Tag Archives: 53

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 52-53

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 52-53“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang orang yang beriman. (QS. 7:52) Tiadalah mereka menunggu-nunggu, kecuali (terlaksananya kebenaran) al-Qur’an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan al-Qur’an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: ‘Sesungguhnya telah datang Rasul-Rasul Rabb kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa’at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amal-kan?’ Sesungguhnya mereka telah merugikan diri sendiri dan telah lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan. (QS. 7:53)” (al-A’raaf: 52-53)

Allah berfirman, memberitahukan mengenai alasan-Nya yang diberikan kepada orang-orang musyrik, yaitu berupa pengutusan para Rasul dan pemberian al-Kitab kepada mereka. Yaitu Kitab yang memberikan penjelasan secara rinci dan jelas. Yang demikian itu sama seperti firman-Nya yang artinya: “Sebuab Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi, serta dijelaskan secara terperinci.” (QS. Huud: 1)

Firman-Nya selanjutnya: fashshalnaaHu ‘alaa ‘ilmin (“Yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami.”) Kepada orang-orang yang berilmu. Maksudnya, berdasarkan pada ilmu yang berasal dari Kami yang telah Kami jelaskan secara terperinci. Penggalan ayat tersebut sama seperti firman-Nya yang artinya: “Allah menurunkannya (al-Kitab) dengan ilmu-Nya.” (QS. an-Nisaa’:’ 166)

Ibnu Jarir mengatakan, ayat ini tertolak oleh firman-Nya yang artinya berikut ini:
“Ini adalab sebuab Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya.” (QS. Al-A’raaf: 2)
Dan juga firman-Nya: laqad ji’naaHum bikitaabin (“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab kepada mereka.”)

Apa yang dikatakan Ibnu Jarir tersebut masih perlu pertimbangan, yaitu bahwa penjelasan itu di luar pembahasan dan tidak mempunyai landasan. Yang jelas bahwa setelah Allah Ta’ala memberitahukan kerugian yang mereka derita di akhirat kelak, Allah menyebutkan bahwa Allah telah menjauhkan alasan mereka di dunia dengan mengutus para Rasul kepada mereka dan juga menurunkan kitab-kitab. Yang demikian itu sama seperti firman-Nya yang berikut ini, yang artinya: “Dan Kami (Allah) tidak akan mengadzab mereka, sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (QS. Al-Israa’: 15)

Oleh karena itu Allah berfirman: Hal yandhuruuna illaa ta’wiilaHu (“Tidaklah mereka menunggu-nunggu, kecuali [terlaksananya kebenaran] al-Qur’an itu.”) Maksudnya, apa yang dijanjikan kepada mereka, yaitu berupa adzab, siksaan, Surga dan Neraka. Demikian dikatakan oleh Mujahid dan ulama-ulama lainnya. Sedangkan Imam Malik mengatakan: “Yaitu balasannya.”

Ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, “Senantiasa akan datang kebenaran demi kebenaran dari al-Qur’an itu, sehingga datang hari hisab (perhitungan), sehingga para penghuni Surga masuk Surga, dan para penghuni Neraka masuk Neraka. Maka pada hari itu, tuntaslah kebenaran al-Qur’an itu.”

Firman-Nya: yauma ta’tii ta’wiiluHu (“Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan al-Qur’an itu.”) Yaitu hari Kiamat. Demikian dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra.
Yaquulul ladziina nasuuHu min qablu (“Berkatalah orang-orang yang melupakan sebelum itu.”) Maksudnya, mereka yang tidak mau mengamalkannya dan bahkan melupakannya di dunia.

Qad jaa-at rusulu rabbinaa bil haqqi faHal lanaa min syufa-‘aa-a fayasyfa’uu lanaa (“Sesungguhnya telah datang para Rasul Rabb kami membdwa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberi syafa’at kepada kami.”) yaitu, menyelamatkan kami dari apa yang sedang kami alami ini. Aw nuraddu (“Atau dapatkah kami dikembalikan [ke dunia].”)

