Tag Archives: 50

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 50-51

12 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 50-51“Dan penghuni Neraka menyeru penghuni Surga: ‘Limpahkanlah kepada kami sedikit air, atau makanan yang telah dirizkikan Allah kepadamu’ Mereka (penghuni Surga) menjawab: ‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya atas orang-orang kafir, (QS. 7:50) (yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda-gurau dan kehidupan dunia telah menipu mereka.’ Maka pada hari itu (Kiamat ini), Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami. (QS. 7:51)” (al-A’raaf: 50-51)

Allah memberitahukan mengenai kehinaan para penghuni Neraka, dan juga permintaan mereka akan minuman dan makanan dari para penghuni Surga. Diberitahukan juga bahwa mereka tidak diberi apa yang mereka minta.

Mengenai firman Allah: wa naadaa ash-haabun naari ash-haabal jannati an afiidluu ‘alainaa minal maa-i au mimmaa razaqakumullaaHu (“Dan penghuni Neraka menyeru penghuni Surga: ‘Limpahkan kepada kami air atau apa yang telah diberikan Allah kepadamu.’”) As-Suddi mengatakan: “Yakni makanan.”
Sedangkan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Mereka meminta makanan dan minuman kepada para penghuni Surga.”

Ats-Tsauri mengatakan dari ‘Utsman ats-Tsaqafi, dari Sa’id bin Jubair, mengenai ayat ini, ia berkata: “Seseorang berseru kepada ayahnya atau saudaranya seraya berteriak: ‘Aku telah terbakar, karenanya curahkan kepadaku sedikit air.’ Maka dikatakan kepada mereka (para penghuni Surga): ‘Jawablah mereka.’ Maka mereka pun berkata: innallaaHa harrama Humaa ‘alal kaafiriin (“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu bagi orang-orang yang kafir.”)

Selanjutnya Allah menyifati orang-orang kafir dengan apa yang mereka jadikan perilaku selama di dunia, yaitu tindakan mereka menjadikan agama sebagai permainan belaka, serta tertipunya mereka oleh dunia, perhiasan dan kemewahannya, sehingga mereka lupa akan amal untuk akhirat yang telah diperintahkan kepada mereka.

Dan firman-Nya: fal yauma nansaaHum kamaa nasuu liqaa-a yaumiHim Haadzaa (“Maka pada hari [Kiamat] ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini.”) Artinya, Allah memperlakukan mereka sebagaimana perlakuan mereka yang melupakan, karena Allah tidak menyimpang dari ilmu-Nya sedikit pun dan tidak pula Ia melupakannya.

Sebagaimana yang Allah firmankan yang artinya berikut ini: “Di dalam sebuah kitab, Rabbku tidak akan salah dan tidak pula lupa.” (QS. Thaahaa: 52). Apa yang Allah firmankan ini adalah sebagai balasan timbal-balik.
As-Suddi mengatakan: “Kami abaikan mereka dari rahmat, sebagaimana mereka dahulu telah mengabaikan untuk beramal guna menghadapi pertemuan pada hari ini.”

Dalam hadits shahih disebutkan bahwasannya Allah Ta’ala berfirman kepada seorang hamba pada hari Kiamat kelak: “Bukankah Aku telah menikahkanmu? Bukankah Aku telah memuliakanmu? Dan bukankah Aku telah menundukkan buat kalian unta, kuda dan memberimu kesempatan untuk memimpin dan bersenang-senang?” Maka si hamba itu berkata: “Benar.” Kemudian Allah bertanya: “Apakah kamu mengira akan bertemu dengan-Ku?” Si hamba itu menjawab: “Tidak.” Dan Allah Ta’ala pun berfirman: “Maka pada hari ini Aku akan melupakanmu, sebagaimana kamu telah melupakan-Ku.” (HR. Muslim dalam kitab [bab] az-Zuhud [2947])

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 50-52

30 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 50-52“Dan kepada kaum ‘Aad (Kami utus) saudara mereka Huud. Ia berkata: ‘Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain Allah. Kamu hanyalah mengada-adakan saja. (QS. 11:50) Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?’ (QS. 11:51) Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu, lalu taubatlah kepada-Nya, niscaya Allah menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan Allah akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.’ (QS. 11:52)” (Huud: 50-52)

Allah berfirman: wa (“Dan”) sungguh telah kami utus: ilaa ‘aadin akhaaHum Huudan (“Kepada kaum Aad [Kami utus] saudara mereka, Huud.”) Supaya memerintahkan mereka beribadah hanya kepada Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dan melarang mereka dari beribadah kepada berhala-berhala yang mereka ada-adakan dan memberi nama dengan nama-nama Ilah, memberitahukan kepada mereka bahwa dia (Huud as) tidak meminta dari mereka upah atas nasihat dan penyampaian dari Allah ini, akan tetapi dia hanya mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala yang telah menciptakannya. Apakah kamu tidak berfikir; orang yang mengajakmu kepada perbaikan dunia dan akhirat tanpa mengharapkan upah, kemudian dia menyuruh mereka untuk memohon ampunan yang dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu dan bertaubat dari dosa yang sedang mereka hadapi.

