Tag Archives: 24

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 24-25

11 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 24-25“Allah berfirman: ‘Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.’ (QS. 7:24) Allah berfirman: ‘Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.’” (QS. al-A’raaf: 25)

Ada yang mengatakan, bahwa yang menjadi sasaran percakapan dalam firman-Nya: iHbithuu (“Turunlah kamu berdua,”) adalah Adam, Hawa, iblis dan ular. Dan sebagian mereka ada yang tidak menyebutkan ular. Wallahu a’lam.

Yang menjadi pelaku permusuhan adalah Adam dan Iblis. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam surat Thaahaa yang artinya: “Turunlah kamu berdua (Adam dan iblis) dari Surga bersama-sama.” (QS. Thaahaa: 123) Dan Hawa mengikuti Adam, sedangkan ular, jika benar disebutkan, maka tentu ia mengikuti iblis.

Beberapa ahli tafsir menyebutkan tempat-tempat turunnya mereka semua, di mana berita mengenai hal itu bersumber dari Israiliyyaat, wallahu a’lam. Seandainya pada penentuan tempat tersebut terdapat manfaat bagi para mukallaf (orang-orang dewasa atau yang mendapat tugas dan kewajiban) dalam masalah agama dan dunia mereka, niscaya Allah pasti telah menyebutkannya dalam al-Qur’an atau disampaikan melalui Rasul-Nya.

Firman-Nya lebih lanjut: wa lakum fil ardli mustaqarruw wa mataa’un ilaa hiin (“Dan kamu mempunyai tempat kediamanan kesenangan [tempat mencari kehidupan] di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.”) Maksudnya, tempat tinggal dan umur yang telah ditentukan sampai pada batas waktu tertentu yang telah dituliskan oleh qalam dan ditetapkan oleh takdir, serta dicatat dalam Lauhul Mahfuzh.

Mengenai firman-Nya: mustaqarrun (“Tempat tinggal,”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Yaitu kuburan.” Dan masih dari Ibnu ‘Abbas: “mustaqarrun” berarti “Apa yang di atas dan di bawah bumi.” (Kedua keterangan tersebut diriwayatkan Ibnu Abi Hatim)

Firman Allah selanjutnya: qaala fiiHaa tahyauna wa fiiHaa tamuutuuna wa minHaa tukhrajuun (“Allah berfirman: ‘Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu pula kamu akan dibangkitkan.’”) Ayat tersebut sama seperti firman-Nya berikut ini yang artinya:
“Dari bumi (tanah) itulah Kami menciptakanmu dan kepadanya pula Kami akan mengembalikanmu dan darinya Kami akan mengeluarkanmu pada kesempatan yang lain.” (QS. Thaahaa: 55)

Allah Ta’ala memberitahukan, bahwa Dia telah menjadikan bumi ini sebagai tempat tinggal bagi anak cucu Adam selama hidup di dunia ini. Di bumilah kehidupan, kematian dan kuburan mereka berada. Dan dari bumi itu pula kelak pada hari Kiamat mereka akan dikeluarkan, yang pada hari itu Allah akan mengumpulkan orang-orang yang hidup pertama dan yang terakhir di mana masing-masing akan diberikan balasan sesuai dengan amal perbuatannya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yunus ayat 24-25

4 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Yunus
Surah Makkiyyah; surah ke 10: 109 ayat

tulisan arab alquran surat yunus ayat 24-25“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman di bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir. (QS. 10: 24) Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (QS. 10:25)” (Yunus: 24-25)

Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan perumpamaan untuk kehidupan dunia dan perhiasannya, kecepatan habis dan hilangnya, diumpamakan dengan tumbuhan-tumbuhan yang Allah keluarkan dari bumi dengan adanya hujan yang diturunkan dari langit, berupa tanaman-tanaman dan buah-buahan yang berbeda-beda jenisnya dan tumbuhan-tumbuhan yang dimakan oleh binatang-binatang ternak, berupa rumput, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya.

hattaa idzaa akhadzatil ardlu zukhrufaHaa (“Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya.”) Maksudnya, perhiasannya yang bakal hilang. Wa zayyanat (“dan memakai pula perhiasannya.”) Maksudnya, ia indah dengan gundukan-gundukan tanah yang penuh dengan bunga yang elok, dengan berbagai macam bentuk dan warnanya. Wa dhanna aHluHaa (“Dan pemilik pemiliknya mengira.”) Yaitu, mereka yang menanam dan menancapkannya. annaHum qaadiruuna ‘alaiHaa (“bahwa mereka pasti menguasainya.”) Maksudnya, untuk memetik dan memanennya, maka seketika itu tiba-tiba petir atau angin kencang yang dingin membasahi daun-daunnya dan merusak buah-buahnya.

Maka dari itu Allah Ta’ala berfirman: ataaHaa amrunaa lailan au naHaaran faja’alnaaHaa hashiidan (“Tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang lalu Kami jadikan [tanaman-tanamannya] laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit.”) Maksudnya, kering setelah hijau subur. Ka allam yagna bil amsi (“Seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.”) maksudnya, seakan-akan belum pernah tumbuh dari waktu ke waktu.

Qatadah berkata: “Seakan-akan belum pernah tumbuh, yakni belum pernah dinikmati. Demikianlah sesuatu setelah hilangnya, seolah-olah tidak ada.

Hal itu seperti dalam hadits:
“Didatangkan orang yang paling nikmat kehidupannya di dunia, lalu dibenamkan ke dalam neraka (dibenamkan dengan kuat), lalu ditanyakan kepadanya: ‘Apakah kamu telah melihat kebaikan, sedikit saja? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan, sedikit saja?’ Maka dia menjawab: ‘Tidak.’ Dan didatangkan orang yang paling susah kehidupannya di dunia, lalu dibenamkan ke dalam kenikmatan surga dengan sangat, lalu ditanyakan kepadanya: ‘Apakah kamu mendapatkan kesusahan (siksaan), sedikit saja?’ Maka dia menjawab: ‘Tidak.’” (HR. Ibnu Majah: 4321-pentahqiq.)

Allah berfirman mengabarkan orang-orang yang binasa, yang artinya: “Lalu mereka mati bergelimpangan seolah-olah mereka tidak pernah berdiam di tempat itu.” (QS. Huud: 67-68)

Kemudian Allah Ta’ala berfirman: kadzaalika nufash-shilul aayaati (“Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda [kekuasaan Kami].”) maksudnya bukti-bukti dan dalil-dalil. Liqaumiy yatafakkaruun (“Kepada kaum yang berfikir”) sehingga mereka bisa mengambil pelajaran dari perumpamaan ini, yaitu tentang hilangnya dunia dengan cepat dari pemiliknya, tertipu mereka olehnya, penguasaan mereka dan larinya dunia itu dari mereka, karena memang pada dasarnya dunia itu lari dari orang yang mencarinya dan mencari orang yang lari darinya.

Allah Ta’ala telah membuat perumpamaan bagi dunia dengan tumbuhan-tumbuhan di bumi, dalam banyak ayat dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah berfirman dalam surat al-Kahfi yang artinya:
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagat air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuhan-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuhan-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45)

Begitu juga dalam surat az-Zumar dan al-Hadid, Allah memberikan perumpamaan seperti itu, mengenai perumpamaan hidupan dunia.