Fa na’mala ghairal ladzii kunnaa na’malu qad khasiruu anfusaHum wa dlalla ‘anHum maa kaanuu yaftaruun (“’Sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami kerjakan?’ Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyap pula dari mereka apa yang mereka ada-adakan.”) Artinya, mereka benar-benar telah merugikan diri mereka sendiri dengan masuknya mereka dan kekalnya mereka di dalam Neraka.

wa dlalla ‘anHum maa kaanuu yaftaruun (“Dan telah lenyap pula dart mereka apa yang mereka ada-adakan.”) Maksudnya, apa yang mereka ibadahi selain Allah, telah lenyap dari diri mereka, sehingga mereka tidak memperoleh syafa’at, tidak mendapatkan pertolongan dan tidak pula terselamatkan dari apa yang sedang mereka alami.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yunus ayat 53-54

5 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Yunus
Surah Makkiyyah; surah ke 10: 109 ayat

tulisan arab alquran surat yunus ayat 53-54Dan mereka menanyakan kepadamu: “Benarkah (adzab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: ‘Ya, demi Rabbku, sesungguhnya adzab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya).’ (QS. 10:53) Dan kalau setiap diri yang dhalim (musyrik) itu mempunyai segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka menyembunyikan penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan adzab itu. Dan telah diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. 10:54)” (Yunus: 53-54)

Allah berfirman, bahwasanya mereka akan mencari berita darimu (Muhammad): ahaqqun Huwa (“Benarkah [adzab yang dijanjikan] itu?”) Maksudnya, hari Kiamat dan kebangkitan dari kubur setelah mayat-mayat menjadi debu; qul ii wa rabbii innaHuu lahaqquw wa maa antum bimu’jiziin (“Katakanlah: ‘Ya, demi Rabbku, sesungguhnya adzab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput [daripadanya].’”) Maksudnya, keberadaanmu menjadi debu tidaklah membuat Allah tidak mampu (sulit) untuk mengembalikanmu, sebagaimana Allah menjadikanmu ada dari tidak ada, maka: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Allah menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ Maka jadilah ia.”) (QS. Yaasiin: 82)

Ayat ini (QS. Yunus: 53) tidak ada kesamaan dalam al-Qur’an kecuali pada dua ayat lainnya. Allah Ta’ala menyuruh Rasul-Nya untuk bersumpah dengan nama-Nya atas orang yang mengingkari hari Kiamat, dalam Surat Saba’: “’Dan orang-orang kafir berkata: ‘Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami.’ Katakanlah: ‘Pasti datang, demi Rabbku sungguh ia akan mendatangi kalian.’”) (Saba’: 3)

Dan dalam Surat at-Taghaabun:
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghaabun: 7)

Kemudian Allah Ta’ala memberi kabar, bahwa sesungguhnya jika Kiamat telah datang, orang yang kafir lebih senang jika adzab Allah itu ditebus dengan emas sepenuh bumi; wa asarrun nadaamata lammaa ra-awul ‘adzaaba wa qudliya bainaHum bilqisthi (“Dan mereka menyembunyikan penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan adzab itu, dan telah diberi keputusan di antara mereka dengan adil.”) Maksudnya, dengan haq. Wa Hum laa yudh-lamuun (“Sedang mereka tidak dianiaya.”)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 53-56

30 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 53-56“Kaum ‘Aad berkata: ‘Hai Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan ilah-ilah kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayaimu. (QS. 11:53) Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian ilah kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.’ Huud inenjawab: ‘Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian, bahwa sesungguhnya aku berlepas-diri dari apa yang kamu persekutukan, (QS. 11:54) dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu-dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. (QS. 11:55) Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Allahlah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.’ (QS. 11:56)” (Huud: 53-56)

Allah memberi kabar, bahwa mereka berkata kepada Nabi mereka: maa ji’tanaa bibayyinati (“Kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.”) maksudnya, dengan dalil dan bukti atas apa yang kamu dakwahkan. Wa maa nahnu bitaarikii aaliHatinaa ‘an qaulika (“Dan kami sekali-sekali tidak akan meninggalkan ilah-ilah kami karena perkataanmu.”) Maksudnya, hanya dengan ucapanmu: “Tinggalkanlah ilah-ilah itu” lalu kami meninggalkannya?

