Tag Archives: abu bakar

Kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H)

25 Mei

Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

Ketika kabar wafatnya Rasulullah saw. diumumkan, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. baru datang dari Sanh (di tempat itulah tinggal istri Abu Bakar ra: Habibah binti Kharijah), sebuah daerah dekat Madinah. Kemudian ia membuka penutup wajah Rasulullah saw. dan mencium kening beliau seraya berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan, engkau adalah suci baik ketika masih hidup maupun setelah wafat.”

Abu Bakar menutup wajar Rasulullah saw. kemudian berdiri naik ke mimbar, lalu menyadarkan orang-orang, “Siapa saja di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwasannya Muhammad telah meninggal. Dan siapa saja di antara kalian yang menyembah Allah, maka ketahuilah bahwasannya Allah Mahahidup, tidak akan pernah mati.” Lalu ia membacakan firman Allah [yang artinya]:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali ‘Imraan: 144)

Lalu mulailah para shahabat menangis terisak-isak. Mereka keluar ke jalan-jalan seraya mengulang-ulang ayat tersebut. Anas ra. berkata, “Seolah-olah kami belum pernah mendengar ayat ini kecuali saat itu.” Padahal al-Qur’an telah sempurna pada zaman Rasulullah saw. sebelum wafat. Walaupun demikian, ayat ini seolah-olah baru bagi mereka, dan itu disebabkan dahsyatnya musibah wafatnya Nabi saw.

Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, ‘Ali bin Abu Thalib dan al-Fadhl bin al-‘Abbas, yang dibantu oleh shahabat lain memandikan dan mengkafani Rasulullah saw. Kemudian beliau dishalatkan dan dikebumikan. Pengurus jenazah Nabi saw seperti itu karena al-‘Abbas adalah paman beliau, serta ‘Ali dan al-Fadhl adalah sepupu beliau. Maka merekalah yang paling berhak mengurus jenazah beliau.

&

Khilafah Abu Bakar Ash Shiddiq

22 Sep

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah;
analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah

Setelah wafatnya Rasulullah saw, kaum Muslimin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa‘idah. Mereka membicarakan siapakah sepatutnya yang menggantikan Rasulullah saw dalam memimpin kaum Muslimin dan mengursi persoalan ummat. Setelah diskusi, pembahasan , dan pengajuan sejumlah usulan, tercapailah kesepakatan bulat bahwa Khalifah Rasulullah pertama sesudah kematian beliau adalah orang yang pernah menjadi Khalifah (pengganti) Nabi saw dalam mengimami kaum Muslimin saat beliau sakit. Itulah Ash Shiddiq sahabat beliau ynag terbesar dan pendamping beliau di dalam gua. Abu Bakar ra. Ali ra tidak pernah menentang kesepakatan tersebut. Keterlambatan baiat Ali kepada Abu Bakar karena urusan yang berkaitan dengan perbedaan pendapat yang terjadi antara Abu Bakar dan Fathimah ra mengenai masalah warisan Fathimah dari Rasulullah saw.

Hal-hal Penting yang dilakukan Abu Bakar selama menjadi Khalifah

Pertama,
Setelah resmi menjadi Khalifah, Abu Bakar segera memberangkatkan pasukan Usamah. Pasukan itu tertahan setelah sampai di sebuah tempat dekat Madinah bernama Dzu Khasyab, tempat ketika Usamah mendapat berita tentang sakitnya Rasulullah saw. Abu Bakar ra tidak memperdulikan pendapat-pendapat yang mendesak agar pasukan Usamah dibekukna mengingat tersebarluasnya kemurtadan di sebagian barisan. Sebagaimana beliau juga tidak memperdulikan pendapat-pendapat yang menghendaki penggantian Usamah dengan orang lain.

Abu Bakar Ash Shiddiq ra berangkat mengantarkan pasukan yang dipimpin Usamah, dengan berjalan kaki. Ketika Usamah bermaksud turun dari kendaraannya agar dinaiki oleh Abu Bakar, ia berkata kepada usamah : „Demi Allah, engkau tidak perlu turun dan aku tidak usah naik.“ Selanjutnya Abu Bakar menyampaikan wasiat kepada pasukan untuk tidak berkhianat, tidak menipu, tidak melampaui batas, tidak mencincang musuh, tidak membunuh anak-anak atau wanita atau orang lanjut usia, tidak memotong kambing atau onta kecuali untuk dimakan.
Diantara wasiat yang disampaikan Abu Bakar kepada mereka ialah :

„Jika kalian melewati suaut kaum yang secara khusus melakukan ibadah di biara-biara maka biarkanlah mereka dan apa yang mereka sembah.“
Kemudian secara khusus Abu Bakar berkata kepada Usamah : “Jika engkau berkenan kuusulkan agar engkau mengijinkan Umar untuk tinggal bersamaku, sehingga aku dapat meminta pandangannya dalam menghadapi masalah/persoalan kaum Muslimin.” Usamah menjawab : „Urusanmu terpulang kepadamu.“

Kemudian Usamah bergerak bersama pasukannya. Setiap kali melewati suatu kabilah yang para warganya banyak melakukan kemurtadan. Usamah berhasil mengembalikan lagi (kepada Islam). Orang-orang murtad itu merasa gentar karena mereka yakin seandainya kaum Muslimin tidak akan keluar pada saat sekarnag ini dan dengan pasukan seperti ini untuk menghadapi orang-orang Romawi. Sesampainya di negeri (jajahan) Romawi, tempat dimana ayahnya terbunuh. Usamah beserta pasukannya menyerbu mereka hingga Allah memberikan kemenangan. Kemudian mereka kembali dengan membawa kemenangan.

