Tag Archives: 25

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 24-25

11 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 24-25“Allah berfirman: ‘Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.’ (QS. 7:24) Allah berfirman: ‘Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.’” (QS. al-A’raaf: 25)

Ada yang mengatakan, bahwa yang menjadi sasaran percakapan dalam firman-Nya: iHbithuu (“Turunlah kamu berdua,”) adalah Adam, Hawa, iblis dan ular. Dan sebagian mereka ada yang tidak menyebutkan ular. Wallahu a’lam.

Yang menjadi pelaku permusuhan adalah Adam dan Iblis. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam surat Thaahaa yang artinya: “Turunlah kamu berdua (Adam dan iblis) dari Surga bersama-sama.” (QS. Thaahaa: 123) Dan Hawa mengikuti Adam, sedangkan ular, jika benar disebutkan, maka tentu ia mengikuti iblis.

Beberapa ahli tafsir menyebutkan tempat-tempat turunnya mereka semua, di mana berita mengenai hal itu bersumber dari Israiliyyaat, wallahu a’lam. Seandainya pada penentuan tempat tersebut terdapat manfaat bagi para mukallaf (orang-orang dewasa atau yang mendapat tugas dan kewajiban) dalam masalah agama dan dunia mereka, niscaya Allah pasti telah menyebutkannya dalam al-Qur’an atau disampaikan melalui Rasul-Nya.

Firman-Nya lebih lanjut: wa lakum fil ardli mustaqarruw wa mataa’un ilaa hiin (“Dan kamu mempunyai tempat kediamanan kesenangan [tempat mencari kehidupan] di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.”) Maksudnya, tempat tinggal dan umur yang telah ditentukan sampai pada batas waktu tertentu yang telah dituliskan oleh qalam dan ditetapkan oleh takdir, serta dicatat dalam Lauhul Mahfuzh.

Mengenai firman-Nya: mustaqarrun (“Tempat tinggal,”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Yaitu kuburan.” Dan masih dari Ibnu ‘Abbas: “mustaqarrun” berarti “Apa yang di atas dan di bawah bumi.” (Kedua keterangan tersebut diriwayatkan Ibnu Abi Hatim)

Firman Allah selanjutnya: qaala fiiHaa tahyauna wa fiiHaa tamuutuuna wa minHaa tukhrajuun (“Allah berfirman: ‘Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu pula kamu akan dibangkitkan.’”) Ayat tersebut sama seperti firman-Nya berikut ini yang artinya:
“Dari bumi (tanah) itulah Kami menciptakanmu dan kepadanya pula Kami akan mengembalikanmu dan darinya Kami akan mengeluarkanmu pada kesempatan yang lain.” (QS. Thaahaa: 55)

Allah Ta’ala memberitahukan, bahwa Dia telah menjadikan bumi ini sebagai tempat tinggal bagi anak cucu Adam selama hidup di dunia ini. Di bumilah kehidupan, kematian dan kuburan mereka berada. Dan dari bumi itu pula kelak pada hari Kiamat mereka akan dikeluarkan, yang pada hari itu Allah akan mengumpulkan orang-orang yang hidup pertama dan yang terakhir di mana masing-masing akan diberikan balasan sesuai dengan amal perbuatannya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yunus ayat 24-25

4 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Yunus
Surah Makkiyyah; surah ke 10: 109 ayat

tulisan arab alquran surat yunus ayat 24-25“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman di bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir. (QS. 10: 24) Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (QS. 10:25)” (Yunus: 24-25)

Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan perumpamaan untuk kehidupan dunia dan perhiasannya, kecepatan habis dan hilangnya, diumpamakan dengan tumbuhan-tumbuhan yang Allah keluarkan dari bumi dengan adanya hujan yang diturunkan dari langit, berupa tanaman-tanaman dan buah-buahan yang berbeda-beda jenisnya dan tumbuhan-tumbuhan yang dimakan oleh binatang-binatang ternak, berupa rumput, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya.

hattaa idzaa akhadzatil ardlu zukhrufaHaa (“Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya.”) Maksudnya, perhiasannya yang bakal hilang. Wa zayyanat (“dan memakai pula perhiasannya.”) Maksudnya, ia indah dengan gundukan-gundukan tanah yang penuh dengan bunga yang elok, dengan berbagai macam bentuk dan warnanya. Wa dhanna aHluHaa (“Dan pemilik pemiliknya mengira.”) Yaitu, mereka yang menanam dan menancapkannya. annaHum qaadiruuna ‘alaiHaa (“bahwa mereka pasti menguasainya.”) Maksudnya, untuk memetik dan memanennya, maka seketika itu tiba-tiba petir atau angin kencang yang dingin membasahi daun-daunnya dan merusak buah-buahnya.

Maka dari itu Allah Ta’ala berfirman: ataaHaa amrunaa lailan au naHaaran faja’alnaaHaa hashiidan (“Tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang lalu Kami jadikan [tanaman-tanamannya] laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit.”) Maksudnya, kering setelah hijau subur. Ka allam yagna bil amsi (“Seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.”) maksudnya, seakan-akan belum pernah tumbuh dari waktu ke waktu.

Qatadah berkata: “Seakan-akan belum pernah tumbuh, yakni belum pernah dinikmati. Demikianlah sesuatu setelah hilangnya, seolah-olah tidak ada.