Wa maa nahnu laka bimu’miniin (“Dan kami sekali-sekali tidak akan mempercayaimu”) Tidak akan membenarkan. In naquulu illa’taraaka ba’dlu aaliHatinaa bisuu-in (“Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian ilah kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.”) Mereka berkata: “Kami tidak menyangka kecuali bahwa sebagian ilah kami telah menimpamu dengan membuatmu gila dan membuat kerusakan pada akalmu disebabkan laranganmu untuk beribadah kepadanya dan penghinaanmu terhadapnya.”

Innii usyHidullaaHa wasyHaduu annii barii-um mimmaa tusyrikuuna min duuniHii (“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian, bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari segala sekutu-sekutu dan berhala-berhala itu.”) fakiiduunii jamii’an (“Sebab itu jalankanlah tipu dayamu semua kepadaku.”) maksudnya lakukanlah tipu daya itu oleh kalian dan oleh tuhan-tuhanmu, jika kalian berada di pihak yang benar. Tsumma laa tundhiruun (“Dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”) maksudnya sekejap mata pun.

Firman-Nya: innii tawakkaltu ‘alallaaHi rabbii wa rabbakum maa min daabbatin illaa Huwa aakhidzum binaashiyatiHaa (“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Rabbku dari Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Allahlah yang memegang ubun-ubunnya.”) Maksudnya, di bawah kekuasaan-Nya dan perintah-Nya. Allahlah Hakim yang Mahaadil, yang tidak ada kedhaliman dalam hukum-Nya, karena sesungguhnya Allah berada di atas jalan yang lurus.

Al-Walid bin Muslim berkata dari Shafwan bin `Amr, dari Aifa’ bin Abdul Kala’i, sesungguhnya dalam firman Allah Ta’ala: maa min daabbatin illaa Huwa aakhidzum binaashiyatiHaa inna rabbii ‘alaa shiraathim mustaqiim (“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Rabbku dari Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Allahlah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus,”) dia berkata: “Maka Allah menarik ubun-ubun hamba-hamba-Nya, lalu Allah menuntun orang mukmin sehingga Allah lebih sayang kepadanya daripada sayangnya seorang ayah terhadap anaknya, dan Allah Ta’ala berfirman, “Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka)terhadap Rabbmu yang Mahapemurah.” (QS. Al-Infithaar: 6)

Dakwah dan tantangan Huud as. terhadap berhala-berhala mereka memuat hujjah (bukti) yang nyata dan dalil yang pasti atas kebenaran apa yang didatangkan kepada mereka dan atas kebathilan perbuatan mereka yang berupa peribadahan kepada berhala-berhala yang tidak memberi manfaat dan tidak juga membuat bahaya, akan tetapi berhala-berhala itu adalah benda mati yang tidak mendengar dan tidak melihat, tidak melindungi dan tidak melawan, yang berhak untuk diibadahi hanyalah Allah raja, tidak ada sekutu bagi-Nya, yang kerajaan ada di tangan-Nya dan Allahlah yang mengatur, tidak ada sesuatu apa pun kecuali berada di bawah kerajaan-Nya, ketentuan-Nya dan kekuasaan-Nya, maka tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah dan tidak ada Rabb selain-Nya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 50-53

27 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 50-53“Raja berkata: ‘Bawalah dia kepadaku.’ Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf. ‘Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Rabbku, Mahamengetahui tipu daya mereka.’ (QS. 12:50) Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): ‘Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?’ Mereka berkata: “Mahasempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya.’ Berkata isteri al-`Aziz: ‘Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.’ (QS. 12:51) (Yusuf berkata): ‘Yang demikian itu agar dia (al-`Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. (QS. 12:52) Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Mahapengampun lagi Mahapenyayang.’ (QS. 12:53)” (Yusuf: 50-53)

Allah berfirman memberitakan tentang raja setelah mereka datang membawa ta’bir mimpi yang mengagumkan itu, sehingga raja dapat mengetahui keutamaan Yusuf, ilmunya, pengetahuannya yang baik tentang impian sang raja, budi pekertinya yang baik terhadap warga negaranya, maka raja berkata: iituunii biHi (“Bawalah dia kepadaku”) maksudnya keluarkan dia dari penjara dan bawalah dia kemari.