Kedua,
Memberangkatkan pasukan untuk memerangi orang-orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat. Pasukan ini dibaginya, sepuluh panji, masing-masing pemegang panji diperintahkan untuk menuju ke suatu daerah. Sementara itu Abu Bakar sendiri telah siap berangkat memimpin satu pasukan ke Dzil Qishshah, tetapi Ali ra bersikeras untuk mencegahnya seraya berkata :
„Wahai Khalifah Rasulullah, kuingatkan kepadamu apa yang pernah dikatakan Rasululah saw pada perang Uhud.“Sarungkan pedangmu dan senangkanlah kami dengan dirimu. Demi Allah , jika kaum Muslimin mengalami musibah karena kematianmu niscaya mereka tidak akan memiliki eksistensi sepeninggalmu.“ Kemudian Abu Bakar ra kembali dan menyerahkan panji tersebut kepada yang lain. Allah memberikan dukungan kepada kaum Muslimin dalam pertemupuran ini, sehingga berhasil menumpas kemurtadan , memantapkan Islam di segenap penjuru Jazirah dan memaksa semua kabilah untuk membayar zakat.

Ketiga,
Memberangkatkan pasukan Khalid bin Walid ke Iraq, bersma Mtsni bin Haritsah Asy Syaibani yang kemudian berhasil menaklukan negeri dan kembali dengan membawa kemenangan dan barang rampasan.

Keempat,
Abu Bakar memberikan gagasan dan memprakarsai memerangi negeri-negeri Romawi. Setelah para sahabat dikumpulkan dan dimintai pendapat mereka tentang gagasan ini akhirnya mereka menyetujuinya. Lalu Abu Bakar menoleh ke arah Ali seraya bertanya :“Bagaimana pendapatmu wahai Abul Hasan?“ Ali ra menjawab ,“Aku melihat bahwa engkau senantiasa memperoleh keberkahan, keunggulan dan pertolongan insya Allah.“ Mendengar jawaban ini Abu Bkar ra merasa sangat gembira dan Allah pun melapangkan dadanya untuk melaksanakan gagasan tersebut.

Kemudian Abu Bakar mengumpulkan orang-orang dan menyampaikan kepada mereka. Dalam khutbahnya ia memobolisir masyarakat untuk berangkat jihad. Beliau juga menulis sejulah surat kepada para gurbernurnya, memerintahkan mereka agar hadir. Maka setelah berkumpul sejumlah komandan, Abu Bakar memerintahkan mereka agar berangkat ke Syam pasukan demi pasukan.

Abu Bakar ra menunjuk Abu Ubaidah ra mengepalai Amir pasukan. Setiap kali seornag Amir berangkat, beliau melepasnya dan memberikan wasiat agar bertaqwa kepada Allah, menjaga persahabatan dengan baik, selalu menjada shalat berjama‘ah pada waktunya. Beliau berpesan agar masing-masing orang memperbaiki dirinya sehingga Allah menjadikan orang lain berbuat baik padanya, menghormati par autusan musuh yang datang kepada mereka, mempersingkat keberadaan para utusan musuh tersebut di tengah -tengah mereka agar tidak mengetahui keadaan dan kondisi pasukan kaum Muslimin.

Setelah kaum Muslimin berangkat menuju negeri-negeri Romawi dan tiba di Yarmuk, mereka mengirim berita kepada Abu Bakar bahwa pasukan romawi berjumlah sangat besar. Kemudian Abu Bakar menulis surat kepada Khalid bin Walid di Iraq, memerintahkan agar berangkat menuju Syam dengna membawa separuh pasukan yang bertugas di Iraq untuk membantu pasukan Abu Ubaidah, dan menunjuk Mutsni bin Haritsah sebagai gantinya untuk memimpin separuh pasukan yang ada di Iraq. Kepada Khalid bin Walid Abu Bakar ra juga memerintahkan agar memimpin pasukan di Syam setibanya di negeri tersebut.

Kemudian Khalid bin Walid berangkat dan bergabung dengan kaum Muslimin di Syam. Kepada Abu Ubaidah, Khalid bin Walid menulis surat yang isinya :
“Amma ba‘du, sesungguhnya aku memohon kepada Allah agar melimpahkan keamanan kepada diriku dan dirimu pada saat menghadapi ketakutan dan memberikan perlindungan di dunia dari segla keburukan. Baru saja aku menerima surat dari Khalifah Rasulullah saw. Belau memerintahkan aku agar bergerak menuju Syam dan memimpin pasukannya. Demi Allah, aku tidak pernah meminta hal tersebut dan aku tidak mengininkannya. Tetaplah engkau pada posisimu sebagaimana sedia kala, kami tidak akan menolak (perintah)mu, tidak akan menentangmu dan tidak akan memutuskan perkara tanpa kehadiran dirimu …”

Setelah membaca surat Khalid bin Walid , Abu Ubaidah berkata : “Semoga Allah melimpahkan keberkahan keputusan Khalifah Rasulullah dan mendukung apa yang dilakukan oleh Khalid.“

