semuanya sama. Begitu pula, wajib menggunakan pandangan dan qiyas tentang menggabung dua wanita bersaudara, ibu-ibu isteri dan anak-anak tiri. Begitulah pendapat yang beredar di kalangan Jumhur dan merupakan dalil yang melemahkan pendapat yang menyelisihinya.

Firman Allah: wal muhshanaatu minan nisaa-i illaa maa malakat aimaanukum (“Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita-wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.”) Artinya, diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita muhshan (yang bersuami), kecuali budak-budak yang kalian miliki, yaitu yang kalian miliki melalui penawanan.

Firman Allah: kitaaballaaHi ‘alaikum (“[Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atasmu.”) Artinya, keharaman ini adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kalian, yaitu empat (isteri), maka teguhlah dengan ketentuan-Nya, dan janganlah kalian keluar dari batas-batas-Nya serta teguhlah dengan syari’at dan fardhu-fardhu-Nya. Ibrahim berkata, kitaaballaaHi ‘alaikum; yaitu apa yang diharamkan kepada kalian.

Firman-Nya: wa uhill lakum maa waraa-a dzaalikum (“Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian”) artinya selain wanita-wanita yang disebutkan sebagai mahram, maka halal bagi kalian, demikian yang dikatakan ‘Atha’ dan lain-lainl. Dan firman Allah: an tabtaghuu bi-amwaalikum muhshiniina ghaira musaafihiin (“Yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina”) artinya carilah dengan harta-harta kalian, istri-istri hingga empat dengan cara syar’i, untuk itu Allah berfirman: muhshiniina ghaira musaafihiin (“untuk dikawini, bukan untuk berzina”)

Firman-Nya: famastamta’tum biHii minHunna fa aatuuHunna ujuuraHunna fariidlatan (“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati [campuri] di antara mereka berikanlah kepada mereka maharnya [dengan sempurna] sebagai suatu kewajiban.”) sebagaimana kalian telah menikmati mereka maka berilah mahar-mahar mereka untuk menggantinya. Seperti firman Allah: yang artinya: “Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (an-Nisaa’: 4)

Dengan keumuman ayat ini maka jadi dalil nikah mut’ah/ sementara/ kontrak. Bahwa hal itu pernah disyariatkan pada awal islam, kemudian telah dibatalkan.
Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa awalnya dibolehkan lalu dibatalkan, dibolehkan lalu dibatalkan lagi (sebanyak dua kali).

Ulama yang lain berkata, “Pembatalannya lebih dari itu.” Ulama lainnya berkata: “Pernah dibolehkan satu kali kemudian dibatalkan, dan setelah itu tidak dibolehkan sama sekali.”

Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas ra. dan sekelompok Sahabat yang berpendapat dibolehkannya nikah mut’ah karena darurat, dan inilah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Akan tetapi, Jumhur ulama berbeda dengan pendapat tersebut. Dalil yang dijadikan pegangan adalah hadits yang tercantum dalam ash-Shahihain bahwa Amirul Mukminin `Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada perang Khaibar.” Untuk hadits ini terdapat banyak komentar yang menetapkan, yaitu di dalam kitab-kitab hukum.

Di dalam Shahih Muslim dari ar-Rabi’ bin Sabrah bin Ma’bad al Juhni, bahwa ayahnya ikut berperang bersama Rasulullah pada Fathu Makkah, maka beliau bersabda: “Hai manusia! Dahulu aku pernah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah dengan wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang telah memiliki perjanjian hal tersebut, maka biarkanlah jalannya, dan janganlah kalian mengambil kembali mahar yang telah kalian berikan.”

Firman Allah: walaa junaaha ‘alaikum fiimaa taraadlaitum biHii mim ba’dil fariidlati (“Dan tiadalah mengapa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.”) Maknanya adalah seperti firman-Nya yang artinya: “Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian dengan penuh kerelaan,”) dan ayat seterusnya (QS. An-Nisaa’: 4) Artinya, jika kamu telah menentukan mahar untuknya, lalu ia bebaskan kamu semua mahar atau sebagiannya, maka tidaklah berdosa bagimu atau baginya.

Kemudian firman-Nya: innallaaHa kaana ‘aliiman hakiiman (“Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”) Penyebutan dua sifat Allah setelah ketetapan hal-hal yang diharamkan ini, adalah amat sesuai.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 23-25

2 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 23-25“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu al-Kitab [Taurat], mereka diseru kepada kitabullah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi [kebenaran]. (QS. 3:23) Hal itu adalah karena mereka mengaku: ‘Kami tidak akan disentuh oleh api Neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung.’ Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan. (QS. 3:24) Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari [Kiamat] yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedangkan mereka tidak dianiaya [dirugikan].” (QS. 3:25)

Allah berfirman dengan maksud mengingkari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang teguh kepada apa yang mereka anggap sebagai kedua kitab mereka, yaitu Taurat dan Injil. Jika mereka diseru untuk konsekuen dengan isi kedua kitab tersebut, yang di antaranya adalah ketaatan kepada Allah atas apa yang diperintahkan kepada mereka dalam kedua kitab tersebut, yaitu mengikuti Muhammad, maka mereka berpaling dan mereka pun membelakangi kebenaran keduanya.