Hal itu seperti dalam hadits:
“Didatangkan orang yang paling nikmat kehidupannya di dunia, lalu dibenamkan ke dalam neraka (dibenamkan dengan kuat), lalu ditanyakan kepadanya: ‘Apakah kamu telah melihat kebaikan, sedikit saja? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan, sedikit saja?’ Maka dia menjawab: ‘Tidak.’ Dan didatangkan orang yang paling susah kehidupannya di dunia, lalu dibenamkan ke dalam kenikmatan surga dengan sangat, lalu ditanyakan kepadanya: ‘Apakah kamu mendapatkan kesusahan (siksaan), sedikit saja?’ Maka dia menjawab: ‘Tidak.’” (HR. Ibnu Majah: 4321-pentahqiq.)

Allah berfirman mengabarkan orang-orang yang binasa, yang artinya: “Lalu mereka mati bergelimpangan seolah-olah mereka tidak pernah berdiam di tempat itu.” (QS. Huud: 67-68)

Kemudian Allah Ta’ala berfirman: kadzaalika nufash-shilul aayaati (“Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda [kekuasaan Kami].”) maksudnya bukti-bukti dan dalil-dalil. Liqaumiy yatafakkaruun (“Kepada kaum yang berfikir”) sehingga mereka bisa mengambil pelajaran dari perumpamaan ini, yaitu tentang hilangnya dunia dengan cepat dari pemiliknya, tertipu mereka olehnya, penguasaan mereka dan larinya dunia itu dari mereka, karena memang pada dasarnya dunia itu lari dari orang yang mencarinya dan mencari orang yang lari darinya.

Allah Ta’ala telah membuat perumpamaan bagi dunia dengan tumbuhan-tumbuhan di bumi, dalam banyak ayat dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah berfirman dalam surat al-Kahfi yang artinya:
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagat air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuhan-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuhan-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45)

Begitu juga dalam surat az-Zumar dan al-Hadid, Allah memberikan perumpamaan seperti itu, mengenai perumpamaan hidupan dunia.

Firman-Nya: wallaaHu yad’uu ilaa daaris salaami (“Allah menyeru [manusia] ke Darussalam [surge]…”) ketika Allah telah menyebutkan dunia dan kecepatan hilangnya, Allah menawarkan surga dan mengajak kepadanya, Allah memberinya nama “Daarus Salaam” (tempat tinggal yang penuh keselamatan). Maksudnya, selamat dari rintangan-rintangan, kekurangan-kekurangan dan musibah/bencana. Allah berfirman: wallaaHu yad’uu ilaa daaris salaami wa yaHdii may yasyaa-u ilaa shiraathim mustaqiim (“Allah menyeru [manusia] ke Darussalam [surga] dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus [Islam].”)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 25-27

28 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 25-27“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, (QS. 11:25) agar kamu tidak beribadah kepada selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa adzab (pada) hari yang sangat menyedihkan.’ (QS. 11:26) Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami yang lekas percaya saja dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.’ (QS. 11:27)” (Huud: 25-27)

Allah bercerita tentang Nuh, bahwa ia adalah Rasul yang pertama kali diutus oleh Allah Ta’ala kepada penduduk bumi, dari kalangan orang-orang musyrik, penyembah berhala. Bahwasanya ia pernah berkata kepada kaumnya: innii lakum nadziirum mubiin (“Sesungguhnya aku ini adalah seorang pemberi peringatan yang nyata bagi kalian.”) Maksudnya, pemberi peringatan kepada kalian secara terang-terangan dari adzab Allah, jika kalian beribadah kepada selain Allah. Oleh karena itu Allah berfirman: allaa ta’buduu illallaaH (“Agar kalian tidak beribadah kepada selain Allah.”)

Dan firman-Nya: innii akhaafu ‘alaikum ‘adzaaba yaumin ‘adhiim (“Sesungguhnya aku khawatir kalian akan ditimpa adzab pada hari yang sangat menyedihkan.”) Yakni, jika kalian terus-menerus dan tidak bergeming dari apa yang kalian kerjakan itu, niscaya Allah Ta’ala akan mengadzab kalian dengan siksaan yang pedih, menyakitkan dan berat di alam akhirat.

Fa qaalal mala-ul ladziina kafaruu minHum (“Maka para pemimpin yang kafir dari kaumnya berkata”) Sedangkan yang dimaksud dengan al-mala’ adalah para pemuka dan pembesar kaum kafir.

Maa naraka illaa basyaram mitslanaa (“Kami tidak melihat kalian, melainkan sebagai seorang manusia biasa seperti kami.”) Maksudnya, kamu ini bukan seorang Malaikat, melainkan hanya manusia biasa, lalu bagaimana mungkin diturunkan wahyu kepadamu tanpa melibatkan kami. Kemudian kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu kecuali orang-orang hina di antara kami, misalnya pengemis, tukang tenun, dan yang sebangsanya. Dan tidak ada seorang pun dari orang-orang terhormat dan para pemimpin di antara kami yang mengikutimu. Kemudian orang-orang yang mengikutimu itu, orang-orang yang mengambil keputusan tanpa peninjauan dan pemikiran yang mendalam, tetapi mereka hanya sekedar menanggapi yang kamu serukan kepada mereka dan kemudian mengikutimu.