Sebelumnya Abu Bakar telah menulis surat kepada Abu Ubaidah yang isinya menyatakan :
“Amma ba‘du! Sesungguhnya aku telah emngangkat Khalid bin Walid untuk memerangi musuh di Syam. Oleh karena itu jangalah engkau menentangnya. Dengar dan taatilah dia! Wahai saudaraku, sesungguhnya aku mengutusnya kepadamu bukan karena dia lebih baik darimu, tetapi hanya karena aku berkeyakinan bahwa dia memiliki kecerdikan dalam berperang di tempat yang sangat kritis ini. Semoga Allah menghendaki kebaikan bagi kami dan kamu. Wassalam….“

Kemudian terjadilah beberapa kali pertempuran sengit antara kaum Muslimin dan orang-orang Romawi yang akhirnya dimenangkan oleh kaum Muslimin. Orang-orang Romawi yang berhasil dibunuh tidka terhitung banyaknya, sebagaimana jumlah mereka yang ditawan.
Di tengah berkecamuknya pertempuran ini Khalid bin Walid mendapat surat yang memberitahukan bahwa Abu Bakar telah wafat dan digantikan oleh umar ra. Surat itu juga menytakan pemecatan Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan dan diganti kembali oleh Abu Ubaidah. Berita ini oleh Khalid dirahasiakan agar tidak terjadi keguncangan di kalangan barisan kaum Muslimin. Ketika Abu Ubaidah menerima berita tersebut, ia juga merahasiakan karena pertimbangan yang sama.

Abu Bakar ra wafat

Abu Bakar wafat pada tahun ke 13 Hijri, malam Selasa tanggal 23 Jumadil Akhir, pada usia 63 tahun. Masa Khilafahnya 2 tahun 3 bulan dan 3 hari. Ia dikubur di rumah Aisyah ra di samping kubur Rasulullah saw.

Wasiatnya Tentang Khalifah Umar

Menjelang wafatnya. Abu Bakar meminta pendapat sejumlah sahabat generasi pertama ynag tegolong ahli syura. Mereka seluruhnya sepakat untuk mewasiatkan Khilafah sesudahnya kepada Umar bin Khaththab ra. Dengan demikan Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali mewasiatkan Khilafah sepeninggalnya kepada orang yang sudah ditunjuk, dan mengangkat Khilafah berdasarkan wasiat tersebut. Barangkali ada baiknya kami kemukakan penjelasan tentang rincian hal tersebut :

Ath-Thabari, Ibnu Jauzi dan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Abu Bkar ra khawatir kaum Muslimin berselisih pendapat sepeninggal beliau, kemudian tidak memperoleh kata sepakat. Karenanya, ia mengajak mereka ketika sakitnya semakin berat agar mencari seorang Khalifah bagi mereka sepeninggalnya. Abu Bakar ra ingin agar hal tersebut telah tuntas semasa ia masih hidup dan sepengetahuannya.

Kaum Muslimin belum mendapatkan kesepakatan tentang siapa yang akan menggantikan Abu Bakar ra dalam amsa yang singkat tersebut. Kemudian mereka mengembalikan masalah tersebut kepada Abu Bakar seraya berkata,“Terserah kepada pendapatmu saja.“ Saat itulah Abu Bakar mulai meminta pendapt dari para tokoh sahabat masing-masing secara terpisah. Ketika Abu Bakar ra mengetahui kesepatakan mereka tentang kelayakan dan keutamaan Umar ra, ia pun keluar menemui orang banyak seraya memberitahukan bahwa ia telah menyerahkan segenap usaha untuk memlih siapakah orang ynag paling layak dan tepat menggantikannya. Kepada khalayak, Abu Bakar ra meminta agar mereka menunjuk Umar ra, sebagai Khalifah sepeninggalnya. Mereka semua menjawab :“Kami dengar dan kami taat.“

Atas dasar apa Umar menjadi Khalifah ? Mungkin ada yang menyangka bahwa cara pengangkatan Khalifah tersebut dengan pemilihan calon tunggal dan jauh dari syura yang seharusnya dilakukan oleh Ahlul Hallo Wal Aqdi di kalangna kaum Muslimin.

Jika kita perhatikan secara seksama, sebenarnya hal tersebut didasarkan kepada syura Ahlul Hallo Wal Aqdi. Sebab, Abu Bakar tidak meminta kepada mereka agar menunjuk Umar kecuali setelah meinta pendapat para tokoh sahabat ynag kemudian secara bulat menyepakati dan merekomendasikan Umar. Sekalipun demikian pengangkatan Abu Bakar terhadap Umar tersebut belum bisa dilaksanaan dan dikukuhkan kecuali setelah ia berkhutbah di hadapan para sahabat dan meinta kepada mereka untuk mendengar dan mentaati Umar. Lalu merka semua menjawab : Kami mendengar dan kami mentaati. Juga setelah kaum Muslimin bersepakatan sepeninggalnya atas kebenaran tindakan Abu Bakar dan kabsahan proses penggantian (suksesi) tersebut.

Demikianlah dalil dari ijma‘ (kesepakatan) atas terlaksananya Imamah melalui istikhlaf (penunjukkan orang tertentu) dan ahd (wasiat) dengan memperhatikan syarat-syarat yang syari dan mutabarah.