Firman-Nya: wallaaHu yad’uu ilaa daaris salaami (“Allah menyeru [manusia] ke Darussalam [surge]…”) ketika Allah telah menyebutkan dunia dan kecepatan hilangnya, Allah menawarkan surga dan mengajak kepadanya, Allah memberinya nama “Daarus Salaam” (tempat tinggal yang penuh keselamatan). Maksudnya, selamat dari rintangan-rintangan, kekurangan-kekurangan dan musibah/bencana. Allah berfirman: wallaaHu yad’uu ilaa daaris salaami wa yaHdii may yasyaa-u ilaa shiraathim mustaqiim (“Allah menyeru [manusia] ke Darussalam [surga] dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus [Islam].”)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 23-24

28 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 23-24“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS. 11:23) Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)? (QS.-11:24)” (Huud: 23-24)

Setelah Allah menceritakan keadaan orang-orang yang hidup sengsara, kemudian Allah menceritakan golongan orang-orang yang berbahagia, yaitu mereka yang beriman dan mengerjakan amal shalih. Hati mereka benar-benar beriman dan seluruh anggota tubuh mereka berbuat amal shalih, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yakni dengan mengerjakan berbagai ketaatan dan menjauhi berbagai kemungkaran.

Dengan demikian, mereka menjadi pewaris beraneka ragam surga yang mempunyai banyak kamar yang tinggi, pelaminan yang berderet rapi, aneka buah-buahan yang segar, permadani yang tebal, serta berbagai keindahan yang menyenangkan, berbagai macam makanan yang lezat dan minuman yang segar, serta kesempatan memandang kepada Rabb Pencipta langit dan bumf. Di dalamnya mereka benar-benar kekal untuk selamanya, tidak akan mati, tidak tua, tidak juga sakit, tidak tidur, tidak buang kotoran, tidak meludah dan tidak berdahak, melainkan ia selalu mengeluarkan bau yang sangat harum.

Kemudian Allah memberikan perumpamaan antara orang orang kafir dengan orang-orang yang beriman, di mana Allah berfirman: matsalul fariqaini (“Perumpamaan kedua golongan itu.”) Yakni, golongan orang-orang kafir yang disifati dengan kesengsaraan dan golongan orang-orang mukmin yang memperoleh kebahagiaan.

Kelompok yang pertama itu adalah seperti orang buta dan tuli sedangkan kelompok kedua adalah seperti orang yang dapat melihat dan mendengar. Dengan demikian, orang kafir itu buta dari kebenaran selama hidup di dunia dan di akhirat ia tidak akan pernah mendapat petunjuk menuju kepada kebaikan dan tidak pula mengetahuinya, serta tuli dari berbagai hujjah sehingga ia tidak dapat mendengar apa yang bermanfaat baginya.

Sebagaimana yang difirmankan Allah: “Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (QS. Al-Anfaal: 23)

Sedangkan orang mukmin, mempunyai kecerdasan dan pikiran yang cemerlang, serta mampu melihat kebenaran, dapat membedakan antara yang haq dengan yang bathil, sehingga ia akan mengikuti kebaikan dan meninggalkan segala hal yang buruk. Dan ia juga dapat mendengar hujjah dan mampu membedakannya dari hal-hal yang syubhat (samar-samar), sehingga ia tidak akan terjebak dalam kebathilan. Dengan demikian, apakah sama antara kelompok pertama dengan kelompok yang kedua?

Afalaa tadzakkaruun (“Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran [dari perbandingan itu]?”) Tidakkah kalian memperhatikan, sehingga kalian dapat membedakan antara masing-masing kelompok di atas?

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 24

26 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 24“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)

Pendapat dan penafsiran ulama berbeda-beda dalam hal ini. Telah diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, Mujahid, Said bin Jubair dan sekelompok ulama salaf tentang hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan yang lain-lainnya, wallahu a’lam. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keinginan Yusuf terhadap wanita itu adalah apa yang terbersit dalam hatinya seperti yang diriwayatkan oleh al-Baghawi dari sebagian peneliti, lalu ia menyampaikan hadits dari `Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Hamam, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda:

“Allah Ta’ala berfirman: ‘Bila hamba-Ku berniat untuk berbuat baik, maka tulislah satu kebaikan baginya. Dan bila (kebaikan itu) dilakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kebaikan. Bila ia bemiat untuk berbuat jahat tetapi tidak dilakukannya, maka tulislah satu kebaikan baginya, karena ia meninggalkannya (perbuatan jahat itu) karena Aku, dan bila ia melakukannya (kejahatan maka tulislah baginya satu kejahatan.’”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahih mereka.

Ada yang mengatakan: “Yusuf mau memukulnya.” Ada lagi yang mengatakan: “Yusuf mengharapkannya (kelak dikemudian hari-Ed.) sebagai istri.

Adapun tanda dari Rabb yang dilihatnya, terdapat beberapa pendapat. Ibnu jarir mengatakan: “Yang benar, bahwa Yusuf melihat tanda dari Allah yang mencegahnya untuk berbuat apa yang diinginkannya, bisa saja dalam bentuk Ya’qub, atau bentuk Malaikat atau tulisan yang melarang keinginannya. Tidak ada argumentasi pasti yang dapat menentukan bentuk dari tanda Allah yang dilihatnya. Jadi, yang benar adalah pertanda itu tetap mutlak sebagaimana firman Allah Ta’ala: kadzaalika linash-rifa ‘anHus suu-a wal fahsyaa-a (“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.”)

Maksudnya, sebagaimana Kami memperlihatkan kepadanya tanda yang memalingkannya situasi yang dihadapinya, demikian pula Allah menjauhkannya dari perbuatan jahat dan keji dalam segala urusannya.

innaHuu min ‘ibaadinal mukhlashiin (“Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.”) Maksudnya, termasuk dari hamba-hamba pilihan suci bersih, semoga shalawat dan salam-Nya dilimpahkan kepadanya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ar-Ra’du ayat 20-24

24 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Ar-Ra’du (Guruh)
Surah Madaniyyah; surah ke 13: 43 ayat

tulisan arab alquran surat ar ra'du ayat 20-24“(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, (QS. 13:20) dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. 13:21) Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (QS. 13:22) (yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shalih dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang para Malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (13:23) (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum.’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. 13:24)” (ar-Ra’du: 20-24)

Allah memberitakan tentang orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji ini, bahwa mereka akan mendapatkan tempat kesudahan yang baik, yaitu balasan dan kemenangan (pertolongan) di dunia dan akhirat, yaitu: alladziina yuuffuna bi’aHdillaaHi wa laa yanqudluunal miitsaaqa. Walladziina yashiluuna maa amarallaaHu biHii ay yuushila (“Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak jerjanjian. Dan orang-orang yang menghbungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”) Yaitu, menghubungkan tali persaudaraan (silaturahmi) dan berbuat baik kepada mereka, kepada fakir, miskin, orang yang membutuhkan, dan mengusahakan kebaikan.

Wa yakhsyauna rabbaHum (“dan mereka takut kepada Rabb mereka.”) dalam segala perbuatan yang mereka lakukan dan yang mereka hindarkan, mereka selalu merasa diawasi oleh Allah. Wa yakhaafuuna suu-al hisaabi (“dan takut kepada hisab yang buruk”) di akhirat nanti.