Barangsiapa memiliki sifat ini, maka Allah memudahkan kepadanya rizkinya juga menggampangkan urusannya dan memelihara keadaannya. Untuk itu Allah berfirman: yursilis samaa-a ‘alaikum midraaran (“Niscaya Allah menurunkan hujan yang sangat deras atasmu.”)

Dalam hadits disebutkan: “Barangsiapa yang senantiasa memohon ampunan, maka Allah menjadikan untuknya dari setiap kesedihan ada kelapangan, dan dari setiap kesempitan ada jalan keluar dan memberinya rizki (dari jalan/jumlah) yang tidak terduga.” (HR. Abu Dawud [No. 1581], Ibnu Majah [No. 3819])

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 50-53

27 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 50-53“Raja berkata: ‘Bawalah dia kepadaku.’ Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf. ‘Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Rabbku, Mahamengetahui tipu daya mereka.’ (QS. 12:50) Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): ‘Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?’ Mereka berkata: “Mahasempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya.’ Berkata isteri al-`Aziz: ‘Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.’ (QS. 12:51) (Yusuf berkata): ‘Yang demikian itu agar dia (al-`Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. (QS. 12:52) Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Mahapengampun lagi Mahapenyayang.’ (QS. 12:53)” (Yusuf: 50-53)

Allah berfirman memberitakan tentang raja setelah mereka datang membawa ta’bir mimpi yang mengagumkan itu, sehingga raja dapat mengetahui keutamaan Yusuf, ilmunya, pengetahuannya yang baik tentang impian sang raja, budi pekertinya yang baik terhadap warga negaranya, maka raja berkata: iituunii biHi (“Bawalah dia kepadaku”) maksudnya keluarkan dia dari penjara dan bawalah dia kemari.

Setelah utusan raja mendatanginya dan meminta hal itu, Yusuf menolak untuk keluar dari penjara kecuali setelah raja dan rakyat memastikan bahwa dia bersih dari tuduhan dan tetap terjaga kehormatannya dari tuduhan berbuat serong dengan isteri al-‘Aziz, dan penjara itu bukan sebagai balasan dari perbuatannya akan tetapi akibat kedhaliman dan pelanggaran terhadap dirinya. Ia (Yusuf) mengatakan: irji’ ilaa rabbika (“Kembalilah kepada tuanmu.”)

Terdapat hadits-hadits yang isinya memuji atas sikapnya itu, dan mengingatkan akan keutamaan, kemuliaan, ketinggian martabat, dan kesabaran Yusuf as.

Dalam al-Musnad (Ahmad) dan ash-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) terdapat hadits yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari Sa’id dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kami lebih pantas ragu dari Ibrahim ketika berkata: ‘Ya Rabbku, perlibatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati,’ dan semoga
Allah memberikan rahmat kepada Luth, ia berlindung kepada tiang yang kuat, dan seumpama aku tinggal di penjara seperti Yusuf, pasti aku menyambut undangan raja itu.”

Firman Allah: qaala maa khath-bukunna idz raawadtunna yuusufa ‘an nafsiHi (“Raja berkata [kepada wanita-wanita itu]: ‘Bagaimana keadaan kalian ketika kalian menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya [kepada kalian]?”) Memberitakan tentang raja ketika mengumpulkan wanita-wanita yang melukai tangan mereka rumah isteri al-‘Aziz. Maka raja bertanya kepada mereka semuanya, sedang sebenarnya dia menunjukkan pertanyaan itu kepada isteri al-‘Aziz, menterinya.

Raja bertanya kepada mereka: qaala maa khath-bukunna idz raawadtunna yuusufa ‘an nafsiHi (“Raja berkata [kepada wanita-wanita itu]: ‘Bagaimana keadaan kalian ketika kalian menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya [kepada kalian]?”) ketika kalian dijamu isteri al-`Aziz?