Surat Wasiat (Kitabul ‚ahd) kepada Umar

Setelah mengetahui kesepatakan semua orang atsa penunjukkan Umar sebagai pengganti. Abu Bakar memanggil ustman bin Affan dan membacakan surat berikut ini kepadanya :
“Bismillahirrahmanirrahim. Berikut ini adalah wasiat Abu Bakar, Khalifah Rasulullah, pada akhir kehidupannya di dunia dan awal kehidupannya di akherat, di mana orang kafir akan beriman dan orang fajir akan yakin, sesungguhnya aku telah mengangkat Umar bin Khaththab untuk memimpin kalian. Jika dia bershabar dan berlaku adil maka itulah yang kuketahui tentang dia, dan pendapatku tentang dirinya. Tetapi jika dia menyimpang dan berubah maka aku tidak mengetahui hal yang ghaib. Kebaikanlah yang aku inginkan bagi setiap apa yang telah diupayakan. Orang-orang yang zhalim akan mengetahui apa nasib yang akan ditemuinya.”

Abu Bakar menstempel. Lalu surat wasiat ini dibawa keluar oleh Ustman untuk dibacakan kepada khalayak ramai. Kemudian mereka pun membaiat Umar bin Khaththab. Peristiwa ini berlanguns pada bulan Jumadil Akhir tahun ke 13 Hijri.

Beberapa Ibrah.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Khilafah Abu Bakar ra tersebut menunjukkan sejumlah hal dan prinsip , diantaranya :

Pertama,
Khilafah Abu Bakar ra berlangsung melalui syura. Semua Ahlul Halli Wal ‚Aqdi dari kalangna sahabt termasuk di dalamnya Ali ra, ikut serta dalam pengambilan keputusan ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidka satupun nash al-Quran atau Sunnah yang menegaskan hak Khalifah kepada seseorang sepeninggal Rasulullah saw. Seandainya ada nash ynag menegaskannya niscaya tidak akan ada syura untuk menentukannya dan para sahabatnya tidak akan berani melangkahi apa yang ditegaskan oleh nash tersebut.

Kedua,
Perbedaan pendapat yang terjadi di Saqifah Bani Sa‘idah antar para tokoh sahabat , dalam rangka memusyawarahkan pemilihan Khalifah merupakan hal ynag lumrah ynag menjadi tuntutan pembahasan suatu permasalahan. Bahkan hal ini menjadi bukti nyata atas perlindungan Pembuat Syariat (Allah) terhadap beraneka ragam pendapat dan pandangan dari segala bentuk pelarangan dan pembatasan selama menyangkut masalah yang tidak dinyatakan secara tegas dan gamlang oleh nash. Jalan untuk mencapai kebenaran tentang setiap masalah yang didiamkan oleh Pembuat Syariat ialah dengan mengemukakan berbagai pandangan dan membahasnya semua dengan obyektif, bebas dan jujur.

Musibah yang dihadapi kaum Muslimin pada sat itu sangat besar dan persoalannya pun sangat pelik. Seandainya para sahabat tidak menemukan satu pilihan (calon tunggal9 yang ditawarkan untuk divoting kemudian disepakati, niscaya hal tersebut merupakan syura palsu dan kesepakatan yang dipaksakan dari luar.

Sungguh aneh perilaku orang-orang yang menuntut syura di dalam Islam yang menuduhnya diktatorship, sehingga ketika menyaksikan praktek-praktek yng sebenarnya dengan serta merta mereka menuduhnya (karena bodoh atau pura-pura bodoh) sebagai perpecahan dan pertentangan. Bagaimana kiranya konsepsi dan bentuk syura dalam benak mereka ? Bagaimankah seharusnya syura itu dipraktekkan ?

Ketiga,
Nasehat Ali ra kepada Abu Bakar ra agar tidak ikut terjun memerangi kaum murtad. Ali khawatir kaum Muslimin jika dia terbunuh, menjadi bukti nyata atas kecintaan Ali ra yang sangat mendalam terhadap Abu Bakar. Disamping merupakan bukti nyata pula bahwa Ali telah sepenuhnya menerima Khilafah Abu Bakar dan kelayakannya untuk memimpin kaum Muslimin. Sebagaimana hal ini juga menunjukkan tingkat kerjasama dan keikhlasan antara keduanya.

Apapun yang dikatakan orang tentang keterlambatan Ali dalam membaiat Abu Bakar, dan betatapun perbedaan tentang seberapa lama keterlambatan pembaiatan tersebut, tetapi yang jelas bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan hakekat ini dan tidak pula merusaknya. Seperti diketahui bahwa keterlambatan baiat Ali ra hanylaah karena pertimbangan sambung rasa (musyawaraH9 atau mujamalah (basa basi) terhadap perasaan Fathimah ra yang begitu yakin, dengan ijtihadnya , bahwa dirinya berhak mewarisi dari ayahnya. Rasulullah saw, sebagaimana setiap anak wanita mewarisi dari bapaknya. Keterlabatan ini bukan karena kedengkian atau ketidak setujuan yang disembunyikanoleh Ali terhadap Abu Bakar. Mungkinkah orang yang menyimpan sikap yang penuh dengna rasa cinta , kerjasama dan ghirah ini ?

Keempat,
Setiap Muslim yang merenungkan sikap yang diambil oleh Abu Bakar ra terhadap Kabilah-kabilah ynag murtad dan tekadnya yang begitu kuat untuk memerangi kabilahkabilah terebut, sehingga berhasil meyakinkan semua sahabat yang pada mulanya tidak bersedia melakukannya, niscaya akan meyakini adanya himah Allah yang telah mengangkat orang yang sesuai dan untuk menghadapi tugas yang sesuai pula. Siapapun diantara kita hampir tidak dapat membayangkan bahwa di kalangan sahabt ada orang yang lebih patut dari Abu Bakar untuk menghentikan badai (kemurtadan) tersebut dan mengembalikan ke pangkuan Islam.

