Tag Archives: 29

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 29-30

28 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 29-30“Dia [berkata]: ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu [sebagai upah] bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-sekali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Rabb-nya, akan tetapi aku memandang kalian sebagai kaum yang tidak mengetahui.’ (QS. 11:29) Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari [adzab] Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?’ (QS 11: 30)” (Huud: 29-30)

Nuh as. berkata kepada kaumnya, aku tidak minta harta benda kepada kalian atas pelajaran yang kuberikan kepada kalian. Yakni aku tidak meminta upah yang kuambil dari kalian. Tetapi aku hanya mengharapkan balasan dari Allah;

Wa maa ana bithaaridil ladziina aamanuu (“Dan aku sekali-sekali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman.”)

Seolah-olah mereka mengajukan tuntutan kepadanya agar ia mengusir orang-orang yang beriman dari sisinya sebagai bentuk penghormatannya terhadap mereka dan supaya mereka [orang-orang yang beriman] tidak duduk bersama mereka. sebagaimana orang-orang yang serupa dengan mereka mengajukan tuntutan kepada Rasulullah saw. agar mengusir sekelompok du’afa dari mereka, kemudian beliau duduk bersama mereka dalam majelis tersendiri.

Maka Allah menurunkan firman-Nya yang artinya: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya pada pagi hari dan pada petang hari, sedang mereka menghendaki keridlaan-Nya.” (al-An’am: 62)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 25-29

26 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 25-29“Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan adzab yang pedih.’ (QS. 12:25) Yusuf berkata: ‘Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya),’ dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. (QS. 12:26) Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.’ (QS. 12:27) Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, berkatalah dia: ‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah (termasuk) di antara tipu dayamu, sesungguhnya tipu dayamu adalah besar.’ (QS. 12:28) ‘(Hai) Yusuf, berpalinglah dari ini dan (kamu hai isteriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.’ (QS. 12:29)” (Yusuf: 25-29)

Allah Ta’ala memberitakan tentang keadaan mereka berdua ketika mereka berlomba keluar menuju pintu. Yusuf lari, sedang wanita itu minta agar dia kembali ke rumah dan wanita itu dapat memegang baju Yusuf dari belakang, sehingga bajunya tersebut terkoyak lebar. Ada yang mengatakan, bahwa bajunya terlepas, dan Yusuf terus berlari sedang wanita itu tetap dibelakangnya. Akhirnya mereka berdua mendapati tuan rumah yaitu suaminya, di depan pintu. Saat itulah wanita itu berusaha lepas dari situasi tersebut dengan tipu daya dan sambil menuduh Yusuf berbuat tidak senonoh terhadapnya, ia berkata kepada suaminya: maa jazaa-a man araada bi-aHlika suu-an (“Apa pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu.”) yaitu berbuat keji; illaa ay yusjana (“selain dipenjarakan”) atau ditahan; au ‘adzaabun aliim (“atau disiksa dengan siksaan yang pedih”) yaitu dengan pukulan yang keras dan menyakitkan.

Saat itulah Yusuf as. mendapat kemenangan dengan kebenaran dan terbebas dari tuduhan berbuat khianat terhadap wanita itu. Qaala (“ia berkata”) dengan baik dan jujur: Hiya raawadatnii ‘an nafsii (“Dia yang menggodaku untuk menundukkan diriku [padanya]”) dan menuturkan bahwa wanita itulah yang mengejar dan menariknya sampai bajunya terkoyak.

Wa syaHida syaaHidum min aHliHaa in kaana qamiishaHuu quddamin qubulin (“Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika bajunya koyak di muka,’”) di bagian depan dari baju itu; fa shadaqat (“maka wanita itu benar”) yakni dalam ucapannya, bahwa Yusuf yang menggodanya, karena setelah dipanggil wanita itu menolak, maka wanita itu mendorong dada Yusuf sehingga bajunya terkoyak. Kalau memang demikian berarti pengakuan wanita itu benar.

Wa in kaana qamiishaHuu quddamin duburin fa kadzabat wa Huwa minash shaadiqiin (“Dan jika bajunya koyak belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.”) Hal itu seperti apa yang telah terjadi, tatkala ia lari menjauhinya lalu dikejar, lalu dipegang bajunya dari belakang (oleh wanita itu) untuk menahannya. Maka, baju Yusuf pun koyak dari belakang.

Para ulama berbeda pendapat tentang siapa saksi tersebut, apakah anak kecil atau orang besar, dikalangan ulama salaf pendapat tentang hal terbagi menjadi dua.

Fa lammaa ra-aa qamiishaHuu quddamin duburin (“Maka tatkala suami wanita itu melihat gamis Yusuf terkoyak di belakang”) maksudnya, setelah suami wanita itu memastikan kebenaran Yusuf dan kedustaan apa yang dituduhkan isterinya terhadap Yusuf; qaala innaHuu min kaidikunna (“la berkata: ‘Sesungguhnya [kejadian] itu adalah termasuk di antara tipu dayamu’”) maksudnya, kedustaan dan pencemaran kehormatan pemuda ini adalah sebagian dari tipu dayamu; inna kaidikunna ‘adhiim (“Sesungguhnya tipu dayamu adalah besar.”)

Kemudian ia memerintahkan Yusuf as. untuk merahasiakan kejadian itu: yuusufu a’ridl ‘an Haadzaa (“Hai Yusuf, berpalinglah dari ini”) maksudnya adalah maafkanlah, jangan kau ceritakan (kejadian ini) kepada siapa pun.

