Tag Archives: 99

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 96-99

26 Jun

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 96-99“96. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. 97. Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 98. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya dan bahwa Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 99. kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” (al-Maa-idah: 96-99)

Dalam sebuah riwayat yang masyur, Ibnu Abbas berkata: “Yang dimaksud dengan buruan laut adalah binatang yang ditangkap dalam keadaan hidup, wa tha’aamuHuu (“dan makanan [yang berasal] dari laut.”) adalah binatang laut yang diambil dalam keadaan telah mati.” Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin ‘Amr, dan Abu Ayyub al-Anshari, juga ‘Ikrimah, Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, Ibrahim an-Nakha’i dan al-Hasan al-Bashri.

Firman Allah: mataa’al lakum wa lis-sayyaarati (“Sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.”) maksudnya sebagai sesuatu yang berguna dan makanan pokok bagi kalian, hai orang-orang yang diajak bicara.

Wa lis-sayyaarati (“Dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.”) kata “sayyaaratun” adalah jamak dari “sayyaarun”.

Ikrimah berkata: “Yaitu bagi orang yang tinggal di sekitar laut dan juga dalam perjalanan.” Sedangkan ulama lain berkata: “Yaitu ikan laut segar bagi orang yang berburu dari kalangan penduduk sekitar laut.” Makanan laut adalah bangkai ikan atau hasil tangkapan yang digarami, dan biasanya dijadikan persediaan bekal oleh para musafir dan orang-orang yang tinggal jauh dari laut. Hal yang sama juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, as-Suddi, dan ulama lainnya.

Jumhur ulama telah menjadikan ayat tersebut sebagai dalil mengenai penghalalan bangkai laut, dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas, dari Ibnu Wahab dan Ibnu Kisan, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulullah pernah mengirim sebuah utusan menuju ke daerah pantai. Beliau mengangkat Ubaidah Ibnul Jarrah untuk memimpin mereka.

Rombongan itu terdiri dari tiga ratus orang, dan aku adalah salah satu dari mereka. maka kami pun berangkat hingga tiba di salah jalan dan kami kehabisan bekal. Lalu Abu Ubaidah memerintahkan untuk mengumpulkan semua bekal pasukan tersebut. Kemudian semuanya itu dikumpulkan dan ternyata yang terkumpul hanya kurma saja. maka Abu Ubaidah menjatahkan kepada kami setiap hari sedikit demi sedikit sampai habis, sehingga yang ada pada kami masing-masing satu butir kurma.

Kami benar-benar membutuhkan pada saat bekal telah habis. Hingga akhirnya tibalah kami di pantai, ternyata ada seekor ikan paus sebesar anak bukit. Kemudian rombongan itu memakan ikan itu selama 18 hari. Selanjutnya Ubaidah menyuruh mengambil dua potong tulang iganya, lalu dipancangkan. Setelah itu ia menyuruh rombongan itu lewat di bawah kedua tulang itu, dan ternyata tidak menyentuhnya.”

(Hadits tersebut terdapat dalam kitab ash-Shahihain melalui jalur dari Jabir)

Sedangkan di dalam Shahih Muslim disebutkan, “Setelah sampai di Madinah, kami langsung menemui Rasulullah saw. lalu kami ceritakan hal itu, maka beliau bersabda: ‘Yang demikian itu adalah rizki yang dikeluarkan Allah untuk kalian. Apakah kalian masih membawa dagingnya untuk kalian berikan kepada kami?’

Selanjutnya kami mengirimkan utusan kepada Rasulullah saw. untuk memberikan beberapa potong daging kepada beliau, maka beliau pun memakannya.”

Malik meriwayatkan dari Shafwan bin Salim, dari Sa’id bin Salamah seorang keturunan Ibnu Azraq, bahwa Mughirah bin Abu Burdah seorang keturunan Bani Abduddar pernah mendengar Abu Hurairah ra berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., orang itu mengatakan: “Ya Rasulallah, kami pernah berlayar mengarungi lautan, dan kami hanya membawa sedikit air. Jika kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Maka Rasulullah pun menjawab: “Air [laut] itu suci, dan bangkainya pun halal.”

(Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta para penulis kitab as-Sunan yang berjumlah empat orang, dan dishahihkan oleh Imam al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan yang lainnya.)

Menurut riwayat an-Nasa’i juga Imam Ahmad dan Abu Dawud, dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah saw. melarang membunuh katak.”

Ulama lainnya berpendapat: binatang buruan laut yang dapat dimakan adalah ikan, dan tidak diperbolehkan memakan katak. Lalu mereka berbeda pendapat tentang binatang selain kedua binatang di atas [ikan dan katak].

Ada juga yang berpendapat bahwa binatang selain kedua hal itu tidak boleh dimakan. Dan ada lagi yang berpendapat, apa yang serupa dengan yang boleh dimakan di darat boleh juga dimakan di laut. Dan apa saja yang serupa tidak boleh dimakan di darat tidak boleh juga dimakan di laut. Semua itu merupakan pendapat-pendapat yang ada di kalangan madzhab Syafi’i.

Adapun Abu Hanifah mengatakan, bangkai binatang laut tidak boleh dimakan, sebagaimana halnya bangkai binatang darat juga tidak boleh dimakan. Yang demikian itu berdasarkan kepada keumuman firman Allah: hurrimat ‘alaikumul maitatu (“Diharamkan bagi kamu [memakan] bangkai.”) (al-Maa-idah: 3)

Jumhur pengikut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan dalil dengan hadits tetang ikan paus yang telah dikemukakan di atas dan dengan hadits Rasulullah saw.: “Air [laut] itu suci dan bangkainya pun halal.”

Allah berfirman: wa harrama ‘alaikum shaidul barri maa dumtum huruman (“Dan diharamkan [menangkap] binatang buruan darat selama kamu dalam ihram.”) yaitu ketika kalian sedang menjalani ihram, kalian diharamkan untuk berburu. Dalam hal ini terdapat dalil yang menunjukkan pengharaman hal itu.

Jadi, jika seseorang yang berihram berburu binatang buruan dengan sengaja, ia berdosa dan harus membayar denda, atau jika membunuhnya karena kelalaian [tidak sengaja], ia harus membayar denda dan diharamkan baginya memakannya, karena baginya binatang itu adalah ibarat bangkai. Demikian halnya bagi yang lainnya dari kalangan orang-orang yang berihram dan yang tidak berihram, menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i pada salah satu dari dua pendapatnya. Dan hal itu juga dikemukakan oleh ‘Atha’, al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan yang lainnya.

Jika ia memakannya atau sebagian darinya, apakah ia harus membayar denda yang kedua kalianya? Mengenai hal ini ada dua pendapat:

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ia harus membayar denda. Abdurrazzaq mengatakan dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’: “Jika ia menyembelih, lalu memakannya, dia harus membayar dua kafarat.” Dan pendapat itu pula yang menjadi pegangan sekelompok ulama.

Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak harus membayar denda karena memakannya. Demikian ditetapkan oleh Imam Malik bin Anas.

Abu Umar bin Abdil Barr berkata: “Pendapat ini merupakan pendapat para fuqaha kota-kota besar dan jumhur ulama.” Kemudian Abu Umar berkomentar terhadap permasalahan, jika seseorang berhubungan badan, lalu ia melakukan hubungan badan lagi, kemudian ia melakukan lagi [ketiga kalinya] sebelum diputuskan baginya hukuman, maka baginya hanya satu hukuman.

Abu Hanifah berkata: “Ia berkewajiban membayar nilai yang setara dengan apa yang ia makan.” wallaaHu a’lam.

Jika orang yang bertahallul berburu binatang buruan, lalu ia memberikannya kepada orang yang berihram, menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dalam sebuah riwayat, dan jumhur ulama berpendapat: orang yang berihram itu tidak boleh memakannya. Hal ini didasarkan pada hadits ash-Sha’b bin Jas-tsamah. Dia pernah menghadiahkan seekor keledai liar kepada Nabi saw ketika beliau sedang berada di Abwa’ atau Waddan. Maka beliau mengembalikannya. Tatkala beliau melihat perubahan raut wajahnya, beliau bersabda:

“Sesungguhnya kami tidak mengembalikannya kepadamu, melainkan karena kami tengah mengerjakan ihram.”
(Hadits ini dikeluarkan di dalam ash-Shahihain, dan hadits ini mempunyai lafadz yang banyak sekali)

Para ulama berkata: “Maksud dari penolakan Nabi saw. adalah beliau menduga orang itu memburu keledai liar tersebut semata-mata untuk diberikan kepada beliau. Oleh karena itu beliau menolaknya.” Akan tetapi jika hal tersebut tidak dimaksudkan demikian, dagingnya boleh dimakan, yaitu berdasarkan hadits Abu Qatadah ketika ia berburu keledai liar, yang ketika itu ia tidak dalam keadaan berihram. Sedangkan para shahabanya tengah berihram. Maka mereka tidak langsung memakannya, tetapi mereka bertanya terlebih dahulu kepada Rasulullah saw. beliau bertanya: “Apakah ada seorang di antara kalian yang menunjukkannya, atau membantu membunuhnya?” “Tidak,” jawab mereka. Maka beliau bersabda: “Makanlah.” Rasulullah saw pun ikut memakan daging buruan itu. (kisah ini telah ditegaskan dalam ash-shahihain dengan lafadz yang banyak).

Imam Ahmad mengatakan dari Jabir bin ‘Abdillah: “Rasulullah bersabda –Qutaibah menceritakan dalam haditsnya: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Berburu binatang daratan adalah halal bagi kalian.”
Sa’id berkata: “Dan kalian dalam keadaan berikhram, selama kalian bukan orang yang memburunya, atau bukan sengaja diburu untuk kalian.”

(Hal yang sama juga diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Nasa-i, yang semuanya dari Qutaibah. At-Tirmidzi mengatakan: “Kami tidak mengetahui bahwa Muththalib pernah mendengar dari Jabir.” Juga diriwayatkan Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i melalui jalan ‘Amr bin Abi ‘Amr, dari maulanya, al-Muththalib, dari Jabir. Kemudian asy-Syafi’i berkata: “Ini merupakan hadits terbaik yang diriwayatkan dalam masalah ini.”)

Malik mengatakan dari ‘Abdullah bin Abu Bakar, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah, ia berkata: Aku pernah melihat ‘Utsman bin ‘Affan di ‘Araj ketika ia sedang berihram saat di musim panas, dan ia menutup wajahnya dengan kain beludru berwarna ungu. Lalu ia datang dengan membawa daging binatang buruan. Kemudian ia berkata kepada para sahabatnya: “Makanlah.” Maka mereka berkata: “Apakah engkau tidak ikut makan?” Utsman menjawab: “Keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya binatang buruan itu diburu hanya untukku.”

Allah berfirman: wat taqullaaHal ladzii ilaiHi tuhsyaruun (“Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.”) maksudnya bertakwalah kepada Allah atas apa yang Allah larang kalian melakukannya. Yaitu yang kepada-Nya kalian akan dikumpulkan dan bukan kepada selain-Nya. Dalam penggalan ayat tersebut terdapat penekanan dan penegasan pada peringatan. Setelah itu Allah menyebutkan tentang pengumpulan dan hari kiamat sebagai tekanan pada ancaman dan peringatan.