Qulna haasyallaaHi maa ‘alimnaa ‘alaiHi min suu-i (“Mereka berkata: ‘Mahasempurna Allah, kami tia’da mengetahui sesuatu keburukan dari padanya.’”) Maksudnya, perkataan wanita-wanita itu sebagai jawaban atas pertanyaan sang raja: “Mahasuci Allah, tidak pantas Yusuf menjadi tertuduh, demi Allah kami tidak mengetahui suatu keburukan pun pada dirinya.”

Maka ketika itu: qaalatim ra-atul ‘aziizil aana hash-hashal haqqu (“Istri al-‘Aziz segera berkata: ‘Sekarang jelaslah kebenaran itu.’”)
Ibnu ‘Abbas, Muhahid dan lain-lain berkata: “Dia mengatakan, sekarang kebenaran sudah jelas, gamblang, dan nampak.’”

Ana raawadadtuHuu ‘an nafsiHi wa innaHuu laminash shaadiqiin (“Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya [kepadaku], dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.”) yakni benar dalam perkataannya (Yusuf as.): “Dia (isteri al-‘Azizlah) yang menggodaku untuk menundukkan diriku.”

Dzaalika liya’lama annii lam akhunHu bilghaiib (“Yang demikian itu agar dia [al- Aziz] mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya.”) maksudnya, ia mengatakan bahwa mengakui hal itu agar suaminya mengetahui bahwa ia tidak mengkhianatinya secara diam-diam dan sementara itu juga belum terjadi dosa besar yang telarang, tetapi ia hanya sekedar menggoda pemuda itu namun dia menolak, oleh sebab mengaku supaya diketahui bahwa ia bebas dari tuduhan berselingkuh.

Wa annallaaHa laa yaHdii kaidal khaa-iniina wa maa ubarri-u nafsii (“Dan bahwasannya Allah tidak meridlai tipu daya orang-orang yang berkhianat. Dan aku tidak membebaskan diriku [dari kesalahan]”), Isteri al-‘Aziz mengatakan: “Aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena memang nafsu itu selalu membisikkan dan mengharapkan, oleh karena itu aku telah menggodanya, karena:
Innan nafsa la-ammaratum bis-suu-i illaa maa rahima rabbii (“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku.”) yaitu yang dijaga oleh Allah. Inna rabbii laghafuurur rahiim (“Sesungguhnya Rabbku Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”)

Pendapat inilah yang lebih terkenal, lebih cocok dan lebih sesuai dengan rangkaian kisah ini dan dengan makna kalimat.

Pendapat demikian disampaikan oleh al-Mawardi dalam tafsirnya, dan didukung oleh Imam Abul `Abbas bin Taimiyyah rahimahullah dalam buku tersendiri yang ditulisnya. Tetapi ada yang mengatakan bahwa perkataan itu dari Yusuf as, ia mengatakan: dzaalika liya’lama annii lam akhunHu (“Agar ia mengetahui bahwa aku tidak mengkhianatinya”) terhadap isterinya; bilghaiib (“Dengan diam-diam”) dan seterusnya sampai akhir dua ayat. Yakni, aku menolak utusan raja itu agar raja tahu bahwa aku bebas dari tuduhan tersebut, dan supaya al-‘Aziz mengetahui bahwa: annii lam akhunHu (“aku tidak mengkhianatinya”) dengan berbuat serong dengan isterinya ketika dia tidak ada di rumah; Wa annallaaHa laa yaHdii kaidal khaa-iniina wa maa ubarri-u nafsii (“Dan bahwasannya Allah tidak meridlai tipu daya orang-orang yang berkhianat.”)

Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim hanya menyebutkan pendapat ini saja. Sedangkan pendapat pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena konteks pembicaraan di atas, semuanya merupakan perkataan dari isteri al-‘Aziz yang diucapkan di hadapan raja, sementara Yusuf ketika itu belum hadir bersama mereka, tetapi ia baru dipanggil menghadap raja setelah itu.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 48-50

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 48-50“Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri. (QS. 16:48) Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para Malaikat, sedang mereka (Malaikat) tidak menyombongkan diri. (QS. 16:49) Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (QS. 16:50)” (an-Nahl: 48-50)

Allah Ta’ala memberitahukan tentang keagungan, kemuliaan, dan kebesaran-Nya yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya, dan segala suatu termasuk makhluk secara keseluruhan harus taat, baik benda mati, binatang maupun yang mendapatkan beban syari’at dari kalangan manusia, jin, dan Malaikat. Dia memberitahukan bahwa segala yang memiliki bayangan yang berbolak-balik ke kanan dan ke kiri atau pagi dan sore hari, maka sesungguhnya dengan bayangannya itu ia dalam keadaan tunduk kepada Allah Ta’ala (Sunnatullah). Mujahid mengatakan: “Jika matahari terbenam, maka segala sesuatu bersujud kepada Allah.