Setelah utusan raja mendatanginya dan meminta hal itu, Yusuf menolak untuk keluar dari penjara kecuali setelah raja dan rakyat memastikan bahwa dia bersih dari tuduhan dan tetap terjaga kehormatannya dari tuduhan berbuat serong dengan isteri al-‘Aziz, dan penjara itu bukan sebagai balasan dari perbuatannya akan tetapi akibat kedhaliman dan pelanggaran terhadap dirinya. Ia (Yusuf) mengatakan: irji’ ilaa rabbika (“Kembalilah kepada tuanmu.”)

Terdapat hadits-hadits yang isinya memuji atas sikapnya itu, dan mengingatkan akan keutamaan, kemuliaan, ketinggian martabat, dan kesabaran Yusuf as.

Dalam al-Musnad (Ahmad) dan ash-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) terdapat hadits yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari Sa’id dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kami lebih pantas ragu dari Ibrahim ketika berkata: ‘Ya Rabbku, perlibatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati,’ dan semoga
Allah memberikan rahmat kepada Luth, ia berlindung kepada tiang yang kuat, dan seumpama aku tinggal di penjara seperti Yusuf, pasti aku menyambut undangan raja itu.”

Firman Allah: qaala maa khath-bukunna idz raawadtunna yuusufa ‘an nafsiHi (“Raja berkata [kepada wanita-wanita itu]: ‘Bagaimana keadaan kalian ketika kalian menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya [kepada kalian]?”) Memberitakan tentang raja ketika mengumpulkan wanita-wanita yang melukai tangan mereka rumah isteri al-‘Aziz. Maka raja bertanya kepada mereka semuanya, sedang sebenarnya dia menunjukkan pertanyaan itu kepada isteri al-‘Aziz, menterinya.

Raja bertanya kepada mereka: qaala maa khath-bukunna idz raawadtunna yuusufa ‘an nafsiHi (“Raja berkata [kepada wanita-wanita itu]: ‘Bagaimana keadaan kalian ketika kalian menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya [kepada kalian]?”) ketika kalian dijamu isteri al-`Aziz?

Qulna haasyallaaHi maa ‘alimnaa ‘alaiHi min suu-i (“Mereka berkata: ‘Mahasempurna Allah, kami tia’da mengetahui sesuatu keburukan dari padanya.’”) Maksudnya, perkataan wanita-wanita itu sebagai jawaban atas pertanyaan sang raja: “Mahasuci Allah, tidak pantas Yusuf menjadi tertuduh, demi Allah kami tidak mengetahui suatu keburukan pun pada dirinya.”

Maka ketika itu: qaalatim ra-atul ‘aziizil aana hash-hashal haqqu (“Istri al-‘Aziz segera berkata: ‘Sekarang jelaslah kebenaran itu.’”)
Ibnu ‘Abbas, Muhahid dan lain-lain berkata: “Dia mengatakan, sekarang kebenaran sudah jelas, gamblang, dan nampak.’”

Ana raawadadtuHuu ‘an nafsiHi wa innaHuu laminash shaadiqiin (“Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya [kepadaku], dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.”) yakni benar dalam perkataannya (Yusuf as.): “Dia (isteri al-‘Azizlah) yang menggodaku untuk menundukkan diriku.”

Dzaalika liya’lama annii lam akhunHu bilghaiib (“Yang demikian itu agar dia [al- Aziz] mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya.”) maksudnya, ia mengatakan bahwa mengakui hal itu agar suaminya mengetahui bahwa ia tidak mengkhianatinya secara diam-diam dan sementara itu juga belum terjadi dosa besar yang telarang, tetapi ia hanya sekedar menggoda pemuda itu namun dia menolak, oleh sebab mengaku supaya diketahui bahwa ia bebas dari tuduhan berselingkuh.

Wa annallaaHa laa yaHdii kaidal khaa-iniina wa maa ubarri-u nafsii (“Dan bahwasannya Allah tidak meridlai tipu daya orang-orang yang berkhianat. Dan aku tidak membebaskan diriku [dari kesalahan]”), Isteri al-‘Aziz mengatakan: “Aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena memang nafsu itu selalu membisikkan dan mengharapkan, oleh karena itu aku telah menggodanya, karena:
Innan nafsa la-ammaratum bis-suu-i illaa maa rahima rabbii (“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku.”) yaitu yang dijaga oleh Allah. Inna rabbii laghafuurur rahiim (“Sesungguhnya Rabbku Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”)

Pendapat inilah yang lebih terkenal, lebih cocok dan lebih sesuai dengan rangkaian kisah ini dan dengan makna kalimat.