Oleh karena itu mereka berkata: wa maa naraakat taba’aka illalladziina Hum araadzilunaa baadiyar ra’yi (“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu melainkan orang-orang yang hina-dina antara kami yang lekas percaya saja.”) Yaitu, pada awal permulaan.

Wa maa naraa lakum ‘alainaa min fadlin (“Dan kami tidak melihatmu memiliki sesuatu kebihan apa pun atas kami.”) Mereka berkata, kami tidak melihat adanya kelebihan pada dirimu atas diri kami, baik dalam penciptaan, moral, rizki dan juga keadaan, setelah kalian masuk ke dalam agama kalian ini.

Bal nadzunnukum kaadzibiin (“Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.”) Maksudnya, dusta dalam apa yang kamu serukan, baik berupa kebaikan, perbaikan, ibadah, dan bahagiaan di alam akhirat kelak jika kalian digiring menuju ke sana.

Ini adalah penyangkalan yang dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap Nabi Nuh as. dan para pengikutnya. Dan hal yang demikian itu merupakan bukti yang menunjukkan kebodohan mereka dan minimnya pengetahuan yang mereka miliki serta lemahnya akal pikiran mereka.

Bukan suatu aib bagi kebenaran jika yang mengikutinya itu adalah orang-orang yang hina, karena kebenaran itu sendiri tetap shahih baik ia diikuti oleh orang-orang terhormat maupun orang-orang yang hina. Bahkan yang sebenarnya dan tidak diragukan lagi bahwa para pengikut kebenaran itu adalah orang-orang terhormat meski mereka itu orang-orang miskin, sedangkan mereka yang menolak kebenaran itulah justru yang hina-dina, meski mereka dari golongan orang-orang yang kaya-raya.

Kemudian, kenyataan yang dominan adalah bahwa para pengikut benaran itu berasal dari kaum dhu’afa’. Mayoritas para pemuka dan pembesar itulah yang menentang kebenaran. Sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya: “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelummu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak jejak mereka.’” (QS. Zukhruf: 23)

Ketika raja Romawi, Heraclius bertanya kepada Abu Sufyan Shakhr bin Harb, tentang sifat-sifat Nabi, ia bertanya: “Apakah yang mengikutinya itu dari kalangan orang-orang terhormat, ataukah dari kalangan orang-orang lemah?” Abu Sufyan menjawab: “Mereka adalah dari kalangan orang-orang yang lemah.” Maka Heraclius pun berkata: “Orang-orang lemah itu memang pengikut para Rasul.”

Ucapan mereka: “Yang lekas percaya saja,” bukanlah suatu hal yang tercela dan hina, serta tidak pula sebagai aib. Karena kebenaran itu jika sudah benar-benar jelas, maka tidak memerlukan lagi kepada pemikiran dan perenungan, tetapi hanya perlu diikuti dan ditaati. Demikian itulah yang dilakukan oleh setiap orang yang mempunyai kebersihan jiwa dan kecerdasan, bahkan orang yang berpikir kembali untuk menerima kebenaran tersebut merupakan orang bodoh dan tidak berpikiran.

Para Rasul Allah secara keseluruhan, mereka datang dengan membawa perintah yang sudah jelas dan nyata.

Firman Allah Ta’ala: “Dan kami tidak melihatmu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” Mereka tidak mengetahui hal itu karena mereka buta, tidak dapat melihat kebenaran dan tidak mendengarnya, bahkan mereka selalu dalam keraguan dan senantiasa terombang-ambing dalam kebodohan mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang durhaka lagi pendusta, yang picik lagi hina. Dan di akhirat kelak, mereka itu termasuk orang-orang yang merugi.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 25-29

26 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 25-29“Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan adzab yang pedih.’ (QS. 12:25) Yusuf berkata: ‘Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya),’ dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. (QS. 12:26) Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.’ (QS. 12:27) Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, berkatalah dia: ‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah (termasuk) di antara tipu dayamu, sesungguhnya tipu dayamu adalah besar.’ (QS. 12:28) ‘(Hai) Yusuf, berpalinglah dari ini dan (kamu hai isteriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.’ (QS. 12:29)” (Yusuf: 25-29)

Allah Ta’ala memberitakan tentang keadaan mereka berdua ketika mereka berlomba keluar menuju pintu. Yusuf lari, sedang wanita itu minta agar dia kembali ke rumah dan wanita itu dapat memegang baju Yusuf dari belakang, sehingga bajunya tersebut terkoyak lebar. Ada yang mengatakan, bahwa bajunya terlepas, dan Yusuf terus berlari sedang wanita itu tetap dibelakangnya. Akhirnya mereka berdua mendapati tuan rumah yaitu suaminya, di depan pintu. Saat itulah wanita itu berusaha lepas dari situasi tersebut dengan tipu daya dan sambil menuduh Yusuf berbuat tidak senonoh terhadapnya, ia berkata kepada suaminya: maa jazaa-a man araada bi-aHlika suu-an (“Apa pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu.”) yaitu berbuat keji; illaa ay yusjana (“selain dipenjarakan”) atau ditahan; au ‘adzaabun aliim (“atau disiksa dengan siksaan yang pedih”) yaitu dengan pukulan yang keras dan menyakitkan.

