Tag Archives: 33

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 33

7 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 33“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS. an-Nisaa’: 33)

Ibnu `Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abu Shalih, Qatadah, Zaid bin Aslam, as-Suddi, adh-Dhahhak, Muqatil bin Hayyan dan yang lainnya berkata tentang firman-Nya: wa likullin ja’alnaa mawaaliya (“Bagi tiap-tiap [harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib-kerabatnya] Kami jadikan mawali.”) Yaitu, ahli waris.

Dalam satu riwayat dari Ibnu `Abbas, artinya adalah `ashabah (`Ashabah: Jamak dari `ashab, yaitu saudara-saudara atau keluarga yang mendapat bagian harta secara tidak tertentu kadarnya, hanya mendapatkan mana yang tersisa dari yang diambil oleh`ashabah furudh [yang mendapat bagian secara pasti])

IbnuJarir berkata: “Orang Arab menamakan anak paman dengan maula, sebagaimana perkataan al-Fadhl bin `Abbas:
Tenanglah wahai anak paman kami, tenanglah dan maula maula kami.
Janganlah sekali-kali tampak di antara kita sesuatu yang terpendam diantara kita.”

Ibnu Jarir berkata: “Yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: mimmaa tarakal waalidaani wal aqrabuun; adalah dari warisan peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, maka tafsirnya adalah bagi setiap kalian hai manusia, kami jadikan `ashabah yang akan mewarisi dari peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabat ahlinya dari harta peninggalannya.

Firman Allah: wal ladziina ‘aqadat aimaanukum fa aatuuHum nashiibaHum (“Dan [jika ada] orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.”) Yaitu, orang-orang yang telah bersumpah setia antara kamu dan mereka, maka berikanlah bagian waris mereka sebagaimana yang telah kamu janjikan dalam sumpah setia tersebut. Sesungguhnya Allah menjadi saksi di antara kalian dalam berbagai kontrak dan perjanjian tersebut. Hal ini berlaku di masa permulaan Islam, kemudian setelah itu dibatalkan dan mereka diperintahkan untuk menunaikan hak orang-orang yang telah sepakat melakukan suatu akad serta tidak melupakannya, setelah turun ayat ini.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu `Abbas: wa likullin ja’alnaa mawaaliya (“Bagi tiap-tiap [harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib-kerabatnya] Kami jadikan mawali.”) yaitu, ahli waris.

wal ladziina ‘aqadat aimaanukum (“Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka.”) Dahulu, kaum Muhajirin ketika datang ke Madinah, mereka mewarisi kaum Anshar tanpa ikatan kerabat, tetapi karena ukhuwwah dimana Nabi saw. pernah mempersaudarakan antara Quraisy dan Anshar. Maka ketika turun ayat, maka dibatalkan/dihapus. Kemudian Ibnu `Abbas berkata tentang ayat ini:
wal ladziina ‘aqadat aimaanukum fa aatuuHum nashiibaHum (“Dan [jika ada] orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.”) berupa pertolongan, bantuan dan nasehat. Sedangkan kewarisannya telah hilang (karena hukumnya telah dinasakh atau dibatalkan) dan hendaknya memberikan wasiat kepadanya. Lalu, hal itu (wasiat) dibatalkan oleh ayat yang artinya:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah.” (QS. Al-Anfaal: 75)

Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Mujahid, `Atha’, al-Hasan, Ibnul Musayyab, Abu Shalih, Sulaiman bin Yasar, asy-Sya’bi, `Ikrimah, as-Suddi, adh-Dhahhak, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan, bahwa mereka berkata: “Mereka itu adalah orang-orang yang bersumpah setia.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’id bin Ibrahim, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada sumpah setia dalam Islam dan sumpah setia apapun yang ada pada masa Jahiliyyah, maka Islam tidak menambahkan apapun kepadanya, melainkan hanya memberatkan.” Demikianlah riwayat Muslim dan an-Nasa’i.

Pendapat yang benar adalah bahwa pada permulaan Islam, mereka saling waris-mewarisi berdasarkan janji sumpah setia, kemudian dinasakh (dihapus). Sedangkan pengaruh sumpah tetap diberlakukan, sekalipun mereka diperintahkan untuk memenuhi berbagai perjanjian, kontrak dan sumpah setia yang dahulu mereka ikrarkan. Dan pada hadits Jubair bin Muth’im yang lalu dijelaskan bahwa, “Tidak ada sumpah setia dalam Islam, dan sumpah setia apapun yang ada pada masa Jahiliyyah, maka Islam tidak menambah apa-pun kepadanya, malainkan hanya memberatkan.”