Firman-Nya: wa Hum daakhiruuna ( “Sedang mereka berendah diri.”) yakni dalam keadaan kecil. Mujahid juga mengatakan: “Sujudnya (tunduknya) segala sesuatu itu ialah bayangannya,” dan dia pun menyebutkan gunung-gunung. Dia mengatakan: “Sujudnya gunung-gunung itu adalah bayangannya. Allah menempatkan semuanya itu dalam posisi makhluk yang berakal jika kata sujud itu ditujukan kepada benda-benda, di mana Dia berfirman: wa lillaaHi yasjudu maa fis samaawaati wa maa fil ardli min daabbatin (“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi.”)

Firman-Nya: wal malaa-ikatu wa Hum laa yastakbiruun (“Dan [juga] para Malaikat, sedang mereka [Malaikat] tidak menyombongkan diri.”) Maksudnya, para Malaikat itu bersujud kepada Allah. Artinya, mereka tidak merasa sombong untuk beribadah kepada-Nya. yakhaafuuna rabbaHum min fauqiHim (“Mereka takut kepada Rabb mereka yang berkuasa atas mereka,”) maksudnya, mereka bersujud dalam keadaan takut,dan malu kepada Rabb yang Mahaperkasa lagi Mahamulia. Wa yaf’aluuna maa yu’maruun (“Dan melaksanakan apa yang diperintahkan [kepada mereka].”) Yakni, mereka benar-benar mentaati-Nya dan menjalankan semua perintah-Nya serta meninggalkan semua larangan-Nya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 49-52

13 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 49-52“Dan mereka berkata: ‘Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah benar kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?’ (QS. 17:49) Katakanlah: ‘Jadilah kamu sekalian batu atau besi, (QS. 17:50) atau suatu kejadian yang sangat besar dalam pikiranmu.’ Maka mereka akan bertanya: ‘Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?’ Katakanlah: ‘Yang telah menciptakanmu pada kali yang pertama.’ Lalu mereka akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata: ‘Kapan itu (akan terjadi)?’ Katakanlah: ‘Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat,’ (QS. 17:51) yaitu pada hari Dia memanggilmu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (QS. 17:52)” (al-Israa’: 49-52)

Allah berfirman seraya menceritakan tentang orang-orang kafir yang mengingkari terjadinya hari akhirat, dengan nada mengingkarinya mereka mengajukan pertanyaan: a idzaa kunnaa ‘idhaaman wa rufaatan (“Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur.”) Yakni, menjadi tanah.
Demikian yang dikemukakan oleh Mujahid. `Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas, yakni menjadi debu.

A innaa lamab’uutsuuna khalqan jadiidan (“Apakah benar kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?”) Yakni pada hari Kiamat, setelah kami hancur dan jadilah kami tidak berwujud. Lalu Allah menyuruh Rasulullah agar memberikan jawaban kepada mereka, di mana Dia berfirman: qul kuunuu hijaaratan au hadiidan (“Katakanlah: ‘Jadilah kamu sekalian batu atau besi.’”) Karena keduanya (batu dan besi) merupakan dua hal yang lebih kuat daripada
tulang dan tanah. Au khalqam mimmaa yakburu fii shuduurikum (“Atau kejadian yang sangat besar dalam pikiranmu.”)

Ibnu Ishaq menceritakan dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Ibnu `Abbas mengenai hal tersebut, maka ia menjawab: ‘Yaitu kematian.’”

`Athiyyah juga meriwayatkan dari Ibnu `Umar, dalam menafsirkan ayat ini, ia berkata: “Seandainya kalian itu mati, niscaya Aku (Allah) akan menghidupkan kalian semua.” Dan hal itu berarti, seandainya kalian dalam keadaan mati, niscaya jika menghendaki Allah Ta’ala akan menghidupkan kalian, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya jika Dia sudah menghendaki.

Dan mengenai firman Allah: Au khalqam mimmaa yakburu fii shuduurikum (“Atau kejadian yang sangat besar dalam pikiranmu.”) Mujahid mengemukakan: “Yakni langit, bumi dan gunung.”

Dalam tafsir yang diriwayatkan dari Imam Malik, dari az-Zuhri, mengenai firman-Nya ini, Nabi bersabda, Malik berkata, mereka berkata, yaitu kematian.