Allah berfirman: ja’alallaaHul ka’batal baital haraama qiyaamal linnaasi wasy syaHral haraama wal Hadya wal qalaa-ida dzaalika lita’lamuu annallaaHa ya’lamu maa fis samaawaati wamaa fil ardli wa annallaaHa bikulli syai-in ‘aliim.
(“Allah telah menjadikan ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia] bagi manusia, dan [demikian pula] bulan Haram, hadya, dan qalaid. [Allah menjadikan yang] demikian itu agar kamu tahu bahwa –sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”)

Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa Allah telah membangunkan Baitul Haram sebagai tempat ibadah, tempat berlindung, dan mencari keamanan bagi umat manusia, di sana mereka tinggal dengan penuh rasa aman. Ada yang berpendapat: di tempat itu mereka menjalankan semua syariat-Nya.

Mengenai firman-Nya: qiyaamal linnaasi (“Sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia] bagi manusia”) Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: “Sebagai tempat ummat untuk menjalankan agama mereka, dan sebagai syi’ar bagi haji mereka.” dari Mujahid, ia mengatakan: “Sebagai tempat beribadah bagi umat manusia.”

Disebut Ka’bah, karena ia merupakan bangunan persegi empat. Dan Baitul Haram disebut bait [rumah], karena ia mempunyai atap dan dinding, dan ia adalah hakekat rumah yang sebenarnya, meskipun tidak ada seorang pun yang menempatinya. Dan disebut “haram” karena pengharamannya oleh Allah, seperti pengharaman-Nya atas berburu binatang buruannya [di Tanah Haram] atau memotong pohonnnya.

Allah berfirman: al ka’batal baital haraama qiyaaman (“Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia]”) Ka’bah merupakan maf’ul [obyek] pertama bagi kata ja’ala [menjadikan]. Adapun kata al-bait [rumah] merupakan ‘athaf bayan. Adapun kata al-haram merupakan na’at [sifat] bagi kata al-bait. Dan kata qiyaman merupakan maf’ul kedua.

Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi mengatakan: “Para ulama mengemukakan: Hikmah dijadikannya semua itu sebagai tempat ibadah bagi umat manusia, adalah manusia menciptakan manusia dengan tabiat kemanusiaan, yaitu berupa kedengkian, saling bersaing, saling memutuskan, saling membelakangi, saling merampas, menyerang, membunuh, dan balas dendam. Merupakan suatu kepastian di balik hikmah Ilahiyyah dan kehendak-Nya, bahwa barangsiapa yang selalu menjaga dirinya dari sifat-sifat tercela tersebut, kesudahannya akan terpuji.

Allah berfirman: innii jaa’ilun fil ardli khaliifatan (“Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi”) dengan demikian Allah memerintahkan mereka untuk mendirikan kekhalifahan dan urusan mereka kepada satu orang, yang dapat menghindarkan mereka dari perselisihan dan mengarahkan mereka pada persatuan, serta menolak orang dhalim dari yang didhalimi, dan melindungi orang yang mengajukan perwakilan kepadanya.”

Ibnu Qasim meriwayatkan: Malik menceritakan kepada kami, bahwa ‘Utsman bin ‘Affan pernah berkata: “Karunia yang diberikan oleh Allah kepada seorang imam sehingga dapat berbuat adil, melebihi karunia yang Allah berikan kepada seseorang yang memahami al-Qur’an.”

Abu ‘Umar menyebutkan: “Adanya penguasa selama satu tahun dalam keadaan kacau akan lebih sedikit dampak negatifnya daripada keadaan manusia yang kacau tanpa penguasa dalam waktu sesaat.”
Lalu Allah mengadakan kekhalifahan untuk mendapatkan manfaat ini, supaya dengan demikian, semuanya dapat berjalan sesuai dengan pandangannya, dan karenanya Allah akan menjaga sikap berlebihan masyarakat. Maka Allah mengagungkan Baitul Haram di dalam hati mereka, dan memunculkan di dalam diri mereka kewibawaannya [Baitul Haram], dan mengagungkan kesuciannya di tengah-tengah mereka. orang yang berlindung kepadanya, akan terperlihara dan orang yang tertindas akan terjaga jika berada di dalamnya.

Berkenaan dengan ini Allah berfirman: awalam yaraw annaa ja’alnaa haraman aaminaw wa yutakhaththafun naasu min hauliHim (“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan [negeri mereka] tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya saling merampok?”)(al-Ankabuut: 67). Dan Baitul Haram adalah rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia. Firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia.” (Ali ‘Imraan: 96-97)

Firman Allah: wasy syaHral haraama (“Dan [demikian pula] bulan Haram”) maksudnya dan Allah menjadikan bulan Haram itu sebagai tempat perlindungan yang lain, yang memberikan rasa aman kepada umat manusia, dalam tindakan dan kehidupan mereka. dengan demikian Baitula Haram adalah perlindungan yang bersifat makani [tempat], sementara bulan Haram adalah sebagai perlindungan yang bersifat zamani [waktu]. Yang dimaksud dengan bulan Haram adalah empat bulan Haram, dan hal itu merupakan nama jenis. Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya adalah empat bulan Haram.” (at-Taubah: 36)

Tiga bulan di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, yang keempat adalah Rajab. Allah telah menjadikannya pada pertengahan tahun sebagai wujud kelembutan [kasih sayang-Nya] bagi semua hamba-Nya, dan pemberian rasa aman kepada mereka dalam setahun. Dengan rahmat dan kasih-sayang-Nya, Allah menciptakan “penghormatan” dan “pengagungan” pada hati dan diri manusia terhadap bulan-bulan Haram tersebut. Jiwa dan hati seseorang tidak merasa takut atau ingin membalas dendam pada bulan-bulan tersebut, sehingga ada seseorang yang bertemu dengan pembunuh ayahnya tetapi ia tidak melakukan balas dendam dan menyakiti sedikitpun.

Allah berfirman: wal Hadya wal qalaa-ida (“Dan [demikian pula] hadya dan qalaid.”) Allah telah menjadikan hadya sebagai pemberi rasa aman bagi orang yang menggiringnya. Karena menggiringnya berarti memberitahukan bahwa pelakunya itu tengah beribadah, sehingga tidak ada yang berbuat jahat kepadanya. Demikian halnya dengan pemakaian al-qalaid [kalung pada hewan kurban]. Dulu pada zaman Jahiliyyah, orang yang hendak berangkat haji mengalungi diri dengan tombak dan ketika pulang kembali ke rumah, ia mengalungi diri dengan salah satu pohon Tanah Haram. Hal tersebut diharapkan akan menghindarkannya dari pencuri atau perampok atau yang lainnya.
Hal yang sama terdapat pada pengalungan hewan kurban dan pemberian syi’ar padanya, maka hal itu memberikan rasa aman baginya. Kemudian datang Islam, maka rasa aman pun tersebar dimana-mana, dan dunia pun berjalan dengan teratur dan pada rel keadilan. Islam mengakui dan mendukung setiap kemaslahatan dan kebaikan; membasmi segala bentuk khurafat dan berbagai kebiasaan buruk. Segala puji dan karunia hanya milik Allah.

Firman Allah: dzaalika lita’lamuu annallaaHa ya’lamu maa fis samaawaati wa maa fil ardli wa annallaaHa bikulli syai-in ‘aliim (“[Allah menjadikan yang] demikian itu agar kamu tahu bahwa sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”)

Firman-Nya tersebut memberikan isyarat kepada dijadikannya semuanya itu sebagai tempat ibadah bagi manusia, agar kalian mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengetahui semua urusan secara terinci, baik yang terdapat di langit maupun dibumi, dan Allah mengetahui kemaslahatan makhluk yang menghuninya. Allah Mahalembut lagi Mahamengetahui.

Firman-Nya: i’lamuu annallaaHa syadiidul ‘iqaabi wa annallaaHa ghafuurur rahiim (“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya, dan bahwa sesungguhnya Allah Mahapengampun Lagi Mahapenyayang.”)

Allah memberitahukan bahwa Allah memiliki siksa yang amat pedih sebagai ancaman bagi orang-orang yang suka berbuat maksiat kepada-Nya, dan mendustakan Rasul-Rasul-Nya. Selain itu, agar orang-orang yang berbuat maksiat itu tidak merasa aman akan adzab-Nya, hanya karena keluasan rahmat-Nya dan penangguhan adzab-Nya yang cukup lama.

Allah pun memberitahukan bahwa Allah Mahapengampun Lagi Mahapenyayang, sebagai pemberi harapan dan dorongan bagi orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, menaati-Nya, membenarkan Rasul-Rasul-Nya, khususnya apa yang dibawa oleh Rasul-Nya, Muhammad saw., yang merupakan penutup para Nabi sekaligus pemimpin para Rasul.

Firman-Nya: maa ‘alar rasuuli illaal balaaghu (“Kewajiban Rasul itu tidak lain hanyalah menyampaikan”) maksudnya tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan hidayah, taufiq maupun pahala, karena tugasnya tidak lain hanyalah menyampaikan saja, sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya:
“Jika mereka berpaling, maka Kami tidak mengutusmu sebagai pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan [risalah].” (asy-Syuura: 48)

Dan Rasulullah saw. telah menyampaikan dan menunaikan amanah yang diembankan kepada beliau, dan sudah pula memberikan nasehat kepada umatnya. Allah berfirman yang artinya: “Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan kamu sekali-sekali tidak tercela.” (adz-Dzaariyaat: 54)

Dalam hadits mengenai Haji Wada’, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Muslim dan Abu Dawud, Rasulullah saw. bersabda:
“Aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang kalian tidak akan tersesat setelahku jika kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah. Dan kalian akan ditanya mengenai diriku, maka apa yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab: “Kami akan bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan amanat, serta memberikan nasehat.” Kemudian beliau bersabda seraya mengangkat jari telunjuk, dan mengarahkan kepada orang-orang: “[Ya] Allah saksikanlah!” sebanyak tiga kali.

Firman-Nya: wallaaHu ya’lamu maa tubduuna (“Dan Allah mengetahui apa yang kamu tampakkan.”) Yaitu yang kalian perlihatkan. Wa maa taktumuun (“Dan apa yang kamu sembunyikan”) maksudnya apa yang kalian rahasiakan di dalam hati kalian, berupa kekufuran dan yang lainnya. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun dari amal kalian yang tersembunyi bagi Allah, dan Dia akan memberikan balasan atasnya. Jika baik akan diberi balasan kebaikan, dan jika buruk akan diberi balasan keburukan. Dalam penggalan ayat ini terdapat ancaman dan peringatan yang keras.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yunus ayat 99-100

8 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Yunus
Surah Makkiyyah; surah ke 10: 109 ayat

tulisan arab alquran surat yunus ayat 99-100“Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. (QS. 10:99) Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (QS. 10:100)” (Yunus: 99-100)

Allah berfirman: walau syaa-a rabbuka (“Jikalau Rabbmu menghendaki,”) hai Muhammad! Niscaya Allah mengizinkan penduduk bumi semuanya untuk beriman kepada apa yang kamu bawa kepada mereka, lalu mereka beriman semuanya. Akan tetapi Allah mempunyai hikmah dalam apa yang dilakukan-Nya. Mahatinggi Allah.

Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman: afa anta tukriHun naasa (“Maka apakah kamu [hendak] memaksa manusia.”) Maksudnya, kamu mewajibkan dan memaksa mereka. hattaa yakuunuu mu’miniin (“Supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”) Maksudnya, hal itu bukan tugasmu dan tidak dibebankan atasmu, akan tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya, maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. ” (QS. Faathir: 8)

Dan lain sebagainya dari ayat-ayat yang menunjukkan, bahwa sesungguhnya Allah-lah Dzat yang melakukan apa yang Dia kehendaki, Yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, karena pengetahuan-Nya, hikmah-Nya dan keadilan-Nya. Maka dari itu Allah Ta’ala berfirman: wa maa kaana linafsin an tu’mina illaa bi-idznillaaHi waj’alur rijsa ‘alal ladziina ya’qiluun (“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya,”) yaitu gila dan sesat, maksudnya terhadap hujjah-hujjah Allah dan dalil-dalil-Nya.

Allah adalah yang Mahaadil dalam segala sesuatu, dalam memberi petunjuk kepada siapa yang berhak ditunjuki dan menyesatkan siapa yang patut disesatkan.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Huud ayat 96-99

1 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud
Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

tulisan arab alquran surat huud ayat 96-99“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda [kekuasaan] Kami dan mukjizat yang nyata, (QS. 11:96) kepada Fir’aun dan pemimpin-pemimpin kaumnya, tetapi mereka mengikut perintah Fir’aun, padahal perintah Fir’aun sekali-kali bukanlah [perintah] yang benar. (QS. 11:97) Ia berjalan di muka kaumnya di hari Kiamat, lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi. (QS. 11:98) Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia dan (begitu pula) di bari Kiamat. Laknat itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan. (QS. 11: 99)” (Huud: 96-99)

Allah berfirman seraya memberi kabar tentang kerasulan Musa as. dengan ayat-ayat-Nya dan bukti-bukti yang istimewa (mukjizat) kepada Fir’aun, raja Qibti dan pengikut-pengikutnya. Fat taba’uu amra fir’auna (“Tetapi mereka mengikuti Perintah Fir’aun,”) maksudnya, sistem, cara dan jalannya dalam kesesatan.

Wa maa amru fir’auna birasyiid (“Padahal perintah Fir’aun sekali-kali bukanlah [perintah] yang benar.”) Maksudnya, tidak ada pengarahan dan petunjuk di dalamnya, akan tetapi ia merupakan kebodohan, kesesatan, kekafiran dan kebencian, sebagaimana halnya mereka mengikutinya di dunia dan ia menjadi pemuka dan kepala mereka, begitu pula ia menjadi pendahulu mereka pada hari Kiamat menuju neraka Jahannam, maka ia memasukkan mereka ke dalamnya mereka meminum dari telaga yang ia pun meminumnya dan ia mendapatkan bahagian yang paling besar dari siksa yang paling dahsyat.

Allah Ta’ala berfirman: yaqdumu qaumaHu yaumal qiyaamati fa auradaHumun naara wabi’sal wirdul mauruud (“Ia berjalan di muka kaumnya di hari Kiamat, lalu memasukkan mereka dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi,”) begitu juga keadaan orang-orang yang diikuti, mereka mendapatkan siksaan yang banyak pada hari Kiamat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Masing-masing mendapatkan [siksa] yang berlipat ganda akan tetapi kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raaf: 38)

Firman-Nya: wa utbi’uu fii HaadziHii la’nataw wa yaumal qiyaamati… (“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan [begitu pula] di hari Kiamat,…”) dan ayat seterusnya. Kami ikutkan kepada mereka, tambahan siksa neraka dengan laknat di dunia. Wa yaumal qiyaamati bi’sal wirdul maufuud (“Dan di hari kiamat. Laknat itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan.”)

Mujahid berkata: “Ditambahkan bagi mereka laknat di hari kiamat. Maka bagi mereka ada dua kali laknat.” `Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu `Abbas: diberikan: bi’sal wirdul maufuud (“Laknat itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan.”) ia berkata: “Itulah laknat dunia dan akhirat.” Begitu juga dengan pendapat adh-Dhahhak dan Qatadah.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 99-100

27 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat

tulisan arab alquran surat yusuf ayat 99-100“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf. Yusuf merangkul ibu-bapaknya dan dia berkata: ‘Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.’ (QS. 12:99) Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf. ‘Wahai ayahku inilah ta`bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Rabbku telah menjadikan suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Rabbku telah berbuat baik kepadaku, ketika dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun Badui yaitu padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.’ (QS. 12:100)” (Yusuf: 99-100)

Allah memberitakan tentang kedatangan Ya’qub as. ke tempat Yusuf as. dan masuknya ia ke negeri Mesir, setelah Yusuf meminta kepada saudara-saudaranya supaya mereka membawa seluruh keluarganya. Maka mereka semua berangkat, meninggalkan negeri Kan’an menuju negeri Mesir.

Setelah Yusuf as. diberi kabar bahwa mereka hampir sampai di Mesir, dia segera keluar untuk menerima mereka. Dan sang Raja pun memerintahkan semua pejabat negara dan tokoh masyarakat agar keluar bersama Yusuf untuk menyambut Nabi Ya’qub as. bahkan ada yang mengatakan bahwa sang Raja pun keluar untuk menyambutnya, dan pendapat inilah yang lebih cocok.

Terdapat kemusykilan (masalah/persoalan) dalam firman Allah: aawaa ilaiHi abawaiHi wa qaaladkhulu mishra (“Setelah mereka masuk ke tempat Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya, dan dia berkata: ‘Masuklah kalian ke negeri Mesir.’)
Bagi banyak mufassir, sebagian mengatakan bahwa hal ini termasuk kategori mendahulukan yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan yang seharusnya didahulukan, dan artinya adalah: “Masuklah Mesir insya Allah kalian dalam keadaan aman, dan ia merangkul ibu bapaknya. Dan dia menaikkan ibu bapaknya ke atas singgasana.”

Ibnu Jarir menyanggah pendapat ini dengan baik, kemudian ia memilih pendapat yang dikemukakan oleh as-Suddi, bahwa Yusuf merangkul ibu bapaknya ketika bertemu dengan mereka, kemudian setelah mereka sampai di pintu gerbang negeri ini, Yusuf berkata: udkhulu mishra insyaa AllaaHu aaminiin (“Masuklah kalian ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman”) Pendapat ini pun masih perlu diteliti lagi, karena tindakan merangkul hanya terjadi di rumah, seperti ditunjukkan firman Allah: aawaa ilaiHi akhaaHu (“Merangkul saudaranya kepada dirinya.”)

Apa yang menghalangi jika kita katakan bahwa Yusuf, setelah sampai di rumah dan merangkul mereka mengatakan: “Masuklah ke Mesir!” dan iapun memberikan jaminan dengan mengatakan: “Tinggalah di Mesir insya Allah kalian aman dari penderitaan disebabkan oleh kekeringan dan paceklik.”

Firman Allah: aawaa ilaiHi abawaiHi (“Yusuf merangkul ibu bapaknya”) As-Suddi dan `Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Sesungguhnya mereka adalah bapak dan bibi (saudari ibu)nya, karena ibunya sudah meninggal sejak lama. Sedang Muhammad bin Ishaq dan Ibnu Jarir mengatakan, ayah dan ibunya masih hidup. Dan Ibnu Jarir mengatakan: “Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ibunya sudah meninggal, dan teks al-Qur’an menunjukkan bahwa ibunya masih hidup.” Pendapat yang didukungnya inilah yang kuat dan merupakan pendapat yang ditunjukkan oleh susunan kalimatnya.

Dan firman Allah: wa rafa’a abawaiHi ‘alal ‘arsy (“Dia menaikkan ibu-bapaknya ke atas singgasana.”) Ibnu `Abbas, Mujahid dan lain-lainnya mengatakan: “Maksudnya adalah kursi kerajaan, Yusuf mendudukkan mereka berdua di atas kursi kerajaan bersama dia.”
Wa kharruu laHuu sujjadan (“Dan mereka semua merebahkan diri sujud kepada Yusuf”) maksudnya, ayah, ibu, dan saudara-saudaranya yang lain yang berjumlah sebelas orang sujud kepadanya.

Wa qaala yaa abati Haadzaa ta’wiilu ru’yaaya min qablu (“Dan Yusuf berkata: ‘Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu”) yaitu yang diceritakan kepada ayahnya dahulu, Hal ini diperbolehkan dalam syari’at mereka, bila mereka memberi salam kepada orang besar mereka sujud kepadanya, dan hal ini berlaku sejak Nabi Adam sampai syari’at Nabi `Isa as. Tetapi cara seperti itu diharamkan dalam agama Islam, yang menjadikan sujud hanya milik Allah saja. Inilah inti dari pendapat Qatadah dan lain-lainnya.

Disebutkan dalam hadits bahwa Mu’adz datang ke negeri Syam dan melihat penduduknya bersujud kepada uskup-uskup mereka. Setelah kembali, ia segera sujud kepada Rasulullah saw, maka beliau bertanya: “Apa yang kamu perbuat ini hai Mu’adz?” la menjawab: “Saya melihat mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka, sedang engkau wahai Rasulullah, lebih berhak disujudi daripada mereka,” maka beliau bersabda: “Andaikata aku boleh menyuruh seseorang bersujud kepada orang lain, pasti aku menyuruh wanita bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadap isterinya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits nomor 1853, dan Imam Ahmad.)

Kesimpulannya, sujud kepada orang lain itu diperbolehkan dalam syari’at mereka. Oleh karena itu mereka merebahkan diri bersujud kepada Yusuf, kemudian ia berkata: yaa abati Haadzaa ta’wiilu ru’yaaya min qablu qad ja’alaHaa rabbii haqqan (“‘Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu. Sesungguhnya Rabbku telah menjadikannya suatu kenyataan.”) Maksudnya, inilah kenyataan dari mimpiku dahulu itu, karena ta’wil itu berarti kenyataan sebenarnya yang terjadi dari mimpi atau hal-hal lainnya.

Sebagaimana Allah berfirman, “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’wil (terlaksananya kebenaran) al-Qur’an, pada hari datangnya kebenaran pemberitaan al-Quran itu.” (QS. Al-A’raaf: 53). Maksudnya, pada hari Kiamat akan terjadi pada mereka apa yang telah dijanjikan kepada mereka berupa kebaikan maupun keburukan.

Qad ja’alaHaa rabbii haqqan (“Sesungguhnya Rabbku telah menjadikannya suatu kenyataan,”) maksudnya, benar-benar menjadi kenyataan. Dia menyebutkan nikmat-nikmat Allah yang telah didapatkannya: wa qad ahsanabii idz akhrajanii minas sijni wa jaa-a bikum minal badwi (“Dan sesungguhnya Rabbku telah berbuat baik kepadaku, ketika mereka membebaskanku dari rumah penjara dan ketika membawa kalian dari dusun Badui,”) yaitu padang pasir. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Juraij dan lain-lain bahwa mereka itu hidup di padang pasir dan hidup sebagai penggembala ternak:

Mim ba’di an nazzaghasy syaithaanu bainii wa baina ikhwatii inna rabbii lathiiful limaa yasyaa-u (“Setelah syaitan merusak hubungan antara aku dari saudara-saudaraku. Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.”) Maksudnya, bila menghendaki sesuatu, maka Allah menyiapkan sarana dan sebabnya, mentakdirkan dan memudahkannya.