Wastaghfirii lidzambika (“Dan kamu [hai isteriku], mohon ampunlah atas dosamu itu”) ia mengatakan kepada isterinya sementara ia bersikap dengan lembut dan mudah atau memaafkannya karena sang isteri melihat sesuatu sehingga ia tidak dapat menahan dirinya, maka ia menyuruhnya untuk meminta ampun dari dosa yang telah dilakukannya berupa maksud jahat terhadap pemuda (Yusuf) itu dan tuduhan palsu kepadanya;

Innaki kunti minal khaathi-iin (“Karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.”)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ar-Ra’du ayat 27-29

24 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Ar-Ra’du (Guruh)
Surah Madaniyyah; surah ke 13: 43 ayat

tulisan arab alquran surat ar ra'du ayat 27-29“Orang-orang kafir berkata: ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Rabbnya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, (QS. 13:27) (yaitu) orang-orang yang beriman hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28) Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. (QS. 13:29)” (ar-Ra’du: 27-29)

Allah memberitakan tentang orang-orang musyrik: lau laa unzila ilaiHi aayaatum mir rabbiHi (“Mengapa tidak diturunkan kepadanya [Muhammad] tanda [mukjizat] dari Rabbnya.”) ini seperti kata mereka yang artinya: “Maka hendaklah ia mendatangkan kepada kami suatu tanda [mu’jizat] seperti para rasul terdahulu.” (al-Anbiyaa’: 5)

Hal ini sudah dibicarakan berkali-kali sebelumnya, dan Allah Mahakuasa untuk memenuhi permintaan mereka. oleh karena itu Allah berfirman kepada Rasul-Nya: qul innallaaHa yu-dlillu may yasyaa-u wa yaHdii ilaiHi man anaab (“Katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.’”)

Maksudnya, Allahlah yang menyesatkan dan memberi petunjuk, baik mengutus Rasul dengan tanda (mukjizat) seperti yang mereka minta, atau tidak memenuhi permintaan mereka. Karena petunjuk dan penyesatan itu tidak tergantung pada adanya mukjizat atau tidak adanya mukjizat, sebagaimana difirmankan Allah: “Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan para Rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Yunus: 101)

Dan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan hingga mereka menyaksikan siksa (adzab) yang pedih.” (QS. Yunus: 96-97)

Karena itu Allah berfirman: qul innallaaHa yu-dlillu may yasyaa-u wa yaHdii ilaiHi man anaab (“Katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.’”) Maksudnya, dan menunjuki orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah, meminta tolong dan merendahkan diri di hadirat-Nya.

Alladziina aamanuu wa tathma-innu quluubuHum bidzikrillaaHi (“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah.”) Maksudnya, hati itu menjadi baik, bersandar kepada Allah, dan menjadi tenang ketika ingat kepada-Nya dan rela (ridha) Allah sebagai Pelindung dan Penolong. Oleh sebab Allah berfirman: alaa bidzik-rillaaHi tathma-innu quluub (“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”) Maksudnya, itulah hal yang sepantasnya diperoleh dengan mengingat Allah.

Dan firman-Nya: alladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati thuubaa laHum wa husnu ma-aab (“Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.”)

Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Thuubaa artinya, kegembiraan dan kesenangan.” Qatadah berkata: “Thuubaa adalah kata-kata Arab, bila orang berkata: `Thuubaa laka’ artinya, engkau mendapat kebaikan, menurut satu riwayat `thuubaa lahum’ artinya kebaikan bagi mereka.”

Wa husnu ma-aab; adalah, tempat kembali yang baik. `Abdullah bin Wahb berkata, `Amr bin al-Harits mengatakan, bahwa Abu as-Samh berkata kepadanya, dari Abu al-Haitsam, dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tbuubaa adalah pohon di surga yang besarnya sepanjang perjalanan seratus tahun, dan pakaian penduduk surga keluar dari kulit-kulitnya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah saw. bahwa ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, beruntunglah orang yang melihatmu dan beriman kepadamu.” Beliau berkata: “Thuubaa bagi orang yang melihatku dan percaya (beriman) kepadaku, dan Thuubaa, kemudian Thuubaa, kemudian Thuubaa bagi orang yang percaya (beriman) kepadaku tetapi belum pernah melihatku.”

Ada seseorang bertanya kepada beliau: “Apakah thuubaa itu?” Beliau menjawab: “Sebuah pohon di surga yang besarnya sepanjang perjalanan selama seratus tahun, dan pakaian penduduk surga keluar dari kulit-kulitnya.”

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya di surga ada pohon yang (meskipun) seorang pengendara berjalan di bawah naungannya selama seratus tahun belum juga dapat melintasinya.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 28-29

16 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 28-29“(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para Malaikat dalam keadaan berbuat dhalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); ‘Kami sekali-kali tidak mengerjakan suatu kejahatan pun.’ (Malaikat menjawab): ‘Ada, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang telah kamu kerjakan.’ (QS. 16:28) Maka masukilah pintu pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu. (QS. 16:29)” (an-Nahl: 28-29)

Allah memberi khabar tentang keadaan orang-orang musyrik yang menganiaya diri mereka sendiri, ketika mereka kedatangan Malaikat untuk mencabut ruh-ruh mereka yang jahat: fa alqawus salama (“Mereka menyerah diri [sambil berkata]:”) maksudnya, mereka menampakkan bahwa mereka mendengar, taat, tunduk sambil berkata: maa kunna na’malu min suu-in (“Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun.”) seperti apa yang mereka katakan pada hari Kiamat: “Demi Allah Rabb kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.” (QS. Al-An’aam: 23)

Allah berfirman seraya menolak perkataan mereka itu: balaa innallaaHa ‘aliimum bimaa kuntum ta’maluuna. Fad-khuluu abwaaba jaHannama khaalidiina fiiHaa falabi’sal matswal mutakabbiriin (“Ada, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang telah kamu kerjakan, maka masukilah pintu-pintu neraka jahannam, kamu kekal di dalamnya maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu,”) maksudnya, alangkah buruknya perkataan, kedudukan dan tempat, dari rumah yang hina untuk orang-orang yang menyombongkan diri dari ayat-ayat Allah, dan dari mengikuti para utusan-Nya.

Dan mereka itu masuk neraka jahannam sejak hari kematian mereka dengan ruh-ruh mereka, dan jasad-jasad mereka mendapatkannya di dalam kubur mereka, panasnya Jahannam dan getirnya. Kemudian pada hari Kiamat, ruh-ruh mereka menyatu dengan jasad-jasad mereka dan kekal abadi di neraka Jahannam.

“Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka adzab-Nya.” (QS. Faathir: 36)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 29-30

13 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 29-30“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. 17:29) Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Mahamengetahui lagi Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. 17:30)” (al-Israa’: 29-30)

Allah berfirman seraya memerintahkan untuk berlaku sederhana dalam menjalani hidup, dan mencela sifat kikir sekaligus melarang bersikap berlebih-lebihan.
Walaa taj’al yadaka maghluulatan ilaa ‘unuqika (“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelengggu pada lehermu.”) Maksudnya, janganlah kamu kikir dan bakhil, tidak pernah memberikan sesuatu pun kepada seseorang.

Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi -la’natullah `alaihim-: “Tangan Allah itu terbelenggu.” Yang mereka maksudkan dengan kalimat itu adalah bahwa Allah itu kikir. Mahatinggi Allah dan Mahasuci serta Mahapemurah lagi Maha-dermawan.

Dan firman-Nya: walaa tabshuth-Haa kullal bashthi (“Dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.”) Maksudnya, janganlah kamu berlebihan dalam berinfak, di mana kamu memberi di luar kemampuanmu dan mengeluarkan pengeluaran yang lebih banyak daripada pemasukan. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Artinya, jika kamu kikir, niscaya kamu akan menjadi tercela yang senantiasa mendapat celaan dan hinaan dari orang-orang serta tidak akan dihargai dan mereka tidak memerlukanmu lagi.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Zuhair bin Abi Salma, dalam mu’allaqatnya:
“Barangsiapa yang mempunyai banyak harta lalu ia kikir dengan kekayaannya itu,
niscaya ia akan diabaikan kaumnya, dan mendapat hinaan.”

Bila kamu mengulurkan tanganmu di luar kemampuanmu, maka kamu akan hidup tanpa sesuatu apapun yang dapat kamu nafkahkan, sehingga kamu menjadi seperti hasir, yaitu binatang yang sudah tidak mampu berjalan, yang berhenti, lemah dan tiada daya. Demikianlah yang dinamakan hasir. Ayat di atas ditafsirkan oleh Ibnu `Abbas, al-Hasan, Qatadah, Ibnu juraij, Ibnu Zaid dan lain-lain, bahwa yang dimaksudkan di sini adalah sifat kikir dan sifat berlebih-lebihan.

Dan dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakar, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Berinfaklah kamu begini, begini, dan begini, dan janganlah kamu kikir sehingga Allah pun akan kikir kepadamu, serta janganlah pula kamu enggan memberi orang sehingga Dia pun akan menahan pemberian kepadamu.”

Dalam lafazh yang lain disebutkan: “Dan janganlah kamu menghitung-hitung (pemberian) sehingga Allah pun akan menghitung-hitung (pemberian) kepadamu.”

Dan dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah pemah berkata kepadaku, ‘Berinfaklah, maka Aku akan memberi infak kepadamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Firman-Nya: inna rabbaka yabsuthur rizqa limay yasyaa-u wa yaqdiru (“Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya.”) Hal itu sebagai pemberitahuan bahwa Dia adalah sang Pemberi rizki, Pengambil rizki, Penyalur rizki, serta pengendali segala urusan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, Dia akan menjadikan kaya siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan akan menjadikan miskin siapa saja yang dikehendaki-Nya. Karena yang demikian itu terdapat hikmah.

Oleh karena itu, Dia berfirman: innaHuu kaana bi-‘ibaadiHii khabiiram bashiiran (“Sesungguhnya Dia Mahamengetahui lagi Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya.”) Yakni, Mahamelihat siapa orang yang berhak memperoleh kekayaan dan siapa juga orang-orang yang layak hidup miskin.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 29-31

5 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 29-31“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu. (QS. 4:29) Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam Neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. 4:30) Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (Surga). (QS. 4:31)” (an-Nisaa’: 29-31)

Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian mereka tehadap sebagian lainnya dengan bathil, yaitu dengan berbagai macam usaha yang tidak syar’i seperti riba, Judi dan berbagai hal serupa yang penuh tipu daya, sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut berdasarkan keumuman hukum syar’i, tetapi diketahui oleh Allah dengan jelas bahwa pelakunya hendak melakukan tipu muslihat terhadap riba. Sehingga Ibnu Jarirberkata: “Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas tentang seseorang yang membeli baju dari orang lain dengan mengatakan jika anda senang, anda dapat mengambilnya, dan jika tidak, anda dapat mengembalikannya dan tambahkan satu dirham.” Itulah yang difirmankan oleh Allah: laa ta’kuluu amwaalakum bainakum bil baathili (“Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.”).”

`Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Ketika diturunkan oleh Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa ta’kuluu amwaalakum bainakum bil baathili (“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil,”) kaum muslimin berkata, “Sesungguhnya Allah telah melarang kita untuk memakan harta di antara kita dengan bathil. Sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama, untuk itu tidak halal bagi kita makan di tempat orang lain, maka bagaimana dengan seluruh manusia?” Maka, Allah setelah itu menurunkan ayat yang artinya:
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.” (QS. An-Nuur: 61)
Demikianlah kata Qatadah.

Firman Allah: illaa an takuuna tijaaratan ‘an taraadlim minkum (“Kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.”) Lafazd (tijaaratan) dibaca dengan rafa’ (dhammah) atau nashab (fathah) yaitu, menjadi istitsna munqathi’ (pengecualian terpisah). Seakan-akan Allah berfirman: “Janganlah kalian menjalankan (melakukan) sebab-sebab yang diharamkan dalam mencari harta, akan tetapi dengan perniagaan yang disyari’atkan, yang terjadi dengan saling meridhai antara penjual dan pembeli, maka lakukanlah hal itu dan jadikanlah hal itu sebagai sebab dalam memperoleh harta benda. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’aam: 151)

Dari ayat yang mulia ini, asy-Syafi’i berhujjah bahwa jual-beli tidak sah kecuali dengan qabul (sikap menerima). Karena qabul itulah petunjuk nyata suka sama suka, berbeda dengan mu aathaat yang terkadang tidak menunjukkanadanya suka sama suka. Dalam hal ini Malik, Abu Hanifah dan Ahmad berbeda pendapat dengan Jumhur ulama, bahwa mereka melihat perkataan merupakan tanda suka sama suka, begitu pula dengan perbuatan, pada sebagian kondisi secara pasti menunjukkan keridhaan, sehingga mereka menilai sah jual-beli mu’aathaat. Mujahid berkata, “Kecuali perniagaan yang mengandung suka sama suka,” menjual atau membeli antara satu orang dengan yang lainnya. (Begitu juga Ibnu Jarir meriwayatkan).