Hal ini merupakan nash yang menolak pendapat yang mengatakan masih berlakunya waris-mewarisi atas dasar sumpah setia pada hari ini, sebagaimana pendapat madzhab Abu Hanifah dan para pengikutnya serta satu riwayat pendapat dari Ahmad bin Hanbal. Pendapat yang benar adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama, serta Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan berdasarkan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad.

Untuk itu, Allah berfirman: wa likullin ja’alnaa mawaaliya mimmaa tarakal waalidaani wal aqrabuun (“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.”) Yaitu, ahli waris dari kerabat dekat dari kedua orang tua dan para kerabat keduanya. Mereka itu mewarisinya tanpa orang-orang yang lain. Di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu `Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Berikanlah fara-idh (bagian-bagian waris) kepada yang berhak atau pemilik-nya (ahlinya). Apa yang tersisa, maka untuk laki-laki yang lebih utama.”

Artinya, berikanlah oleh kalian harta warisan itu kepada para penerima waris yang telah disebutkan Allah dalam dua ayat fara-idh. Apa yang tersisa setelah itu, maka berikanlah kepada `ashabah.

Firman Allah: wal ladziina ‘aqadat aimaanukum (“Dan [jika ada] orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka.”) Sebelum turun ayat ini, berikanlah bagian mereka dari harta warisan. Sedang sumpah setia apa saja yang dilakukan setelah itu, tidak akan ada pengaruhnya.

Satu pendapat mengatakan bahwa ayat ini membatalkan berbagai sumpah setia yang ada pada masa yang akan datang, serta hukum sumpah setia yang telah dilakukan pada masa yang lalu, sehingga tidak ada lagi saling waris-mewarisi dengan sumpah mereka.

Sebagaimana Ibnu Abi Hatim meniwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: fa atuuHum nashiibaHum (“Maka berilah kepada mereka bagiannya.”) Yaitu; pertolongan, nasehat, pembelaan dan wasiat. Dan telah hilang kewarisannya.” (HR. IbnuJarir).

Demikian pula diriwayatkan hadits serupa, dari Mujahid dan Abu Malik.`Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Firman Allah: wal ladziina ‘aqadat aimaanukum (“Dan [jika ada] orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka.”) Yaitu, seorang yang mengikat sumpah setia dengan seseorang, dimana jika salah satu mati, yang lain akan mendapatkan warisannya, maka Allah menurunkan Ayat: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).” (QS. Al-Ahzab: 6 )

Beliau (Ibnu `Abbas) pun berkata: “Kecuali jika kalian berwasiat, maka hal itu dibolehkan bagi mereka dari 1/3 harta. Inilah yang dikatakan berbuat baik (ma’ruf)”

Demikian pula yang ditetapkan oleh banyak ulama Salaf bahwa ayat tersebut dinasakh (dihapus hukumnya) oleh firman Allah: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebib berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).” (QS. A1-Ahzab: 6). Maka di antara sumpah setia adalah perjanjian untuk saling menolong dan membantu, juga di antaranya perjanjian untuk waris-mewarisi, sebagaimana diriwayatkan oleh banyak ulama Salaf. WallaHu a’lam.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 33

12 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 33“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui”. (QS. al-A’raaf: 33)

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra. is berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang lebih cemburu dari Allah, karena itu Allah mengharamkan semua perbuatan keji yang tampak maupun yang sembunyi. Dan tidak ada seorang pun yang lebih suka dipuji dari Allah.” (HR. Ahmad; Hadits tersebut juga dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam “ash-Shahihain” [kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim])

Sedangkan mengenai pembicaraan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi telah diuraikan sebelumnya pada Surat al-An’aam.

Dan firman-Nya: wal itsma wal baghya bighairil haqqi (“Dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.”) As-Suddi mengatakan, “al-itsmu” (perbuatan dosa) adalah kemaksiatan dan “al-baghyu” adalah pelanggaran terhadap orang lain tanpa alasan yang benar, maka Allah mengharamkan semuanya itu.

Firman Allah Ta’ala selanjutnya: wa an tusyriku billaaHi maa lam yunazzil biHii sulthaanan (“Dan [mengharamkan] mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu.”) Maksudnya, melarang kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya.