Umar yang terkenal tegar dan kuat di kalangan para sahabat itu menjadi lemah tekadnya dan surut ketegarannya menghadapi badai ini. Adakah orang yang telah menyaksikan hikmah Ilahiyah ynag mengagumkan ini masih inign mengecam sejarah dan apra pelakunya ?

Kelima,
Mungkin ada yang mengira bahwa semata-mata wasiat (‚ahd) dan penunjukkan ganti (istikhlaf) dapat dinilai sebagai salah satu cara pengukuhan Imamah dan pemerintahan, dengan dalil tindkaan Abu Bakar yang telah mewasiatkan Khalifah kepada umar. Tetapi permasalahan yang sebenarnya tidaklah demikian. Pengukuhan Imamah tidak dapat diakui sah kecuali setelah mengemukakan kepada kaum Muslimin, kemudian pernyataan ridha dari kaum Muslimin terhadap Imamah yang telah diwasiatkan tersebut.

Jadi, ditetapkannya Imamah hanyalah dengan keridhahan tersebut. Yakni, seandainya Abu Bakar mewasiatkan Khalifah kepada umar tetapi kaum Musliin tidak meridhainya maka wasiat terebut tida ada nilainya.
Dari sini kita mengetahui, sebagaimana telah kami sebutkan terdahulu, bahwa Khilafah Umar berlangsung berdasarkan masyurah dhiminiyah (syura tidak langsung/implicit) yang termasuk ke dala kesepakatan sahabat dalam menyetujui orang yang dipilih Abu Bakar untuk mereka.

&

Abu Bakar Memimpin Jama’ah Haji

19 Sep

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah;
analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah

Sekembalinya dari Tabuk, Rasulullah saw ingin melaksanakan ibadah Haji, kemudian berasbda : „Tetapi orang-orang musyrik masih hadir melakukan thawaf dengan telanjang. Aku tidak ingin melaksanakan ibadah haji sebelum hal itu dihapuskan.“ Kemudian beliau mengutus Abu Bakar ra dan menyusulinya dengan Ali ra guna melarang kaum musyrikin melakukan ibadah haji setelah tahun ini, dan memberikan tempo selama empat bulan untuk masuk Islam. Setelah itu tidak ada pilihan antara mereka dan kaum Muslimin kecuali perang.

Bukhari meriwayatkan di dalam kitabil maghazi dari Abu Hurairah ra bahwa Abu Bakar ra diutus oleh Nabi saw sebagai Amir jama‘ah haji sebelum haji wada‘ (haji Rasulullah saw). Pada hari nahr (penyembelihan kurban), Abu Bakar ra mengumumkan di tengah kerumunan manusia : Sesudah tahun ini tak seorang musyrik pun boleh menunaikan ibadah haji, dan tak seorang pun boleh berthawaf tanpa pakaian.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Mahraz bin Abu Hurairah dari bapaknya, ia berkata : Ketika Ali bin Abu Thalib diutus olehRAsulullah saw untuk menyampaikan surat Bara‘ah kepada penduduk Mekkah, aku ikut menyertainya. Ditanyakan kepada Ali ra : Apakah yang hendak andap sampaikan? Ia menjawab : Kami menyampaikan bahwa tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman, tidak boleh thawaf dengan telanjang, barangsiapa mempunyai perjanjian dengan Rasulullah saw maka perjanjian itu hanya berlaku sampai empat bulan, jika empat bulan itu telah berlalu maka Allah dan Rasul- Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik, setelah tahun ini takseorang pun yang boleh menunaikan ibadah haji. Ali berkata : Kemudian aku menyampaikannya sampai suaraku serak.

Itulah yang dimaksudkan oleh firman Allah :
„Dan inilah suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada ummat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu, dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidka dapat melemahkan Allah. Dan beritahukanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.“ QS At-Taubah : 3

Ibnu Sa‘ad meriwayatkan bahwa ketika Nabi saw menunjuk Abu Bakar sebagai Amir Jama‘ah haji, ia (Abu Bakar) berangkat bersama 300 orang dari penduduk Madinah dengan membawa 20 ekor binatang qurban.

Beberapa Ibrah

1. Orang-orang Musyrik dan Tradisi Mereka dalam Haji

Seperti telah anda ketahui bahwa menunaikan ibadah haji ke Baitullah al-Haram adalah termasuk warisan yang diterima oleh orang-orang Arab dari Ibrahim as. Ia termasuk sisa-sisa ajaran Hanafiyah yang masih mereka pelihara, tetapi sudah banyak kemasukan karat-karat jahiliyah dan kebathilan ajaran kemusyrikan. Sehingga warna kemusyrikan lebih dominan daripada yang seharusnya dilakukan berdasarkan aqidah tauhid.

Ibnu A‘idz berkata bahwa kaum musyriin sebelum tahun ini menunaikan ibadah haji bersama kaum Muslimin. Mereka mengganggu kaum Muslimin dengan mengeraskan ucapan „talbiah“ mereka yang artinya :“Tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang pantas bagi-Mu dan baginya. Beberapa orang di antara mereka melakukan thawaf dengan telanjang, tanpa pakaian sama sekali. Perbuatan ini mereka anggap sebagap penghormatan kepada Ka‘bah. Kata salah seorang di antara mereka :“Aku Thawaf di Ka‘bah sebagaimana saat aku dilahirkan oleh ibuku, tidak ada kotoran benda dunia yang melekat ditubuhkku.“
Kotoran-kotoran jahiliyah ini habis pada tahun ke-9 Hijriyah, tahun dimana Abu Bakar memimpin rombongan haji dan disampaikannya peringatan kepada semua orang musyrik bahwa Masjidil Haram harus dibersihkan dari kotoran-kotoran kemusyrikan untuk selama-lamanya.