Ba’i mu’aathaath: Jual-beli dengan cara memberikan barang dan menerima harga, tanpa ijab qabul oleh pihak penjual dan pembeli, seperti yang berlaku di masyarakat sekarang. (Pen-jualan secara tukar-menukar).

Di antara kesempurnaan suka sama suka adalah menetapkan khiyar majelis (memilih barang di tempat). Khiyar majelis: Hak untuk menjadikan suatu akad jual beli atau membatalkannya selama masih berada di tempat jual beli itu.

Sebagaimana terdapat dalam ash-Shahihain,bahwa Rasulullah bersabda: “Penjual dan pembeli berhak memilih (jadi atau batal jual belinya) selama keduanya belum berpisah.”
Di dalam lafazh al-Bukhari; “Jika dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing memiliki hak pilih selama keduanya belum berpisah.”

Di antara ulama yang berpendapat yang sesuai dengan kandungan hadits ini adalah Ahmad, asy-Syafi’i dan para pengikut keduanya serta Jumhur ulama Salaf dan Khalaf. Termasuk di dalamnya disyari’atkannya khiyar syarat (hak pilih dengan menetapkan syarat) hingga tiga hari setelah akad sesuai dengan kejelasan barang yang diperjual belikan, bahkan hingga satu tahun di lokasi, sebagaimana pendapat yang masyhur dari Malik. Mereka menilai sah jual-beli mu’aathaat secara mutlak, yaitu satu pendapat dalam madzhab asy-Syafi’i.

Firman Allah: walaa taqtuluu anfusakum (“janganlah kamu membunuh dirimu.”) Yaitu dengan melakukan hal-hal yang diharamkan Allah, sibuk melakukan kemaksiatan terhadap-Nya dan memakan harta di antara kalian dengan bathil.
innallaaHa kaana bikum rahiiman (“Sesungguhnya Allah Mahapenyayang terhadapmu,”) yaitu pada apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya untuk kalian.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr bin al-‘Ash ia berkata, “Ketika Rasulullah mengutusnya pada tahun Dzatus-Salasil, ia berkata: “Di malam yang sangat dingin menggigil aku pernah mimpi jima’, aku khawatir jika mandi aku akan binasa. Maka aku pun tayammum, kemudian shalat Shubuh dengan sahabat-sahabatku. Ketika kami menghadap Rasulullah, aku menceritakan hal tersebut kepada beliau.” Beliau pun bersabda: “Hai `Amr, engkau shalat dengan sahabat-sahabatmu dalam keadaan junub?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah! Di malam yang dingin menggigil aku pernah mimpi jima’, lalu aku khawatir jika aku mandi, aku akan binasa. Lalu aku ingat firman Allah: walaa taqtuluu anfusakum innallaaHa kaana bikum rahiiman (“Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Mahapenyayang kepadamu.”) Maka aku pun tayammum, kemudian shalat. Maka Rasulullah saw. tertawa dan tidak berkata apa-apa lagi. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. (al-Bukhari meriwayatkannya secara mu’alaq)

Kemudian Ibnu Marudawaih ketika membahas ayat yang mulia ini mengemukakan hadits dari al-A’masy dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa bunuh diri dengan sebuah besi, maka besi itu akan ada di tangannya untuk merobek-robek perutnya pada hari Kiamat kelak di Neraka Jahannam kekal selamanya. Dan barangsiapa membunuh dirinya dengan racun, niscaya racun itu berada di tangannya, dia meneguknya di Neraka Jahannam kekal selamanya.” (Hadits ini terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).

Oleh karena itu, Allah berfirman: wa may yaf’al dzaalika ‘udwaanaw wa dhulman (“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan dhalim.”) Yaitu, barang-siapa yang melakukan apa yang dilarang oleh Allah dengan melampaui batas lagi dhalim dalam melakukannya, dalam arti mengetahui keharamannya tetapi berani melanggarnya; fasaufa nushliiHi naaran (“Maka kelak akan Kami masukkan kedalam Neraka.”) Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman serius, maka hendaklah waspada setiap orang yang berakal yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikannya.

Firman Allah: in tajtanibuu kabaa-ira maa tunHauna ‘anHu nukaffir ‘ankum sayyi-aatikum (“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu [dosa-dosamu yang kecil].”) Artinya, jika kalian menjauhi dosa-dosa besar, niscaya Kami hapuskan dosa-dosa kecil kalian dan Kami masukkan kalian ke dalam Surga. Karena itu, Allah berfirman: wa nud-khilkum mud-khalan kariiman (“Dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia.”) Terdapat hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat yang mulia ini, kami akan menyebutkan beberapa di antaranya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Salman al-Farisi, ia berkata, Nabi saw. bersabda kepadaku: “Apakah engkau tahu, apakah hari Jum’at itu?” Aku menjawab: “Yaitu hari di mana Allah himpunkan bapak-bapak kalian.” Beliau pun bersabda: “Akan tetapi, aku tahu apa itu hari Jum’at. Tidak ada seseorang yang bersuci, lalu membaguskan wudhunya dan pergi melaksanakan shalat Jum’at. Kemudian diam hingga imam menyelesaikan shalatnya, kecuali hal itu menjadi penghapus dosa baginya antara hari itu dan Jum’at sesudahnya selama ia menjauhi dosa-dosa besar.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari jalan lain, melalui Sahabat yang sama dengan hadits itu, yakni Salman al-Farisi. Abu Ja’far bin Jarir meriwayatkan dari Nu’aim al-Mujmir, telah mengabarkan kepadaku Shuhaib, maula ash-Shawari, bahwa dia mendengar Abu Hurairah dan Abu Sa’id ra. berkata, suatu hari Rasulullah berkhutbah kepada kami: “Demi Rabb yang jiwaku di tangan-Nya,” kemudian Rasulullah saw. menunduk penuh tangis. Kami tidak tahu apa yang menyebabkan beliau bersumpah. Kemudian, beliau mengangkat kepala dan pada wajahnya tampak keceriaan yang bagi kami hal itu lebih kami senangi daripada unta merah, beliau bersabda: “Tidak ada seorang hamba pun yang shalat lima waktu, puasa Ramadhan, mengeluarkan zakat dan menjauhi tujuh dosa besar, kecuali akan dibukakan untuknya pintu-pintu Surga. Kemudian dikatakan padanya: ‘Masuklah dengan aman.’” Demikian riwayat an-Nasa’i, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Ibnu Hibban dalam shahihnya. Al-Hakim berkata, shahih atas syarat al-Bukhari dan Muslim, akan tetapi keduanya tidak mengeluarkannya.