Karena itu, Allah memerintahkan kepada mereka agar tetap berada di jalan yang benar dan istiqamah dalam segala gerakan atau dalam keadaan diamnya mereka, serta dalam segala situasi dan kondisi baik yang bersifat pribadi maupun sosial kemasyarakatan.

Wal ladziina shabarubtighaa-a wajHi rabbiHim (“Dan orang orang yang sabar karena mencari kerelaan [ridha] Rabb mereka.”) Sabar meninggalkan semua yang dilarang dan perbuatan berdosa, dengan menahan diri mereka untuk melakukannya, hanya karena Allah, untuk mendapatkan keridhaan-Nya dan pahala yang besar dari-Nya. wa aqaamush shalaata (“Mereka mendirikan shalat,”) dengan melaksanakan segala ketentuannya, pada waktunya, lengkap dengan ruku’ dan sujudnya dan khusyu’ serta sesuai dengan ketentuan syari’at yang diridhai Allah.

Wa anfaquu mimmaa razaqnaaHum (“Mereka menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka.”) Maksudnya, kepada orang-orang yang wajib mereka nafkahi yang menjadi tanggungan mereka, seperti isteri, kerabat dan orang lain seperti orang-orang fakir miskin, orang yang membutuhkan dan orang-orang yang susah. Sirraw wa’alaa niyatan (“Secara sembunyi maupun terang-terangan.”) Maksudnya, secara sembunyi maupun diketahui oleh orang lain, tidak ada keadaan apapun yang menghalanginya, baik pada malam maupun Siang hari.

Wa yad-ra-uuna bilhasanatis sayyi-ata (“Serra menolak kejahatan dengan kebaikan.”) Maksudnya, menolak perbuatan yang buruk dengan berbuat baik, jika orang yang menyakitinya, maka dibalasnya dengan perbuatan baik, dengan sabar dan menanggung perbuatan buruk orang tersebut dengan sabar dan menanggung perbuatan buruk orang itu dengan lapang dada dan memberikan maaf kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Tolaklah dengan cara yang lebih baik, kalaupun yang terjadi antara kamu dan dia suatu permusuhan, tampak seolah-olah telah menjadi teman yang sangat akrab. Hal-hal yang demikian itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang punyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 34-35)

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, memberitakan tentang orang-orang yang bahagia yang mempunyai sifat-sifat yang baik, bahwa mereka akan mendapatkan tempat kesudahan yang baik, kemudian menjelaskan tempat itu adalah: jannaatu ‘adnin (“Surga Adn.”) `Adn artinya tempat tinggal, maksudnya surga tempat tinggal yang abadi di dalamnya.

Adh-Dhahhak mengatakan tentang firman Allah: jannaatu ‘adnin (“Surga Adn.”) yaitu kota surga, di sana terdapat para Rasul, para Nabi, syuhada’, imam-imam penuntun umat sedang orang-orang lainnya berada di sekitar mereka dalam jarak yang jauh dan taman-taman (mengelilingi) di sekitar mereka.

Firman Allah: yadkhuluunaHaa wa man shalaha min aabaa-iHim wa azwaajiHim wa dzurriyyaatiHim (“Mereka ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang shalih dari bapak-bapak mereka, isteri-isteri mereka, dan anak cucu mereka.”) Maksudnya, Allah mengumpulkan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai di dalam surge itu, yaitu bapak-bapak, isteri-isteri dan anak cucu mereka yang termasuk patut untuk masuk surga, dari kalangan orang-orang yang beriman, supaya mereka terhibur dan senang dapat berkumpul dengan mereka semua, sehingga Allah mengangkat derajat mereka yang rendah menjadi lebih tinggi berkat anugerah dan kebaikan Allah kepada mereka, tanpa mengurangi derajat orang-orang yang memang memiliki derajat yang tinggi.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak cucu mereka dengan iman, maka Kami susulkan dengan mereka anak cucu mereka itu.” (QS. Ath-Thuur: 21)

Firman Allah Ta’ala: wal malaa-ikatu yadkhuluuna ‘alaiHim min kulli baab. Salaamun ‘alaikum bimaa shabartum fani’ma ‘uqbad daar (“Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. Sambil mengucapkan: ‘Salam sejahtera untuk kalian berkat kesabaran kalian.’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”) Maksudnya, para Malaikat keluar-masuk ke tempat mereka dari sana sini untuk memberikan ucapan selamat atas keberhasilan mereka masuk surga. Karena ketika mereka memasuki surga, para Malaikat datang memberi salam dan ucapan selamat kepada mereka atas apa yang mereka dapatkan dari Allah, berupa kedekatan, kenikmatan dan tempat tinggal surga Darussalam dekat dengan para shiddiqin, para Nabi dan Rasul yang terhormat dan mulia.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ibrahim ayat 24-26

24 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Ibrahim
Surah Makkiyyah; surah ke 14: 52 ayat

tulisan arab alquran surat ibrahim ayat 24-26“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (QS. 14:24) pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. 14:25) Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. (QS. 14:26)” (QS. Ibrahim: 24-26)

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: matsalan kalimatan thayyibatan (“Perumpamaan kalimat yang baik”) ia mengatakan: “Yaitu kalimat laa ilaaHa illallaaH.” Kasyajaratin thayyibatin (“seperti pohon yang baik”) yaitu orang mukmin; ashluHaa tsaabitun (“akarnya teguh”) ia mengatakan: “Tidak ada ilah yang haq selain Allah.”dalam hati orang mukmin: wa far’uHaa fis samaa-i (“Dan cabangnya [menjulang] ke langit.”) ia mengatakan: “Dengan kalimat thayyibah itu, amal perbuatan orang mukmin diangkat ke langit.”

Adh-Dhahhak, Sa’id bin Jubair, `Ikrimah, Mujahid dan mufassir lainnya juga mengatakan, bahwa hal itu adalah perumpamaan amal perbuatan, perkataan yang baik dan amal shalih orang mukmin dan bahwa orang mukmin itu bagaikan pohon kurma; Amal baik orang mukmin itu senantiasa diangkat baginya pada setiap saat, pada setiap kesempatan, pada waktu pagi maupun petang.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu `Umar, ia berkata: “Kami sedang berada di samping Rasulullah saw, lalu beliau bersabda: “Sebutkanlah sebuah pohon yang serupa atau seperti orang muslim yang daunnya tidak berjatuhan pada musim panas dan musim dingin dan menghasilkan buah setiap saat dengan izin Rabbnya.”

Ibnu `Umar berkata: “Terdetik dalam hatiku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku lihat Abu Bakar dan `Umar tidak berbicara, maka aku pun enggan berbicara. Karena tidak ada seorang pun yang menjawab, maka Rasulullah saw. bersabda: “Pohon itu adalah pohon kurma.”
Setelah kami semua berdiri, aku berkata kepada `Umar: “Wahai ayah, demi Allah, sesungguhnya telah terdetik dalam hatiku pohon yang dimaksud adalah pohon kurma.” `Umar bertanya: “Mengapa kamu tidak mengatakannya?” Aku menjawab: “Aku lihat kalian tidak ada yang berbicara, maka aku pun enggan berbicara atau mengatakan sesuatu.” `Umar berkata: “Sungguh, bila engkau mengatakannya, pasti aku lebih senang daripada begini dan begitu.”