Saat itulah Yusuf as. mendapat kemenangan dengan kebenaran dan terbebas dari tuduhan berbuat khianat terhadap wanita itu. Qaala (“ia berkata”) dengan baik dan jujur: Hiya raawadatnii ‘an nafsii (“Dia yang menggodaku untuk menundukkan diriku [padanya]”) dan menuturkan bahwa wanita itulah yang mengejar dan menariknya sampai bajunya terkoyak.

Wa syaHida syaaHidum min aHliHaa in kaana qamiishaHuu quddamin qubulin (“Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika bajunya koyak di muka,’”) di bagian depan dari baju itu; fa shadaqat (“maka wanita itu benar”) yakni dalam ucapannya, bahwa Yusuf yang menggodanya, karena setelah dipanggil wanita itu menolak, maka wanita itu mendorong dada Yusuf sehingga bajunya terkoyak. Kalau memang demikian berarti pengakuan wanita itu benar.

Wa in kaana qamiishaHuu quddamin duburin fa kadzabat wa Huwa minash shaadiqiin (“Dan jika bajunya koyak belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.”) Hal itu seperti apa yang telah terjadi, tatkala ia lari menjauhinya lalu dikejar, lalu dipegang bajunya dari belakang (oleh wanita itu) untuk menahannya. Maka, baju Yusuf pun koyak dari belakang.

Para ulama berbeda pendapat tentang siapa saksi tersebut, apakah anak kecil atau orang besar, dikalangan ulama salaf pendapat tentang hal terbagi menjadi dua.

Fa lammaa ra-aa qamiishaHuu quddamin duburin (“Maka tatkala suami wanita itu melihat gamis Yusuf terkoyak di belakang”) maksudnya, setelah suami wanita itu memastikan kebenaran Yusuf dan kedustaan apa yang dituduhkan isterinya terhadap Yusuf; qaala innaHuu min kaidikunna (“la berkata: ‘Sesungguhnya [kejadian] itu adalah termasuk di antara tipu dayamu’”) maksudnya, kedustaan dan pencemaran kehormatan pemuda ini adalah sebagian dari tipu dayamu; inna kaidikunna ‘adhiim (“Sesungguhnya tipu dayamu adalah besar.”)

Kemudian ia memerintahkan Yusuf as. untuk merahasiakan kejadian itu: yuusufu a’ridl ‘an Haadzaa (“Hai Yusuf, berpalinglah dari ini”) maksudnya adalah maafkanlah, jangan kau ceritakan (kejadian ini) kepada siapa pun.

Wastaghfirii lidzambika (“Dan kamu [hai isteriku], mohon ampunlah atas dosamu itu”) ia mengatakan kepada isterinya sementara ia bersikap dengan lembut dan mudah atau memaafkannya karena sang isteri melihat sesuatu sehingga ia tidak dapat menahan dirinya, maka ia menyuruhnya untuk meminta ampun dari dosa yang telah dilakukannya berupa maksud jahat terhadap pemuda (Yusuf) itu dan tuduhan palsu kepadanya;

Innaki kunti minal khaathi-iin (“Karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.”)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ar-Ra’du ayat 25

24 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Ar-Ra’du (Guruh)
Surah Madaniyyah; surah ke 13: 43 ayat

tulisan arab alquran surat ar ra'du ayat 25“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (QS. ar-Ra’du: 25)

Ini adalah keadaan orang-orang yang celaka dan sifat-sifat mereka, apa yang mereka peroleh di akhirat dan tempat mereka yang berbeda dengan tempat orang-orang yang beriman, seperti halnya sifat-sifat mereka yang dengan sifat-sifat orang-orang mukmin di dunia ini. Orang-orang mu’min memenuhi janji Allah dan menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk menghubungkannya, sedang mereka, orang-orang yang celaka itu: yanqudluuna ‘aHdallaHi mim ba’di miitsaaqiHi wa yaqtha’uuna maa amarallaaHu biHii ay yuushala wa yufsiduuna fil ardli (“Merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh, dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan, dan membuat kerusakan di bumi.”)

Sebamana dinyatakan dalam hadits: “Tanda orang munafik itu ada tiga: Jika berkata ia berbohong, jika berjanji ia menyelisihi, dan jika dipercaya ia mengkhianatinya.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Jika berjanji ia mengingkarinya, dan jika berbantah ia curang.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Karena itu Allah berfirman: ulaa-ika laHumul la’natu (“Orang-orang itulah yang memperoleh laknat [kutukan].”) yaitu dijauhkan dari rahmat Allah. Wa laHum suu-ud daar (“Dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk.”) yaitu akibat dan tempat yang buruk.

Wa ma’waaHum jaHannama wa bi’sal miHaad (“Dan tempat mereka adalah jaHannam, dan ia adalah seburuk-buruk tempat kediaman.”) Abu ‘Aliyah mengatakan tentang: wal ladziina yanqudluuna ‘aHdallaaHi (“Orang-orang yang merusak janji Allah…”) dan seterusnya. Bahwa ada enam sifat orang-orang munafik, jika mereka mempunyai pendukung di tengah-tengah mereka, mereka menampakkan enam sifat-sifat tersebut. Yaitu, jika berbicara maka ia berbohong, jika berjanji, mereka tidak menepatinya, jika dipercaya berkhianat, mereka melanggar Allah setelah dikukuhkan, memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan dihubungkan, dan berbuat kerusakan di bumi. Tetapi jika mereka tidak punya pendukung, mereka menampakkan tiga sifat: Jika berbicara, berbohong, jika berjanji, menyelisihi, dan jika dipercaya, berkhianat.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 24-25