Penjelasan tentang Tujuh Dosa Besar

Tercantum dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari hadits Sulaiman bin Hilal, dari Tsaur bin Zaid, dari Salim Abil Mughits, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah bersabda: “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Beliau ditanya: “Ya Rasulullah apakah itu?” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan, serta menuduh berbuat zina pada wanita mukminah yang baik-baik yang suci lagi beriman.”

Nash yang menetapkan tujuh macam ini sebagai dosa-dosa besar, tidak berarti meniadakan dosa-dosa lainnya. Wallahu a’lam.

(Hadits yang lain) dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari hadits `Abdurrahman bin Abi Bakar dari ayahnya, ia berkata, Nabi bersabda: “Maukah kuberitahu pada kalian tentang dosa-dosa besar?” Kami menjawab: “Tentu, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Yaitu-berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka kepada orang tua.” [-Tadinya beliau bersandar, kemudian beliau duduk-] dan bersabda: “Hati-hatilah, dan juga persaksian palsu, hati-hatilah dan juga perkataan dusta.” Beliau terus-menerus mengulangnya, hingga kami berkata mudah-mudahan beliau diam.

(Hadits lain yang di dalamnya terdapat pembunuhan anak). Di dalam kitab ash-Shahihain dari ‘Abdullah bin Masud, ia berkata: Aku bertanya: “Ya Rasulullah, apakah dosa yang paling besar?” Beliau menjawab: “Yaitu, engkau jadikan tandingan bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakanmu.” Aku bertanya: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Kamu bunuh anakmu, karena takut makan bersamamu.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Kamu berzina dengan isteri tetanggamu.” Lalu beliau membaca: “Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipat-gandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat.” (QS. Al-Furqaan: 68-70).

(Hadits lain) dari ‘Abdullah bin `Amr yang di dalamnya terdapat sumpah palsu. Imam Ahmad meriwayatkan, dari `Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda: “Dosa besar yang paling besar adalah syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, atau bunuh diri (dalam hal ini Syu’bah ragu) dan sumpah palsu.” (HR. Al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i).

(Hadits lain) dari `Abdullah bin ‘Amr, yang di dalamnya terdapat perilaku yang menyebabkan pencelaan kepada kedua orang tua. Ibnu AbiHatim meriwayatkan, dari `Abdullah bin ‘Amr yang dirafa’kan (disambungkan wayatnya) oleh Sufyan kepada Nabi. Sedangkan Mas’ar memauqufkannya (menghentikannya) pada `Abdullah bin ‘Amr: “Di antara dosa besar adalah seseorang yang mencaci-maki kedua orang tuanya.” Mereka bertanya: “Bagaimana seseorang dapat mencaci-maki kedua orang tuanya?” Beliau menjawab: “Yaitu seseorang mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu membalas mencaci-maki ayahnya. Dan seseorang mencaci-maki ibu orang lain, lalu orang lain itu membalas mencaci-maki ibunya.”

Dikeluarkan oleh al-Bukhari dari `Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Di antara dosa besar yang paling besar adalah seseorang melaknat kedua orangtuanya.” Mereka bertanya: “Bagaimana seseorang melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab: “seseorang mencaci ayah orang lain lalu orang lain itu mencaci kembali ayahnya. Dan seseorang mencaci ibu orang lain, lalu orang lain itupun mencaci kembali ibunya.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh Muslim secara marfu’ (riwayatnya sampai pada Nabi saw) at-Tirmidzi berkata: “Shahih.”

Di dalam hadits shahih dikatakan, bahwa Rasulullah bersabda: “Mencaci orang muslim adalah fasik dan membunuhnya adalah kafir.”

(Hadits lain tentang itu), Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-‘Alla bin `Abdurrahman, dari ayahnya dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Di antara dosa besar yang paling besar adalah merampas (mencemarkan) kehormatan seseorang muslim dan dua orang yang saling mencaci dengan cacian.”

Demikian riwayat hadits ini, dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunannya, kitab “al Adab”, dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi bersabda: “Di antara dosa besar yang paling besar adalah (mendhalimi) melampaui batas terhadap kehormatan seorang muslim tanpa haq dan termasuk di antara dosa besar, dua orang yang saling mencaci-maki dengan cacian.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Qatadah al-‘Adwah, ia berkata: “Kami telah dibacakan surat `Umar yang di dalamnya tertulis; Di antara dosa besar adalah menjamak dua waktu shalat [-yaitu tanpa udzur-], lari dari pertempuran dan merampok,” dan riwayat ini isnadnya shahih. Maksudnya adalah, jika ancaman ditujukan terhadap orang yang menjamak dua waktu shalat, seperti Zhuhur dan `Ashar, baik takdim atau ta-khir, begitu pula Maghrib dan `Isya’, seperti menjamak dengan syar’i, orang yang melakukannya tanpa sebab-sebab tersebut, berarti ia pelaku dosa besar. Maka, bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat secara total. Untuk itu Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Pemisah antara seorang hamba dengan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat.”

Di dalam kitab as-Sunan secara marfu’, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Perjanjian yang memisahkan antara kami dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia kafir.” Beliau pun bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘Ashar, maka terhapuslah amalnya.” Sunan Ibni Majah kitab ash-Shalat: No. 694: 1/227 dan Musnad Ahmad dari Buraidah: 5/361.