Wa an taquuluu ‘alallaaHi maa laa ta’lamuun (“Serta [mengharamkan] mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.”) Yaitu berupa tindakan mengada-ada dan kedustaan, seperti dakwaan bahwa Allah mempunyai anak dan lain-lainnya, yang kalian tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yunus ayat 31-33

5 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Yunus
Surah Makkiyyah; surah ke 10: 109 ayat

tulisan arab alquran surat yunus ayat 31-33“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.’ Maka mereka pasti menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’ (QS. 10:31) Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabbmu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran) (QS. 10:32) Demikianlah, telah tetap hukuman Rabbmu terhadap orang-orang yang fasik, karena sesungguhnya mereka tidak beriman. (QS. 10:33)” (Yunus: 31-33)

Allah berhujjah atas orang-orang musyrik dengan pengakuan mereka terhadap Wahdaniyyah (keesaan-Nya) dan Rububiyyah-Nya atas Wahdaniyyah ketuhanan-Nya, maka Allah Ta’ala berfirman: qul may yarzuqukum minas samaa-i wal ardli (“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi?’”) Maksudnya, siapakah yang menurunkan air hujan dari langit, hingga menyirami bumi dengan kekuasaan-Nya dan kehendak-Nya, maka keluarlah darinya: “Eiji-bijian, anggur, dan sayur sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat dan buah-buahan serta rumput-rumput.” (QS. `Abasa: 28-3 1). Apakah ada Ilah selain Allah? Maka mereka akan menjawab: “Allah saja.”

Firman-Nya: ammay yamlikus sam’a wal abshaara (“Atau siapakah yang berkuasa [menciptakan] pendengaran dan penglihatan?”) maksudnya yang memberimu kekuatan pendengaran dan kekuatan penglihatan ini. Jika Allah berkehendak niscaya menghilangkannya dan mencabutnya darimu.

Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Katakanlah: ‘Allah lah yang menciptakanmu dan menjadikan bagimu pendengaran dan penglihatan….” (QS. Al-Mulk: 23)

Firman-Nya: wa may yukhrijul hayya minal mayyiti wa yukhrijal mauta minal hayyi (“Dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.”) Maksudnya, dengan kekuasaan-Nya yang agung dan pemberian-Nya yang luas. Pembicaraan tentang perbedaan pendapat dalam masalah tersebut telah lewat. Dan ayat ini adalah umum untuk hal itu.

Firman-Nya: wa may yudabbirul amra (“Dan siapakah yang mengatur segala urusan?”) maksudnya siapakah Dzat yang di tangan-Nyalah kekuasaan atas segala sesuatu? Dan Dia melindungi dan tidak ada yang dapat dilindungi (adzab)-Nya, Dialah Yang mengatur dan Hakim yang tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya dan Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya. Maka semua kerajaan adalah milik-Nya, baik yang di atas maupun yang di bawah dan juga apa yang ada di antara keduanya, dari Malaikat, manusia, jin, semuanya butuh kepada-Nya, sebagai hamba-Nya dan tunduk di hadapan-Nya.

fasayaquuluunallaaH (“Maka mereka akan menjawab: ‘Allah.’”) Maksudnya, mereka mengetahui hal itu dan mengakuinya. Faqul afalaa tattaquun (“Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertakwa [kepada-Nya]?’”) Maksudnya, apakah kamu tidak takut kepada-Nya, jika kamu menyekutukan-Nya dalam beribadah kepada-Nya dan hanya berdasarkan pendapatmu dan kebodohanmu.

Firman-Nya: fadzaalikumullaaHu rabbukumul haqqu (“Maka [Dzat yang demikian] itulah Allah, Rabbmu yang sebenarnya…”). Maksudnya, maka inilah yang kamu akui bahwa sesungguhnya Dialah yang melakukan itu semua, Dialah Rabb dan Ilah kalian yang sebenarnya, yang berhak untuk diesakan dalam peribadahan. Famaa dzaa ba’dal haqqi illadl-dlalaal (“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, selain Allah adalah bathil,”) tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Fa annaa tushrafuun (“Maka bagaimanakah kamu dapat dipalingkan [dari kebenaran]?”) maksudnya bagaimana kamu dapat dipalingkan dari beribadah kepada-Nya lalu beribadah kepada selain-Nya, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah Rabb yang menciptakan segala sesuatu dan mengaturnya.