Dan firman Allah Ta’ala: fasayaquuluuna may yu’iidunaa (“Maka mereka akan bertanya: ‘Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?’”) Maksudnya, siapakah yang akan menghidupkan kita kembali jika kami sudah menjadi batu atau besi atau makhluk lain yang sangat kokoh?

Qulil ladzii fatharakum awwala marratin (“Katakanlah: ‘Yang telah menciptakanmu pada kali yang pertama.’”) Yaitu Yang telah menciptakan kalian, padahal kalian belum pernah ada sebelumnya. Setelah itu kalian menjadi manusia yang tersebar dimana-mana. Maka sesungguhnya Dia mampu untuk menghidupkan kalian kembali meskipun kalian telah berubah menjadi bentuk apa pun dan dalam keadaan bagaimana pun, Sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Dan Dialah yang menciptakan manusia dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagiNya.” (QS. Ar-Ruum: 27)

Firman Allah Ta’ala selanjutnya: fasayunghidluuna ilaika ru-uusaHum (“Lalu mereka akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu.”) Ibnu `Abbas dan Qatadah berkata: “Mereka menggerakkan kepala mereka sebagai bentuk pengejekan.”

Apa yang dikemukakan oleh keduanya itulah yang diketahui oleh bangsa Arab sebagai bagian dari bahasa mereka, karena kata al-in ghaadl berarti gerakan dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah.

Dan firman Allah Ta’ala: fayaquuluuna mataa Huwa (“Dan berkata: ‘Kapan itu [akan terjadi]?’”) Yang demikian itu merupakan pemberitahuan tentang mereka atas penolakan mereka akan terjadinya kebangkitan. Dan firman-Nya: qul ‘asaa ay yakuuna qariiban (“Katakanlah: ‘Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat.”) Maksudnya, berhati-hatilah karena yang demikian sudah sangat dekat dengan kalian, dan itu pasti akan mendatangi kalian. Dan semua yang akan datang itu pasti tiba.

Firman-Nya lebih lanjut: yauma yad’uukum (“Yaitu pada hari Dia memanggilmu,”) yakni, Rabb yang Mahasuci lagi Mahatinggi. Dan panggilan itu hanya sekali perintah saja supaya bangkit. Tiba-tiba orang-orang pun keluar dari dalam bumi, sebagaimana yang difirmankan Nya: yauma yad’uukum fatastajibuuna bihamdiHi (“Yaitu pada hari Dia memanggilmu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya.”) Maksudnya, kalian semua menyahut sebagai jawaban terhadap perintah-Nya sekaligus sebagai bentuk ketaatan terhadap kehendak-Nya.

`Ali bin Abi Thalhah bercerita, dari Ibnu `Abbas: “Kalimat fatastajiibuuna bihamdiHi, yakni menjawab terhadap perintah-Nya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Juraij.
Sedangkan Qatadah mengemukakan: “Yaitu mereka menjawab sesuai dengan ma’rifat dan ketaatan terhadap-Nya.”

Sebagian mereka ada yang mengatakan: “Yaitu pada hari Dia memanggilmu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya.” Yakni, bagi-Nya segala puji dalam keadaan bagaimana pun.

Dan firman-Nya: wa tadhunnuuna (“Dan kamu mengira,”) yakni, pada hari kalian bangkit dari kubur kalian; il labitstum (“Bahwa kamu tidak berdiam,”) yakni di dunia; illaa qaliilan (“Kecuali sebentar saja.”) Seperti firman Allah Ta’ala: “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan sebentar saja pada waktu sore atau pagi hari.” (QS. An-Naazi’aat: 46)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 50-51

9 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 50-51“Kalau kamu melihat ketika Para Malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): ‘Rasakan olehmu siksa neraka yang membakar.” (Tentulah kamu akan merasa ngeri) (QS. 8:50) Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya. (QS. 8 : 51) (al-Anfaal: 50-51)

Allah berfirman: “Hai Muhammad, jika engkau melihat dengan nyata keadaan ketika para Malaikat mencabut nyawa orang-orang kafir, niscaya engkau akan menyaksikan suatu perkara yang sangat besar lagi dahsyat mengerikan, di mana mereka dipukuli wajah dan bagian belakang mereka, seraya mengatakan kepada mereka: wa dzuuquu ‘adzaabal hariiq (“Rasakanlah siksa yang membakar.”)

Ibnu Juraij menceritakan dari Mujahid: adbaaraHum (“Belakang mereka”) berarti bokong mereka.” Ia mengatakan: “Hal itu terjadi dalam perang Badar.”