“Barangsiapa yang tertinggal (kehabisan waktu) shalat `Ashar, maka seakan ia telah kurangi keluarga dan hartanya.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu ath-Thufail, ia berkata, Ibnu Masud berkata: “Dosa besar yang paling besar adalah syirik kepada Allah, putus asa dari nikmat atau karunia Allah dan rahmat Allah, serta merasa aman dari tipu daya Allah.” Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari berbagai jalan yang berasal dari Abi ath-Thufail dari Ibnu Mas’ud. Dan tidak diragukan lagi, ini shahih dari beliau (Ibnu Mas’ud).

(Hadits lain) Imam Ahmad meriwayatkan dari Salamah bin Qais al-Asyja’i, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya dosa besar ada empat; Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesutu apapun, janganlah kalian membunuh jiwa yang di-haramkan oleh Allah kecuali dengan haq, jangan kalian berzina, dan jangan kalian mencuri.” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Mardawaih).

Perkataan Para Ulama Salaf mengenai Dosa-Dosa Besar

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Ali ra. ia berkata: “Dosa-dosa besar adalah: berbuat syirik kepada Allah, kembali tinggal di perkampungan (dusun) setelah hijrah, memisahkan diri dari jama’ah, dan melanggar perjanjian.”

Dan telah diketengahkan dari Ibnu Masud, ia berkata: “Dosa besar yang paling besar adalah; syirik kepada Allah, putus asa dari keluasan dan rahmat Allah, serta merasa aman dari makar Allah.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari Ibnu Masud, ia berkata: “Dosa-dosa besar adalah dari awal an-Nisaa’ hingga 30 ayat.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata: “Dosa besar yang paling besar adalah syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, melarang kelebihan air (untuk diambil) setelah kenyang (mencukupinya) dan mencegah pemanfaatan hewan pejantan, kecuali dengan membayar upah.”

Di dalam kitab ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), bahwa Nabi bersabda: “Tidak boleh melarang (diambilnya) kelebihan air untuk mencegah tumbuhnya rumput.”

Di dalam kitab ash-Shahihain, bahwa Nabi bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak dipandang oleh Allah pada han Kiamat, tidak disucikan dan akan mendapatkan adzab yang pedih (di antaranya): seseorang yang memiliki kelebihan air di sebuah gurun (tanah kosong), akan tetapi melarang (diambil) oleh Ibnu sabil (musafir).” Dan beliau menyebutkan kelanjutan hadits ini.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari `Aisyah, ia berkata: “Melanggar bai’at (janji setia) yang diambil atas para wanita adalah termasuk dosa-dosa besar.” Ibnu Abi Hatim berkata, yaitu firman Allah [yang artinya]: “Bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, dan tidak akan mencuri.”

Pendapat Ibnu `Abbas tentang Dosa-Dosa Besar:

Ibnu Abi Hatim meriwatkan dari Thawus, ia berkata, aku bertanya kepada Ibnu `Abbas: “Apakah tujuh dosa-dosa besar itu?” Ibnu `Abbas menjawab: “Dosa besar itu mencapai tujuh puluh macam, hal itu adalah lebih tepat dibandingkan hanya tujuh macam saja.” (HR. Ibnu Jarir)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu `Abbas: “Apakah dosa-dosa besar itu ada tujuh?” Beliau menjawab: “Dosa besar mencapai tujuh ratus macam lebih tepat(nya), di-bandingkan yang hanya berjumlah tujuh. Akan tetapi, tidak ada dosa besar jika disertai istighfar dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari hadits Syibl.

`Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu `Abbas tentang firman Allah: in tajtanibuu kabaa-ira maa tunHauna ‘anHu (“Dosa-dosa besar adalah setiap dosa yang diancam Allah dengan api Neraka, kemurkaan, laknat atau adzab.”) (HR. Ibnu Jarir).

Ibnu Jarir menceritakan dari Muhammad bin Sirin, ia berkata, Aku diberi kabar bahwa Ibnu `Abbas berkata: “Setiap hal yang dilarang oleh Allah adalah bagian dari dosa besar.” Dia pun berkata, bahwa Abul Walid berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu `Abbas tentang dosa-dosa besar.” Beliau menjawab: “Setiap sesuatu yang merupakan kemaksiatan kepada Allah adalah dosa besar.”

Beberapa Perkataan (Pendapat) Para Tabi’in:

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Mughirah, ia berkata: “Dikatakan bahwa mencela Abu bakar dan `Umar merupakan dosa besar.” (Aku berkata): “Sebagian ulama menilai kafir orang yang mencela para Sahabat.” Itulah satu riwayat pendapat dari Malik bin Anas ra. Muhammad bin Sirin berkata: “Aku tidak menduga ada seseorang yang benci kepada Abu Bakar dan `Umar dan bersamaan dengan itu ia mencintai Rasulullah.” (HR. At-Tirmidzi).

`Abdurrazzaq meriwayatkan, bahwa Ma’mar mengabarkan kepada kami dari Tsabit, dari Anas, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Syafa’atku untuk para pelaku dosa besar di kalangan umatku.” (Isnadnya shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim dan diriwayatkan oleh Abu `Isa at-Tirmidzi, kemudian ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”).

Di dalam hadits shahih terdapat penguat (saksi) bagi maknanya, yaitu sabda Rasulullah, setelah menyebutkan syafa’at: “Apakah engkau berpendapat bahwa syafa’at itu untuk orang-orang yang beriman lagi bertakwa? Tidak. Akan tetapi syafa’at adalah untuk orang-orang yang bergelimang dosa.”

Para ulama ushul dan furu’ berbeda pendapat tentang batasan dosa besar. Sebagian ada yang berpendapat bahwa batasan dosa besar ialah sesuatu yang memiliki hukuman hadd (yang ditentukan batasannya) dalam syari’at. Ada pula yang berpendapat bahwa dosa besar adalah sesuatu yang memiliki ancaman khusus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyaad dan yang lainnya berkata: “Dosa besar adalah setiap pelanggaran yang menunjukkan minimnya perhatian pelakunya pada agama dan kurangnya sikap keber-agamaan, maka hal itu dapat membatalkan keistiqamahan.”
Furu’: cabang-cabang. Yang dimaksud ulama furu’ yaitu, ulama fiqih. Ulama ushul yaitu, ulama i’tiqad (tauhid) Pent.