Yang demikian itu merupakan puncak dari pencelaan terhadap mereka dan penghinaan dengan penyebutan terhadap mereka dengan penolakan dan kekufuran.

Setelah itu Allah berfirman, dzaalika bi-annaHum qaaluu lan tamassanan naaru illaa ayyaamam ma’duudaat (“Hal itu adalah karena mereka mengaku, kami tidak akan disentuh oreh api Neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung.”) Maksudnya, keberanian mereka menentang kebenaran itu disebabkan oleh sikap mengada-ada mereka terhadap Allah yang berupa pengakuan terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka hanya akan diadzab di Neraka selama tujuh hari saja dari setiap seribu tahun di dunia satu hari. Penafsiran mengenai hal ini telah dikemukakan sebelumnya dalam surat al-Baqarah.

Selanjutnya Dia berfirman, wa gharraHum fid diiniHim maa kaanuu yaftaruun (“Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan.”) Dengan pengertian, mereka diteguhkan dalam agama mereka yang bathil oleh apa yang memperdaya diri mereka sendiri, yaitu anggapan mereka bahwa Neraka tidak akan menyentuhnya karena dosa-dosa yang telah mereka perbuat, melainkan hanya beberapa hari saja yang dapat dihitung. Padahal mereka sendirilah yang mengada-ada dan mengarang /membuat-buat hal itu, padahal Allah tidak pernah menurunkan keterangan mengenai hal itu.

Kemudian Allah mengancam mereka melalui firman-Nya, fa kaifa idzaa jama’naaHum li yaumi laa raiba fiiHi (“Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan jada hari yang tidak ada keraguan tentang adanya.”) Artinya, bagaimana keadaan mereka kelak, sementara mereka telah mengada-ada (membuat kedustaan) terhadap Allah dan mendustakan para Rasul-Nya, serta membunuh para Nabi dan ulama dari kaum mereka, yang telah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menanyakan semua itu kepada mereka, menghakimi serta memberikan balasan terhadap mereka.

Oleh karena itu Dia berfirman, fa kaifa idzaa jama’naaHum li yaumi laa raiba fiiHi (“Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan jada hari yang tidak ada keraguan tentang adanya.”) Yakni tidak diragukan lagi kejadian dan keberadaannya.

&

Hadits 23 Hadits Dlaif dan Maudlu’

19 Jan

Silsilah Hadits Dlaif (Lemah) dan Maudlu’ (Palsu);
Muhammad Nashiruddin al-Albani

AllaaHul ladzii yuhyii wa yumiitu wa Huwa hayyun laa yamuutu ighfil li ummii fathimata binti asadin walaqqinHaa hujjatahaa wa wassi’ ‘alaiHaa mudkhalaHaa, bi haqqi nabiyyika wal anbiyaa-il ladziina min qabli fa innaka arhamur raahimiin.
“Allahyang menghidupkan dan mematikan sedang Dia Hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, bimbinglah hujjahnya, luaskanlah tempat masuknya, atas hak Nabi-Mu dan
para Nabi sebelumku karena Engkau-Iah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”

Hadits ini dha’if dan diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir dan Anas dalam al-Ausath. Abu Naim meriwayatkannya dalam kitab Haliyyatul-Auliya III/121. Haitsami menyebutkan dalam kitab Mujma’ az-Zawaid IX/257 bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat Rauh bin Shalah yang oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim dipercaya namun ada kelemahan dalam meriwayatkan. Adapun selain Rauh bin Shalah semua rijal sanadnya adalah sahih.

Setelah saya teliti dalam riwayat ath-Thabrani yang diriwayatkan oleh Abu Naim dalam Haliyyatul Auliya lll / 121 terdapat pula sanad bernama Zughbah. Orang ini tidak termasuk deretan rijal sahih. Bahkan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Imam Nasa’i, kendatipun ia (Nasa’i) tsiqah (dapat dipercaya).

Kini tinggal Rauh bin Shalah yang oleh Abu Naim dinyatakan merupakan sanad tunggal, sedangkan Ibnu Hibban menyatakannya kuat. Barangkali hadits tersebut tcrmasuk salah satu dari hadits-hadits israiliat yang mauquf sanadnya.

&