16 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 24-25“Dan apabila dikatakan terhadap mereka, ‘Apakab yang telah diturunkan Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu.’ (QS. 16:24) (Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada bari Kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (babwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu. (QS. 16:25)” (an-Nahl: 24-25)

Allah Ta’ala berfirman, jika dikatakan kepada mereka-mereka para pendusta: maa dzaa anzala rabbukum, qaala (“’Apakah yang telah diturunkan Rabbmu,’ mereka menjawab,”) seraya berpaling dari jawaban: asaathiirul awwaliin (“Dongeng-dongeng orang-orang terdahulu,”) maksudnya Allah tidak menurunkan sesuatu, sesungguhnya apa yang dibacakan kepada kami hanyalah dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, maksudnya diambil dari kitab-kitab orang-orang terdahulu.

Allah Ta’ala berfirman: qaaluu asaathiirul awwaliinak tatabaHaa faHiya tumlaa ‘alaiHi bukrataw wa ashiilan (“Dan mereka berkata: ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, di mintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.’”) (QS. Al-Furqaan: 5). Maksudnya, mereka mendustakan Rasul, dan mereka berkata dengan perkataan yang saling bertentangan dan berbeda, dan kesemuanya itu adalah bathil. Karena sesungguhnya setiap orang yang keluar dari kebenaran, apa pun perkataannya, dia dianggap salah.

Dan mereka berkata: “(Muhammad) itu tukang sihir, ahli sya’ir, dukun dan orang gila.” Perkataan mereka itu bermuara kepada apa yang telah direka-reka oleh guru mereka satu-satunya yang bernama al-Walid Ibnul Mughirah al-Makhzumi, ketika:
“Dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang di tetapkannya) maka celakalah dia ! Bagaimankah dia menetapkan? Kemudian celakalah dia ! Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan, sesudah dia bermasam muka dan mengerut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata (al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang terdahulu).” (QS. Al-Muddatstsir: 18-24)

Maksudnya, disalin dan di ceritakan. Kemudian mereka berpencar dengan membawa ucapannya dan pendapatnya. Mudah-mudahan Allah membuat mereka menjadi jelek.

Allah Ta’ala berfirman: liyahmiluu auzaaraHum kaamilatay yaumal qiyaamati wa min auzaaril ladziina yudlilluunaHum bighairi ‘ilmi (“Ucapan mereka menyebabkan mereka rnemikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari Kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun, (bahwa mereka di sesatkan),”) maksudnya, Kami benar-benar mentakdirkan mereka untuk berkata seperti itu, agar mereka menanggung dosa-dosa mereka sendiri dan dosa-dosa orang-orang yang mengikuti dan setuju kepada mereka, maksudnya kesalahan-kesalahan mereka menimpa mereka sendiri. Begitu juga kesalahan penipuan mereka terhadap orang lain, dan keikutsertaan orang itu pada mereka. sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat:

“Barangsiapa mengajak kebaikan, dia mendapatkan pahala seperti pahala-pahalanya orang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun, dan barangsiapa mengajak kesesatan dia mendapatkan dosa, seperti dosa-dosanya orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.” (HR. Abu Dawud [4609], Ibnu Majah [206] dan Imam Ahmad)

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan. ” (QS. Al-Ankabuut: 13)

Demikian pula al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu `Abbas dalam ayat. Dan Mujahid berkata: “Mereka memikul beban-beban dosa mereka, dan dosa-dosa orang yang mentaati mereka, dan hal itu tidak meringankan siksa terhadap orang yang mentaati mereka.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 25

13 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 25“Rabbmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Mahapengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (QS. Al-Israa’: 25)

Sa’id bin Jubair mengatakan, yakni orang yang bersegera mengurus kedua orang tuanya, sedang dalam niat dan hatinya tidak ada keinginan untuk menyakitinya. Dalam riwayat yang lain disebutkan, dengan demikian, ia tidak menghendaki kecuali kebaikan. Dalam hal ini, Dia berfirman: rabbukum a’lamu bimaa fii nufuusikum in takuunuu shaalihiina (“Rabbmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik.”)

Dan firman-Nya: wa innaHuu kaana lil awwaabiina ghafuuran (“Maka sesungguhnya Dia Mahapengampun bagi orang-orang yang bertaubat.”) Qatadah mengemukakan: “Yakni bagi orang-orang yang taat dari kalangan orang-orang yang mengerjakan shalat.”

Sedangkan sebagian ulama lainnya berkata: “Awwaabiin ialah orang-orang yang mengerjakan shalat Dhuha.”

Syu’bah menceritakan dari Yahyaebin Sa’id, dari Sa’id bin al-Musayyab, mengenai firman Allah ini ia mengatakan: “Awwaabiin ialah orang-orang yang berbuat dosa lalu bertaubat, dan berbuat dosa, lalu bertaubat.” Demikian juga yang diriwayatkan oleh `Abdurrazzaq dan Ma’mar.
Dan ‘Atha’ bin Yasar, Sa’id bin Jubair dan Mujahid mengatakan: “Awwaabiin ialah orang-orang yang kembali kepada kebaikan.”

