Tag Archives: akhirat

Masalah Nabi Musa Memukul Malaikat Maut

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Kalau ada yang bertanya, kenapa Nabi Musa as berani memukul Malaikat Maut sehingga matanya copot? Maka jawabannya ada enam pendapat:

1. Pertama; mata yang dimaksud adalah khayali, bukan hakiki. Pendapat ini salah, karena dengan jawaban ini berarti rupa malaikat yang dilihat oleh para Nabi tidak ada hakekatnya. Pendapat ini adalah pendapat kaum as-Salimiyah.

2. Kedua; mata itu adalah mata maknawi, maksudnya, Musa telah menyolok mata Malaikat Maut dengan argumentasi. Ini pun berarti mata yang dimaksud adalah mata majasi, bukan hakiki.

3. Ketiga; Musa pada mulanya tidak mengenal siapa yang datang. Sehingga ia mengira bahwa yang datang itu seseorang yang masuk rumahnya tanpa izin dan hendak mencelakai dirinya, maka ia membela diri, lalu meninju orang itu sampai copot matanya. Membela diri seperti ini memang wajib dilakukan, dengan cara apa pun yang mungkin dilakukan.

Jawaban ini tampaknya bisa diterima, karena berarti mata yang dimaksud adalah mata hakiki, begitu pula pukulan Nabi Musa terhadap malaikat itu. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Abu Bakar bin Khuzaimah. Hanya saja berlawanan dengan isi hadits itu sendiri, yaitu bahwa Malaikat Maut kemudian kembali kepada Allah dan melapor, “Ya Tuhanku, Engkau telah mengutus aku kepada seorang hamba-Mu yang tidak mau mati.” Andaikan Musa tidak mengenalnya, maka tidak ada perkataan ini dari Malaikat Maut.

4. Keempat; Nabi Musa as adalah seorang yang cepat marah. Dan cepat marahnya ini menyebabkan dia memukul Malaikat Maut, demikian kata Ibnul Arabi dalam kitabnya, al-Ahkam. Tetapi pendapat ini salah, karena para Nabi terpelihara dari memulai perbuatan seperti itu, baik senang maupun marah.

5. Kelima; pendapat Ibnu Mahdi rahimahullah, bahwa mata malaikat yang dipukul itu adalah mata pinjaman, dan mata inilah yang hilang. Karena malaikat memang diciptakan Allah untuk bisa berupa apa saja yang dia kehendaki. Jadi, rupanya ketika malaikat itu dipukul oleh Nabi Musa as, dia sedang menjelma dengan rupa orang lain. Buktinya, setelah itu Nabi Musa melihatnya lagi dengan mata yang utuh.

6. Keenam; inilah yang benar, insya Allah, yaitu bahwa pemukulan yang dilakukan oleh Nabi Musa as adalah karena dia telah diberitahu sebelumnya, bahwa Allah Ta’ala tidak akan mencabut nyawanya sebelum disuruh memilih, demikian sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya (Shahih al-Bukhari [4437] dan shahih Muslim [2444]).

Maka tatkala Malaikat Maut datang kepadanya tidak dengan cara seperti yang telah diberitahukan kepadanya, dengan kecerdikan dan kekuatan fisiknya Nabi Musa as segera memberinya pelajaran. Dia tinju malaikat itu sampai copot matanya, sebagai ujian baginya, karena dia tidak memberinya pilihan. Adapun di antara yang menunjukkan kebenaran pendapat ini adalah bahwa ketika Malaikat Maut kembali lagi kepada Nabi Musa, lalu memberinya pilihan antara hidup dan mati, maka dia memilih mati dan pasrah. Dan Allah tentu Mahatahu dan Mahabijak tentang alam ghaib-Nya. Makna dari pendapat ini dinyatakan pula oleh Ibnul Arabi dalam kitabnya, “Al-Qabas” dengan redaksi yang berbeda, alhamdulillah.

Sementara itu at-Tirmidzi al-Hakim Abu Abdillah menyebutkan sebuah hadits dalam Nawadir al-Ushul, dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda:

“Dulu Malaikat Maut as. datang kepada manusia secara terang-terangan, hingga akhirnya ia datang kepada Musa as, maka dia menghantamnya sampai copot matanya..” pada akhir hadits beliau katakan yang maknanya, “Maka sejak itu Malaikat Maut datang kepada manusia dengan tidak terang-terangan.” (Nawadir al-Ushul karya al-Hakim at-Tirmidzi [42])

&

Peringatan atas Kelengahan

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Aduhai orang ini, mana harta yang telah kamu kumpulkan, dan mana kekayaan yang telah kamu persiapkan untuk menghadapi berbagai krisis dan kesulitan? Ternyata, setelah kamu mati, semua terlepas dari tanganmu. Dan setelah mengenyam kekayaan dan kejayaan, kamu beralih menjadi hina dan tidak punya apa-apa.