Inna Huu Huwal ‘aliimu (“Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamengetahui”) apa yang baik bagi hamba-Nya; alhakiim (“Lagi Mahabijaksana”) dalam segala perkataan, perbuatan, qadla’ dan qadar-Nya, dan segala yang dipilih dan dikehendaki-Nya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Hijr ayat 94-99

22 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Hijr
Surah Makkiyyah; surah ke 15:99 ayat

tulisan arab alquran surat al hijr ayat 93-99“94. Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. 95. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu), 96. (yaitu) orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; Maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya). 97. dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, 98. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), 99. dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).’” (al-Hijr: 94-99)

Allah berfirman memerintahkan kepada Rasulullah agar menyampaikan risalahnya, melaksanakan dan menyampaikannya dengan cara terang-terangan, yaitu dengan berhadapan langsung dengan orang-orang musyrikin, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu `Abbas tentang firman Allah: fashda’ bimaa tu’maru (“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan [kepadamu]”) fasda’ bihi=amdhihi (laksanakanlah, lakukanlah).

Abu `Ubaidah meriwayatkan dart Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Nabi terus berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi, sampai turun ayat: fashda’ bimaa tu’maru (“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan [kepadamu]”). Setelah turun ayat ini barulah beliau keluar dengan para Sahabatnya.”

Firman Allah: wa a’ridl ‘anil musyrikiina. Innaa kafainaakal mustaHji-iin (“Dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara [melindungi]) kamu dari [kejahatan] orang-orang yang memperolok-olok [mu].”) Maksudnya, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan jangan menoleh (menghiraukan) orang-orang musyrik yang ingin menghalangimu dari ayat-ayat Allah. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu. Dan jangan kamu sembunyi dart mereka, karena Allah melindungimu dan menjagamu dari kejahatan mereka.

Seperti firman Allah: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan [apa yang diperintahkan itu, berarti] kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memeliharamu dari [gangguan] manusia.” (QS. Al-Maa-idah: 67)

Berkata Muhammad bin Ishaq: Adalah pembesar-pembesar Quraisy yang mengolok-olok Nabi sebagaimana yang diriwayatkan kepadaku oleh Yazid bin Ruman, dari `Urwah bin az-Zubair, jumlah mereka adalah lima orang, yang mana mereka itu orang-orang kuat dan terpandang dalam kaum mereka.
Dari Bani Asad bin `Abdil `Uzza bin Qushay, ialah al-Aswad bin al-Muththalib, Abu Zam’ah.
Dari Bani Zahrah, al-Aswad bin `Abdi Yaguts bin Wahb bin `Abdi Manaf bin Zahrah.
Dari Bani Makhzum, al-Walid bin al-Mughirah bin `Abdillah bin `Amr bin Makhzum.
Dari Bani Salim bin `Amr bin Hashish bin Ka’ab bin Lu-ay, al-‘Ash bin Wa-il bin Hisyam bin Sa’id bin Sa’ad.
Dan dari Bani Khuza’ah, al-Harits bin ath-Thalathilah bin `Amr bin al-Harits bin `Abd bin `Amr bin Malkan.

Tatkala (mereka) memperluas kejahatan dengan memperbanyak cemoohan-cemoohan kepada Rasulullah, Allah menurunkan:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memeliharamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (mu). (Yaitu) orang-orang yang menganggap adanya ilah yang lain disamping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya).” (QS. Al-Hijr: 94-96)

Firman Allah: alladziina yaj’aluuna ma’allaaHi ilaaHan aakhara fasaufa ya’lamuuna (“[yaitu] orang-orang yang menganggap adanya ilah yang lain selain Allah, maka mereka kelak akan mengetahui [akibat-akibatnya]”) adalah ancaman yang keras dan pasti bagi orang yang menjadikan bersama Allah sesembahan lain (musyrik).

Firman Allah: wa laqad na’lamu annaka yadliiqu shadruka bimaa yaquuluuna. Fasabbih bihamdi rabbika wa kum minas saajidiin (“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud [shalat].”)

Maksudnya: sesungguhnya wahai Muhammad, Kami mengetahui bahwa dadamu terasa sempit dan sumpek disebabkan perbuatan mereka yang menyakitimu, maka hal itu jangan sampai memundurkanmu dari menyampaikan risalah Allah, dan bertawakkallah kepada-Nya, karena Allahlah yang menjamin dan menolongmu melawan mereka. Maka, sibukkanlah dirimu dengan berdzikir, memuji, bertasbih dan beribadah kepada Allah, yang semuanya itu adalah shalat.

Karena itu Allah berfirman: Fasabbih bihamdi rabbika wa kum minas saajidiin (“Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud [shalat],”) sebagaimana diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Nu’aim bin `Ammar, bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: `Hai anak Adam, janganlah kamu lemah dari melakukan (shalat) empat raka’at pada permulaan siang (pagi), maka Aku akan mencukupimu pada akhir siang.’” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i.

Firman Allah Ta’ala: wa’bud rabbaka hattaa ya’tiyakal yaqiin (“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini [ajal].”) Al-Bukhari berkata: “Salim mengatakan bahwa al-yaqin=al-maut (kematian).” Mujahid, al-Hasan, Qatadah, `Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan lain-lain juga mengatakan seperti itu, dengan dalil firman Allah Ta’ala, yang memberitakan tentang penduduk Neraka bahwa mereka berkata:
“Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin, kami membicarakan yang bathil bersama-sama orang yang membicarakannya, kami dustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian (al-yaqin =al-maut)” (QS. Al-Muddatstsir: 43-47)

Disebutkan dalam hadits shahih dari hadits az-Zuhri, dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit Ummul `Ala’, seorang wanita dari kaum Anshar, bahwa sesungguhnya Rasulullah masuk rumah `Utsman bin Mazh’un setelah ia meninggal, maka Ummul `Ala’ berkata: “Semoga rahmat Allah terlimpah kepadamu hai Abu Sa-ib, aku bersaksi untukmu bahwa Allah telah memuliakanmu.” Rasulullah bertanya: “Bagaimana kamu tahu bahwa Allah memuliakannya?” Aku berkata: “Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah, jadi siapa (yang dimuliakan Allah)?” Rasulullah menjawab: “Adapun dia, sesungguhnya sudah datang kepadanya kematian (al-yaqin), dan aku sungguh-sungguh mengharapkan kebaikan baginya. (HR. Al-Bukhari dalam kitab al Jana-iz dan Ahmad)

Ayat ini: wa’bud rabbaka hattaa ya’tiyakal yaqiin (“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini [ajal].”) menjadi dalil bahwa ibadah; seperti shalat dan lain-lainnya adalah wajib hukumnya bagi manusia, selama akalnya sehat, maka ia boleh mengerjakan shalat sesuai dengan keadaan masing-masing. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari `Imran bin Hushain ra, bahwa Rasulullah bersabda: “Shalatlah dengan berdiri, bila tidak mampu berdiri, duduklah, dan jika tidak bisa duduk, maka berbaringlah!”

Ayat ini juga dijadikan dalil dengan pengertian yang salah oleh kaum atheis yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan yagin adalah ma’rifah. Jadi, bila salah seorang di antara mereka sudah sampai pada maqam ma’rifah, maka dia terbebas dari kewajiban beribadah menurut pendapat mereka. Pendapat seperti ini adalah merupakan kekafiran, kesesatan dan kebodohan, karena para Nabi saw, dan para sahabat mereka adalah orang yang lebih tahu tentang Allah, lebih mengerti hak-hak dan sifat-sifat-Nya, dan Allah berhak diagungkan. Kendati demikian, mereka itu adalah orang-orang yang paling (banyak) beribadah kepada Allah, rajin berbuat aneka macam kebaikan sampai ajal datang merenggut mereka.

Yang dimaksud dengan al-yaqin di sini adalah al-maut (kematian) sebagaimana telah kami jelaskan diatas.

Catatan penulis: “Orang-orang atheis itu adalah penganut aliran wihdatul wujud, yang merupakan puncak dari hakikat ilmu tashawwuf dan merupakan tingkat tertinggi dari hakikat menurut pendapat mereka, yaitu tingkat al-wushul, dengan berkeyakinan bahwa orang yang dapat mencapai tingkat ini, berarti telah mencapai hakikat! Yaitu keyakinan bahwa Allah Mahapencipta itu adalah makhluk itu sendiri, kendatipun berbeda-beda bentuk Dzatnya. Semuanya adalah satu, yaitu Allah! Kalau hamba sudah menjadi Rabb, maka siapa yang diibadahinya? Apakah dia beribadah kepada dirinya sendiri? Di sini, gugurlah kewajiban-kewajiban ibadah itu. Kita berlindung kepada Allah dari kekafiran dan kekecewaan tidak mendapat pertolongan Allah dari tempat kembali yang buruk dan dari bisikan serta hembusan syaitan. Karena orang yang telah dimuliakan Allah dengan Islam dan merasakan manisnya, kemudian dia memilih kepahitan tempat kembali kemusyrikan yang menakutkan itu, maka dia berhak mendapatkan lapisan terbawah dari neraka Jahannam dan siksa terberat yang disediakan bagi penduduk Neraka. Na’uudzubillah min dzalik.”-Pent.

Selesai

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl ayat 98-100

18 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nahl (Lebah)
Surah Makkiyyah; surah ke 16: 128 ayat

tulisan arab alquran surat an nahl ayat 98-100“Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS. 16:98) Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. (QS. 16:99) Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS. 16:100)” (an-Nahl: 98-100)

Ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Nabi-Nya, Muhammad, yaitu jika mereka akan membaca al-Qur’an, maka hendaklah mereka meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Perintah ini bersifat anjuran, bukan kewajiban. Kesepakatan mengenai hal itu diceritakan oleh Abu Ja’far bin Jarir dan imam-imam lainnya. Hadits yang berkenaan dengan permohonan perlindungan ini telah kami kemukakan sebelumnya pada pembahasan pertama. Segala puji dan sanjungan hanya milik Allah.

Firman-Nya: innaHuu laisa laHuu sulthaanun ‘alal ladziina aamanuu wa ‘alaa rabbiHim yatawakkaluun (“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya.”) Ats-Tsauri mengatakan bahwa syaitan itu tidak
memiliki kekuasaan atas mereka (orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya) untuk menjatuhkan mereka ke dalam dosa yang mereka tidak bisa bertaubat darinya. Sedangkan yang lainnya mengatakan, artinya, tidak ada hujjah bagi syaitan atas mereka. Yang lain lagi mengatakan, yang demikian itu sama seperti firman-Nya: “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlish di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 40)

innamaa sulthaanuHuu ‘alal ladziina yatawallaunaHu (“Sesungguhnya kekuasaannya [syaitan] banyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin.”) Mujahid mengatakan: “Yakni, mentaatinya [syaitan].” Ulama lainnya mengatakan: “Mereka menjadikannya sebagai pelindung selain Allah:
walladziina Hum biHii musyrikuun (“Dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”) Maksudnya, mereka menyekutukan syaitan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Huruf ba’ bisa jadi sebagai ba’ sababiyyah, artinya, karena ketaatan mereka kepada syaitan, mereka menjadi musyrik kepada Allah Ta’ala.
Uama lainnya mengatakan bahwa artinya, syaitan itu bersekutu dengan mereka dalam harta benda dan anak-anak.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ Ayat 98-99

14 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’
(Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

tulisan arab alquran surat al israa ayat 98-99“Itulah balasan bagi mereka, karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan (karena mereka) berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang bancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?” (QS. 17:98) Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan padanya? Maka orang-orang dhalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran. (QS. 17:99)” (al-Israa’: 98-99)

Allah berfirman, inilah yang Kami jadikan sebagai balasan bagi mereka, yakni dibangkitkan dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Suatu balasan yang memang merupakan hak bagi mereka, karena mereka mendustakan; bi aayaatinaa (“Ayat-ayat Kami.”) Yakni, terhadap dalil-dalil dan hujjah-hujjah Kami serta mengingkari akan adanya kebangkitan.
Wa qaaluu a idzaa kunnaa ‘idhaamaw wa rufaatan (“Dan mereka berkata: ‘Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur,’”) yakni, hancur lumat. A innaa lamab’uutsuuna khalqan jadiidan (“Apakah kami benar-benar akan dibangkitkan sebagai makhluk baru?”) Maksudnya, apakah setelah kami mengalami kehancuran, kebinasaan, keterceraiberaian, serta meresap ke dalam bumi, akan dikembalikan untuk yang kedua kalinya?