Firman-Nya: kadzaalika haqqat kalimatu rabbika ‘alal ladziina fasaquu (“Demikianlah telah tetap hukuman Rabbmu terhadap orang-orang yang fasik…”) sebagaimana halnya orang-orang musyrik berbuat kufur dan mereka terus-menerus dalam kemusyrikan dan menyekutukan Allah dalam ibadah mereka, padahal mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allahlah Dzat Yang menciptakan, Yang memberi rizki, Yang mengatur dalam kerajaan-Nya seorang diri (dan juga) Yang mengutus para Rasul-Nya untuk mentauhidkan-Nya. Maka dari itu telah nyatalah kalimat Allah atas mereka, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang celaka, di antara penghuni-penghuni neraka.

MakaSebagaimana firman-Nya yang artinya: “Mereka menjawab: ‘Benar [telah datang]’ tetapi pasti berlaku ketetapan adzab terhadap orang-orang yang kafir.’” (Az-Zumar. 71)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ar-Ra’du ayat 33

24 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Ar-Ra’du (Guruh)
Surah Madaniyyah; surah ke 13: 43 ayat

tulisan arab alquran surat ar ra'du ayat 33“Maka apakah Rabb yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)? Mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah. Katakanlah: ‘Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu.’ Atau apakah kamu hendak memberitakan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di bumi, atau kamu mengatakan (tentang hal itu) sekedar perkataan pada lahirnya saja. Sebenarnya orang-orang kafir itu dijadikan (oleh syaitan) memandang baik tipu daya mereka dan dihalanginya dari jalan (yang benar). Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka baginya tak ada seorang pun yang akan dapat memberinya petunjuk.” (QS. ar-Ra’du: 33)

Allah berfirman: afaman Huwa qaa-imun ‘alaa kulli nafsim bimaa kasabat (“Maka apakah Rabb yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya [sama dengan yang tidak demikian sifatnya?].”) Maksudnya adalah menjaga mereka, mengawasi semua makhluk yang bernafas, mengetahui segala perbuatan orang-orang yang berbuat baik maupun buruk, tak ada rahasia sedikitpun yang tidak diketahui-Nya. Apakah Rabb yang memiliki sifat-sifat seperti itu sama dengan berhala-berhala yang mereka sembah, yang tidak mendengar dan tidak melihat, tidak berakal dan tidak memiliki manfaat untuk diri mereka sendiri maupun untuk penyembah-penyembahnya. Juga tidak dapat memberi pertolongan untuk melenyapkan kesulitan kepada dirinya sendiri maupun kepada para penyembahnya.

Jawaban dari pertanyaan itu tidak disebutkan lagi, karena sudah cukup dimengerti dari susunan kalimatnya, yaitu firman-Nya: wa ja’aluu lillaaHi syurakaa-a (“Mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah.”) Yaitu berhala-berhala, sekutu-sekutu dan sembahan-sembahan yang mereka anggap sebagai Rabb di samping Allah.

Qul sammuuHum (“Katakanlah: ‘Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu.’”) Maksudnya, beritahukanlah mereka itu tentang kami, dan jelaskanlah tentang keyakinan mereka yang keliru sehingga mereka tahu. Karena sebenarnya mereka itu tidak punya hakikat (kenyataan).

Oleh karena itu, Allah berfirman: am tunabbi-uunaHu bimaa laa ya’lamu fil ardli (“Atau apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di bumi.”) Maksudnya, apa yang tidak ada (yang mereka ada-adakan), karena kalau memang hal itu ada di bumi, pasti
Allah mengetahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang terahasiakan bagi Allah.

Am bidhaaHirim minal qaul (“Atau kalian mengatakan [tentang hal itu] sekedar perkataan pada lahirnya saja.”) Mujahid mengatakan: “Dengan kata-kata dugaan.”

Adh-Dhahhak dan Qatadah mengatakan: “Dengan kata-kata yang bathil (tidak benar).” Maksudnya, kalian menyembah berhala-berhala itu hanyalah berdasarkan kepada dugaan kalian, bahwa berhala itu dapat memberikan manfaat kepada kalian dan dapat pula membahayakan kalian, dan kalian sebut mereka sebagai Ilah (Tuhan).

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan sesuatu keteranganpun untuk menyembahnya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (QS. An-Najm: 23)

Bal zayyana lil ladziina makaruu mak-raHum (“Sebenarnya orang-orang kafir itu dijadikan [oleh syaitan] memandang baik tipu-daya mereka.”) Mujahid berkata: “Perkataan mereka, maksudnya kesesatan yang ada pada mereka, dan ajakan mereka pada kesesatan di malam dan siang hari.”