Al-Qadhi Abu Said al-Harawi menyatakan: “Dosa besar adalah setiap perilaku yang secara nash oleh al-Qur’an diharamkan dan setiap maksiat yang mendapat konsekuensi hukuman hadd, seperti membunuh atau yang lainnya, meninggalkan setiap fardhu yang diperintahkan agar dilaksanakan dengan segera, serta berdusta dalam persaksian, riwayat dan sumpah.” Inilah yang mereka sebutkan secara akurat.

Al-Qadhi ar-Ruyani berkata secara rinci: “Dosa-dosa besar ada tujuh: Membunuh jiwa tanpa haq, zina, homoseks, minum khamr, mencuri, merampas harta dan menuduh zina.” Di dalam asy-Syaamil ia menambahkan dari yang tujuh tersebut, yaitu saksi palsu.

Pengarang al-‘Uddah menambahkan dengan memakan riba, berbuka puasa di bulan Ramadhan (sebelum waktunya) tanpa udzur, sumpah palsu, memutuskan silaturahmi, mendurhakai kedua orang tua, lari dari pertempuran, memakan harta anak yatim, khianat dalam timbangan dan takaran, mendahului shalat dari waktunya, mengakhirkan waktu shalat tanpa udzur, memukul orang muslim tanpa haq, berdusta dengan sengaja atas nama Rasulullah, mencaci para Sahabat beliau, menyembunyikan persaksian tanpa udzur, menerima suap, melokalisasi lelaki dan wanita (dalam zina/menjadi mucikari), memfitnah di hadapan raja, enggan menunaikan zakat, meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar padahal mampu, melupakan al-Qur’an setelah mempelajarinya, membakar hewan dengan api, penolakan isteri terhadap (ajakan untuk berhubungan dari) suaminya tanpa sebab, putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar Allah.

Dikatakan pula (menurut pendapat yang lain): Menuduh (mencemarkan) ahli ilmu dan ahli al-Qur’an. Di antaranya juga yang dinilai termasuk dosa besar adalah zhihar, memakan daging babi dan bangkai kecuali karena darurat.
Zhihar: Perkataan suami kepada isteri, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” dengan maksud, dia tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyyah, kalimat zhihar ini sama dengan mentalak (mencerai) isteri.

Jika dikatakan, sesungguhnya dosa besar itu adalah apa yang diancam oleh Allah dengan api Neraka secara khusus, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu`Abbas dan yang lainnya, maka hal tersebut akan terhimpun cukup banyak. Dan jika dikatakan, dosa besar itu adalah setiap yang dilarang oleh Allah, maka sangat banyak. Wallahu a’lam.

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 29

18 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 29“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang dhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah seburuk-buruk minuman dan sejelek-jelek tempat istirahat.” (QS. Al-Kahfi: 29)

Allah berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad saw: katakanlah hai Muhammad kepada umat manusia, apa yang aku bawa kepada kalian dari Rabb kalian adalah kebenaran yang tidak terdapat keraguan di dalamnya. Fa man syaa-a fal yu’min wa man syaa-a falyakfur (“Maka barangsiapa yang ingin [beriman] hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin [kafir] biarlah ia kafir.”) Penggalan ayat ini termasuk ancaman keras. Oleh karena itu, Dia berfirman: innaa a’tadnaa lidhh-dhaalimiina (“Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim
itu.”) Yakni, orang-orang yang kafir kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada Kitab-Nya.
Naaran ahaatha biHim suraadiquHaa (“Neraka yang gejolaknya mengepung mereka.”) SuraadiquHa berarti pagarnya. Mengenai firman-Nya: ahaatha biHim suraadiquHaa (“Yang gejolaknya mengepung mereka,”) Ibnu Juraij menceritakan, Ibnu ‘Abbas berkata: “Yakni, dinding yang berasal dari api.”

Firman-Nya: wa iy yastaghitsuu yughaatsu bimaa-in kalmuHli yasywil wujuuHa (“Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah.”) Ibnu `Abbas mengatakan: “Al-muHlu yaitu air kental yang mendidih, seperti endapan minyak.” Mujahid mengatakan, “Yakni seperti darah dan nanah.” Sedangkan `Ikrimah mengungkapkan, “Yakni, sesuatu yang panasnya berada pada puncaknya.”

Pendapat-pendapat di atas tidak saling menafikan satu dengan yang lainnya, karena kata al-muhlu menyatukan sifat-sifat yang menjijikkan secara keseluruhan. Yang ia berwarna hitam, berbau busuk dan kental serta sangat panas. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, “Yang menghanguskan wajah. “Yakni, karena panasnya. Jika orang kafir bermaksud akan meminumnya dan mendekatkan air itu ke wajahnya, maka wajahnya itu menjadi hangus hingga kulit wajahnya mengelupas.

Lebih lanjut, Allah Ta’ala berfirman: bi’sasy-syaraabu (“Itulah seburuk-buruk minuman.”) Maksudnya, minuman seperti itu benar-benar sangat buruk. Sebagaimana Dia telah berfirman dalam ayat lain: “Dan mereka diberi minum dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya.” (QS. Muhammad: 15)

Firman-Nya: wa saa-at murtafaqan (“Dan sejelek jelek tempat istirahat.”) Maksudnya, neraka itu merupakan tempat tinggal dan tempat berkumpul serta tempat beristirahat yang paling buruk. Sebagaimana yang Dia firmankan dalam ayat yang lain: “Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. Al-Furqaan: 66).

