Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. 7:55) Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. 7:56)” (al-A’raaf: 55-56)
Allah Tabaaraka wa Ta’ala membimbing hamba-hamba-Nya supaya berdo’a kepada-Nya, yaitu do’a untuk kebaikan mereka di dunia dan akhirat mereka. Di mana Allah berfirman: ud’uu rabbakum ta-dlarru’aw wa khufyatan (“Berdo alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.”) Ada yang mengatakan, maksudnya dengan merendahkan diri dan penuh ketenangan, serta suara lembut. Yang demikian itu adalah seperti firman Allah Ta’ala yang artinya berikut ini: “Dan sebutlah nama Rabbmu dalam hatimu.” (QS. Al-A’raaf: 205)
Dan dalam ash-Shahihain (kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dart Abu Musa al-Asy’ari, ia mengatakan, orang-orang mengangkat suara mereka sambil berdo’a. Kemudian Rasulullah : bersabda:
“Hai sekalian manusia, kasihanilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Rabb yang tuli dan tidak juga jauh. Sesungguhnya yang kalian seru itu adalah Mahamendengar lagi sangat dekat.”
Abdullah Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Mubarak bin Fadhalah, dari al-Hasan, ia berkata, “Dahulu adakalanya seseorang hafal seluruh isi al-Qur’an, tetapi orang-orang tidak mengetahuinya. Ada juga seseorang yang sangat pandai dalam banyak ilmu fiqih, tetapi orang-orang pun tidak menyadarinya. Dan sampai-sampai adakalanya seseorang mengerjakan shalat yang panjang di rumahnya sedangkan ia memiliki tamu, tetapi para tamu itu tidak mengetahuinya. Dan kami telah menyaksikan beberapa kaum yang tidak ada suatu amal di muka bumi ini yang mereka mampu mengerjakannya secara sembunyi-sembunyi, lalu menjadi terang-terangan selamanya. Dan sesungguhnya pada zaman dahulu kaum muslimin berusaha keras dalam berdo’a, sedangkan suara mereka tidak terdengar melainkan hanya bisik-bisik antara mereka dengan Rabb mereka. Yang demikian itu karena Allah telah berfirman: ‘Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.’ Hal itu karena Allah menyebutkan seorang hamba yang shalih (Zakaria) yang Allah ridha pada perbuatannya, Allah berfirman, ‘Yaitu ketika ia berdo’a kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.’” (QS. Maryam: 3)
Ibnu Juraij berkata: “Mengangkat suara, berseru dengan suara keras dan berteriak di dalam do’a adalah makruh hukumnya. Dan diperintahkan untuk berendah diri dan tenang.”
Kemudian diriwayatkan dari ‘Atha’ al-Khurasani, dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah Ta’ala: innaHuu laa yuhibbul mu’tadiin (“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”) Yaitu dalam do’a dan juga dalam hal-hal lainnya.
Mengenai firman Allah Ta’ala: innaHuu laa yuhibbul mu’tadiin (“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”) Abu Mijlaz mengatakan, yaitu dengan tidak meminta kedudukan para Nabi, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Akan ada suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam do’a dan bersuci.” (Demikian pula hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari `Affan, juga dikeluarkan oleh Abu Dawud dari Musa bin Isma’il, dari Hammad bin Salamah, dari Sa’id bin Iyas al-Jurairi, dari Abu Na’amah, dan namanya adalah Qais bin ‘Abayah al-Hanafi al-Bashri. Dan hadits tersebut berisnad hasan la ba’sa bihi [haditsnya bisa dipakai]. Wallahu a’lam.)
Firman Allah selanjutnya: wa laa tufsiduu fil ardli ba’da ishlaahiHaa (“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”) Allah Ta’ala melarang dari melakukan perusakan dan hal-hal yang membahayakannya, setelah dilakukan perbaikan atasnya. Karena jika berbagai macam urusan sudah berjalan dengan baik dan setelah itu terjadi perusakan, maka yang demikian itu lebih berbahaya bagi umat manusia. Maka Allah Ta’ala melarang hal itu, dan memenintahkan hamba-hamba-Nya untuk beribadah, berdo’a dan merendahkan diri kepada-Nya, serta menundukkan diri di hadapan-Nya. Maka Allah pun berfirman: wad’uuHu khaufaw wathama’an (“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut [khawatir tidak diterima] dan harapan [akan dikabulkan].”) maksudnya, takut memperoleh apa yang ada di sisi-Nya berupa siksaan, dan berharap pada pahala yang banyak dari sisi-Nya.
Kemudian Allah berfirman: inna rahmatallaaHi qariibum minal muhsiniin (“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”) artinya rahmat-Nya diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat baik yang mengikuti berbagai perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku itu untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A’raaf: 156)
Dan dalam surah al-A’raaf ayat 56 itu, Allah menggunakan kata “qariibun” dan bukan “qariibatun” karena kata “rahmat” itu mengandung tsawab [pahala] atau karena rahmat itu disandarkan kepada Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman: qariibum minal muhsiniin (“Amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik”)
Mathar al-Warraq mengatakan: “Tuntutlah janji Allah dengan mentaati-Nya, karena Allah telah menetapkan bahwa rahmat-Nya sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik (taat).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim)
bersambung