Maka Allah Ta’ala memberitakan hujjah kepada mereka dan mengingatkan kemampuan-Nya untuk melakukan hal tersebut. Dia adalah Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi, maka sesungguhnya kemampuan-Nya untuk mengembalikan kejadian mereka merupakan suatu hal yang lebih mudah. Dan di sini Allah k berfirman:
A walam yarau annallaaHal ladzii khalaqas samaawaati wal ardla qaadirun ‘alaa ay yakhluqa mitslaHum (“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah kuasa [pula] menciptakan yang serupa dengan mereka?”) Yakni pada hari Kiamat kelak, badan mereka akan dikembalikan dan diberikan pertumbuhan kembali sebagaimana Dia telah memulai penciptaan mereka pertama kali.

Firman-Nya: wa ja’ala laHum ajalal laa raiba fiiHi (“Dan Dia telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan padanya.”) Maksudnya, Dia telah menetapkan batas waktu tertentu untuk mengembalikan dan membangkitkan mereka dari kubur mereka pada waktu yang telah ditetapkan, yang pasti akan diberlakukan. Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya: “Dan Kami tiada mengundurkannya melainkan sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Huud: 104)

Dan firman-Nya: fa abadh dhaalimuuna (“Maka orang-orang dhalim itu tidak menghendaki,”) yakni setelah ditegakkannya hujjah bagi mereka (mereka tetap menolak). Illaa kufuuran (“Kecuali kekafiran.”) Kecuali keterjerumusan dalam kebathilan dan kesesatan mereka.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 99-103

23 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 99-102“Dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. (QS. Al-Baqarah: 99) Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan Setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya? bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. (QS. Al-Baqarah: 100) Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). (QS. Al-Baqarah: 101) Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir ngerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 102) Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 103)

Mengenai firman Allah Tabaraka wa Ta’ala: laqad anzalnaa ilaika aayaatim bayyinaatin (“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadmu ay`at-ayat yang jelas,”) Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, artinya Kami (Allah) telah menurunkan kepadamu, hai Muhammad, beberapa tanda yang sangat jelas yang menunjukkan kenabianmu.

Ayat-ayat itu adalah di antara berbagai ilmu orang-orang Yahudi yang di dalamnya tersembunyi bermacam-macam unsur rahasia berita mereka dan berita mengenai para pendahulu mereka dari kalangan Bani Israil, yang semuanya itu terkandung di dalam al-Qur’an. Selain itu, juga berita mengenai hal-hal yang yang dikandung oleh kitab-kitab mereka yang tidak diketahui kecuali oleh para pendeta dan pemuka agama mereka, serta hukum-hukum yang terdapat di dalam kitab Taurat yang diselewengkan dan diubah oleh para pendahulu mereka. Kemudian Allah memperlihatkan semua itu di dalam kitab (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad saw.

Dalam hal itu terdapat ayat-ayat yang jelas bagi orang yang adil terhadap diri sendiri dan tidak membiarkannya binasa karena rasa dengki dan sikap melampaui batas. Orang yang memiliki fitrah yang lurus pasti akan membenarkan ayat-ayat yang jelas yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. yang diperolehnya tanpa melalui proses belajar atau mengambil kabar dari seseorang.

Sebagaimana yang dikatakan adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya: laqad anzalnaa ilaika aayaatim bayyinaatin (“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadmu ay`at-ayat yang jelas,”), ia mengatakan, “Engkau yang membacakan dan memberitahukannya kepada mereka pada pagi dan petang dan di antara keduanya. Sedang dalam pandangan mereka, engkau adalah orang yang ummi, yang tidak dapat membaca kitab, tetapi engkau dapat memberitahukan apa yang ada pada mereka dengan tepat. Allah swt. mengatakan hal itu kepada mereka sebagai ibrah (pelajaran), bayan (penjelasan), dan menjadi hujjah (bukti) yang nyata jika mereka mengetahui.”

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, baha Ibnu Shuriya al-Quthwaini pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Hai Muhammad, engkau tidak datang kepada kami dengan membawa sesuatu yang kami ketahui. Dan Allah tidak menurunkan ayat yang jelas kepadamu sehingga kami dapat mengikutimu.”

Maka berkenaan dengan hal itu Allah menurunkan ayat: wa laqad anzalnaa ilaika aayaatim bayyinaatiw wa maa yakfuru biHaa illal faasiquun (“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadmu ay`at-ayat yang jelas, dan tidak mengingkarinya kecuali orang-orang fasik”), ketika Rasulullah saw. diutus, dan beliau mengingatkan orang-orang Yahudi dan janji mereka kepada Allah serta perintah-Nya agar mereka beriman kepada Nabi Muhammad saw., Malik bin Shaif mengatakan: “Demi Allah, Allah tidak memerintahkan kami untuk beriman kepada Muhammad dan Allah juga tidak mengambil janji dari kami [untuk hal itu].”

Maka Allah pun menurunkan ayat: awa kullamaa ‘aaHaduu ‘aHdan nabadzaHuu fariiqum minHum (“Patutkan [mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah], dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya?”)

Sedangkan mengenai firman-Nya: bal aktsaruHum laa yu’minuun (“Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman.”) Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Memang benar, tidak ada perjanjian yang mereka adakan melainkan mereka membatalkan dan melemparkannya, hari ini mereka berjanji, esok dibatalkannya.”
As-Suddi berkata: “Mereka tidak beriman kepada apa yang dibawa oleh Muhammad.” Dan Qatadah berkata: “Segolongan mereka melemparkannya”, maksudnya, segolongan mereka membatalkannya.

Ibnu Jarir mengatakan, asal kata “an-nabdzu” itu berarti melempar dan mencampakkan. Bertolak dari hal tersebut, kurma dan anggur yang ditaruh di air disebut “nabiidzun”. Abu Aswad ad-Du’ali pernah menuturkan pernah menuturkan:
“Aku melihat ke alamatnya lalu mencampakkannya, seperti engkau
mencampakkan sandalmu yang telah rusak.”

Aku (Ibnu Katsir) katakan; Allah swt. mencela kaum Yahudi karena mereka telah mencampakkan berbagai perjanjian, yang Dia meminta mereka agar berpegang teguh padanya serta menunaikan hak-hak-Nya. Oleh karena itu pada ayat berikutnya Allah mengungkapkan kedustaan mereka terhadap Rasul yang diutus kepada mereka dan kepada seluruh umat manusia, yang di dalam kitab-kitab mereka sudah tertulis mengenai sifat-sifat dan berita-berita mengenainya. Dan melalui kitab-kitab tersebut mereka telah diperintah untuk mengikuti, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, dan Nabi yang ummi yang namanya mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.” (al-A’raaf: 157)

Dalam surat al-Baqarah ini, Allah berfirman: wa lam maa jaa-aHum rasuulum min ‘indillaaHi mushaddiqul limaa ma’ahum (“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa [kitab] yang ada pada mereka.”) Maksudnya, sekelompok dari mereka melemparkan ke belakang kitab Allah yang berada di tangan mereka yang di dalamnya terdapat berita mengenai kedatangan Nabi Muhammad saw. Dengan pengertian lain, mereka meninggalkannya seolah-olah mereka tidak mengetahui sama sekali isinya. Kemudian mereka mengarahkan perhatiannya untuk belajar dan melakukan sihir. Oleh karena itu, mereka bermaksud menipu Rasulullah dan menyihirnya melalui sisir dan mayang kurma yang kering yang diletakkan di pinggir sumur Arwan. Penyihiran itu dilakukan oleh salah seorang Yahudi yang bernama Labid bin A’sham -semoga Allah melaknatnya dan mejelekkannya. Tetapi Allah , memperlihatkan hal itu kepada Rasul-Nya, Muhammad sekaligus menyembuhkan dan menyelamatkannya dari sihir tersebut. Sebagaimana hal itu telah diuraikan secara panjang lebar dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahuanha, yang insya Allah akan kami kemukakan pada pembahasan berikutnya.

Mengenai firman-Nya: wa lam maa jaa-aHum rasuulum min ‘indillaaHi mushaddiqul limaa ma’ahum (“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa [kitab] yang ada pada mereka.”) As-Suddi mengatakan, “Ketika Muhammad saw. datang kepada mereka, mereka menentang dan menyerangnya dengan menggunakan kitab Taurat, dan ketika terbukti tidak ada pertentangan antara Taurat dengan al-Qur’an, maka mereka pun melemparkan Taurat. Kemudian mereka mengambil kitab Ashif dan sihir Harut dan Marut, yang jelas tidak sesuai dengan al-Qur’an. Itulah makna firman-Nya: ka-annaHum laa ya’lamuun (“Seolah-olah mereka tidak mengetahui.”)

Berkenaan dengan firman-Nya: ka-annaHum laa ya’lamuun (“Seolah-olah mereka tidak mengetahui.”) Qatadah mengatakan: “Sebenarnya kaum Yahudi itu mengetahui tetapi mereka membuang dan menyembunyikan pengetahuan itu dan mengingkarinya.”

Sedangkan sehubungan dengan firman-Nya: wat taba’uu maa tatluusy-syayaathiinu (“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan,”) di dalam tafsirnya, dari Ibnu Abbas, al-‘Aufi mengatakan, “Yaitu ketika kerajaan Nabi Sulaiman sirna, sekelompok jin dan manusia murtad dan mengikuti hawa nafsu mereka. Namun setelah Allah mengembalikan kerajaan itu kepada Nabi Sulaiman, maka orang-orang tetap berpegang pada agama seperti sediakala (Islam). Kemudian Nabi Sulaiman menyita kitab-kitab mereka dan menguburnya di bawah singgasananya. Setelah itu Nabi Sulaiman meninggal dunia, maka sebagian manusia dan jin menguasai kitab-kitab itu seraya mengatakan bahwa kitab ini berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Sulaiman, dan ia menyembunyikannya dari kami. Lalu mereka pun mengambil dan menjadikan kitab itu sebagai suatu ajaran.

Maka Allah swt. pun menurunkan firman-Nya: wa lam maa jaa-aHum rasuulum min ‘indillaaHi mushaddiqul limaa ma’ahum (“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa [kitab] yang ada pada mereka.”) Mereka semua mengikuti hawa nafsu yang dibacakan oleh para syaitan. Hawa nafsu itu berupa alat-alat musik, permainan dan segala sesuatu yang menjadikan orang lupa berdzikir kepada Allah swt.