2. Berakhirnya perjanjian dengan Diumumkannya Peperangan.

Perlu anda ketahui bahwa kaum Musyrikin pada waktu itu, sebagiamana dikatakan oleh Muhammad bin Ishaq dan lainnya, ada dua kategori. Pertama, mereka yang punya perjanjian dengan Rasulullah saw tetapi masa berakhirnya perjanjian tersebut kurang dari empat bulan. Kepada mereka ini diberi tempo sampai berakhirnya masa pernjanjian tersebut. Kedua, mereka ynag punya perjanjian dengan Rasulullah saw tanpa batas. Kepada mereka ini al-Quran di dalam surat Bara‘ah membatasi masa berakhirnya dengan empat bulan, kemudian setelah itu merka berada dalam keadaan perang dengan kaum Muslimin, Mereka boleh dibunuh dimana saja ditemukan, kecuali jika masuk Islam dan menyatakan taubat. Permulaan batas waktu ini adalah har Arafah, pada tahun ke-9 Hijri sampai tanggal bulan Rabi‘ul Akhir.

Dikatakan yaitu pendapat Al Kalbi bahwa empat bulan tersebut adalah tempo yang diberikan kepada orang musyrik yang punya perjanjian kurang dari empat bulan dengan Rasulullah saw. Sedangkan ornag musyrik yang punya perjanjian dengan Rasululah saw lebih dari empat bulan maka Allah telah memerintahkan agar disempurnakan sampai berakhir batas waktunya. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah :
„Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengdakana perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.“ (QS At-Taubah : 4)

Tetapi pendapat yang pertama lebih benar dan tepat, karena Surat Bara‘ah tidak menegaskan sesuatu yang baru sebagaimana pendapat al-Kalbi di atasnya. Ia hanyalah merupakan penegasan terhadap perjanjian-perjanjian ynag sudah disetujui antara Rasulullah saw dan kaum musyrikin, Ia tidak mengubah sedikit pun dari perjanjianperjanjian itu ataupun mengemukakan hal yang baru. Seandainya demikian, lantas apa artinya Ali ra membacakan surat tersebut di hadapan khalayak kaum musyrikin sebagai peringatan bagi mereka ?

3. Penegasan Tentang Hakekat Makna Jihad.

Di dalam surat ini anda dapat membaca penegasan baru bahwa jihad di dalam syar‘I Islam bukan perang defensif sebagaimana diinginkan oleh para orientalis. Perhatikanlah firman Allah yang memperingatkan sisa-sisa kaum Musyrikin di sekitar Mekkah dari penduduk Nejd dan lainnya :

“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang ditujukan) kepada orang-orang musyrik yang kaum (kaum Muslimin) telah mengdakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum Musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir. Dan (inilah) pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umamt manusia pada haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri daro orang-orang musyrik. Kemudian jika kamu (kaum Musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu, dan jika kamu berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritahukanlah kepada orangorang kafir (bahwa merkea akan) mendapat siksa yang pedih. Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengulangi sesuatupun (dari sisi perjanjian) mu dan tidak (pula) merkea membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap merka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa. Apabila telah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang Musyrikin itu di masa saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika merka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat , maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS At-Taubat : 1-5)

Ayat-ayat ini sangat jelas dan tegas sehingga tidak ada alasan lagi untuk memahami perang defensif sebagai asas jihad dalam Islam. Andapun tahu bahwa surat Bara‘ah ini termasuk bagian al-Quran yang diturunkan pada periode akhir, sehingga huum-hukumnya ynag sebagian besar dariapdana berkaitan dengan jihad permanen dan abadi. Saya tidak melihat adanya alasan yangkuat untuk mengatakan bahwa ayat-ayat ini menghapuskan ayat-ayat sebelumnya yang menetapkan jihad defensif, seperti firman Allah : „Telah diijinkan (berperang) bagi roang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka.“ QS Al-Hajj : 39

Hal ini karena dasar disyariatkannya jihad itu tidak memandang kepada faktor penyerbuan atau pembelaan. Jihad disyariatkan hanyalah untuk menegakkan Kalimat Allah, membangun masyarakat Islam dan mendirikan negara islam di muka bumi. Sarana apa saja (selama dibenarkan dan diperlukan) maka harus dilakukan. Dalam kondisi tertentu mungkin sarana yang diperlukan adalah perdamaian, memberikan nasehat, pengajraan dan bimbingan. Pada saat seperti ini jihad tidak dapat ditafsirkan kecuali dengan hal tersebut.

Dalam kondisi yang lain mungkin sarana ynag diperlukan adalah perang ofensif yang notabene merupakan puncak jihad. Kondisi dan sarana ini penentuan dan penilaiannya dilakukan oleh penguasa Muslim ynag menguasai permasalahan dan ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya dan seluruh kaum Muslimin. Ini berarti bahwa sarana tersebut dia tas dibenarkan untuk merealisasikan jihad. Masing-masing dari sarana-sarana tersebut tidak boleh diterapkan kecuali sesuai dengan tuntutan kemaslhatannya. Pergantian sarana, atas dari tuntutan kemashlahatan, tidak berarti penghapusan sarana tersebut. Selain itu, haji Abu bakar ini merupkan pengajaran kepada kaum Muslimin tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji di samping merupakan pendahuluan bagi haji Islam dan haji wada‘ yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw.