Ibnu Jarir berkata: “Di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa awwaabiin ialah orang yang bertaubat dari dosa dan meninggalkan maksiat menuju kepada ketaatan, bertolak dari apa yang dibenci Allah menuju kepada apa yang dicintai dan dinidhai-Nya.

Apa yang dikatakan Ibnu Jarir inilah yang benar, karena kata awwaab (orang-orang yang kembali) diambil dari kata al-aub yang berarti kembali. Berkenaan dengan kata tersebut, Allah Ta’ala berfirman:
Inna ilainaa iyaabaHum (“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka.”) (QS. Al-Ghaasyiyah: 25)

Dan dalam hadits shahih disebutkan, bahwa Rasulullah jika kembali dari perjalanan, beliau senantiasa mengucapkan: “Kepada Allah kami kembali, bertaubat, benibadah dan memanjatkan pujian.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 25

5 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 25“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yangmengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatanyang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. An-Nisaa’: 25)

Allah berfirman: wamal lam yastathi’ minkum thaulan (“Barangsiapa di antara kamu yang belum memiliki thaul.”) Yaitu, keluasan dan kemampuan; fa mimmaa malakat aimaanukum min fatayaatikumul mu’minaat (“Ia boleh mengawini wanita yang beriman,dari budak-budak yang kamu miliki.”) Artinya, maka kawinilah wanita beriman dari budak-budak yang dimiliki oleh kaum mukminin. Untuk itu Allah berfirman: min fatayaatikumul mu’minaat (“Dari budak-budak wanitamu yang beriman.”) Ibnu `Abbas dan lain-lain berkata: “Maka hendaklah ia menikahi budak-budak wanita milik orang-orang beriman.” Demikianlah yang dikatakan oleh as-Suddi dan Muqatil bin Hayyan.

Lalu Allah selingi dengan firman-Nya: wallaaHu a’lamu bi-iimaanikum ba’dlukum mim ba’dlin (“Allah Mahamengetahui keimananmu, sebagian kamu adalah dari sebagianyang lain.”) Artinya, Allah Mahamengetahui hakekat dan rahasia berbagai urusan. Sedangkan bagi kalian, wahai manusia, hanya mengetahui perkara yang lahir saja.
fankihuuHunna bi-idzniHi aHliHinna (“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka.”) HaI itu menunjukkan bahwa tuan adalah wali bagi budak-budak wanitanya yang tidak boleh dikawini kecuali dengan seizinnya. Begitupula ia menjadi wali bagi budak laki-lakinya di mana ia tidak boleh menikah kecuali dengan izinnya.

Firman Allah: wa aatuuHunna ujuuraHunna bil ma’ruuf (“Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut.”) Artinya, serahkanlah mahar-mahar mereka dengan ma’ruf, yaitu dengan kebaikan jiwa kalian dan janganlah kalian kurangi sedikitpun karena merendahkan mereka, karena kedudukannya sebagai budak-budak wanita yang dimiliki. Firman Allah: muhshanaatin (“Wanita-wanita yang melihara diri.”) Artinya, wanita-wanita yang menjaga diri dari zina, tidak melakukannya. Untuk itu Allah berfirman: ghaira mushaafihaatin (“bukan wanita musaafihaat.”) Yaitu, bukan wanita-wanita pezina yang membiarkan dirinya dijamah oleh siapa saja.

Serta firman-Nya: walaa muttakhidzaati akhdaan (“Dan bukan wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.”) Ibnu `Abbas berkata: almusaafihaati adalah wanita-wanita pezina terlaknat yang membiarkan dirinya dijamah oleh siapa saja. Dan ia berkata, muttakhidzaati akhdaan (al-akhdan) adalah laki-laki simpanan. Demikian pula pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Mujahid, asy-Sya’bi, adh-Dhahhak, `Atha’ al-Khurasani, Yahya Ibnu AbiKatsir, Muqatil bin Hayyan dan as-Suddi, yang semuanya mengatakan: muttakhidzaati akhdaan (al-akhdan) adalah laki-laki simpanan.

Allah telah melarang untuk menikahi wanita tersebut (yang mengambil laki-laki lain sebagai simpanan, selama mereka melakukan hal yang demikian itu.

Firman Allah: fa idzaa uhshinna fa in ataina bifaahisyatin fa’alaiHinna nishfu maa ‘alaa muhshanaati minal ‘adzaab (“Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji [zina], maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”) Para ahli qira-at berbeda dalam membaca uhshinna. Sebagian membacanya dengan mendhammahkan hamzah dan mengkasrahkan shad dengan mabni tatkala tidak disebut fa’ilnya. Dan ada yang membacanya dengan memfathahkan hamzah dan shad sebagai fi’il lazim (yang tidak membutuhkan obyek). Kemudian dikatakan bahwa dua qira-at itu me-miliki makna yang sama.

Abu Bakar, Hamzah dan Kisa-i membacanya dengan memfathahkan hamzah dan shad (ahshanna). Sedangkan yang lainnya membacanya dengan mendhammahkan hamzah dan mengkasrahkan shad (ahshinna).

Mereka berbeda pendapat tentang maknaal-ihshan, menjadi dua pendapat:
Pertama, yang dimaksud al-ihshan di sini adalah Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari `Abdullah bin Mas’ud, Ibnu `Umar dan Anas.
Kedua, yang dimaksud dalam ayat ini adalah perkawinan, itulah pendap at Ibnu `Abbas ra.