Firman Allah: tu’tii ukuluHaa kulla hiinin (“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim.”) Tampak dari susunan kalimat tersebut bahwa orang mukmin itu seperti sebuah pohon yang selalu berbuah pada setiap waktu, pada musim panas dan musim dingin, baik pada malam hari maupun pada siang hari. Demikian pula seorang mukmin yang senantiasa diangkat baginya amal perbuatan yang baik sepanjang malam dan di penghujung siang pada setiap waktu, setiap saat.

Bi-idzni rabbiHaa (“Dengan seizin Rabbnya,”) yakni secara sempurna, banyak, bagus dan penuh berkah. Wa yadlribullaaHu amtsaala linnaasi ‘alallaHum yatadzakkaruun (“Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”)

Firman Allah: wa matsalu kalimatin khabiitsatin kasyajaratin khabiitsatin (“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk.”) ini merupakan perumpamaan kekafiran orang kafir yang tidak memiliki dasar dan keteguhan, bagaikan pohon al-hanzhal (yang buahnya pahit dan menyebabkan mencret) atau dinamakan juga asy-syaryan.

Firman Allah: ijtuts-tsat (“yang telah dicabut dengan akar-akarnya,”) diambil sampai akar-akarnya; min fauqil ardli maa laHaa min qaraar (“Dari permukaan bumi tidak dapat tetap [tegak] sedikit pun.”) Maksudnya, pohon itu tidak lagi punya akar dan tidak bisa berdiri tegak dan teguh.

Demikian pula kekafiran, ia tidak punya dasar, tidak punya cabang dan amal orang kafir tidak dapat diangkat dan sama sekali tidak diterima Allah.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 24-25

16 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 24-25“Dan apabila dikatakan terhadap mereka, ‘Apakab yang telah diturunkan Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu.’ (QS. 16:24) (Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada bari Kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (babwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu. (QS. 16:25)” (an-Nahl: 24-25)

Allah Ta’ala berfirman, jika dikatakan kepada mereka-mereka para pendusta: maa dzaa anzala rabbukum, qaala (“’Apakah yang telah diturunkan Rabbmu,’ mereka menjawab,”) seraya berpaling dari jawaban: asaathiirul awwaliin (“Dongeng-dongeng orang-orang terdahulu,”) maksudnya Allah tidak menurunkan sesuatu, sesungguhnya apa yang dibacakan kepada kami hanyalah dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, maksudnya diambil dari kitab-kitab orang-orang terdahulu.

Allah Ta’ala berfirman: qaaluu asaathiirul awwaliinak tatabaHaa faHiya tumlaa ‘alaiHi bukrataw wa ashiilan (“Dan mereka berkata: ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, di mintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.’”) (QS. Al-Furqaan: 5). Maksudnya, mereka mendustakan Rasul, dan mereka berkata dengan perkataan yang saling bertentangan dan berbeda, dan kesemuanya itu adalah bathil. Karena sesungguhnya setiap orang yang keluar dari kebenaran, apa pun perkataannya, dia dianggap salah.

Dan mereka berkata: “(Muhammad) itu tukang sihir, ahli sya’ir, dukun dan orang gila.” Perkataan mereka itu bermuara kepada apa yang telah direka-reka oleh guru mereka satu-satunya yang bernama al-Walid Ibnul Mughirah al-Makhzumi, ketika:
“Dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang di tetapkannya) maka celakalah dia ! Bagaimankah dia menetapkan? Kemudian celakalah dia ! Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan, sesudah dia bermasam muka dan mengerut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata (al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang terdahulu).” (QS. Al-Muddatstsir: 18-24)

Maksudnya, disalin dan di ceritakan. Kemudian mereka berpencar dengan membawa ucapannya dan pendapatnya. Mudah-mudahan Allah membuat mereka menjadi jelek.

Allah Ta’ala berfirman: liyahmiluu auzaaraHum kaamilatay yaumal qiyaamati wa min auzaaril ladziina yudlilluunaHum bighairi ‘ilmi (“Ucapan mereka menyebabkan mereka rnemikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari Kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun, (bahwa mereka di sesatkan),”) maksudnya, Kami benar-benar mentakdirkan mereka untuk berkata seperti itu, agar mereka menanggung dosa-dosa mereka sendiri dan dosa-dosa orang-orang yang mengikuti dan setuju kepada mereka, maksudnya kesalahan-kesalahan mereka menimpa mereka sendiri. Begitu juga kesalahan penipuan mereka terhadap orang lain, dan keikutsertaan orang itu pada mereka. sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat:

“Barangsiapa mengajak kebaikan, dia mendapatkan pahala seperti pahala-pahalanya orang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun, dan barangsiapa mengajak kesesatan dia mendapatkan dosa, seperti dosa-dosanya orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.” (HR. Abu Dawud [4609], Ibnu Majah [206] dan Imam Ahmad)

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan. ” (QS. Al-Ankabuut: 13)

Demikian pula al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu `Abbas dalam ayat. Dan Mujahid berkata: “Mereka memikul beban-beban dosa mereka, dan dosa-dosa orang yang mentaati mereka, dan hal itu tidak meringankan siksa terhadap orang yang mentaati mereka.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 23-24

13 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 23-24“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS.17:23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.’ (QS. 17:24)” (al-Israa’: 23-24)

Allah berfirman seraya memerintahkan agar hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Kata “qadhaa” dalam ayat ini berarti perintah. Mengenai firman-Nya: wa qadlaa (“Dan telah memerintahkan,”) Mujahid berkata: “Artinya berwasiat.” Demikian pula Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan adh-Dhahhak bin Muzahim membaca ayat tersebut dengan bacaan: wa washshaa rabbuka allaa ta’buduu illaa iyyaaHu (“Rabbmu berwasiat agar kamu tidak beribadah kecuali kepada-Nya semata.”)

Oleh karena itu Allah menyertakan perintah ibadah kepada-Nya dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, di mana Dia berfirman: wa bilwaalidaini ihsaanan (“Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”) Maksudnya, Dia menyuruh hamba-Nya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Yang demikian itu seperti firman-Nya dalam Surat yang lain, di mana Dia berfirman yang artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku tempat kembalimu.” (QS. Luqman: 14)

Dan firman-Nya lebih lanjut: immaa yablughanna ‘indakal kibara ahaduHumaa au kilaaHumaa falaa taqul laHumaa uffin (“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’. “) Maksudnya, janganlah engkau memperdengarkan kata-kata yang buruk, bahkan sampai kata “ah” sekalipun yang merupakan tingkatan ucapan buruk yang paling rendah/ringan.

Wa laa tanHar Humaa (“Dan janganlah kamu membentak keduanya,”) maksudnya, jangan sampai ada perbuatan buruk yang kamu lakukan terhadap keduanya. Sebagaimana yang dikatakan `Atha’ bin Abi Rabah mengenai firman-Nya ini ia berkata: “Artinya, janganlah kamu meringankan tangan kepada keduanya.” Dan setelah Allah melarang melontarkan ucapan buruk dan perbuatan tercela, Allah, menyuruh berkata-kata baik dan berbuat baik kepada keduanya, di mana Dia berfirman: wa qul laHumaa qulan kariiman (“Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”) Yakni, dengan lemah lembut, baik, penuh sopan santun, disertai pemuliaan dan penghormatan.