Bagaimana keadaanmu sekarang, hai orang yang tergadaikan oleh dosa-dosanya, hai orang yang terbuang dari keluarga dan rumahnya?

Sebenarnya jalan kebenaran tidaklah samar bagimu, tapi sedikit sekali perhatianmu untuk membawa bekal perjalanan yang jauh ini, dan untuk menghadapi kesulitan hebat yang akan kamu alami berikutnya.

Atau, tidakkah engkau mengerti, hai orang yang terpedaya, bahwa keberangkatan ini pasti terjadi, menuju hari yang amat ngeri. Pada saat itu tidak berguna lagi bagimu segala alasan ini dan itu. Tetapi semuanya akan berbalik kepadamu di hadapan Ilahi, Raja Yang Maha Bijak-Bestari. Semua akan berbalik, apa saja yang pernah diperbuat oleh kedua tanganmu, apa saja yang dilalui oleh kedua telapak kakimu, apa saja yang diucapkan oleh lidahmu, dan apa saja yang dilakukan anggota tubuhmu. Kalau Dia mengasihimu, maka kamu akan dibawa ke dalam surga-Nya. Dan kalau tidak, maka kamu akan dicampakkan ke dalam neraka.

Hai orang yang lalai terhadap keadaan ini, sampai kapankah kelalaian dan penundaan ini? Apakah kamu kira kecil perkara ini? Atau kamu anggap mudah? Atau kamu kira keadaanmu akan berguna bagimu, ketika saat perjalananmu tiba? Dapatkah hartamu menyelamatkan dirimu, di kala kamu dibinasakan oleh perbuatanmu sendiri? Atau adakah gunanya penyesalanmu, ketika kamu digelincirkan oleh kakimu sendiri? Atau bisakah keluargamu mengasihimu, ketika kamu dihimpun di padang Mahsyar? Tidak, demi Allah betapa keliru dugaanmu itu, dan kelak kamu pasti tahu itu.

Rupaya kamu tidak puas dengan rezeki yang cukup, tidak kenyang dengan harta haram, tidak sudi mendengar nasehat, dan tidak jera dengan ancaman. Kamu terbiasa bergelimang dengan kesenangan, tenggelam dalam kemewahan tiada batas, terpedaya untuk bermegah-megah dengan apa yang kamu miliki, dan sedikit pun tidak mengingat apa yang bakal kamu hadapi.

Hai orang yang terlelap dalam kelalaian, dan baru bangun setelah jauh terlempar, sampai kapankah kelalaian dan penundaan ini? Apakah kamu kira dirimu akan dibiarkan begitu saja, tanpa dihisab besok? Apakah kamu kira kematian itu bisa disuap? Tidak bisakah kamu membedakan antara singa dan semak belukar tempat tinggalnya?

Tidak, demi Allah, kematian sekali-sekali tidak bisa ditolak dengan harta maupun anak-anak. Tidak ada yang berguna bagi ahli kubur selain amalnya yang diterima. Maka beruntunglah orang yang mendengar dan memperhatikan, lalu menahan diri dari hawa nafsunya, dan menyadari bahwa yang berbahagia adalah orang yang berhenti dari kebodohannya, (dan menyadari firman Allah):

“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan [kepadanya].” (an-Najm: 39-40)

Maka dari itu bangunlah kamu dari tidur ini, dan jadikanlah amal shalih sebagai bekal bagimu. Jangan bermimpi memperoleh kedudukan orang-orang baik, sedang kamu terus-menerus melakukan dosa dan perbuatan orang-orang jahat. Tetapi perbanyaklah amal shalih, dan waspadalah terus terhadap ujian-ujian Allah dalam kesendirian-kesendirianmu, Dia-lah Tuhan bumi dan langit. Jangan terpedaya oleh angan-anganmu, sampai kamu malah tidak beramal. Tidakkah kamu mendengar sabda Rasulullah saw., ketika beliau duduk di sisi sebuah kubur, “Hai saudara-saudaraku, untuk hal seperti ini hendaknya kamu sekalian bersiap siaga.”