Dari Ibnu Abbas, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Ashif adalah juru tulis Nabi Sulaiman, ia mengetahui Ismul a’zham (nama yang paling agung). Dia mencatat segala sesuatu atas perintah Nabi Sulaiman, lalu menguburnya di bawah singgasananya. Setelah Nabi Sulaiman wafat, syaitan-syaitan itu mengeluarkan tulisan-tulisan itu kembali dan mereka menulis sihir dan kekufuran di antara setiap dua barisnya. Kemudian mereka mengatakan: `Inilah kitab pedoman yang diamalkan Sulaiman.’”

Lebih lanjut, Ibnu Abbas menuturkan: Sehingga orang-orang yang bodoh mengingkari Nabi Sulaiman as. dan mencacinya, sedang para ulama diam, sehingga orang-orang bodoh itu masih terus mencaci Sulaiman hingga Allah menurunkan ayat kepada Nabi Muhammad saw: wat taba’uu maa tatlusy-syayaathiinu ‘alaa mulki sulaimaana wa maa kafara sulaimaanu wa laa kinnasy-syayaathiina kafaruu (“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman [dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir] padahal Sulaiman tidaklah kafir [tidak mengerjakan sihir]. Hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir [mengerjakan sihir].”)

Dan firman Allah swt.: wat taba’uu maa tatlusy-syayaathiinu ‘alaa mulki sulaimaana (“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman.”) Artinya, setelah orang-orang Yahudi itu menolak kitab Allah yang berada di tangan mereka serta menyelisihi Rasulullah, Muhammad saw., mereka mengikuti yang dibacakan oleh syaitan-syaitan. Yaitu apa yang diceritakan, diberitahukan dan dibacakan oleh syaithan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman. Digunakannya karena kata “’alaa” [pada] dalam ayat tersebut karena “tatluu” [dibacakan] pada ayat ini mengandung makna (dibacakan secara) dusta.”

Ibnu Jarir mengatakan, “’alaa” [pada] dalam ayat tersebut bermakna “fii” [di dalam] maksudnya, dibacakan di masa kerajaan Sulaiman. Dia menukil pendapat itu dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishak. Mengenai masalah itu, penulis (Ibnu Katsir), katakana: “at-tadlammunu” (pencakupan) dalam hal ini adalah lebih baik dan lebih utama. Wallahu a’lam.

Sedangkan mengenai ungkapan al-Hasan al-Bashri bahwa sihir itu telah ada sebelum zaman Nabi Sulaiman bin Daud merupakan suatu hal yang benar dan tidak lagi diragukan, karena para tukang sihir itu sudah ada pada zaman Musa as, dan Nabi Sulaiman bin Daud itu setelah Nabi Musa. Sebagaimana yang difirmankan Allah swt. engkau tidak memperhatikan pemuka-pemuka Barii Israil setelah Nabi Musa.”

Alam tara ilal mala-i mim banii israa-iila mim ba’di muusaa (“Apakah engkau tidak memperhatikan pemuka-pemuka bani Israil setelah Nabi Musa.”) (QS. Al-Baqarah: 246)
Kemudian Allah swt. mengisahkan sebuah kisah, sesudah ayat di atas yang di dalamnya disebutkan: wa qatala daawuudu jaaluuta wa aataaHullaaHul mulka wal hikmaH (“Dan Daud [dalam peperangan itu] membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya [Daud] pemerintahan dan hikmah.”) (al-Baqarah: 251) dan kaum Nabi Shalih yang hidup sebelum Nabi Ibrahim as. mengatakan kepada Nabi mereka: innamaa anta minal musah hariin (“Sesungguhnya engkau adalah salah satu dari orang-orang yang kena sihir”) (asy-Syu’ara: 153) menurut pendapat yang masyhur “al musahhariin” adalah bermakna “al mas-huuriinu” (yang terkena sihir)

Adapun firman Allah: wa maa unzila ‘alaal malakaini bibaabiila Haaruuta wa maaruuta wa maa yu’allimaani min ahadin hattaa yaquulaa innamaa nahnu fitnatun falaa takfur. Fa yata’allamuuna minHumaa maa yufarriquuna biHii bainal mar-i wa zaujiHi (“dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan [sesuatu] kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan [bagimu], sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang [suami] dengan istrinya.”)

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa kata “maa” dalam ayat ini berkedudukan sebagai “naafiyatan” (yang meniadakan) yaitu dalam kata “wa maa unzila ‘alaa malakaini”

Al-Qurthubi mengatakan, kata “maa” itu adala “maa naafiyatun” (kata maa yang berfungsi meniadakan) sekaligus “maa ma’thuuf” (berfungsi sebagai kata sambung) untuk firman Allah sebelumnya, yaitu “wa maa kafara sulaimaanu”.

Setelah itu Allah berfirman: wa laakinnasy-syayaathiina kafaruu yu’allimuunan naasas sihra wamaa unzila ‘alaal malakaini (“Tetapi setan-setan itulah yang kafir [mengerjakan sihir]. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat.”) yang demikian itu karena orang-orang Yahudi beranggapan bahwa sihir itu diturunkan oleh Jibril dan Mikail. Kemudian Allah mendustakan mereka, sedangkan firman-Nya: Haaruuta wa maaruuta; merupakan “badlan” (pengganti) dari “asy-syayaathiin” (setan-setan)

Menurut al-Qurthubi, penafsiran demikian itu benar, karena jamak itu bisa berarti dua, seperti dalam firman Allah: fa in kaana laHuu ikhwatun (“Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara”) (an-Nisaa’: 11) maupun karena keduanya [Haarut dan Maarut] mempunyai pengikut, atau keduanya disebut dalam ayat tersebut, karena pembangkangan mereka. menurut al-Qurthubi perkiraan ungkapan ayat itu berbunyi: yu’allimuunan naasas sihra bi baabila Haaruuta wa maaruuta (“syaitan-syaitan itu mengajarkan sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut”). Lebih lanjut al-Qurthubi berpendapat bahwa penafsiran ini adalah yang terbaik dan paling tepat. Dan untuk itu beliau tidak memilih penafsiran yang lain.

Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya melalui al-‘Aufi, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah: wa maa unzila ‘alaa malakaini bi baabiil; (“Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil,”) ia menuturkan: “Allah tidak menurunkan sihir”.

Masih mengenai ayat yang sama, wa maa unzila ‘alaa malakaini bi baabiil; (“Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil,”) dengan sanadnya dari ar-Rabi’ bin Anas, Ibnu Abbas mengatakan, “Allah tidak menurunkan sihir kepada keduanya.”

Ibnu Jarir mengemukakan: “Dengan demikian ta’wil (penafsiran) ayat ini sebagai berikut: wattaba’uu maa tatlusy-syayaathiinu ‘alaa mulki sulaimaan (“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman,”) yaitu berupa sihir. Nabi Sulaiman tidak kafir, dan Allah tidak menurunkan sihir kepada kedua malaikat tersebut, tetapi syaitan-syaitan itu yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. Dengan demikian kalimat, “Di negeri Babil, yaitu Kepada Harut dan Marut” merupakan ayat yang maknanya didahulukan dan lafazhnya (redaksinya) diakhirkan.

Lebih lanjut Ibnu Jarir mengatakan, jika ada seseorang yang menanyakan kepada kami, “Apa alasan pendahuluan makna tersebut?” Maka alasan pendahuluan itu ialah: wattaba’uu maa tatlusy-syayaathiinu ‘alaa mulki sulaimaan (“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman,”) yaitu berupa sihir. Nabi Sulaiman tidak kafir, dan Allah tidak menurunkan sihir kepada dua malaikat tersebut, tetapi syaitan-syaitan itu yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut.

Dengan demikian, makna malaikat itu adalah Jibril dan Mikail, karena para penyihir dari kalangan orang-orang Yahudi menganggap bahwa Allah telah menurunkan sihir melalui lisan Jibril dan Mikail kepada Nabi Sulaiman bin Daud. Maka Allah swt. pun mendustakan mereka dalam hal itu, dan Dia memberitahukan kepada Nabi Muhammad bahwa Jibril dan Mikail tidak pernah turun dengan membawa sihir, sedang Nabi Sulaiman sendiri terbebas dari sihir yang mereka tuduhkan. Bahkan Dia memberitahu mereka bahwa sihir merupakan perbuatan syaitan,dan syaitan-syaitan itu mengajarkan sihir di negeri Babil.

Dan juga memberitahukan bahwa di antara yang diajari sihir oleh syaitan adalah dua orang yang bernama Harut dan Marut. Maka Harut dan Marut merupakan terjemahan dari kata “manusia” dalam ayat ini, sekaligus sebagai bantahan atas mereka (orang-orang Yahudi). Demikianlah nukilan dari Ibnu Jarir berdasarkan lafadz darinya.

Mayoritas ulama salaf berbendapat bahwa kedua malaikat tersebut berasal dari langit dan diturunkan ke bumi dan terjadilah apa yang terjadi pada mereka berdua.

Mengenai kisah Harut dan Marut ini, telah dikisahkan dari sejumlah tabi’in, misalnya Mujahid, as-Suddi, Hasan al-Bashri, Qatadah, Abul `Aliyah, az-Zuhri, ar-Rabi’ bin Anas, Muqatil bin Hayyan, dan lain-lainnya. Dan dikisahkan pula oleh beberapa orang mufassir mutaqaddimin (ahli tafsir terdahulu) maupun muta akhirin (yang belakangan). Dan hasilnya merujuk kembali kepada beberapa berita mengenai Bani Israil, karena mengenai hal itu tidak ada hadits shahih marfu’ yang memiliki sanad, sampai kepada Rasulullah yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Dan siyaq (redaksi) al-Qur’an menyampaikan kisah itu secara global, tidak secara rinci. Dan kami jelas lebih percaya kepada apa yang disampaikan al-Qur’an, seperti yang dikehendaki Allah swt, dan Dia Mahamengetahui hakikat kejadian yang sebenarnya.

Firman Allah; wa maa yu’allimaani min ahadin hattaa yaquulaa innamaa nahnu fitnatun falaa takfur (“Sedang keduanya tidak mengajarkan [sesuatu] kepada seorang pun sebelum mengatakan: `Sesungguhnya kami hanya cobaan [bagimu], karena itu janganlah engkau kafir.”‘)

Dari Ibnu Abbas, Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan, “Jika ada seseorang yang mendatangi keduanya karena menghendaki sihir, maka dengan tegas keduanya melarang peminat sihir tersebut seraya berkata, `Sesungguhnya kami ini hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah engkau kafir.’ Yang demikian itu karena keduanya mengetahui kebaikan, keburukan, kekufuran, dan keimanan, sehingga mereka berdua mengetahui bahwa sihir merupakan suatu bentuk kekufuran.

Sedangkan “alfitnatu” berarti cobaan dan ujian. Demikian juga firman-Nya yang menceritakan mengenai Nabi Musa as, di mana Allah Ta’ala berfirman: in Hiya illaa fitnatuka (“Hal itu hanyalah cobaan dari-Mu”)(al-A’raaf: 155)

Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk mengkafirkan orang yang mempelajari sihir, dan memperkuatnya dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Hafidz Abu Bakar al-Bazzar, dari Abdullah, ia berkata: “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, lalu ia mempercayainya, berarti ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad (Isnad hadits ini shahih dan memiliki beberapa syahid lain.)