Wakhfidl laHumaa janaahadz dzulli minar rahmati (“Dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan,”) maksudnya, bertawadhu’lah kamu kepada keduanya melalui tindakanmu.
Wa qur rabbirham Humaa kamaa rabbayaanii shaghiiran (“Dan ucap-kanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.’”) Yakni, pada usia tuanya dan pada saatwafatnya.

Ibnu’Abbas mengatakan, kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat yang artinya: “Tidak sepatututnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, ” dan ayat seterusnya. (QS. At-Taubah: 113)

Mengenai masalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) ini, telah banyak hadits yang membahasnya. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalan Anas dan juga yang lainnya, bahwasanya Rasulullah pernah menaiki mimbar, kemudian berucap: “Amin. Amin. Amin.” Lalu ditanyakan: “Ya Rasulullah, apa yang engkau aminkan tadi” Beliau menjawab: “Aku telah didatangi Jibril, lalu ia berkata: ‘Sungguh hina orang yang (namamu disebut di sisinya), namun ia tidak bershalawat kepadamu. Maka ucapkanlah amin.’ Maka Aku mengucapkan amin. Kemudian ia berkata lagi: ‘Sungguh hina orang yang masuk bulan Ramadhan, lalu ia keluar darinya dengan tidak mendapatkan ampunan. Maka ucapkanlah amin.’ Maka kuucapkan amin. Selanjutnya Jibril berkata: ‘Sungguh hina orang yang mendapatkan kedua atau salah satu orang tuanya, namun (kesempatan bakti kepada) keduanya tidak memasukkannya ke surga. Maka ucapkanlah amin.’ Maka kuucapkan amin.”

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda: “Sungguh hina, sungguh hina, kemudian sungguh hina orang yang mendapatkan salah seorang atau kedua orang tuanya di sisinya (semasa hidupnya), namun ia (orang tuanya) tidak memasukkannya ke surga.”

Hadits terakhir shahih dari sisi ini, dan tidak ada yang meriwayatkannya kecuali Muslim. Selain itu, Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Usail, yakni Malik bin Rabi’ah as-Sa’idi, ia bercerita: Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah tiba-tiba beliau didatangi oleh seseorang dari kaum Anshar, lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah, masihkah ada sesuatu dari bakti kepada orang tuaku yang harus kulakukan setelah keduanya wafat?” Beliau menjawab: “Ya, masih, ada empat perkara, yaitu menshalatkan keduanya (shalat jenazah), memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, dan menghormati sahabat keduanya serta menyambung tali silaturahmi yang engkau tidak akan mempunyai hubungan silaturahmi kecuali melalui keduanya. Demikian itulah yang masih tersisa dari bakti kepada orang tua yang harus kamu lakukan setelah keduanya wafat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Jahimah as-Sulami, bahwasanya Jahimah pernah datang kepada Nabi dan berkata: “Ya Rasulullah, aku ingin ikut perang dan aku datang kepadamu untuk meminta saran.” Maka beliau pun bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai ibu?” “Ya, masih,” jawabnya. Maka beliau berkata: “Kalau begitu, temanilah ia, karena surga itu terletak di kedua kakinya.”

Kemudian hadits yang kedua, lalu ketiga di beberapa kedudukan, sama seperti ucapan beliau ini. Dan demikian itulah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Ibnu Majah.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 23-24

5 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 23-24“Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu (tiri) dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. An-Nisaa’: 23) Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tidaklah mengapa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. An-Nisaa’: 24)

Ayat yang mulia ini adalah ayat yang menerangkan haramnya mahram berdasarkan nasab (keturunan) dan hal-hal yang mengikutinya berupa persusuan dan kemertuaan. hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum (“Diharamkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan.”) Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Yang diharamkan karena nasab ada tujuh dan karena kemertuaan ada tujuh, kemudian ia membaca: hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum wa ‘ammaatukum wa khaalaatukum wa banaatul akhi wa banaatul ukhti (“Di-haramkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramuyang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan,”) merekalah [mahram dari] nasab.

Jumhur ulama menggunakan dalil tentang haramnya anak zina dengan keumuman firman Allah Ta’ala: wa banaatukum (“Dan anak-anak perempuanmu.”) Karena ia adalah anak perempuan, maka ia masuk dalam keumuman ayat tersebut, sebagaimana madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Ada pendapat dari asy-Syafi’i yang membolehkannya, karena ia bukanlah anak menurut hukum syar’i. Sebagaimana ia tidak dapat masuk dalam firman: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan,” (QS. An-Nisaa’: 11) sesungguhnya ia tidak mendapatkan warisan menurut ijma’, maka ia pun tidak termasuk ke dalam ayat ini. Wallahu a’lam.

Firman-Nya: wa ummaHaatu kumul laatii ardla’nakum wa akhawaatukum minar radlaa’ati (“Ibu ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan.”) Artinya, sebagaimana kamu diharamkan terhadap ibu-ibu yang melahirkanmu, maka begitu pula kamu diharamkan dengan ibu-ibu yang menyusuimu.

Untuk itu, di dalam ash-Shahihain tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram apa-apa yang dapat menjadikan mahram karena kelahiran.”

Dan dalam lafazh Muslim: “Diharamkan karena persusuan, apa-apa yang di haramkan karena nasab”.

Sebagian ahli fiqih berkata, “Setiap apa saja yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan kecuali empat bentuk.” Sebagian lagi mengatakan, kecuali enam bentuk yang kesemuanya tersebut di dalam kitab-kitab furu’. Setelah diteliti, ternyata tidak ada pengecualian sedikitpun dalam masalah tersebut. Karena sebagian terdapat dalam nasab dan sebagian lagi terdapat dalam kemertuaan, maka secara (mendasar) tidak ada yang menolak hadits tersebut sedikitpun. Segala puji hanya milik Allah, dan kepercayaan hanya dengan-Nya.

Di antaranya yaitu: Ibu saudaramu yang laki-laki dan Ibu saudaramu yang perempuan karena sepersusuan. Jika ada seorang perempuan (lainnya) menyusui saudara laki-lakimu atau saudara perempuanmu, maka perempuan itu tidak haram bagimu karena penyusuan keduanya. Akan tetapi diharamkan bagimu ibu dan keduanya berdasarkan nasab, karena ibu dari keduanya itu adalah sebagai ibumu atau isteri ayahmu. Inilah yang menjadi sisa permasalahan tersebut.

Kemudian, para Imam berbeda pendapat tentang jumlah bilangan susuan yang diharamkan. Ada yang berpendapat hanya dengan (sekedar) menyusu dapat mengharamkan, berdasarkan keumuman ayat ini. Inilah pendapat Malik ,riwayat dari Ibnu `Umar, pendapat Sa’id bin al-Musayyab, `Urwah bin az-Zubair dan az-Zuhri. Ulama lain berkata, “Kurang dari tiga kali susuan tidak mengharamkan. Sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari jalan Hasyim bin `Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: “Satu atau dua isapan (susuan) tidak mengharamkan.”