Pendapat yang paling jelas -wallahu a’lam- bahwa yang dimaksud dengan al-ihshan di sini adalah perkawinan. Karena redaksi ayat tersebut menunjukkan demikian, dimana Allah swt. berfirman yang artinya:
“Barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.” (Wallahu a’lam).

Redaksi ayat yang mulia tersebut adalah tentang budak-budak wanita yang mukminah, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan “fa idzaa uhshinna” adalah apabila mereka telah kawin, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu `Abbas dan lain-lain. Banyak hadits-hadits umum yang menjelaskan tentang ditegakkannya hukuman hadd terhadap budak.
(Hadd yang jamaknya hudud, adalah batasan atau peraturan yang sudah ditentukan bentuk hukumnya oleh Allah di antaranya hukum zina, qadzaf (menuduh zina), minum khamr, mencuri, mengganggu keamanan, murtad, dan durhaka kepada Allah.)

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya bahwa `Ali ra. dalam khutbahnya berkata: “Hai manusia! Tegakkanlah hadd kepada budak-budak kalian, yang sudah kawin atau yang belum. Karena salah seorang budak wanita Rasulullah pernah berzina, lalu aku (`Ali) diperintahkan untuk menderanya (mencambuknya). Akan tetapi, diketahui bahwa ia baru menempuh masa nifas. Jika aku menderanya, aku khawatir akan membunuhnya. Lalu hal itu kuceritakan kepada Nabi dan beliau bersabda: “Bagus, biarkanlah hingga ia bersih.”

Di dalam riwayat `Abdullah bin Ahmad, bukan dari ayahnya, tercantum: “Jika ia telah suci dari nifasnya, maka deralah (cambuklah) dia 50 kali.”
Sedangkan dalam riwayat Muslim tercantum: “Apabila ia berzina untuk yang ketiga kalinya, maka juallah pada (kasus zina) yang keempat kalinya.”

Firman Allah: dzaalika liman khasyiyal ‘anata minkum (“Hal itu adalah bagi orang-orang yang takut pada kesulitan menjaga diri.”) Artinya, menikahi wanita-wanita budak dengan syarat-syarat yang lalu itu, hanya dibolehkan bagi orang yang takut dirinya terjatuh pada zina, dan berat baginya untuk sabar dari jima’, serta semua itu sangat menyulitkannya, maka di saat itu bolehlah ia mengawini budak-budak wanita. Jika ia biarkan dininya untuk tidak mengawini budak-budak itu dan memperjuangkan dirinya untuk tidak terjerumus pada zina, maka itu lebih baik baginya. Karena jika ia menikahinya, maka anak-anaknya menjadi budak bagi tuan-tuannya, kecuali suaminya adalah kerabat tuannya, maka anak-anaknya tidak menjadi budak, menurut pendapat lama Imam asy-Syafi’i.

Untuk itu Allah berfirman: wa an tashbiruu khairul lakum wallaaHu ghafuurur rahiim (“Dan kesabaran itu lebih baik bagimu, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Dari ayat yang mulia ini, Jumhur ulama mengambil dalil tentang bolehnya menikahi budak-budak wanita dengan syarat tidak memiliki kemampuan menikahi wanita-wanita merdeka dan karena khawatir terjatuh dalam kemaksiatan. Karena dengan nikah tersebut mengandung bahaya, di mana anak-anaknya akan menjadi budak, serta merupakan kehinaan ketika meninggalkan menikahi wanita-wanita merdeka lalu memilih menikahi budak-budak. Dalam hal ini, Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda (pendapat) dengan pendapat Jumhur ulama dengan memberikan syarat dua hal; Jikaseseorang tidak menikah dengan wanita merdeka, maka dia dibolehkan menikahi budak mukminah dan seseorang wanita Ahli Kitab, baik ia memiliki kemampuan menikahi wanita merdeka atau tidak, serta takut terjatuh pada zina atau tidak.

Dalil mereka adalah firman Allah yang artinya: “(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelummu.” (QS. Al-Maa-idah: 5) Artinya, wanita-wanita iffah (menjaga diri) mencakup merdeka atau budak. Ayat ini bersifat umum, serta secara jelas menjadi dalil apa yang dikatakan oleh Jumhur ulama. WallaHu a’lam.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 23-25

2 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 23-25“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu al-Kitab [Taurat], mereka diseru kepada kitabullah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi [kebenaran]. (QS. 3:23) Hal itu adalah karena mereka mengaku: ‘Kami tidak akan disentuh oleh api Neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung.’ Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan. (QS. 3:24) Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari [Kiamat] yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedangkan mereka tidak dianiaya [dirugikan].” (QS. 3:25)

Allah berfirman dengan maksud mengingkari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang teguh kepada apa yang mereka anggap sebagai kedua kitab mereka, yaitu Taurat dan Injil. Jika mereka diseru untuk konsekuen dengan isi kedua kitab tersebut, yang di antaranya adalah ketaatan kepada Allah atas apa yang diperintahkan kepada mereka dalam kedua kitab tersebut, yaitu mengikuti Muhammad, maka mereka berpaling dan mereka pun membelakangi kebenaran keduanya.

Yang demikian itu merupakan puncak dari pencelaan terhadap mereka dan penghinaan dengan penyebutan terhadap mereka dengan penolakan dan kekufuran.