Atau tidakkah kamu mendengar firman Allah yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu. Maka penuhilah seruan Allah Ta’ala.

“Berbekallah kamu, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (al-Baqarah: 197)

Orang bersyair:

Ambillah bekal dari rezakimu
Untuk pulang ke negeri asalmu.
Bangkitlah menuju kehadirat Allah,
Dan sebaik-baik bekal hadirkanlah.

Relakah kamu jika menjadi Cuma
Teman pengiring kaum yang jaya,
Banyak bekal mereka bawa,
Sedang kamu apa pun tak punya.

Dan penyair lain menambahkan:

Kamu pasti menyesal tiada tara,
Kenapa kamu tidak seperti mereka.
Dan kamu menyesal tidak memburunya,
Seperti mereka telah menangkap buruannya.

Dan kata penyair yang lain pula:

Maut adalah laut jaya-perkasa
Gergulung tinggi gelombang ombaknya.
Tidak ada manfaat, tidak ada guna
Perenang ulung tak mampu menyiasatinya
Hai diri, kepadamu aku ingin bicara,
Maka camkanlah nasehat berharga;
Tiada guna manusia dalam kuburnya,
Selain taqwa dan amal shalihnya.

Tambah penyair lain pula:

Di sini tidak kutemui penghibur hati
Selain dosa-dosaku yang membinasakan diri,
Andai engkau melihat keadaanku ini
Niscaya kau tangisi deritaku tiada peri.

Dan kata penyair yang lain:

Kamu dilahirkan ibumu dengan pekik tangis terbata-bata,
Sedang orang di sekelilingmu tertawa riang gembira,
Maka beramallah untuk hari mereka menangis terisak-isak,
Sementara kamu berangkat dengan tersenyum bahagia.

Diriwayatkan dari Muhammad al-Qurasyi, bahwa dia berkata, “Saya mendengar guru kami berkata, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah pemberi nasehat kepadamu, dan pencurah kasih sayang kepadamu. Beramallah kamu sekalian di gelap malam, untuk menghadapi gelapnya kubur. Dan berpuasalah kamu, meski pada hari yang sangat panas, sebelum datangnya hari kebangkitan yang ganas. Dan berhajilah kamu, niscaya dosa-dosa besarmu akan dihapuskan. Dan bersedekahlah, karena rasa takut akan hari yang amat sulit.”

Yazid ar-Raqqasyi dalam pidatonya, antara lain dia katakan, “Hai orang yang bakal ditanam di liang kubur, yang akan terasing sendirian di dalam kubur, yang hanya akan dihibur oleh amalnya di dalam perut bumi. Kalau boleh aku tahu, dengan amalmu yang mana kamu merasa gembira? Dengan kelakuanmu yang mana kamu merasa akan beruntung?”

Sesudah berkata begitu dia menangis, sampai membashi sorbannya. Dan selanjutnya dia berkata, “Demi Allah, manusia hanya akan gembira berkat amalnya yang shalih. Dia beruntung berkat saudara-saudara yang telah membantunya melakukan ketaatan kepada Allah.” Dan adalah Yazid, jika dia melihat kubur maka dia berteriak seperti lembu mengeluh.

&

Ketentuan Hukum tentang Kubur

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Kubur hendaknya bergunduk, ditinggikan sedikit dari permukaan tanah, tetapi tidak dibuat bangunan, baik dengan tanah liat, batu, ataupun kapur. Karena itu memang dilarang.

Menurut riwayat Muslim dari Jabir, bahwa dia berkata: “Rasulullah saw. telah melarang apabila kubur dilepa, diduduki, dan dibuat bangunan di atasnya.” (Shahih Muslim [970])

Dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dari Jabir, dia berkata, “Rasulullah saw. telah melarang kubur dilepa, ditulisi, dibangun dan diinjak.” (Shahih; Ahkam al-Nana’iz [260] karya al-Albani)

Para ulama berkata, bahwa Malik menghukumi makruh terhadap pelepaan kubur, karena menurutnya itu termasuk bermegah-megahan dan perhiasan kehidupan dunia, padahal kubur adalah tempat yang berkaitan dengan akhirat, bukan tempat bermegah-megahan. Adapun yang menghiasi mayit hanyalah amalnya. Mereka melantunkan syair:

Bila kamu memimpin urusan suatu bangsa,
Meski hanya semalam saja,
Maka ketahuilah, bahwa sesudahnya,
Kamu dimintai tanggung jawabnya

Bila kamu mengangkat suatu jenazah
Ke kubur menuju alam baka,
Maka ketahuilah, bahwa sesudahnya
Kamu akan diangkat pula kesana.