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 29-30

2 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 29-30“Katakanlah: ‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui’. Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. 3:29) Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkanmu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. 3:30)

Allah swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dia mengetahui segala rahasia dan hal yang tersembunyi maupun yang terlihat. Tidak ada sesuatu pun dari mereka yang tersembunyi dari-Nya, bahkan ilmu-Nya meliputi mereka dalam segala kondisi dan waktu. Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tersembunyi dari-Nya meski hanya sebesar biji atom atau bahkan yang lebih kecil darinya.

wallaaHu ‘alaa kulli syai-in qadiir (“Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”) Yaitu bahwa kekuasaan Allah itu terlaksana atas semua itu. Dan ini merupakan peringatan bagi hamba-hamba-Nya untuk senantiasa takut agar mereka tidak melakukan larangan dan apa yang dimurkai-Nya. Karena sesungguhnya Dia mengetahui semua urusan mereka dan berkuasa untuk menyiksa mereka dengan segera. Kalaupun Dia menangguhkan mereka, maka Dia hanya menangguhkan, kemudian Ia akan menyiksanya sebagai siksaan dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa.

Oleh karenanya setelah itu Dia berfirman, yauma tajidu kullu nafsim maa ‘amilat min khairim muh-dlaran (“Pada hari ketika setiap diri mendapatkan segala kebajikan dihadapkan [di mukanya].”) Yaitu pada hari Kiamat kelak akan dihadirkan di hadapan seorang hamba semua amal perbuatannya, yang baik maupun yang buruk, sebagaimana firman-Nya, yunabbi-ul insaanu yauma-idzim bimaa qaddama wa akhkhara (“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakaniya dan apa yang dilalaikannya.”) (QS. Al-Qiyaamah: 13)

Orang yang mendapatkan amal perbuatannya baik, maka amal itu akan membahagiakan dan menyenangkannya. Dan yang menemukan kejelekan dari amal perbuatannya, maka hal itu akan menjadikannya bersedih dan berkeinginan terlepas dari amal jeleknya itu, serta berharap ada jarak yang jauh antara dirinya dengan amal jeleknya itu, sebagaimana dia mengatakan kepada syaitan pendampingnya semasa di dunia dan syaitan itu pula yang menjadikannya berani berbuat jahat: yaa laita bainii wa bainaka bu’dal masyriqaini fabi’sal qariin (“Aduhai, semoga [jarak] antara aku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat, maka syaitan itu adalah sejahat-jahat teman [yang menyertai manusia].” (QS. Az-Zukhruf: 38)

Setelah itu Allah mengukuhkan hal tersebut dan mengancam, Allah berfirman, wa yuhadzdzirukumullaaHu nafsaHu (“Dan Allah memperingatkanmu terhadap diri (siksa)-Nya.”) Yaitu Dia menakut-nakuti kalian dengan siksa-Nya. Selanjutnya Allah berfirman, memberikan harapan kepada hamba-hamba-Nya agar tidak bprputus asa dari rahmat dan kelembutan-Nya, dengan firman-Nya, wallaaHu ra-uufum bil’ibaad (“Dan Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”) Al-Hasan al-Bashri berkata: “Di antara wujud kasih sayang Allah kepada mereka adalah pemberian peringatan kepada mereka agar takut pada diri-Nya.” Ulama lain berkata: “Maksudnya bahwa Dia sangat penyayang terhadap seluruh makhluk-Nya. Dia menginginkan agar mereka senantiasa beristiqamah di atas jalan-Nya yang lurus dan (dalam) agama-Nya yang benar serta mengikuti Rasul-Nya yang mulia.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 29

9 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 29“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menuju) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit Dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu.” (QS. 2:29)

Seusai menyebutkan dalil-dalil berupa penciptaan umat manusia dan apa yang mereka saksikan dari diri mereka sendiri, Allah juga menyebutkan dalil lain yang mereka saksikan berupa penciptaan langit dan bumi, maka Ia berfirman, Dia-lah Allah yang menciptakan segala yang ada dibumi untuk kamu, kemudian Dia berkendak menuju langit, lalu Dia jadikan tujuh langit.” Artinya, menuju langit. Kata istawa’ dalam ayat di atas mengandung makna “berkehendak ” dan “mendatangi “, karena menggunakan kata sambung “ilaa.”

Fasawwaa Hunna; maksudnya, “lalu Dia menciptakan langit, tujuh lapis.” As-samaa-u (“langit,”) di sini adalah isim jinsi.

Oleh karena itu, Dia berfirman: fasawwaa Hunna sab’a samaawaati (“lalu Dia menciptakan langit, tujuh lapis.”) wa Huwa bikulli syai-in ‘aliim (“Dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu”) artinya ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu yang Dia ciptakan, sebagaimana firman-Nya: “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui [apa yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan].”)(al-Mulk: 14). Penjelasan rinci tentang bahasan ini terdapat pada surah as-Sajdah.

Mengenai firman Allah: Huwal ladzii khalaqa lakum fil ardli jamii’an (“Dia lah Allah yang menciptakan segala sesuatu di bumi untuk kamu.”) Mujahid mengatakan Allah menciptakan bumi sebelum langit, dan seusai menciptakan bumi membumbung asap darinya [bumi], dan itulah makna firman-Nya: tsummastawaa ilas samaa-i wa Hiya dukhaanun (“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap.”) (Fushshilat: 11)

fasawwaa Hunna sab’a samaawaati (“lalu Dia menciptakan langit, tujuh lapis.”) Mujahid mengatakan: sebagian langit di atas sebagian lainnya. Dan tujuh bumi, yakni sebagian bumi di bawah bagian bumi lainnya.

&

Hadits 29 Hadits Dlaif dan Maudlu’

19 Jan

Silsilah Hadits Dlaif (Lemah) dan Maudlu’ (Palsu);
Muhammad Nashiruddin al-Albani

Khiyaaru ummatii ahiddaa-uHumul ladziina idzaa ghadlibuu raja’uu

“Umatku yang terbaik ialah mereka yang berwatak keras (tegas) yang bila mereka marah segera sadar.”

Ini hadits batil. Al-Uqaili meriwayatkannya dalam kitrab Kumpulan Hadits-hadits Dha’if, halaman 2I7, kemudian menyatakan, “Sanadnya dari Abdullah bin Qunbur dan dia ini tidak suka meneliti sanad.”

Kemudian al-Uzdi mengatakan”, Riwayat Abdullah bin Qunbur tersebut tidak diterima jumhur pakar hadits. Bahkan adz-Dzahabi menyatakan bahwa riwayatnya batil dan dibenarkan oleh Ibnu Hajar.

&