Qatadah berkata dari Abil Khalil, dari `Abdullah bin al-Harits bahwa Ummul Fadhl berkata, Rasulullah bersabda: “Satu dan dua susuan atau satu dan dua isapan tidak mengharamkan,” di dalam lafazh yang lain, “Satu dua sedotan tidaklah mengharamkan.” (HR. Muslim)

Dan di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu `Ubaid dan Abu Tsaur; yaitu diriwayatkan dari `Ali, ‘Aisyah, Ummul Fadhl, Ibnuz-Zubair, Sulaiman bin Yasar dan Sa’id bin Jubair ra,. Ulama yang lain berkata “Kurang dari lima isapan tidak mengharamkan, berdasarkan hadits dalam Shahib Muslim dari riwayat Malik dari `Abdullah bin Abi Bakar, dari `Urwah dari `Aisyah W, ia berkata, dahulu (ayat ini) termasuk di antara ayat al-Qur’an: “Sepuluh kali susuan yang diketahui (dapat) mengharamkan.” Kemudian di-nasakh (dihapus hukum itu) dengan lima kali susuan yang diketahui. Di saat Nabi wafat, maka hal tersebut adalah ayat al-Qur’an yang dibaca.

`Abdurrazzaq meriwayatkan yang serupa dari Ma’mar, dari az-Zuhri, dari `Urwah, dari `Aisyah. Di dalam hadits Sahlah binti Suhail bahwasanya Rasulullah memerintahkannya untuk menyusui Salim, maula Abu Hudzaifah sebanyak lima kali susuan. Dan `Aisyah memerintahkan orang yang akan masuk kepadanya untuk menyusu lima kali. Inilah pendapat Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Kemudian, hendaklah diketahui bahwa susuan itu terjadi di masa kecil kurang dari dua tahun, menurut pendapat Jumhur. Masalah ini sudah dibahas sebelumnya dalam surat al-Baqarah pada firman-Nya,”Hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Kemudian, para ulama berbeda pendapat tentang apakah menjadi haram akibat air susu dari pihak ayah persusuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur empat Imam dan lain-lain. Atau hanya dikhususkan dengan pihak ibu persusuan saja dan tidak merembet hingga pihak ayah persusuan, sebagaimana satu pendapat sebagian ulama Salaf yang sebenarnya terbagi pada dua golongan. Rincian masalah ini terdapat dalam kitab besar yang berisi hukum-hukum.

Firman-Nya: wa ummaHaatu nisaa-ikum wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum min nisaa-ikumul latii dakhaltum biHinna fail lam takuunuu dakhaltum biHinna falaa junaaha ‘alaikum (“Dan ibu-ibu isterimu serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bawah pemeliharanmu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli. Jika kamu belum menggauli mereka, maka tidak ada dosa bagimu.” Ibu mertua diharamkan dengan (hanya sekedar) akad terhadap puterinya, baik sudah digauli ataupun belum. Sedangkan rabibah yaitu anak isteri tidak diharamkan, hingga ibunya digauli. Jika ibunya dicerai sebelum digauli, maka ia boleh mengawini puterinya.

Untuk itu Allah berfirman: wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum min nisaa-ikumul latii dakhaltum biHinna fail lam takuunuu dakhaltum biHinna falaa junaaha ‘alaikum (“Serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bahwa pemeliharanmu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli. Jika kamu belum menggauli mereka, maka tidak ada dosa bagimu,”) dalam mengawini mereka.

Hal ini merupakan kekhususan bagi anak tiri. Dan Jumhur ulama berpendapat bahwa anak tiri tidak diharamkan dengan semata-mata akad terhadap ibunya, berbeda dengan ibu mertua yang diharamkan dengan semata-mata akad. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, bahwa ia berkata, “Apabila seorang suami menceraikan isteri sebelum menggaulinya atau ditinggal wafat, maka ibu mertua tetap haram baginya. Inilah madzhab empat Imam dan tujuh ahli fiqih serta Jumhur fuqaha, baik yang lalu maupun sekarang. Segala puji hanya milik Allah.

Adapun firman Allah: wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum (“Serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bawah pemeliharanmu,”) menurut Jumhur ulama bahwa rabibah itu haram, baik berada di bawah pemeliharaannya atau tidak. Mereka mengatakan: “Firman Allah ini berdasarkan kebiasaan yang banyak terjadi dan tidak mengandung pengertian apa pun, seperti firman Allah yang artinya: “Dan budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian.” (QS. An-Nuur: 33)

Di dalam ash-Shahihain tercantum bahwa Ummu Habibah berkata, “Ya Rasulullah, nikahilah saudariku puteri Abu Sufyan -dalam lafazh Muslim disebutkan: `Izzah binti Abu Sufyan- Rasulullah bertanya, “Apakah engkau menyenangi demikian?” la menjawab, “Ya, aku tidak sombong padamu dan aku senang ada orang yang bergabung denganku untuk kebaikan saudariku.” Beliau bersabda, “Hal itu tidak halal bagiku.” Ia berkata, “Kami menceritakan bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu Salamah.” Beliau bersabda, “Puteri Ummu Salamah?” la menjawab, “Ya”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya seandainya ia bukan anak tiri yang ada dalam pemeliharaanku, niscaya ia pun tetap tidak halal bagiku. la adalah anak perempuan saudara lelaki sepersusuan-ku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh Tsuwaibah. Maka, janganlah engkau tawarkan anak-anak perempuan dan saudari-saudari kalian.”

Di dalam riwayat al-Bukhari, “Sesungguhnya sekalipun aku tidak mengawini Ummu Salamah, ia (puterinya Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.” Beliau menjadikan sebab keharamannya hanya sekedar perkawinan beliau dengan Ummu Salamah dan yang demikian itu dihukumi haram oleh beliau. Inilah madzhab empat Imam, tujuh ahli fiqih serta Jumhur ulama Salaf dan Khalaf. Satu pendapat mengatakan, anak tiri tidak diharamkan kecuali jika di bawah pemeliharaan si laki-laki tersebut. Jika tidak, maka tidak diharamkan. Inilah pendapat Dawud bin `Ali azh-Zhahiri dan para pengikutnya serta dipilih oleh Ibnu Hazm. Syaikh Abu `Umar bin `Abdil Barr berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya tidak halal bagi seseorang untuk menggauli seorang budak wanita dan menggauli anak perempuan (budak tersebut) karena Allah telah mengharamkan hal itu dalam nikah.” Sebagaimana firman-Nya, ibu-ibu isterimu serta anak-anak perempuan (tiri) yang berada di bawah pemeliharaanmu.” Kepemilikan budak (milkul yamin) menurut mereka mengikuti (hukum-hukum) pernikahan, kecuali apa yang diriwayatkan dari `Umar dan Ibnu `Abbas. Namun, pendapat tersebut tidak didapatkan dari seorang ahli fatwa pun yang mengikuti mereka.