&

Abu Bakar as Siddiq ra

13 Mei

Sejarah Rasulullah saw.
Al-Hafiz Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisy
Penerjemah: Team Indonesia; Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah; IslamHouse.com

Nama aslinya adalah Abdullah bin abi Quhafah.

-Ayahnya, Abu Quhafah yang nama aslinya adalah Usman bin Amir bin Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ai bin Ghalib atTaimiy al Qurosy bertemu silisilah/ keturunan dengan Rasulullah saw di Murrah bin Ka’b.

-Ibu Abu Bakar adalah Ummul Khair Salma binti Shokhr bin Amir bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah

-usia beliau 63 tahun, sama seperti Rasulullah saw. Dia termasuk orang yang pertama masuk islam. Manusia terbaik setelah Rasulullah saw. Mengemban kekhilafahan selama 2,5 tahun. Riwayat-riwayat lain menyebutkan 2 tahun 4 bulan kurang 1 hari; 2 tahun;20 bulan

– Putera-puterinyanya

a .Abdullah, awal masuk islam sehingga termasuk sahabat. Diasaat Rasulullah saw dan Abu Bakar bersembunyi di dalam goa menghindari kejaran kafir Quraisy, ia pernah masuk goa itu juga. Dia terkena anak panah di Thaif, meninggal di saat ayahnya mengemban khilafah.

b. Asma’, pemilik dua ikat pinggang. Istri Zubeir bin Awwam. Hijrah ke Madinah di saat mengandung Abdulllah bin Zubeir. Sehingga Abdullah merupakan orang islam pertama yang lahir setelah hijrah. Ibu Asma’ adalah Qutailah binti Abdul Uzza berasal dari Bani Luay meninggal dalam keadaan kafir.

c dan d. Aisyah binti as-Siddiq, istri Nabi

Ia memiliki saudara seayah dan seibu yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar, yang berada di barisan kaum musyrikin pada perang Badar, namun setelah itu ia masuk islam. Ibu Aisyah adalah Ummu Ruman binti Amir bin Uaimir bin Abdu Syams bin Attab bin Udzinah bin Subai’ bin Duhman bin al Harits. Masuk islam, dan ikut hijrah ke madinah dan wafat di zaman Rasulullah saw

Cucu Abu Bakar: Abu Atik Muhammad bin Abdurrahman lahir di zaman Rasulullah saw,termasuk sahabat. Sehingga kami tidak tahu keluarga lain (selain Abu Bakar) yang dengan empat keturunan, semuanya tergolong sahabat (ayah Abu Bakar-Abu Bakar-Abdurrahman-Abu Atik)

e. Muhammad bin Abu Bakar. Lahir pada zaman haji wada’. Meninggal di Mesir dan dikuburkan disana.Ibunya adalah Asma’ binti Umais al Khots’amiyyah.

f. Ummu Kultsum binti Abu Bakar.Lahir setelah Abu Bakar wafat. Ibunya adalah Habibah, riwayat lain menyebutkan Fakhitah binti Kharijah bin Zaid bin Abu Zuhair al Anshari. Ia dinikahi Thalhah bin Ubaidillah
Keenam putera-puteri Abu Bakar adalah sahabat Nabi, kecuali Ummu Kultsum. Sementara Muhammad lahir masih zaman Nabi. Abu Bakar wafat pada tanggal 27 Jumadil Akhir 13H.

Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah saw. ia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu.

Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar shahabat yang hafal al-Qur’an. Dan dalam peperangan ini gugur 70 qari dari shahabat. Umar bin Kaththab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar ia mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari.

Dari segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat lain akan membunuh banyak qari pula sehingga al-Qur’an akan hilang dan musnah. Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan pintu hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.

Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu berdiskusi, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan al-Qur’an tersebut.

Zaid bin Tsabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran [kumpulan] itu disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat mushaf itu berpindah ke tangan Hafshah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Utsman, Utsman memintanya dari tangan Hafshah.

Zaid bin Tsabit berkata: “Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada di sana. Abu Bakar berkata: ‘Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra; dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi di tempat-tempat lain, sehingga sebagian al-Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan al-Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, Demi Allah perbuatan tersebut baik. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan pintu hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.’”

Zaid berkata lagi: “Abu Bakar berkata kepadaku: ‘Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah al-Qur’an dan kumpulkanlah.’”
“’Demi Allah.’” Kata Zaid lebih lanjut. “Sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku daripada perintah mengumpulkan al-Qur’an. Karena itu aku menjawab: ‘Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?’ Abu Bakar menjawab: ‘Demi Allah, itu baik.’ Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan pintu hatiku sebagaimana Dia telah membukakan pintu hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mulai mencari al-Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah at-Taubah berada pada Abu Khuzaimah al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri….” hingga akhir surah. Lembaran-lembaran [hasil kerjaku] tersebut kemudian disimpan di tangan Abu Bakar hingga wafatnya. Sesudah itu berpindah ke tangan Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar.”

Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan di atas: “Dan aku dapatkan surah at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari, yang tidak aku dapatkan pada orang lain” tidak menghilangkan arti kehati-hatian tersebut dan tidak pula berarti bahwa akhir surah at-Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ia tidak mendapatkan akhir surah at-Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak para shahabat yang menghafalnya. Perkaaan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan. Jadi ayat akhir surah at-Taubah itu telah dihafal oleh banyak shahabat; dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Anshari.