Pendapat demikian disampaikan oleh al-Mawardi dalam tafsirnya, dan didukung oleh Imam Abul `Abbas bin Taimiyyah rahimahullah dalam buku tersendiri yang ditulisnya. Tetapi ada yang mengatakan bahwa perkataan itu dari Yusuf as, ia mengatakan: dzaalika liya’lama annii lam akhunHu (“Agar ia mengetahui bahwa aku tidak mengkhianatinya”) terhadap isterinya; bilghaiib (“Dengan diam-diam”) dan seterusnya sampai akhir dua ayat. Yakni, aku menolak utusan raja itu agar raja tahu bahwa aku bebas dari tuduhan tersebut, dan supaya al-‘Aziz mengetahui bahwa: annii lam akhunHu (“aku tidak mengkhianatinya”) dengan berbuat serong dengan isterinya ketika dia tidak ada di rumah; Wa annallaaHa laa yaHdii kaidal khaa-iniina wa maa ubarri-u nafsii (“Dan bahwasannya Allah tidak meridlai tipu daya orang-orang yang berkhianat.”)

Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim hanya menyebutkan pendapat ini saja. Sedangkan pendapat pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena konteks pembicaraan di atas, semuanya merupakan perkataan dari isteri al-‘Aziz yang diucapkan di hadapan raja, sementara Yusuf ketika itu belum hadir bersama mereka, tetapi ia baru dipanggil menghadap raja setelah itu.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 51-55

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 51-55“Allah berfirman: ‘Janganlah kamu menyembah dua ilah; sesungguhnya Dialah Rabb Yang Mahaesa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut.’ (QS. 16:51) Dan kepunyaan-Nyalah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nyalah ketaatan itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah (QS. 16:52) Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. (QS. 16:53) Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu daripadamu, tiba-tiba sebahagian daripada kamu mempersekutukan Rabbnya dengan (yang lain), (QS. 16:54) biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka; maka bersenang-senanglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (QS. 16:55)” (an-Nahl: 51-55)

Allah Ta’ala memberitahukan bahwasanya Dia adalah Rabb yang tiada Ilah melainkan hanya Dia semata, dan sesungguhnya tidak selayaknya ibadah itu dilakukan kecuali hanya untuk-Nya semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Sebab, Dia adalah Pemilik dari Pencipta segala sesuatu dan juga Pemeliharanya.

Wa laHud diinu waashiban (“Dan untuk-Nyalah ketaatan itu selama-lamanya.”) Ibnu `Abbas, Mujahid, `Ikrimah, Maimun bin Mihran, as-Suddi, Qatadah, dan lain-lainnya mengatakan: “Yakni, untuk selama-lamanya.”

Dari Ibnu `Abbas juga: “Yakni wajib.” Mujahid mengatakan: “Yakni, murni hanya karena-Nya. Artinya, ibadah itu hanya ditujukan kepada-Nya semata, dari semua makhluk yang ada di langit dan bumi.” Mengenai ungkapan Mujahid tersebut, maka ia termasuk dalam bab tuntutan, yakni, takutlah kalian untuk menyekutukan diri-Ku, dan tulus ikhlaskan ketaatan hanya untuk-Ku. Yang demikian itu seperti firman-Nya: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 3)

Kemudian Dia memberitahukan bahwa Dia adalah Pemilik manfaat dan mudharat. Dan bahwasanya segala macam rizki, kenikmatan, kesehatan, dan kemenangan yang ada pada hamba-hamba-Nya adalah anugerah-Nya yang Dia limpahkan kepada mereka sekaligus sebagai bentuk kebaikan-Nya kepada mereka.

Tsumma idzaa massakumudl-durru fa ilaiHi taj-aruun (“Dan bila kalian ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya kalian meminta pertolongan.”) Maksudnya, hal itu
seperti yang kalian ketahui bahwasanya tidak ada satu pihak pun yang mampu menghapuskan mudharat itu kecuali hanya Dia semata. Dan pada saat darurat, kalian berlindung kepada-Nya, memohon kepada-Nya, terus-menerus berharap kepada-Nya, serta meminta pertolongan kepada-Nya.