Makna firman-Nya: allatii dakhaltum biHinna (“Yang telah kamu campuri.”) Artinya kalian telah nikahi mereka. Hal itu dikatakan oleh Ibnu `Abbas dan lain-lain. Ibnu Juraij berkata dari `Atha’, “Bahwa yang dimaksud yaitu si isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, lalu si suami menyingkapnya, menelitinya dan menjima’nya. Aku bertanya, “Apa pendapatmu jika aku lakukan hal itu di rumah keluarganya?” Dia menjawab, “Hal itu sama saja, dengan dia berbuat demikian, maka sudah diharamkan menikahi puteri wanita itu.” Ibnu Jarir berkata, “Menurut ijma’ ulama bahwa khalwatnya seorang laki-laki dengan seorang wanita tidak mengharamkan bagi puterinya jika telah dicerai wanita itu sebelum digauli, dan sebelum farjinya dipandang dengan syahwat yang menunjukkan bahwasanya makna hal tersebut adalah untuk sampai padanya dengan jima’.”

Firman Allah: wa halaa-ilu abnaa-ikumul ladziina min ash-laabikum (“[Dan diharamkan bagimu] isteri-isteri anak kandungmu [menantu].”) Artinya, diharamkan bagi kalian isteri-isteri anak-anak yang kalian lahirkan dari sulbi kalian. Dan dikecualikan anak-anak angkat, yang mereka jadikan sebagai anak pada masa Jahiliyyah, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.” (QS. Al-Ahzab: 37)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Hasan bin Muhammad, bahwasanya ayat-ayat tersebut adalah mubham (tidak jelas maknanya). Yaitu ayat: wa halaa-ilu abnaa-ikumul; dan: wa ummaHaatu nisaa-akum. Kemudian ia berkata: “Hal itu diriwayatkan pula dari Thawus, Ibrahim, az-Zuhri dan Mak-hul. Saya (Ibnu Katsir) berpendapat makna mubhamat artinya umum untuk yang sudah digauli ataupun yang belum digauli, maka diharamkan dengan semata-mata akad dengannya. Dan hal ini yang disepakati.

Jika ada yang bertanya; dari segi apa diharamkannya isteri anak-anak dari sepersusuan sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur ulama, bahkan dihikayatkan sebagian orang bahwa hal ini sebagai ijma’, padahal anak dari sepersusuan itu bukan dari keturunannya? Maka jawabnya ialah berdasarkan sabda Rasulullah: “Diharamkan karena sepersusuan apa-apa yang diharamkan karena nasab.”

Firman Allah: wa antajma’uu bainal ukhtaini illaa maa qad salaf (“[Dan diharamkan bagimu] menghimpunkan [dalam perkawinan] dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau.”) Dan ayat seterusnya. Artinya, diharamkan bagi kalian menghimpun dua perempuan bersaudara secara bersama-sama dalam perkawinan, begitu pula dalam (perbudakan), kecuali apa yang terjadi pada masa Jahiliyyah kalian, maka Kami telah maafkan dan ampuni. Hal itu menunjukkan tidak bolehnya menghimpun (dua bersaudara) untuk masa mendatang, karena hanya dikecualikan untuk masa lampau. Sebagaimana firman Allah: laa yadzuuquuna fiiHal mauta illal mautatal uulaa (“Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama [di dunia].”) (QS. Ad-Dukhaan: 56)

Di mana hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak merasakan mati selama-lamanya. Para ulama di kalangan Sahabat, Tabi’in dan para Imam, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, mereka sepakat bahwa menggabung dua wanita bersaudara dalam pernikahan itu diharamkan. Barangsiapa yang masuk Islam dan telah memiliki isteri dua orang perempuan bersaudara, maka ia harus memilih (di antara keduanya) lalu menetapkan satu isterinya dan harus menceraikan yang lainnya, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari adh-Dhahhak bin Fairuz, dari ayah-nya, ia berkata; “Aku masuk Islam dan aku mempunyai dua isteri yang bersaudara, maka Nabi memerintahkanku untuk menceraikan salah satunya.” (HR. Ahmad).

Kemudian diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Lahi’ah serta dikeluarkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Di dalam lafazh at-Tirmidzi tercantum bahwa Nabi bersabda: “Pilihlah mana di antara keduanya yang kamu inginkan.”
Kemudian at-Tirmidzi berkata; “Hadits ini hasan dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dengan isnad lain.”

Sedangkan menggabungkan dua perempuan bersaudara dalam kepemilikan (perbudakan) juga diharamkan berdasarkan keumuman ayat tersebut. Inilah pendapat yang terkenal dari Jumhur ulama, empat Imam dan lain-nya. Sedangkan `Utsman berkata: “Tidak sepatutnya aku melarang hal itu.”

Dari Musa bin Ayyub al-Ghafiqi telah menceritakan kepadaku pamanku Iyas bin `Amir, ia berkata, aku bertanya kepada `Ali bin Abi Thalib: “Sesungguh-nya aku memiliki dua perempuan bersaudara dengan pemilikan (perbudakan). Salah satunya aku ambil dari tawanan dan sudah melahirkan beberapa anak, kemudian aku menyenangi yang lainnya. Maka, apakah yang harus aku lakukan?” `Ali berkata: “Engkau merdekakan wanita yang telah engkau gauli kemudian gaulilah yang lainnya.” Aku bertanya: “Sesungguhnya orang-orang mengatakan, engkau nikahi yang satunya dan gauli yang satunya lagi.” Maka, `Ali berkata: “Apa pendapatmu jika suaminya menceraikan atau ditinggal mati, bukankah dia (perempuan tersebut) kembali rujuk kepadamu? Sesungguhnya jika engkau memerdekakannya, lebih selamat bagimu.”

Kemudian `Ali menggenggam tanganku dan berkata: “Sesungguhnya haram bagimu yang dimiliki olehmu dengan perbudakan apa-apa yang diharamkan bagimu dalam Kitabullah terhadap wanita merdeka kecuali jumlahnya,” atau ia mengucapkan, “Kecuali empat isteri dan diharamkan bagimu karena persusuan apa yang diharamkan bagimu di dalam Kitabullah karena keturunan.”

Kemudian Abu `Umar berkata; “Hadits ini, seandainya seseorang berjalan dari ujung barat hingga ujung timur menuju Makkah, dia tidak akan mendapatkan (hadits dalam masalah ini) kecuali hadits ini saja, niscaya sia-sialah perjalanannya. Abu `Umar mengemukakan pendapat yang sama dengan`Utsman ‘, diriwayatkan pula dari sekelompok ulama Salaf; di antaranya Ibnu `Abbas, akan tetapi ia tidak sefaham terhadap mereka. Dan tidak ada seorang pun yang sependapat dengan pendapat tersebut di kalangan ahli fiqih (pada) beberapa negeri; Hijaz, Iraq, serta negeri-negeri sesudahnya, Syam dan juga Maroko, kecuali kelompok sempalan yang mengikuti dhahir ayat saja dan menghilangkan qiyas.

Sesungguhnya orang yang mengamalkan hal itu secara dhahir berarti telah meninggalkan apa yang telah kita sepakati. Dan para jama’ah ahli fiqih sepakat bahwasanya tidak halal menggabungkan dua orang perempuan bersaudara dengan perbudakan dalam berjima’ sebagaimana tidak halalnya hal tersebut dalam pernikahan. Kaum muslimin telah sepakat bahwa makna firman Allah: hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum (“Diharamkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan”) bahwa pernikahan dan perbudakan pada mereka semuanya sama. Begitu pula, wajib menggunakan pandangan dan qiyas tentang menggabung dua wanita bersaudara, ibu-ibu isteri dan anak-anak tiri. Begitulah pendapat yang beredar di kalangan Jumhur dan merupakan dalil yang melemahkan pendapat yang menyelisihinya.