Redaksi ayat ini, meskipun sebab turunnya adalah (pada) perang Badar, tetapi ia berstatus umum, mencakup setiap orang kafir. Oleh karena itu Allah Ta’ala tidak mengkhususkan bagi orang-orang yang ikut perang Badar, justru Allah berfirman: wa lau taraa idz yatawaffal ladziina kafarul malaa-ikatu yadl-ribuuna wujuuHaHum wa adbaaraHum (“Kalau kamu melihat ketika para Malaikat mencabut jiwa orang-oiang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka.”)

Dan dalam surat tentang peperangan juga disebutkan hal yang sama. Hal itu telah dikemukakan sebelumnya dalam surat Aal-An’aam, yaitu firman-Nya yang artinya: “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat pada waktu orang-orang yang dhalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya [sambil berkata], ‘Keluarkanlah nyawa kalian.’” (QS. Al-An’aam: 93)

Maksudnya, para Malaikat itu mengulurkan tangan mereka untuk memukul mereka atas perintah dari Rabb mereka, di mana mereka benar-benar kesulitan dan nyawa mereka pun tidak mau keluar dari jasad. Oleh karena itu dikeluarkan melalui tekanan-tekanan. Dan para Malaikat itu menyampaikan berita mengerikan tentang adzab dan murka dari Allah. Oleh Karananya, Allah memberitahukan bahwa para Malaikat mengatakan kepada mereka: “Rasakanlah adzab yang membakar.”

Dan firman-Nya: dzaalika bimaa qaddamat aidiikum (“Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri.”) Maksudnya, balasan tersebut disebabkan oleh perbuatan buruk yang pernah mereka kerjakan semasa hidup di dunia. Semogaa Allah Jalla wa ‘Alaa membalas kalian dengan balasan tersebut.

Wa annallaaHa laisa bidhallaamil lil ‘abiid (“Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya.”) Maksudnya, Allah tidak akan mendhalimi seorang pun dari makhluk-Nya. Bahkan justru Allahlah yang Mahabijaksana dan Mahaadil, di mana Allah Ta’ala tidak akan berbuat dhalim, Allah Mahasuci, Mahaterjaga dari sifat-sifat kurang, Mahakaya dan Mahaterpuji.

Oleh karena itu di dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, dari Abu Dzar dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kedhaliman atas diri-Ku sendiri dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling berbuat zhalim… Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya hal itu merupakan amal perbuatan kalian, yang akan Aku perhitungkan untuk kalian. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapatkan selain dari itu (keburukan), maka hendaklah ia tidak mencela melainkan dirinya sendiri.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu Allah berfirman:

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 49-50

17 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 49-50
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 49-50Dan (ingatlab) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabb-mu. (QS. Al-Baqarah: 49) Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan. (QS. Al-Baqarah: 50)

Allah berfirman: “Hai Bani Israil, ingatlah nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian, yaitu ketika Kami selamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, yang telah menimpakan siksaan yang sangat berat.”
Yaitu, Aku telah menyelamatkan kalian dari mereka dan membebaskan kalian dari tangan mereka, dengan ditemani Musa as, padahal dahulu Fir’aun dan para pengikutnya menimpakan adzab yang sangat hebat kepada kalian.

Hal itu mereka lakukan karena Fir’aun yang dilaknat Allah itu pernah bermimpi yang sangat merisaukannya. la bermimpi melihat api yang keluar dari Baitul Maqdis. Kemudian api itu memasuki rumah orang-orang Qibti di Mesir kecuali rumah Bani Israil. Makna mimpi tersebut adalah bahwa kerajaannya akan lenyap binasa melalui tangan seseorang yang berasal dari kalangan Bani Israil. Kemudian disusul laporan dari orang-orang dekatnya saat membicarakan hal itu, bahwa Bani Israil sedang menunggu lahirnya seseorang bayi laki-laki di antara mereka, yang karenanya mereka akan meraih kekuasaan dan kedudukan tinggi.

Demikianlah yang diriwayatkan dalam hadits yang membahas tentang fitnah. Sejak saat itu, Fir’aun pun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil yang dilahirkan setelah mimpi itu, dan membiarkan bayi-bayi perempuan tetap hidup. Selain itu, Fir’aun juga memerintahkan agar mempekerjakan Bani Israil dengan berbagai pekerjaan berat dan hina.

Dalam ayat ini al-‘adzab ditafsirkan dengan penyembelihan anak laki-laki. Sedangkan pada surat Ibrahim, disebutkan dengan kata sambung “wa” (dan), sebagaimana pada firman-Nya: “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan anak-anakmu yang perempuan tetap hidup.” (QS. Ibrahim: 6). Penafsiran mengenai hal ini akan dikemukakan pada awal surat al-Qashash, insya Allah, dengan memohon pertolongan dan bantuan-Nya.

