Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Allah menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. Dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. al-A’raaf: 54)
Allah memberitahukan bahwa Allah adalah Rabb yang telah menciptakan alam ini: langit, bumi dan juga seisinya dalam enam hari. Sebagaimana hal itu telah dijelaskan oleh beberapa ayat di dalam al-Qur’an. Keenam hari itu adalah; hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jum’at. Di dalamnya-lah seluruh penciptaan diselesaikan dan di dalamnya pula Adam as. diciptakan.
Para ahli tafsir berbeda pendapat, apakah setiap hari dari keenam hari tersebut sama seperti hari-hari yang ada pada kita sekarang ini ? Ataukah setiap hari itu sama dengan seribu tahun, sebagaimana yang telah dinashkan oleh Mujahid dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan hal itu diriwayatkan dari riwayat adh-Dhahhak dari Ibnu ‘Abbas.
Sedangkan hari Sabtu di dalamnya tidak terjadi penciptaan, karena ia merupakan hari ketujuh. Dan dari itu Pula hari itu dinamakan hari Sabtu, yang berarti pemutusan/penghentian.
Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Abu Hurairah ra, di mana ia berkata: Rasulullah pernah menarik tanganku seraya bersabda:
“Allah menciptakan tanah pada hari Sabtu, Allah menciptakan gunung-gunung di bumi itu pada hari Ahad, menciptakan pepohonan di bumi itu pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang dibenci pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarluaskan binatang pada hari Kamis dan menciptakan Adam setelah Ashar pada hari Jum’at sebagai ciptaan terakhir pada saat paling akhir dari hari Jum’at, yaitu antara waktu Ashar sampai malam.”
(Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim bin al-Hajjaj dalam Shahih Muslim dan Imam an-Nasa’i, dari Hajjaj Ibnu Muhammad al-A’war, dari Ibnu Juraij, yang di dalamnya mengandung pengertian tujuh hari, sedangkan Allah sendiri telah menyebutkan “dalam enam hari”. Oleh karena itu Imam al-Bukhari dan beberapa huffazh berpendapat mengenai hadits ini dan menilainya berasal dari Abu Hurairah, dari Ka’ab al-Ahbar, bukan sebagai hadits marfu’. Wallahu a’lam.)
Sedangkan firman-Nya lebih lanjut: tsummas tawaa ‘alal ‘arsy (“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arsy.”) Mengenai firman Allah Ta’ala ini, para ulama mempunyai pendapat yang sangat banyak sekali. Di sini bukan tempat pemaparannya. Tetapi dalam hal ini kami menempuh jalan para ulama salafus shalih, yaitu Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan imam-imam lainnya, baik yang terdahulu maupun yang hidup pada masa berikutnya. Yaitu dengan membiarkannya seperti apa adanya, tanpa adanya takyif (mempersoalkan kaifiatnya/hakikatnya), tasybih (penyerupaan) dan ta’thil (penolakan).
Dan setiap makna dhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut paham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut terjauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang menyerupai-Nya. Seperti yang difirmankan-Nya yang artinya berikut ini:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Allahlah yang Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Tetapi persoalannya adalah seperti apa yang dikemukakan oleh para imam yang di antaranya adalah Na’im bin Hammad al-Khuza’i guru al-Bukhari, ia mengatakan: “Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia kafir. Dan barangsiapa mengingkari sifat yang telah Allah berikan untuk diri-Nya sendiri, berarti ia juga telah kafir.” Dan tidaklah apa-apa yang telah disifatkan Allah Ta’ala bagi diri-Nya sendiri dan oleh Rasul-Nya merupakan suatu bentuk penyerupaan. Barangsiapa yang menetapkan bagi Allah, setiap apa yang disebutkan oleh ayat-ayat al-Qur’an yang jelas dan hadits-hadits shahih, dengan pengertian yang sesuai dengan kebesaran Allah, serta menafikan segala kekurangan dari diri-Nya, berarti ia telah menempuh jalan petunjuk.
Dan firman-Nya: yughsyil lailan naHaara yathlubuHuu ha-tsii-tsan (“Allah menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.”) Artinya, kegelapan malam menghilangkan cahaya siang dan cahaya siang melenyapkan gelapnya malam. Masing-masing dari keduanya mengikutinya dengan cepat, tidak ada yang terlambat satu dari yang lainnya. Tapi jika salah satu pergi pasti yang lainnya akan muncul dan begitu sebaliknya.
Oleh karena itu, Allah Tabaaraka wa Ta ala berfirman: yathlubuHuu ha-tsii-tsaw wasy syamsa wal qamara wan nujuuma musakhkharaatim bi amriHi (“Yang mengikutinya dengan cepat. dan [Allah juga menciptakan] matahari, bulan dan bintang-bintang [yang masing-masing] tunduk kepada perintah-Nya.”)
Di antara para ulama ada yang menashabkan (membaca dengan harakat fathah) dan ada juga yang merafa’nya (membaca dengan harakat dhammah). Keduanya mempunyai makna yang berdekatan. Artinya, bahwa semuanya itu berada dalam kendali dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, Allah memperingatkan: alaa laHuu khalqu wal amru (“Ingatlah, mencipta dan memerintah itu hanya hak Allah.”) Maksudnya, Allah mempunyai kekuasaan dan kendali. tabaarakallaaHu rabbul ‘aalamiin (“Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.”)
bersambung