Firman Allah: wal muhshanaatu minan nisaa-i illaa maa malakat aimaanukum (“Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita-wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.”) Artinya, diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita muhshan (yang bersuami), kecuali budak-budak yang kalian miliki, yaitu yang kalian miliki melalui penawanan.

Firman Allah: kitaaballaaHi ‘alaikum (“[Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atasmu.”) Artinya, keharaman ini adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kalian, yaitu empat (isteri), maka teguhlah dengan ketentuan-Nya, dan janganlah kalian keluar dari batas-batas-Nya serta teguhlah dengan syari’at dan fardhu-fardhu-Nya. Ibrahim berkata, kitaaballaaHi ‘alaikum; yaitu apa yang diharamkan kepada kalian.

Firman-Nya: wa uhill lakum maa waraa-a dzaalikum (“Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian”) artinya selain wanita-wanita yang disebutkan sebagai mahram, maka halal bagi kalian, demikian yang dikatakan ‘Atha’ dan lain-lainl. Dan firman Allah: an tabtaghuu bi-amwaalikum muhshiniina ghaira musaafihiin (“Yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina”) artinya carilah dengan harta-harta kalian, istri-istri hingga empat dengan cara syar’i, untuk itu Allah berfirman: muhshiniina ghaira musaafihiin (“untuk dikawini, bukan untuk berzina”)

Firman-Nya: famastamta’tum biHii minHunna fa aatuuHunna ujuuraHunna fariidlatan (“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati [campuri] di antara mereka berikanlah kepada mereka maharnya [dengan sempurna] sebagai suatu kewajiban.”) sebagaimana kalian telah menikmati mereka maka berilah mahar-mahar mereka untuk menggantinya. Seperti firman Allah: yang artinya: “Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (an-Nisaa’: 4)

Dengan keumuman ayat ini maka jadi dalil nikah mut’ah/ sementara/ kontrak. Bahwa hal itu pernah disyariatkan pada awal islam, kemudian telah dibatalkan.
Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa awalnya dibolehkan lalu dibatalkan, dibolehkan lalu dibatalkan lagi (sebanyak dua kali).

Ulama yang lain berkata, “Pembatalannya lebih dari itu.” Ulama lainnya berkata: “Pernah dibolehkan satu kali kemudian dibatalkan, dan setelah itu tidak dibolehkan sama sekali.”

Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas ra. dan sekelompok Sahabat yang berpendapat dibolehkannya nikah mut’ah karena darurat, dan inilah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Akan tetapi, Jumhur ulama berbeda dengan pendapat tersebut. Dalil yang dijadikan pegangan adalah hadits yang tercantum dalam ash-Shahihain bahwa Amirul Mukminin `Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada perang Khaibar.” Untuk hadits ini terdapat banyak komentar yang menetapkan, yaitu di dalam kitab-kitab hukum.

Di dalam Shahih Muslim dari ar-Rabi’ bin Sabrah bin Ma’bad al Juhni, bahwa ayahnya ikut berperang bersama Rasulullah pada Fathu Makkah, maka beliau bersabda: “Hai manusia! Dahulu aku pernah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah dengan wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang telah memiliki perjanjian hal tersebut, maka biarkanlah jalannya, dan janganlah kalian mengambil kembali mahar yang telah kalian berikan.”

Firman Allah: walaa junaaha ‘alaikum fiimaa taraadlaitum biHii mim ba’dil fariidlati (“Dan tiadalah mengapa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.”) Maknanya adalah seperti firman-Nya yang artinya: “Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian dengan penuh kerelaan,”) dan ayat seterusnya (QS. An-Nisaa’: 4) Artinya, jika kamu telah menentukan mahar untuknya, lalu ia bebaskan kamu semua mahar atau sebagiannya, maka tidaklah berdosa bagimu atau baginya.

Kemudian firman-Nya: innallaaHa kaana ‘aliiman hakiiman (“Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”) Penyebutan dua sifat Allah setelah ketetapan hal-hal yang diharamkan ini, adalah amat sesuai.

Bersambung

Hadits 24 Hadits Dlaif dan Maudlu’

19 Jan

Silsilah Hadits Dlaif (Lemah) dan Maudlu’ (Palsu);
Muhammad Nashiruddin al-Albani

Man kharaja minal baitiHi ilash shalaati faqaala: allaaHummaa innii as-aluka bihaqqis saa-iliina ‘alaika, wa as-aluka bi haqqi mamsyaaya Haadzaa, fa innii lam akhruj asyaran walaa batharan, aqbalallaaHu ‘alaiHi biwajHiHii was taghfaralaHuu ulfu malakin.
” Barangsiapa keluar dari rumahnya menuju masjid untuk melakukan shalat, kemudian ia berdoa, ‘Wahai Tuhanku, aku bermohon pada-Mu atas hak orang-orang yang bermohon kepada-Mu; dan aku bermohon kepada-Mu atas hak perjalanan ini, karena aku tidak berjalan untuk suatu kekejian dan tidak pula karena kesombongan’, maka Allah akan menghadapinya dengan wajah-Nya dan seribu malaikat akan memohon ampunan untuknya.”

Hadits ini dha’if. Ia diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya I/26l, Imam Ahmad III/21, Baghawi dalam hadits Ali bin Ja’d IX /93, dan Ibnu Sunni (hadits nomor 83), dari sanad Fudhail bin Marzuq.

Lemahnya sanad riwayat tersebut dari dua hal:

1. Fudhailb in Marzuq dinyatakan kuat oleh sekelompok ulama, tetapi sekelompok lain menganggapnya lemah. Dan tidak benar tuduhan orang bahwa yang menyatakan Fudhail lemah hanya Abu Hatim saja, sebab masih banyak lagi sederetan pakar hadits yang menganggapnya lemah. Ketika ditanya rentang Fudhail apakah dapat dijadikan hujjah, Nasa’i menjawab, ‘Tidak, ia lemah.”
Al-Hakim juga mengatakan, “Fudha’il tidak meminuhi syarat kesahihan.”
Selain mereka adalah Ibnu Hibban yang dalam menyatakan perawi-perawi kuat mengatakan, “Fudhail banyak melakukan kesalahan dalam meriwayatkan.” Ringkasnya, kecaman terhadap Fudhail lebih didahulukan daripada yang menguatkannya.

2. Di samping itu, Fudhail meriwayatkannya dari Athilyah al_Alufi yang juga dinyatakan lemah oleh pakar hadits. Dem ikianlah yang diungkapkan oleh para huffadh.

Dengan demikian, seperti yang masyhur dalam ilmu Mushthalah Hadtts, jarh (kecaman) lebih didahulukan (diutamakan) ketimbang ta’dil (pengakuan baik). Di sampingi itu, tentang penguatan dha’ifnya Ibnu Shalah ini datang dari banyak ulama tsiqah (dapat dipercaya), seperti Ibnu Adi dan lain-lainnya. Bahkan Ibnu yunus mengatakan, “Banyak diriwayatkan darinya hadits-hadits munkar.”
Daruquthni mengatakan, “Ia (Ibnu shalah) itu lemah dalam meriwayarkan hadits.”

&