Wa shadduu ‘anis sabiil (“Dan dihalanginya dari jalan yang benar.”) orang yang membacanya dengan shad difathah, maknanya: “Setelah syaitan menggoda mereka dan bahwa apa yang mereka lakukan itu benar, mereka pun mengajak kepadanya dan menghalangi orang lain untuk mengikuti jalan para Rasul.”
Sedang orang yang membacanya dengan shad didhammah, artinya: “Karena godaan syaitan, bahwa apa yang mereka lakukan itu benar, maka mereka terhalang dari jalan Allah.”

Karena itu Allah berfirman: wa may yudl-lilillaaHu famaa laHuu min Haad (“Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada baginya seorang pun yang akan dapat memberinya petunjuk.”) Sebagaimana Allah berfirman pula: “Barangsiapa yang Allah mengbendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari Allah.” (QS. Al-Maaidah: 41)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ibrahim ayat 32-33

24 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Ibrahim
Surah Makkiyyah; surah ke 14: 52 ayat

tulisan arab alquran surat ibrahim ayat 32-34“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Allah mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya babtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (QS. 14:32) dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS. 14:33) Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. 14: 34)” (QS. Ibrahim: 32-34)

Allah menjelaskan berbagai macam nikmat yang telah diberikan kepada makhluk-Nya dengan menciptakan untuk mereka langit sebagai yang terjaga agar tidak jatuh dan bumi sebagai alas.

“Dan Allah menurunkan air dari langit, maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berbagai jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam,” (QS. Thaahaa: 53), dengan buah-buahan dan tanaman yang beraneka macam warna, bentuk, rasa, bau manfaatnya. Dan Allah menundukkan kapal dengan menjadikannya terapung di atas arus air laut dan berjalan di permukaannya dengan perintah Allah Ta’ala, menundukkan lautan untuk membawa kapal yang dijadikan oleh para musafir sebagai alat transportasi dari satu daerah ke daerah lain untuk mengangkut barang-barang dari satu tempat ke tempat lain. Dan menundukkan sungai-sungai yang membelah bumi dari satu daerah sampai daerah lain, semua itu sebagai sumber rizki bagi makhluk di dunia ini dengan menggunakannya untuk minum, mengairi tanaman dan lain-lain yang bermacam-macam manfa’atnya.

Wa sakhkharasy syamsa wal qamara daa-ibain (“Dan Dia telah menundukkan [pula] bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar [dalam orbitnya],”) maksudnya, keduanya berjalan terus-menerus siang dan malam silih berganti. Siang malam itu juga saling berlawanan, kadang-kadang salah satu di antaranya mengambil waktu dari yang lain selungga menjadi lebih panjang, sedang yang lain ienjadi lebih pendek.

Wa aataakum min kulli maa sa-altumuuHu (“Dan Dia telah memberikan kepadamu [keperluanmu] dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.”) Allah Ta’ala berfirman, bahwa Allah telah menyediakan untuk kalian saja yang kalian perlukan pada segala keadaan, apa yang kalian minta baik melalui perkataan maupun keadaan.

Sebagian ulama salaf mengatakan, bahwa Allah menyediakan segala apa yang diminta maupun apa yang tidak diminta.

Wa in ta’udduu ni’matallaaHi laa tuhshuuHaa (“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat merighitungnya,”) Allah memberitahukan, bahwa manusia tidak akan mampu menghitung berapa banyak nikmat Allah, apalagi mensyukurinya.

Disebutkan dalam shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah saw. bersabda:”Ya Allah, bagi-Mu segala puji yang tiada seorang pun dapat memenuhi maupun menjaganya, dan kami pun sangat memerlukannya, wahai Rabb kami.”

Dan diriwayatkan dalam sebuah atsar, bahwa Dawud as. berkata: “Ya Rabb, bagaimanakah aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedang syukurku kepada-Mu itu adalah nikmat dari-Mu kepadaku?” Maka Allah berfirman: “Sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku wahai Dawud.” Maksudnya, (engkau telah bersyukur) ketika engkau mengakui bahwa engkau tidak dapat memenuhi syukur yang sepatutnya kepada Pemberi nikmat.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Segala puji bagi Allah yang tidak dapat dipenuhi syukur atas salah satu nikmat yang telah diberikan-Nya itu, kecuali dengan nikmat baru yang harus disyukuri pula.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Hijr ayat 28-33