Dia berfirman: tsumma idzaa kasyafadl dlurra ‘ankum idzaa fariiqum minkum birabbiHim yusyrikuun. Liyakfuruu bimaa aatainaaHum (“Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu daripadamu, tiba-tiba sebahagian daripada kamu mempersekutukan Rabbnya dengan (yang lain). Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka.”)

Ada yang mengatakan: “Huruf laam di sini dimaksudkan sebagai laamul ‘aaqibah (yang berarti akibat).” Ada juga yang menyatakan bahwa laam itu adalah laam ta’lil (sebab), dengan pengertian, hal itu Kami biarkan mereka mengingkari, yakni menutupi dan menolak bahwa semuanya itu adalah nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka. Dialah yang telah melimpahkan berbagai nikmat kepada mereka, dan yang menghilangkan berbagai kesengsaraan dari diri mereka.

Selanjutnya, Allah Ta’ala mengancam mereka seraya berfirman: fatamatta’uu (“Maka bersenang-senanglah kalian,”) maksudnya, berbuatlah sekehendak hati kalian dan bersenang-senanglah dengan apa yang ada pada kalian dalam waktu yang tidak lama; fasaufa ta’lamuun (“Kelak kamu akan mengetahui,”) yaitu, akbat perbuatan kalian tersebut.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 53

13 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 53“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.’” (QS. Al-Israa’: 53)

Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi memerintahkan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad supaya beliau menyuruh hamba-hamba-Nya yang beriman agar dalam perbincangan dan omongan mereka selalu mengucapkan kata-kata yang benar dan kata-kata yang baik, karena jika mereka tidak melakukan hal itu, niscaya syaitan akan mengacaukan (di antara) mereka dan
mengantarkan mereka kepada kejahatan, perselisihan dan pertikaian. Sesungguhnya syaitan itu merupakan musuh Adam dari anak cucunya, yaitu sejak ia menolak bersujud kepada Adam. Dan permusuhan syaitan itu tampak jelas dan nyata.

Oleh karena itu Allah melarang seorang muslim menunjuk saudaranya dengan besi, karena syaitan akan melepaskan besi itu dari tangannya sehingga mungkin raja akan mengenai saudaranya tersebut.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah: “Tidak seharusnya seseorang di antara kalian menunjuk kepada saudaranya dengan senjata, sesungguhnya ia tidak mengetahui, mungkin saja syaitan akan melepaskannya dari tangannya, maka ia akan terjatuh ke dalam lubang dari neraka.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 53-54

9 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 53-54“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri dan sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui. (QS. 8:53) (Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Rabbnya, maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang dhalim. (QS. 8:54)” (al-Anfaal: 53-54)

Allah memberitahukan tentang keadilan-Nya yang sempurna dalam ketetapan hukum-Nya. Di mana Allah tidak akan merubah nikmat yang dikaruniakan kepada seseorang, melainkan karena dosa yang dilakukannya. Yang demikian itu seperti firman-Nya yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Allah. ” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Dan firman-Nya: kada’bi aali fir’auna (“[Keadaan mereka] serupa dengan keadaan Fir aun dan pengikut pengikutnya.”) Yaitu, seperti apa yang Allah lakukan terhadap Fir’aun dan para pengikutnya, serta orang-orang yang seperti mereka, ketika mereka mendustakan ayat-ayat Allah. Allah binasakan mereka, disebabkan karena dosa-dosa mereka dan Allah cabut kembali nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada mereka, seperti kebun-kebun, mata air, hasil pertanian, simpanan harta benda dan kedudukan yang mulia, serta nikmat yang sedang mereka rasakan. Dalam hal ini, Allah tidak mendhalimi mereka, tetapi justru merekalah orang-orang yang dhalim.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 51-53

17 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 51-53
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 51-53“Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empatpuluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zhalim. (QS. Al-Baqarar: 51) Kemudian sesudah itu Kami ma’afkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur. (QS. 2:52) Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. 2:53)

Allah berfirman: “Ingatlah berbagai nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, yaitu berupa ampunan yang Ku-berikan kepada kalian atas tindakan kalian menyembah anak sapi setelah kepergian Musa untuk waktu yang ditentukan Rabb-Nya, yaitu setelah habis masa perjanjian selama 40 hari.” Itulah perjanjian yang disebutkan dalam Surat al-A’raaf dalam firman-Nya: “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa tiga puluh hari dan Kami menambahnya dengan sepuluh hari.” (QS. Al-A’raaf: 142).