Ibn Abu Daud (yaitu Abdullah bin Sulaiman bin Asy’as al-Azadi as-Sijistani salah seorang tokoh penghafal hadits. Ia mempunyai banyak kitab, antara lain: al-Musaahif, al-Musnad, at-Tafsiir, as-Sunan, al-Qiraa’aat dan an-Naasikh wal Mansuukh, lihat al-A’laam,oleh Zarkali, jilid 4 hal. 224) ia meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan: “Umar datang lalu berkata: ‘Barangsiapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari al-Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menuliskan al-Qur’an dari lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma, dan Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai al-Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.” Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran [langsung dari Rasulullah], sekalipun Zaid sendiri hafal. Ia bersikap demikian itu karena berhati-hati.

Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata kepada Umar dan Zaid: “Duduklah kamu berdua di pintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah.” Para perawi hadits ini orang-orang terpercaya, sekalipun hadits tersebut munqathi’ [terputus]. Ibn Hajar mengatakan: “Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan.”

As-Sakhawi [lengkapnya Ali bin Muhammad bin ‘Abdus Samad, terkenal dengan nama as-Sakhasi. Ia menyusun sekumpulan syair tentang qira’at yang dikenal dengan nama as-Sakhawiyyah. Wafat 643 H) ia menyebutkan dalam Jamalul Qurra’, yang dimaksudkan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu tertulis di hadapan Rasulullah saw; atau dua saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengna salah satu cara yang dengan itu al-Qur’an diturunkan. Abu Syamah berkata: “Maksud mereka adalah agar Zaid tidak menuliskan al-Qur’an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat di hadapat Nabi saw., bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah at-Taubah, ‘Aku tidak mendapatkannya pada orang lain’ maksudnya ‘Aku tidak mendapatkannya dalam keadaan tertulis pada orang lain.’ Sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.” (lihat al-Itqaan jilin 1 hal 58)

Kita sudah mengetahui bahwa al-Qur’an sudah dicatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi; tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu al-Qur’an diturunkan. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, di samping terdapat juga mushaf-mushaf pribadi pada sebagian shahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubai dan mushaf Ibn Mas’ud. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara seperti di atas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan, juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansukh dan secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu Bakar. Keistimewaan-keistimewaan seperti itu hanya ada pada himpunan al-Qur’an yang dikerjakan oleh Abu Bakar.

Para ulama berpendapat bahwa penamaan al-Qur’an dengan “mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, di saat Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an. Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang pertama yang mengumpulkan Kitab Allah.”
Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua.

&

Perbedaan antara Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Abu Bakar dengan Utsman

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Dari teks-teks sebelumnya jelaslah bahwa pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan oleh Utsman dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya al-Qur’an karena banyaknya para hufadh yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para qari. Sedangkan motif Utsman untuk mengumpulkan al-Qur’an adalah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca al-Qur’an yang disaksikannya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan satu terhadap lainnya.

Pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar adalah memindahkan semua tulisan atau catatan al-Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang-belulang dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika al-Qur’an itu diturunkan.

Sedangkan pengumpulan yang dilakukan oleh Utsman adalah menyalinnya dalam satu huruf di antara ketujuh huruf itu untuk mempersatukan kaum Muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibn Tin dan yang lainnya berkata: “Perbedaan pengumpulan Abu Bakar dengan pengumpulan Utsman ialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian al-Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu al-Qur’an belum terkumpul dalam satu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. kepada mereka.

Sedang pengumpulan yang dilakukan oleh Utsman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan. Karena khawatir akan timbul “bencana”, Utsman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu ke dalam satu mushaf dengan menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka [Quraisy], sekalipun pada mulanya memang diizinkan membaca dengan bahasa selain Quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah berakhir. Karena itulah ia membatasinya hanya satu logat saja.”

al Haris al-Muhasibi mengatakan: “Yang masyhur di kalangan orang banyak ialah bahwa pengumpulan al-Qur’an itu Utsman. Padahal sebenarnya tidak demikian. Utsman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam bacaan [wajah] qiraat. Itu pun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum Muhajirin dan Anshar yang hadir di hadapannya, serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi antara penduduk Irak dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf tersebut dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana al-Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan al-Qur’an secara keseluruhan [lengkap] adalah Abu Bakar ash-Shiddiq.” (Lihat al Itqaan, jilid 1 hal 60 dan 61)

dengan usahanya itu Utsman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga al-Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman.

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Utsman ke berbagai daerah:

a. Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirim ke Makkah, Syam, Bashrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: “Telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirim ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan sebuah ditahan di Madinah.”

b. Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing dikirim ke Irak, Syam, Mesir dan Mushaf Imam; atau dikirim ke Kufah, Bashrah, Syam dan mushaf Imam. Berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni’: “Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Utsman menulis mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah, Bashrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”

c. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.

Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan (Tafsir Tabari, jilid 1 hal 61) dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar.

Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Utsman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya “Fadaa’ilul Qur’an” menyatakan bahwa ia menemukan satu buah di antaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis dalam lembaran –menurutnya- terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkan pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setelah beberapa lama berada di tangan kaisar Rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakan bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.
Pengumpulan al-Qur’an oleh Utsman ini disebut dengan “Pengumpulan Ketiga” yang dilaksanakan pada 25 H.

&