Hai penghuni kubur indah mempesona,
Dihias ukir-ukiran pusaranya.
Mungkin dia di bawah sana
Sedang dibelenggu dalam penjara.

Dalam shahih Muslim ada diriwayatkan dari Abu al-Hayyaj al-Asadi, dari Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Maukah kamu kuutus untuk melaksanakan sesuatu sebagaimana aku diutus oleh Rasulullah saw. untuk melakukannya? Jangan kamu biarkan satu pun berhala kecuali kamu hancurkan. Dan jangan kamu biarkan satu pun kubur yang ditinggikan kecuali kamu ratakan.” (Shahih Muslim [969])

Abu Dawud berkata dalam kitab al-Marasil, dari Ashim bin Abi Shalih, “Aku melihat kubur Nabi saw. satu jengkal atau lebih-kurang satu jengkal.” Maksudnya tingginya. (isnadnya dlaif karena mursal)

Dan kata para ulama kita: kalau kubur dibuat gundukan, tujuannya supaya dikenal dan dihormati. Adapun membuatnya terlalu tinggi adalah dilarang, karena cara seperti itu merupakan tradisi zaman jahiliyyah. Mereka meninggikannya dan membuat bangunan di atasnya, sebagai ungkapan memuliakan dan mengagungkan si mayit. Orang bersyair:

Kulihat para pemilik istana,
Bila ada yang meninggal di antara mereka,
Mereka bangun kubah di atas kuburnya.

Demi Allah, jika tanah kubur itu kau buka
Di depan mereka, maka takkan kau lihat di sana
Mana yang kaya, mana yang miskin papa.

Bila tanah telah memakan semua,
Yang ini maupun yang itu, maka tak ada lebihnya
Bagi orang kaya atau si miskin papa

&

Hakekat Tanah Suci

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Para ulama kita berkata: Sebenarnya tanah manapun tidak ada mensucikan dan membersihkan seseorang. Yang bisa membersihkannya dari daki dan dosa-dosa tikda lain adalah taubat nashuha disertai amal-amal shalih.

Adapun jika dikatakan bahwa ada pembersihan dosa yang berhubungan dengan suatu tempat tertentu, yang dimaksud adalah apabila seseorang beramal shalih di tempat tertentu, maka amalnya akan dilipat gandakan pahalanya –karena kemuliaan tempat itu- sekian kali lipat sehingga dapat menghapus kesalahan-kesalahannya, memberatkan timbangan amal baiknya, dan memasukkannya ke dalam surga.

Demikian pula halnya pembersih dosa, apabila seseorang mati di sana, lantaran mengikuti jejak orang shalih, bukan berarti tanah itu sendiri yang membersihkannya sejak semula, sama sekali tidak.

Malik telah meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dia berkata, “Aku tidak ingin dikubur di al-Baqi’. Aku lebih suka dikubur di tempat lain.” Lalu dia jelaskan alasannya, dia katakan, “Karena aku khawatir, gara-gara saya maka tulang-tulang seorang shalih digali, atau malah bertetangga dengan seorang jahat.” (Shahih Mauquf: Muwaththa’ [Kitab al-Jana’iz. Bab Maa Jaa-a fii Dafn al-Mayyit [536])

Ketentuan ini berlaku pada tanah mana saja, semuanya sama. Dan dengan demikian, berarti anjuran mengubur mayit di Tanah Suci bukan hal yang disepakati semua ulama. Bahkan terkadang seseorang lebih baik dikubur di dekat kerabatnya, saudara-saudaranya atau tetangganya, bukan karena keutamaan ataupun derajat tanah pekuburan itu sendiri.

&

Dua Telapak Tangan Allah?

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Dalam hadits ada kata-kata “Hafnah” (sepenuh dua telapak tangan) yang dinisbatkan kepada Allah, sebagaimana terdapat pula kata-kata yang serupa pada beberapa hadits sebelumnya. Bahkan, dalam Shahih Muslim ada sabda Nabi saw yang mengabarkan tentang Allah Ta’ala, seperti keterangan lalu, “Maka Allah menggenggam segenggam api.”