22 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Hijr
Surah Makkiyyah; surah ke 15:99 ayat

tulisan arab alquran surat al hijr ayat 28-33“28. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, 29. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. 30. Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama, 31. kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu. 32. Allah berfirman: “Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?” 33. berkata Iblis: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (al-Hijr: 28-33)

Allah menyebutkkan isyarat-Nya dengan menyebutkan Adam di tengah-tengah para malaikat sebelum diciptakannya, dan Allah memberikan kemuliaan kepada Adam dengan memerintahkan Malaikat supaya bersujud kepadanya. Dan menyebutkan keengganan iblis, musuh Adam, bersujud di antara malaikat, disebabkan rasa dengki, kufur/ingkar, keras kepala, sombong dan membanggakan kebathilan. Karena itu iblis berkata: lam akul li asjuda libasyarin khalaqtaHuu min shalshaalim min hama-im masnuun (“Aku sekali-sekali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering [yang berasal] dari tanah lumpur yang diberi bentuk.”) sebagaimana ia berkata: “Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api dan menciptakan dia dari tanah.” (al-A’raaf: 12)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 33-34

16 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 33-34“Tidak ada yang ditunggu-tunggu orang kafir selain dari datangnya para Malaikat kepada mereka atau datangnya perintah Rabbmu. Demikianlah yang telah diperbuat oleh orang-orang (kafir) sebelum mereka. Dan Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang selalu menganiaya diri mereka sendiri. (QS. 16:33) Maka mereka ditimpa oleh (akibat) kejahatan perbuatan mereka dan mereka diliputi oleh adzab yang selalu mereka perolok-olokkan. (QS. 16:34)” (an-Nahl: 33-34)

Allah Ta’ala berfirman seraya memberi ancaman terhadap orang-orang musyrik atas bertahannya mereka dalam kebathilan, dan terperdayanya mereka dengan dunia, tidak ada yang ditunggu-tunggu oleh mereka, kecuali Malaikat yang mendatangi mereka untuk mencabut ruh mereka. Qatadah berkata: au ya’tiya amru rabbika (“Atau datangnya perintah Rabbmu,”) maksudnya hari Kiamat dan apa yang mereka saksikan dari yang sangat menakutkan.

Dan firman Allah: kadzaalika fa’alal ladziina min qabliHim (“Demikianlah yang diperbuat oleh orang-orang [kafir] sebelum mereka,”) maksudnya demikian pula pendahulu-pendahulu, teman-teman dan kawan-kawan mereka yang berkepanjangan dalam kemusyrikan, sehingga mereka mencicipi siksa Allah dan menepati adzab dan hukuman.

Wa maa dhalama HumullaaHu (“Dan Allah tidak menganiaya mereka,”) karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi alasan dan mendirikan dalil-dalil kepada mereka dengan mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Nya.

Walaakin kaanuu anfusaHum yadhlimuun (“Akan tetapi merekalah yang selalu menganiaya diri mereka sendiri,”) maksudnya dengan menentang para Rasul dan mendustakan apa yang dibawa para Rasul itu. Maka dari itu mereka ditimpa siksa Allah atas kejahatan mereka sendiri. Wa haaqa biHim (“Dan mereka diliputi,”) maksudnya siksa yang sangat pedih meliputi mereka; maa kaanuu biHii yastaHzi-uun (“Adzab yang selalu mereka olok-olokkan,”) maksudnya mereka mengejek para Rasul bila para Rasul itu mengancam mereka dengan siksa Allah.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 33

13 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 33“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara dhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Israa’: 33)

Allah berfirman seraya melarang pembunuhan terhadap jiwa tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syari’at, sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab ash-Shahihain, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah (yang haq) selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah kecuali dengan tiga alasan, yaitu: jiwa dengan jiwa, seorang laki-laki beristeri yang berbuat zina, dan orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan dalam kitab as-Sunan juga diriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Bagi Allah, hilangnya dunia ini lebih ringan dibandingkan dengan pembunuhan terhadap seorang muslim.”

Dan firman-Nya: wa man qutila madhluuman faqad ja’alnaa li waliyyiHii sulthaanan (“Dan barangsiapa dibunuh secara dhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya.”) Yaitu kekuasaan ahli waris untuk memilih dalam hukumannya bagi si pembunuh, bila ia kehendaki dapat dijatuhkan hukuman bunuh, juga dapat dimaafkan dengan membayar diyat (tebusan), dan juga dapat memaafkan tanpa tebusan, yakni dengan tidak menuntut ganti rugi. Sebagaimana hal itu telah ditegaskan dalam as-Sunnah.