Dan firman Allah swt: wa yata’allamuuna minHumaa maa yufarriquuna biHii bainal mar-i wa zaujiHi (“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seseorang [suami] dengan istrinya.”) Artinya, orang-orang pun mempelajari ilmu sihir dari Harut dan Marut, yang mereka gunakan untuk hal-hal yang sangat tercela, seperti membuat terjadinya perceraian antara pasangan suami istri, padahal tadinya mereka akur dan harmonis dan ini termasuk perbuatan syaitan.

Sebagaimana yang dijelaskan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya setan itu meletakkan singgasananya di atas air, kemudian ia mengirim utusannya kepada manusia, maka pasukan yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar godaannya kepada manusia. Seorang anggota pasukan datang seraya melaporkan, ‘Aku terus menggoda si fulan sebelum aku meninggalkannya dalam ia mengatakan ini dan itu.’ Lalu iblis berkata, ‘Demi Allah, engkau tidak melakukan apapun kepadanya.’ Setelah itu datang anggota lain yang melapor, ‘Aku tidak meninggalkannya sehingga aku memisahkannya dari istrinya.’ Maka sang iblis mendekatinya dan senantiasa menyertainya serta berkata, ‘Ya, engkaulah yang paling dekat kedudukannya denganku.’” (HR Muslim)

Penyebab perceraian antara suami dan istri yang dilakukan melalui sihir adalah dengan menjadikan suami atau istri melihat pasangannya buruk, tidak bermoral, menyebalkan, dan sebab-sebab lainnya yang menyebabkan perceraian.

“al mar-u” artinya “arrajulu” [laki-laki] sedang untuk perempuan dikatakan “im-ratun”, masing-masing mempunyai bentuk dua, tapi tidak memiliki bentuk jamak [plural].

Firman-Nya: wa maa Hum bidlaarriina biHii min ahadin illaa bi-idznillaaHi (“Dan mereka itu [ahli sihir] tidak memberi mudlarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.”) Hasan al-Bashri mengatakan, “Benar, bahwa jika Allah kehendaki maka Allah kuasakan [orang yang akan mereka sihir] kepadanya [tukang sihir]. Dan jika Allah tidak kehendaki, maka Allah tidak biarkan hal itu dan mereka tidak mampu menyihir kecuali atas izin Allah, sebagaimana firman-Nya tersebut. Dan dalam sebuah riwayat dari Hasan al-Bashri disebutkan bahwa ia mengatakan, “Sihir itu tidak dapat memberikan mudlarat kecuali bagi orang yang masuk ke dalamnya (mempelajari).”

Dan firman Allah: wa yata’allamuuna maa yadlurruHum walaa yanfa’uHum (“Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudlarat kepadanya dan tidak memberi manfaat”) maksudnya perbuatan itu dapat membahayakan agamanya dan manfaatnya tidak sepadan dengan mudlaratnya.

Dia berfirman: wa laqad ‘alimuu la manisytaraaHu maa laHuu fil aakhirati min khalaaq (“Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya [kitab Allah] dengan sihir itu, tiadalah baginya keberuntungan di akhirat.”) Artinya, orang-orang Yahudi sudah mengetahui bahwa orang yang menukar kepatuhan kepada Rasulullah dengan sihir tidak akan mendapat bagian di akhirat.

Sedangkan Ibnu Abbas, Mujahid, dan as-Suddi mengemukakan (bahwa makna “min khalaaq” adalah), “min nashiib” dari [mendapat] bagian.”

Dan firman-Nya: wa labi’sa maa syarau biHii anfusaHum lau kaanuu ya’lamuuna wa lau annaHum aamanuu wat taqau lamatsuubatum min ‘indillaaHi khairul lau kaanuu ya’lamuun (“Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya seandainya mereka beriman dan bertakwa, [niscaya mereka akan mendapat pahala], dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.”)

Allah berfiman: wa labi’sa (“Dan amat jahatlah”) tindakan mereka mengganti keimanan dan kepatuhan kepada Nabi dengan sihir. Seandainya mereka memahami nasihat yang diberikan kepada mereka; wa lau annaHum aamanuu wat taqau lamatsuubatum min ‘indillaaHi khair (“Seandainya mereka beriman dan bertakwa, [niscaya mereka akan mendapat pahala], dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik.”) Maksudnya, seandainya mereka beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, maka pahala Allah atas hal itu lebih baik bagi mereka daripada apa yang mereka pilih dan mereka ridhai.

Firman-Nya: lau annaHum aamanuu wat taqau (“Seandainya mereka beriman dan bertakwa,”) dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa tukang sihir itu kafir. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ulama salaf. Ada yang mengatakan, bahwa tukang sihir itu tidak tergolong kafir, tapi hukumannya adalah dipenggal lehernya. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, keduanya menceritakan, Sufyan bin Uyainah pernah memberitahu kami, dari Amr bin Dinar, bahwa ia pernah mendengar Bajalah bin Abdah menceritakan: “Umar bin al-Khaththab pernah mengirimkan surat kepada para gubernur agar menghukum mati setiap tukang sihir, laki-laki maupun perempuan.” Lebih lanjut ia menuturkan, “Maka kami pun menghukum mati tiga orang tukang sihir.”
Imam Bukhari juga meriwayatkannya dalam kitab Shahihnya.

Dan Shahih pula riwayat yang menyebutkan bahwa Hafshah, Ummul Mukminin pernah disihir oleh budak wanitanya. Kemudian ia memerintahkan agar budak itu dihukum mati. Maka budak wanita itupun dibunuh.

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Dibenarkan dari tiga orang sahabat Nabi, mengenai membunuh tukang sihir.”

Penjelasan

Dan dalam tafsirnya, Abu Abdullah ar-Razi mengisahkan bahwa kaum Mu’tazilah mengingkari adanya sihir. Bahkan mungkin mereka mengkafirkan orang yang meyakini keberadaannya. Sedangkan Ahlus Sunnah mengakui kemungkinan seorang tukang sihir terbang ke udara atau merubah manusia menjadi keledai dan keledai menjadi manusia. Namun dalam hal itu mereka berpendapat bahwa Allah swt. menciptakan dan menetapkan sesuatu ketika tukang sihir itu membaca mantra atau bacaan-bacaan tertentu. Adapun apabila hal itu dipengaruhi oleh benda angkasa dan bintang-bintang, maka hal itu keliru. Dan itu jelas berbeda dengan pendangan para filosuf, ahli nujum, dan kaum Shabi’ah.

Mengenai kemungkinan terjadinya sihir tersebut dan bahwa hal itu adalah ciptaan Allah, ahlus sunnah wal jama’ah berargumentasi dengan dalil: wa maa Hum bidlaarriina biHii min ahadin illaa bi idznillaaHi (“Dan mereka itu [ahli sihir] tidak memberi madharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.”) Juga berdasarkan pada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah disihir.

Lebih lanjut Abdullah ar-Razi menuturkan bahwa sihir itu ada delapan:

Pertama, sihir para pendusta, dan kaum Kusydani yang terdiri dari penyembah bintang yang tujuh yang dapat berpindah-pindah, yaitu planet. Mereka ini berkeyakinan bahwa planet-planet itulah yang mengatur alam ini dan yang mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kepada mereka itulah Allah mengutus Nabi Ibrahim as. untuk membatalkan sekaligus menentang pendapat mereka itu.

Kedua, sihir orang-orang yang penuh hayalan (imajinasi) dan memiliki jiwa yang kuat. Mereka menyatakan bahwa hayalan itu memiliki pengaruh dengan argumen bahwa manusia ini dimungkinkan untuk berjalan di atas jembatan yang diletakkan di atas tanah, tetapi tidak mungkin berjalan di atasnya jika jembatan itu diletakkan di atas sungai atau yang semisalnya. Sebagaimana para dokter sepakat melarang orang yang hidungnya berdarah agar tidak melihat kepada segala sesuatu yang berwarna merah, dan orang yang menderita epilepsy tidak boleh melihat hal-hal yang mempunyai sinar atau putaran yang kuat. Yang demikian itu tidak lain karena jiwa itu diciptakan untuk menaati imajinasi. Menurut mereka ini, para ilmuwan telah sepakat bahwa adanya orang yang terkena (musibah disebabkan pandangan) mata adalah sebuah kenyataan.

(Ibnu Katsir) berkata: Dia (ar-Razi) menjadikan sebagai dasar pendapatnya itu dengan apa yang ditegaskan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah bersabda: “Terkena `ain (pandangan mata) adalah benar adanya, seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, maka pastilah ‘ain itu mendahuluinya.”

Ketiga, sihir yang menggunakan bantuan arwab ardhiyyah (arwah bumi), yaitu para jin. Hal itu berbeda dengan pandangan para filosuf dan mu’tazilah. Jin itu terbagi menjadi dua bagian: Jin mukmin dan jin kafir, jin kafir itu adalah syaitan. Hubungan jiwa manusia dengan para arwah bumi lebih mudah dibanding hubungan mereka dengan arwah langit, karena keduanya mempunyai kesesuaian dan kedekatan. Mereka yang melakukan percobaan dan pengalaman menyatakan bahwa hubungan dengan para arwah bumi ini dapat ditempuh dengan perbuatan-perbuatan yang cukup mudah, berupa mantra, kemenyan, dan pengasingan diri. Inilah yang disebut dengan ‘azaim (jampi-jampi) dan amalut taskhir (tindakan menundukkan jin).

Keempat, sihir dengan tipuan dan sulap mata. Dasarnya adalah bahwa pandangan mata itu bisa dikecohkan karena terfokus pada objek tertentu tanpa memperhatikan yang lainnya. Tidakkah anda melihat orang yang pintar bermain sulap mata memperlihatkan kelihaian menarik perhatian para penonton, hingga apabila mereka asyik memperhatikan hal itu dengan serius, maka ia melakukan hal lain dengan sangat cepat. Dan ketika itu ia memperlihatkan kepada para penonton sesuatu yang tidak ditunggu dan diduga, sehingga mereka pun sangat heran.

Kelima, sihir yang menakjubkan yang timbul dari penyusunan alat-alat yang tersusun berdasarkan susunan geometri yang berkesuaian. Misalnya, penunggang kuda yang berdiri di atas kuda yang di tangannya terdapat terompet, setiap satu jam, terompet itu berbunyi tanpa ada yang menyentuhnya.

Keenam, sihir yang menggunakan bantuan obat-obatan khusus, baik yang berupa obat yang diminum maupun yang dioleskan. Dan ketahuilah bahwasanya tiada jalan untuk mengingkari adanya pengaruh benda-benda khusus tersebut karena terbukti kita dapat menyaksikan adanya pengaruh daya tarik magnit.

Ketujuh, sihir yang berupa penundukan hati. Di mana seorang penyihir mengaku bahwa ia mengetahui Ismul A’zham (nama yang paling agung). Ia juga mengaku bahwa semua jin tunduk dan patuh kepadanya, dalam banyak urusan. Jika orang yang mendengar pengakuan /pemyataan penyihir seperti itu memiliki otak yang lemah dan daya pembeda yang minim, maka ia akan meyakini bahwa pernyataan seperti itu benar. Kemudian hatinya pun tergantung padanya, selanjutnya muncul rasa takut. Dan jika rasa takut sudah muncul, maka semua kekuatan inderawi menjadi lemah, dan pada saat itu si tukang sihir dapat berbuat sekehendak hatinya.