Kata “yaasuumuunakum” kartinya menimpakan kepada kalian, demikian dikatakan Abu Ubaidah. Dikatakan: saamaHu khuththatun khasfin, artinya perkara/urusan yang hina (aib) telah menimpanya.
Amr bin Kaltsum mengatakan: Jika sang raja menimpakan kehinaan kepada manusia, kita enggan dan menolak kehinaan di tengah kita.

Yasuumuunakum; Ada juga yang mengartikan dengan memberikan siksaan yang terus menerus. Sebagaimana kambing yang terus digembala disebut “saa-imatal ghanami”. Demikian yang dinukil oleh al-Qurthubi.

Di sini Allah ft- berfirman, “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan,” tiada lain sebagai penafsiran atas nikmat yang diberikan kepada mereka yang terdapat dalam firman-Nya, “Mereka menimpakan kepada kamu siksaan yang seberat-beratnya.” Ditafsirkan demikian karena di sini Allah berfirman, “Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu.”

Sedang dalam surat Ibrahim, ketika Dia berfirman, “Dan-ingatlah mereka kepada hari-hari Allah.” Maksudnya, berbagai nikmat-Nya yang telah diberikan ke ada mereka. Maka tepatlah jika disebutkan disana, “Mereka menimpakan keadan kalian siksaan yang seberat-beratnya. Mereka meyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan anak-anakmu yang perempuan tetap hidup.” Disambungkannya hal itu dengan penyembelihan untuk menunjukkan betapa banyak nikmat yang telah diberikan kepada Bani Israil.

Fir’aun merupakan gelar bagi setiap raja Mesir yang kafir, baik yang berasal dari bangsa Amalik maupun lainnya. Sebagaimana Kaisar merupakan gelar bagi setiap raja yang menguasai Romawi dan Syam dalam keadaan kafir. Demikian halnya dengan Kisra yang merupakan gelar bagi Raja Persia. Juga Tubba’ bagi penguasa Yaman yang kafir. Najasyi bagi Raja Habasyah. Dan Petolemeus yang merupakan gelar Raja India.

Dikatakan, bahwa Fir’aun yang hidup pada masa Musa as bernama Walid bin Mush’ab bin Rayyan. Ada juga yang menyebut, Mush’ab bin Rayyan. Ia berasal dari silsilah Imlik bin Aud bin Iram bin Sam bin Nuh, julukannya adalah Abu Murrah, aslinya berasal dari Persia, dari ‘Asthakhar. Bagaimanapun, Fir’aun adalah dilaknat Allah.

Firman-Nya, “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian yang besar dari Rabbmu,” Ibnu Jarir mengatakan: “Artinya, dalam tindakan Kami menyelamatkan nenek moyang kalian dari siksaan Fir’aun dan para pengikutnya mengandung ujian yang besar dari Rabb kalian. Ujian itu bisa berupa kebaikan dan bisa juga keburukan.” Sebagaimana firman Allah keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (QS. Al-Anbiyaa’: 35)

Demikian juga dengan firman-Nya: “Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik–baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). ” (QS. Al-A’raaf: 168).

Ibnu Jarir mengatakan, kata yang sering digunakan untuk menyatakan ujian dengan keburukan adalah balautuHu, ab-luuHu, bilaa-an. Yang digunakan untuk ujian dengan kebaikan adalah ib-liiHi, ib-laa-an, wa balaa-an. Zuhair bin Abi Salma pernah bersyair:

Allah akan memberikan balasan kebaikan atas apa yang mereka berdua
perbuat terhadap kalian.
Dan membalas mereka berdua dengan sebaik-baik balasan yang menguji.

Di sini dia menggabungkan dua versi bahasa, yang mengandung makna bahwa Allah mengaruniai mereka berdua sebaik-baik nikmat yang Dia ujikan kepada para hamba-Nya.

Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud dengan firman Allah “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian.” Merupakan isyarat pada keadaan di mana mereka menerima siksaan yang menghinakan dengan disembelihnya anak laki-laki, dan dibiarkan hidup anak bayi perempuan. Al-Qurthubi mengatakan: ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Firman Allah: “Dan ingatlah ketika Kami belah lautan untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan para pengikutnya, sedang kamu sendiri menyaksikannya.”