Ada pendapat yang menyatakan, yaitu bulan Dzulqa’dah penuh ditambah dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Hal itu terjadi setelah mereka bebas dari kejaran Fir’aun dan selamat dari tenggelam ke dasar laut.

Firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Kami memberikan al-Kitab kepada Musa.” Yaitu kitab Taurat. Dan “wal furqaan” yaitu kitab yang membedakan antara yang haq dan yang batil, dan [membedakan pula antara] petunjuk dan kesesatan. La’allakum taHtaduun (“agar kalian mendapat petunjuk”). Peristiwa itu juga terjadi ketika mereka berhasil keluar dari laut, sebagaimana yang ditunjukkan oleh konteks dalam ayat yang terdapat dalam surah al-A’raaf, juga firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan al-Kitab (Taurat) kepada Musa sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia, petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat.” (QS. Al-Qashash: 43).

Ada yang berpendapat, “wa” pada ayat tersebut adalah “zaidah” (tambahan), dan artinya, “Kami telah memberikan kepada Musa Kitab al-Furqan. Namun pendapat ini gharib (aneh). Ada juga pendapat yang menyatakan, “wawu “itu adalah “wawu athaf” (kata sambung meskipun bermakna sama). Sebagaimana yang diungkapkan seorang penyair:

Dia menyerahkan kulit kepada orang yang akan mengukirnya
Ternyata kata-katanya hanya dusta dan bualan

Jadi dusta dalam syair di atas juga bermakna kebohongan.

&

53. An-Najm

28 Nov

Pembahasan Tentang Surat-Surat Al-Qur’an (Klik di sini)
Tafsir Ibnu Katsir (Klik di sini)

Surat An Najm terdiri atas 62 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Al Ikhlash. Nama An Najm (bintang), diambil dari perkataan An Najm yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Allah bersumpah dengan An Najm (bintang) adalah karena bintang-bintang yang timbul dan tenggelam, amat besar manfaatnya bagi manusia, sebagai pedoman bagi manusia dalam melakukan pelayaran di lautan, dalam perjalanan di padang pasir, untuk menentukan peredaran musim dan sebagainya.

Pokok-pokok isinya:

1. Keimanan: Al Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dengan perantaraan Jibril a.s. kebatilan penyembah berhala; tak ada seseorangpun memberi syafa’at tanpa izin Allah; tiap-tiap orang hanya memikul dosanya sendiri.

2. Hukum-hukum:
Kewajiban menjauhi dosa-dosa besar; kewajiban bersujud dan menyembah Allah saja;

3. Dan lain-lain:
Nabi Muhammmad s.a.w. melihat malaikat Jibril 2 kali dalam bentuk aslinya, yaitu sekali waktu menerima wahyu pertama dan sekali lagi di Sidratul Muntaha; anjuran supaya manusia jangan mengatakan dirinya suci karena Allah sendirilah yang mengetahui siapa yang takwa kepada-Nya; orang-orang musyrik selalu memperolok-olok- kan Al Quran.
Surat An Najm mengandung hal-hal yang berhubungan dengan penegasan risalah Muhammad s.a.w. dan Al Quran adalah wahyu dari Allah, menerangkan kebatalan berhala-berhala yang disembah orang-orang musyrik yang tidak dapat memberi manfaat dan mudharat, menerangkan sifat orang-orang yang muhsin.
Dan surat ini juga menyebutkan sebahagian hakekat Islam yang tersebut pada Suhuf-suhuf Musa dan Suhuf-suhuf Ibrahim.

Hubungan surat An Najm dan surat Al Qamar
1. Pada akhir surat An Najm disebutkan hal yang mngenai hari kiamat, sedang pada awal surat Al Qamar disebutkan pula hal itu.
2. Dalam surat An Najm disinggung secara sepintas lalu keadaan umat-umat yang terdahulu, sedang pada surat Al Qamar disebutkan pula keadaan umat-umat yang terdahulu yang mendustakan rasul-rasul mereka.