Dan firman-Nya: wa laa yusrif fil qatli (“Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.”) Para ahli tafsir mengatakan, artinya, si wali tidak boleh berlebih-lebihan dalam membunuh si pembunuh tersebut, yakni dengan menuntut hukum qishash (hukum balas membunuh) kepada yang tidak membunuh.

innaHuu kaana manshuuran (“Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”) Maksudnya, si ahli waris itu mendapat pertolongan atas si pembunuh keluarganya, baik menurut syari’at maupun menurut kebiasaan, juga menuntut ketetapan takdir.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 33-34

2 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 33-34“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (QS. 3:33) (Sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetabui.” (QS. 3:34)

Allah swt. memberitahukan bahwa Dia telah memilih beberapa keluarga atas keluarga lainnya di belahan bumi ini. Dia memilih Adam yang Dia telah menciptakannya dengan tangan-Nya sendiri dan ditiupkan ruh-Nya kepadanya, serta memerintahkan para Malaikat bersujud kepadanya. Dia juga mengajarkan kepadanya nama segala sesuatu dan menempatkannya di Surga, kemudian menurunkannya dari Surga, yang dalam peristiwa tersebut mengandung hikmah.

Selanjutnya Allah juga memilih Nuh as. dan menjadikannya Rasul pertama yang diutus kepada penduduk bumi ini, pada saat manusia menyembah berhala dan menyekutukan-Nya, yang mana Dia tidak pernah menurunkan hujjah untuk itu. Lalu Allah mengadzab (mereka, untuk membela Nabi Nuh) ketika dia telah lama terjun di tengah-tengah mereka, menyeru mereka ke jalan Allah pada siang dan malam hari, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, namun hal itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Kemudian Nuh mendo’akan kejelekan (kebinasaan) atas mereka, maka Allah pun menenggelamkan mereka, tidak ada yang selamat kecuali orang-orang yang mengikuti agama yang dibawanya.

Setelah itu Allah memilih keluarga Ibrahim, yang di antara keluarganya adalah Nabi Muhammad, manusia paling mulia, penutup para Nabi. Juga memilih keluarga `Imran. Yang dimaksud dengan `Imran di sini adalah ayah Maryam binti `Imran, ibu `Isa bin Maryam.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 31-33

9 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 31-33“31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” 32. mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 33. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (al-Baqarah: 31-33)

Inilah maqam (situasi) dimana Allah menyebutkan kemuliaan Adam atas para malaikat karena Dia telah mengkhususkannya dengan mengajarkannya nama-nama segala sesuatu yang tidak diajarkan kepada para malaikat. Hal itu terjadi setelah mereka [para malaikat] sujud kepadanya lalu Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui.

Adapun Allah swt, menyebutkan “maqam ” ini setelah firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui,” karena adanya relevansi antara maqam ini dan ketidaktahuan para malaikat tentang hikmah penciptaan khalifah tatkala mereka bertanya tentang hal tersebut, maka Allah pun memberitahu mereka bahwa Dia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Oleh karena itu setelah Allah menyebutkan maqam ini untuk menerangkan kepada mereka kemuliaan yang dimiliki Adam, karena ia telah diutamakan memperoleh ilmu atas mereka, Allah pun berfirman: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya.”

Yang benar, Allah mengajari Adam nama segala macam benda, baik dzat, sifat, maupun af’al (perbuatannya). Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, yaitu nama segala benda dan af’al yang besar maupun yang kecil. Oleh karena itu, Dia berfirman, “Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat.” Yakni memperlihatkan nama-nama itu sebagaimana yang dikatakan oleh Abdur Razak, dari Ma’mar, dari Qatadah: “Kemudian Allah mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat.”

Firman-Nya, “Sebutkanlah kepada-Ku nama bendy-benda tersebut, jika kamu memang orang-orang yang benar.”

Mengenai firman-Nya, in kuntum shaadiqiin (“jika kalian memang orang-orang yang benar,”) dari Ibnu Abbas, adh-Dhahhak mengatakan, artinya, jika kalian memang mengetahui bahwa Aku tidak menjadikan khalifah di muka bumi. As-Suddi meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, Murrah, Ibnu Mas’ud, dan dari beberapa orang sahabat: “Jika kalian benar bahwa anak cucu Adam itu akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah.”

Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling tepat dalam hal ini adalah penafsiran Ibnu Abbas dan orang-orang yang sependapat dengannya, artinya yaitu Allah swt. berfirman: “Sebutkanlah nama-nama benda yang telah Aku perlihatkan kepada kalian, hai para malaikat yang mempertanyakan: `Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?’ Yaitu dari kalangan selain kami, Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu?’ Jika ucapan kalian itu benar bahwa jika Aku menciptakan khalifah di muka bumi ini selain dari golongan kalian ini, maka ia dan semua keturunannya akan durhaka kepada-Ku, membuat kerusakan, dan menumpahkan darah. Dan jika Aku menjadikan kalian sebagai khalifah di muka bumi, maka kalian akan senantiasa mentaati-Ku, mengikuti semua perintah-Ku, serta menyucikan diri-Ku. Maka jika kalian tidak mengetahui nama-nama benda yang telah Aku perlihatkan kepada kalian itu, padahal kalian telah menyaksikannya, berarti kalian lebih tidak mengetahui akan sesuatu yang belum ada dari apa-apa yang nantinya bakal terjadi.

“Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telab Engkau beritahukan kepada kami. Sesungguhnya Engkau yangMahamengetahui lagi Maha-bijaksana.” Inilah penyucian dan pembersihan bagi Allah yang dilakukan oleh para malaikat bahwasanya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya kecuali dengan kehendak-Nya, dan bahwa mereka tidak akan pernah mengetahui sesuatu kecuali apa yang telah diajarkan-Nya.

Oleh karena itu mereka berkata, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau beritahukan kepada kami. Sesungguhnya Engkau yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” Artinya, Dia Mahamengetahui segala sesuatu dan Mahabijaksana dalam penciptaan, perintah, pengajaran dan pencegahan terhadap apa-apa yang Engkau kehendaki. Bagi-Mu hikmah dan keadilan yang sempurna. “SubhaanallaaH” menurut riwayat Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Abbas, artinya penyucian Allah terhadap diri-Nya sendiri dari segala keburukan.

Umar ra pernah mengatakan kepada Ali dan para sahabat yang ada bersamanya, “Laa Ilaaha Illa Allah (tiada Ilah yang hak selain Allah), kami telah mengetahuinya. Lalu apa itu Subhanallah?” Maka Ali pun berkata kepadanya, “Itulah kalimat yang disukai dan diridhai Allah untuk diri-Nya sendiri serta Dia sukai untuk diucapkan.”

Firman Allah : “Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah itu diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: ‘bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”‘

Zaid bin Aslam mengatakan, Adam berkata: “Engkau ini Jibril, engkau Mikail, engkau Israfil, dan seluruh nama-nama, sampai pada burung gagak.”

Mengenai firman Allah : “Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda,” Mujahid mengatakan yakni nama-nama burung Merpati, burung gagak, dan nama-nama segala sesuatu.

Setelah keutamaan Adam atas malaikat ini terbukti dengan menyebutkan segala nama yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya, maka Allah berfirman kepada para malaikat: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”

Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling tepat mengenai hal itu adalah pendapat Ibnu Abbas, bahwa makna firman-Nya: “Dan Aku mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan, ” Yaitu selain pengetahuan-Ku mengenai segala hal yang ghaib di langit dan di bumi, Aku juga mengetahui apa yang kalian nyatakan melalui lisan kalian dan apa yang kalian sembunyikan dari-Ku, baik itu apa yang kalian sembunyikan atau kalian perlihatkan secara terang-terangan. Yang mereka tampakkan melalui lisan mereka adalah ucapan mereka, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya.” Sedangkan yang dimaksud dengan apa yang mereka sembunyikan, ialah apa yang disembunyikan oleh Iblis untuk menyalahi (perintah) Allah dan angkuh untuk menaatiNya.

Lebih lanjut Ibnu Jarir mengemukakan, hal ini dibenarkan sebagaimana masyarakat Arab suka mengucapkan, “Pasukan telah terbunuh dan terkalahkan.” Padahal yang terbunuh dan terkalahkan adalah satu atau sebagiannya saja. Lalu berita tentang satu orang yang terkalahkan dan terbunuh itu dinyatakan sebagai berita kekalahan kelompok mereka secara keseluruhan.

Contohnya firman Allah “Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu dari luar kamar(mu).” (QS.’Al-Hujuraat: 3). Disebutkan bahwa yang memanggil itu sebenarnya hanyalah satu orang saja dari Bani Tamim. Demikian juga, lanjut Ibnu Jarir, firman Allah: dan apa yang kamu sembunyikan.”

&