Setelah itu Allah berfirman, dzaalika bi-annaHum qaaluu lan tamassanan naaru illaa ayyaamam ma’duudaat (“Hal itu adalah karena mereka mengaku, kami tidak akan disentuh oreh api Neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung.”) Maksudnya, keberanian mereka menentang kebenaran itu disebabkan oleh sikap mengada-ada mereka terhadap Allah yang berupa pengakuan terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka hanya akan diadzab di Neraka selama tujuh hari saja dari setiap seribu tahun di dunia satu hari. Penafsiran mengenai hal ini telah dikemukakan sebelumnya dalam surat al-Baqarah.

Selanjutnya Dia berfirman, wa gharraHum fid diiniHim maa kaanuu yaftaruun (“Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan.”) Dengan pengertian, mereka diteguhkan dalam agama mereka yang bathil oleh apa yang memperdaya diri mereka sendiri, yaitu anggapan mereka bahwa Neraka tidak akan menyentuhnya karena dosa-dosa yang telah mereka perbuat, melainkan hanya beberapa hari saja yang dapat dihitung. Padahal mereka sendirilah yang mengada-ada dan mengarang /membuat-buat hal itu, padahal Allah tidak pernah menurunkan keterangan mengenai hal itu.

Kemudian Allah mengancam mereka melalui firman-Nya, fa kaifa idzaa jama’naaHum li yaumi laa raiba fiiHi (“Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan jada hari yang tidak ada keraguan tentang adanya.”) Artinya, bagaimana keadaan mereka kelak, sementara mereka telah mengada-ada (membuat kedustaan) terhadap Allah dan mendustakan para Rasul-Nya, serta membunuh para Nabi dan ulama dari kaum mereka, yang telah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menanyakan semua itu kepada mereka, menghakimi serta memberikan balasan terhadap mereka.

Oleh karena itu Dia berfirman, fa kaifa idzaa jama’naaHum li yaumi laa raiba fiiHi (“Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan jada hari yang tidak ada keraguan tentang adanya.”) Yakni tidak diragukan lagi kejadian dan keberadaannya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 25

6 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 25“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan bebuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam surga- surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu “. Mereka diberi buab-buaban yang serupa dan untuk mereka di dalam-
nya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:25)

Setelah Allah menyebutkan adzab dan siksaan yang.telah disediakan untuk musuh-musuh-Nya, dari kalangan orang-orang yang celaka, yaitu orang-orang yang kafir kepada-Nya dan rasul-rasul-Nya, lalu Dia menyambungnya dengan mengemukakan keadaan wali-wali-Nya dari kalangan orang-orang yang hidup sejahtera, yaitu mereka yang beriman kepada-Nya dan rasul-rasul-Nya,
serta membenarkan iman mereka dengan amal shalih. Dan itulah makna penyebutan al-Qur’an sebagai menurut pendapat ulama yang paling shahih (benar), sebagaimana yang akan kami uraikan pada tempatnya. Yaitu penyebutan iman yang disertai dengan penyebutan kekufuran, atau sebaliknya.

Atau penyebutan keadaan orang-orang yang bahagia kemudian disertai dengan penyebutan keadaan orang-orang yang sengsara, atau sebaliknya. Kesimpulannya adalah penyebutan sesuatu dan kebalikannya. Adapun sesuatu dan kesamaannya disebut sebagai tasyabbuh (persamaan). Sebagaimana yang akan kami uraikan lebih lanjut insya Allah.

Oleh karena itu, Allah berfirman yang artinya: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman dari berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.”
Disebutkan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, yakni di bawah pepohonan dan bilik-biliknya/kamar-kamarnya.

Firman-Nya, kullamaa ruziquu minHaa min tsamaratir rizqan qaaluu Haadzalladii ruziqnaa min qablu (“Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka berkata: `Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”)

Dalam tafsirnya, as-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Masud, serta dari beberapa sahabat, mereka mengatakan: “Mereka diberi buah-buahan di dalam surga, setelah mereka melihatnya, mereka pun berkata: `Inilah yang pernah diberikan kepada kami sebelumnya di dunia”‘.

Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh Qatadah, Abdur-Rahman bin Zaid bin Aslam, dan didukung oleh Ibnu Jarir. Mereka berkata: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mengenai ayat ini, Ikrimah mengatakan: “Artinya adalah seperti apa yang diberikan kemarin”.

Dan firman Allah serupa. ” Mengenai penggalan ayat ini, Abu Ja’far ar-Razi menceritakan dari ar-Rabi bin Anas, dari Abu al-‘Aliyah, ia mengatakan, “Antara satu buah dengan yang lainnya terjadi kemiripan, tetapi memiliki rasa yang berbeda.”

Firman-Nya yang setelah itu, “Untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci. “Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas mengatakan, “Suci dari noda dan kotoran.”

Sedang Firman-Nya, “Mereka kekal di dalamnya”
Demikian itulah kebahagiaan yang sempurna. Dengan nikmat tersebut, mereka berada di tempat yang aman dari kematian sehingga (kenikmatan itu) tiada akhir dan tidak ada habisnya, bahkan mereka senantiasa dalam kenikmatan abadi selama-lamanya. Semoga Allah , menghimpun kita dalam golongan mereka. Sesungguhnya Dia Mahapemurah, Mahamulia, lagi Mahapenyayang.

&