Kedelapan, sihir berupa usaha mengadu domba dengan cara tersembunyi dan lembut. Dan hal ini sudah tersebar luas di tengah-tengah masyarakat. Kemudian ar-Razi mengemukakan: “Demikianlah uraian mengenai macam-macam sihir dan jenis-jenisnya.”

Penulis (Ibnu Katsir) berkata: “Dimasukkannya macam-macam sihir ini ke dalam Ilmu sihir karena kelembutan jangkauannya, sebab menurut bahasa, sihir merupakan ungkapan dari sesuatu yang sebabnya sangat lembut dan tersembunyi”.

Abu Abdillah al-Qurthubi mengatakan: “Menurut kami (Ahlus Sunnah), sihir itu memang ada dan memiliki hakikat, Allah menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya. Hal itu berbeda dengan paham Mu’tazilah dan Abu Ishak Asfarayini, seorang ulama penganut madzhab Syafi’i, di mana mereka mengatakan bahwa sihir itu adalah kepalsuan dan ilusi belaka.” Dia (al-Qurthubi) berkata: “Di antara sihir itu ada yang berupa kelihaian dan kecepatan tangan, misalnya tukang sulap”.

Al-Qurthubi mengemukakan, “Di antara sihir ada yang menggunakan ucapan-ucapan yang dihafal dan mantra mantra yang terdiri dari nama-nama Allah Ta’ala. Ada juga yang berupa perjanjian dengan syaitan, dan ada pula yang menggunakan ramuan, dupa dan lain sebagainya.”

Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya di antara bayan itu adalah sihir.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih.)

Hal itu bisa jadi sebagai pujian, sebagaimana yang dikemukakan oleh suatu kelompok. Dan mungkin juga merupakan suatu celaan terhadap balaghah, dan ini, menurut al-Qurthubi yang lebih tepat, karena balaghah itu membenarkan yang batil sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam sebuah hadits: “Mungkin sebagian di antara kalian lebih pandai membuat hujjahnya daripada sebagian lainnya, lalu aku mengambil keputusan yang menguntungkannya.”
(HR. Khamsah, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam at-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah, dan Imam an-Nasa’i.)

Dalam bukunya yang berjudul “Madzhab-madzhab yang Mulia”, al-Wazir Abul Mudzafar Yahya bin Muhammad bin Hubairah rahimahullahu telah membahas suatu bab khusus mengenai sihir. Ia mengemukakan, para ulama telah sepakat bahwa sihir itu mempunyai hakikat (berpengaruh), kecuali Abu Hanifah, yang mengatakan: “Sihir itu sama sekali tidak mamiliki hakikat.”

Para ulama, lanjut Ibnu Hubairah, berbeda pendapat mengenai orang yang mempelajari dan mengamalkannya. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengemukakan, “Orang yang mempelajari dan mengamalkannya dapat dikategorikan kafir.” Di antara sahabat Abu Hanifah ada juga yang berpendapat bahwa orang yang mempelajari sihir dengan tujuan untuk menjauhi dan menghindarinya, tidak dapat dianggap kafir. Sedangkan orang yang mempelajarinya dengan keyakinan bahwa hal itu dibolehkan dan dapat memberi manfaat baginya, maka ia sudah termasuk kafir. Demikian halnya orang yang berkeyakinan bahwa syaitan-syaitan itu dapat berbuat sekehendak hatinya dalam sihir itu, maka ia juga dapat dikategorikan kafir.

Imam Syafi’i rahimahullahu mengatakan, “Jika ada seseorang yang mempelajari sihir, maka kami akan katakan kepadanya, ‘Terangkan kepada kami sihir yang engkau maksud.’ Jika ia menyebutkan hal-hal yang mengarah pada kekufuran, seperti misalnya apa yang diyakini oleh penduduk negeri Babil, yaitu berupa pendekatan diri pada bintang yang tujuh dan keyakinan bahwa bintang-bintang itu dapat melakukan apa yang diminta kepadanya, maka ia termasuk kafir. Dan jika apa yang dia sebutkan tidak mengarah kepada kekufuran, tapi jika ia menyakini bahwa sihir itu dibolehkan, maka ia juga termasuk kafir.”

Lebih lanjut Ibnu Hubairah mempertanyakan, “Apakah dengan sekedar pengamalan dan penerapan sihir, seorang tukang sihir harus dihukum mati?” Mengenai hal ini, Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat, (bahwa tukang sihir itu harus dihukum mati) pent. Sedangkan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat lain, “Tidak,” (tidak harus dihukum mati) pent. Tetapi jika dengan sihirnya seorang tukang sihir membunuh seseorang, maka ia harus dihukum mati. Demikian menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Abu Hanifah mengemukakan, “Si tukang sihir itu tidak harus dihukum mati kecuali jika ia telah melakukannya berulang-ulang atau mengakui telah melakukan sihir pada orang tertentu.” Menurut keempat imam tersebut di atas kecuali Imam Syafi’i, jika ia dibunuh, maka pembunuhan itu dimaksudkan sebagai hukuman baginya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa ia dibunuh sebagai qishash.

Kemudian Ibnu Hubairah mempertanyakan juga, “Jika seorang tukang sihir bertaubat apakah diterima taubatnya?” Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad: Taubatnya tidak dapat diterima.” Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad pada riwayat yang lain menyatakan bahwa, “Taubatnya diterima.” Menurut Abu Hanifah, “Tukang sihir dari ahlul kitab harus dibunuh sebagaimana tukang sihir muslim.” Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’i, “Tukang sihir dari Ahlul Kitab tidak dibunuh.” Hal itu didasarkan pada kisah Labid bin al-A’sham.

Lebih lanjut para ulama berbeda pendapat mengenai wanita muslimah yang menjadi tukang sihir. Menurut Imam Abu Hanifah, “Wanita penyihir itu tidak dibunuh, tetapi hanya dipenjara. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’i, “Hukum yang diterima tukang sihir wanita itu sama dengan hukuman yang diberlakukan bagi tukang sihir laki-laki.” Wallahu a’lam.

Abu Bakar al-Khallal meriwayatkan dari az-Zuhri, bahwa ia mengatakan: “Tukang sihir dari kalangan orang muslim harus dibunuh, sedangkan penyihir dari kalangan orang musyrik tidak dibunuh, karena Rasulullah saw. pernah disihir oleh seorang wanita Yahudi, tetapi beliau tidak membunuhnya.”

Al-Qurthubi pernah menukil dari Malik rahimahullahu, ia mengatakan, “Tukang sihir dari orang kafir dzimmi harus dibunuh jika sihirnya itu membunuh orang.”

Ibnu Khuwaiz Mindad meriwayatkan dua pendapat dari Imam Malik mengenai orang kafir dzimmi yang melakukan sihir. Pertama, “Ia diminta bertaubat. Jika ia mau bertaubat dan masuk Islam, maka ia tidak dibunuh, dan jika tidak maka ia dibunuh.” Kedua, “Ia harus dibunuh meskipun sudah bertaubat dan masuk Islam.”

Sedangkan mengenai tukang sihir Muslim, jika sihirnya itu mengandung kekufuran, maka menurut empat imam dan juga ulama lainnya orang itu termasuk kafir. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesunggguhnya kami hanya cobaan (hagimu), karena itu janganlah engkau kafir.” (QS. Al-Baqarah: 102)

Akan tetapi Imam Malik berkata: “Jika sihir itu tampak padanya, tidak diterima taubatnya karena dia seperti seorang zindiq (kafir). Apabila dia bertaubat sebelum tampak sihir itu padanya dan datang kepada kami dengan bertaubat, kami menerimanya. Dan jika sihirnya membunuh, maka di dibunuh.”

Imam Syafi’i mengatakan, “Jika tukang sihir itu mengatakan, ‘Aku tidak sengaja membunuhnya,’ maka ia termasuk pembunuh yang tidak sengaja dan diharuskan baginya membayar diyah.”

Hal yang paling ampuh untuk mengusir sihir adalah apa yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya saw, yaitu mu’awwidzatain (yaitu an-Naas dan al-Falaq). Dalam sebuah hadits disebutkan: “Orang yang berlindung tidak berlindung sekokoh berlindung dengannya (an-Naas dan al-Falaq).”

Demikian juga bacaan ayat Kursi, karena bacaan itu dapat mengusir syaitan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 98-99

6 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 98-99“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Mahamenyaksikan apa yang kamu kerjakan.’ (QS. 3:98). Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.’ Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. 3:99)

Ini merupakan kecaman keras dari Allah bagi orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab, atas keengganan mereka menerima kebenaran dan kekafiran mereka terhadap ayat-ayat Allah, serta tindakan mereka menghalang-halangi dari jalan Allah terhadap orang-orang beriman yang hendak menuju Allah dengan menggunakan segala daya dan kekuatan mereka. Padahal mereka
mengetahui bahwa apa yang dibawa Rasulullah adalah haq dari Allah dan mereka pun mempunyai pengetahuan tentang para Nabi dan Rasul terdahulu serta kabar gembira yang disebutkan dan disampaikan kepada mereka mengenai kedatangan Nabi yang buta huruf, dari Bani Hasyim, berbangsa Arab dan berasal dari Makkah, pemimpin anak keturunan Adam, Nabi terakhir, Rasul Allah pemelihara langit dan bumi.

Allah mengancam mereka atas hal itu, serta memberitahukan bahwa Dia menyaksikan apa yang mereka perbuat, karena tindakan mereka menyalahi apa yang ada di tangan mereka dari para Nabi, serta perlakuan mereka terhadap Rasul yang diberitakan dengan berita gembira dengan pendustaan, pengingkaran dan pembangkangan.

Lalu Allah memberitahukan bahwa Dia sama sekali tidak pernah lengah dan lalai atas apa yang mereka kerjakan, artinya Dia akan memberikan balasan yang setimpal atas perbuatan mereka.

Yauma laa yanfa-‘u maaluw wa laa banuun (“Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak lagi bermanfaat.”) (QS. Asy-Syu’araa: 88)

&

99. Surah Al-Zalzalah

4 Des

Pembahasan Tentang Surat-Surat Al-Qur’an (Klik di sini)
Tafsir Ibnu Katsir (Klik di sini)

Surat ini terdiri atas 8 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah diturunkan sesudah surat An Nisaa’. Nama Al Zalzalah diambil dari kata: Zilzaal yang terdapat pada ayat pertama surat ini yang berarti goncangan.

Pokok-pokok isinya:
Kegoncangan bumi yang amat hebat pada hari kiamat dan kebingungan manusia ketika itu; manusia pada hari kiamat itu dikumpulkan untuk dihisab segala amal perbuatan mereka.
Surat Az Zalzalah menerangkan tanda-tanda permulaan hari kiamat dan pada hari itu manusia akan melihat sendiri hasil perbuatan mereka, baik ataupun buruk, meskipun sebesar dzarrah.

HUBUNGAN SURAT AZ ZALZALAH DENGAN SURAT AL ‘AADIYAAT

Surat Az Zalzalah menerangkan balasan atas perbuatan yang baik dan yang buruk, sedang pada surat Al ‘Aadiyat Allah s.w.t. mencela orang-orang yang telah mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan kehidupan akhirat dan tidak mempersiapkan diri mereka untuk kehidupan akhirat itu dengan amal kebajikan.