Artinya, setelah Kami menyelamatkan kalian dari Fir’aun dan para pengikutnya, lalu kalian berhasil keluar dan pergi dari Mesir bersama Musa as, maka Fir’aun pun pergi mencari kalian. Kemudian Kami belah lautan untuk kalian. Sebagaimana hal itu telah diberitahukan Allah swt. secara rinci, yang insya Allah akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya antara lain di Surat Asy-Syu’ara’.

Firman-Nya, “Lalu Kami selamatkan.” Artinya, Kami bebaskan kalian dari kejaran mereka dan Kami pisahkan antara kalian dengan mereka hingga akhirnya Kami tenggelamkan mereka, sedang kalian menyaksikan sendiri peristiwa tersebut, agar hal itu dapat menjadi pengobat hati kalian dan menjadi hinaan yang mendalam bagi musuh-musuh kalian.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Ibnu Abbas ra, ia menceritakan, Setelah Rasulullah sampai di Madinah, kemudian beliau menyaksikan orang-orang Yahudi mengerjakan puasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau pun bersabda:
“Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya ?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa as pun berpuasa padanya.” Rasulullah pun bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada kalian.” Kemudian beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya berpuasa padanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Majah.)

&

50. Surah Qaaf

28 Nov

Pembahasan Tentang Surat-Surat Al-Qur’an (Klik di sini)
Tafsir Ibnu Katsir (Klik di sini)

Surat Qaaf terdiri atas 45 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah diturunkan sesudah surat Al Murssalaat. Dinamai Qaaf karena surat ini dimulai dengan huruf Qaaf. Menurut hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, bahwa Rasulullah SAW senang membaca surat ini pada rakaat pertama sembahyang subuh dan pada shalat hari raya. Sedang menurut riwayat Abu Daud, Al Baihaqy dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW membaca surat ini pada tiap-tiap membaca Khutbah pada hari Jum’at. Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa surat QAAF sering dibaca Nabi Muhammad SAW di tempat-tempat umum, untuk memperingatkan manusia tentang kejadian mereka dan nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya, begitu pula tentang hari berbangkit, hari berhisab, syurga, neraka, pahala, dosa, dsb. Surat ini dinamai juga Al Baasiqaat, diambil dari perkataan Al- Baasiqaat yang terdapat pada ayat 10 surat ini.

Pokok-pokok isinya :

1. Keimanan:
Setiap manusia pada hari kiamat akan hadir di padang mahsyar diiring- kan oleh dua orang malaikat, yang seorang sebagai pengiringnya, dan yang seorang lagi sebagai saksi atas segala perbuatannya di dunia. Kebangkitan manusia dari kubur digambarkan sebagai tanah yang kering, setelah disirami hujan hidup kembali; Allah lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya sendiri; tiap-tiap manusia didampingi oleh malaikat yang selalu mencatat segala perbuatannya; Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa.

2. Hukum-hukum:
Anjuran bertasbih dan bertahmid kepada Tuhan pada waktu-waktu malam sebelum terbit dan terbenam matahari dan sesudah mengerjakan shalat. Perintah Allah kepada Rasul-Nya agar memberi peringatan dengan ayat- ayat Al Quran kepada orang yang beriman; anjuran memperhatikan kejadian langit dan bumi.

3. Dan lain-lain:
Keingkaran orang-orang musyrik terhadap kenabian dan hari berbangkit; hiburan kepada Nabi Muhammad SAW agar jangan berputus asa dalam meng- hadapi keingkaran orang-orang kafir Mekkah, karena rasul-rasul dahulu juga menghadapi keingkaran kaumnya masing-masing; Al Quran adalah sebagai peringatan kepada orang-orang yang takut kepada ancaman Allah.
Sebagaimana halnya surat-surat Makkiyah pada umumnya, maka surat Qaaf mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan kebangkitan, syurga dan neraka, mengemukakan bahwa keingkaran orang-orang kafir kepada Nabi itu adalah wajar, karena rasul-rasul dahulu juga diingkari dan didustakan oleh umat-umatnya.

HUBUNGAN SURAT QAAF DENGAN SURAT ADZ DZAARIYAAT
1. Pada surat Qaaf disebutkan hal-hal mengenai hari berbangkit, pembalasan, syurga dan neraka; sedang surat Adz Dzaariyaat dimulai dengan menerangkan bahwa semua itu adalah benar dan pembalasan pada hari kiamat itu benar akan terlaksana.
2. Pada surat Qaaf disebutkan secara sepintas lalu pembinasaan umat-umat dahulu yang mendustakan rasul-rasul sedang pada surat Adz Dzaariyaat diterangkan keadaan mereka dengan agak terperinci.