Tapi, bagaimanapun, jangan sampai hal ini membuat kamu berfaham “tajsim” (menyifati Allah bertubuh). Lihat apa yang dimaksud dengan kata-kata tersebut, pada pembahasan tentang firman Allah: “Wa yathwis samawaati bi yamiiniHi”.

Adapun yang dimaksud, tidak lain adalah, bahwa Allah Ta’ala kelak akan mengeluarkan dari neraka sejumlah banyak makhluk-makhluk-Nya, tiada terhitung, dan tidak termasuk dalam hitungan tadi. Mereka dikeluarkan sekaligus tanpa syafaat dari seseorang, dan cara keluarnya pun tidak berurutan satu-persatu. Tetapi seperti halnya seseorang menggenggam sesuatu, lalu melemparkannya sekaligus dari tangannya. Hal itu diungkapkan dengan kata-kata “hafnah, hatsaw dan qabdhah” (sepenuh dua telapak tangan, seciduk dan segenggam). Maka camkanlah itu.

(Apa beratnya mengakui adanya sifat “menggenggam” bagi Allah, padahal sifat itu dinyatakan secara tsabit dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, selagi kita tetap mengatakan: genggaman Allah tidak menyerupai genggaman makhluk-Nya, tetapi genggaman yang layak dengan-Nya sebagai Yang Maha Pencipta. Maka segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya)

&

Dahsyatnya Permulaan Maut

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Dalam pembahasan sebelumnya sudah disebutkan hadits dari Jabir bin Abdullah ra, dimana dia berkata, sabda Rasulullah saw:

“Jangan kamu sekalian menginginkan mati, karena kedahsyatan di awal kematian amatlah berat…” (Dlaif: as-Silsilah adl-Dlaifah [885], karya al-Albani [lihat hadits keempat dari bab Larangan Menginginkan Mati]. Namun dalam catatan kakinya dijelaskan bahwa hadits ini hasan, dari al-Bazzar diriwayatkan oleh Ahmad. Sedangkan dalam penjelasan lain, dikatakan bahwa hadits ini marfu’, dari al-Harits bin Abi Yazid, dari Jabir bin Abdillah, dalam Musnad Ahmad no 14037])

Ketika Umar bin al-Khaththab ra. ditikam, berkatalah seseorang kepadanya, “Sesungguhnya aku berharap kulitmu tidak tersentuh api neraka.” Umar pun menatap orang itu kemudian berkata, “Sesungguhnya orang yang kamu perdayakan benar-benar bisa terpedaya. Demi Allah, andaikan aku memiliki semua yang ada di muka bumi, niscaya aku jadikan tebusan, karena dahsyatnya permulaan maut.”

Abu Darda ra. berkata, “Ada tiga hal yang membuat aku tertawa, dan ada tiga hal yang membuatku menangis. Aku tertawa melihat orang yang mendambakan dunia, padahal ia dikejar kematian. Orang yang lalai padahal ia tidak pernah dilalaikan. Orang yang tertawa dengan makanan sepenuh mulutnya sedangkan dia tidak tahu apakah Allah meridlainya atau memurkainya.
Adapun yang membuatku menangis, ialah berpisah dengan para kekasih, yaitu Muhammad saw. dan para pengikutnya. Dan aku sedih memikirkan betapa dahsyatnya permulaan kematian ketika mengalami sakaratul maut. Dan bagaimana keadaanku ketika berdiri di hadapan Allah pada saat dimana hal-hal yang selama ini tersembunyi menjadi tampak, lalu tahu apakah ke surga atau ke neraka.”

Kata-kata tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak, dimana dia katakan: telah mengabarkan kepada kami, bukan hanya seorang, dari Mu’awiyah bin Qurrah, dia berkata: Abu Darda’ berkata, … [lalu dia sebutkan kata-kata itu].

Masih kata Abu Darda’, “Dan telah menceritakan kepada kammi, Muhammad, yang disampaikan oleh Anas bin Malik, dia berkata, ‘Tidakkah aku ceritakan kepada kalian semua, tentang dua hari dan dua malam, yang tiada taranya sepanjang yang pernah didengar oleh makhluk apa pun, yaitu hari pertama kali datangnya pembawa berita dari Allah Ta’ala kepadamu, apakah dia membawa kabar tentang ridla-Nya atau murka-Nya, dan hari dihadapkannya kamu kehadirat Tuhanmu sambil mengambil buku catatan amalmu, apakah dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kirimu; malam pertama mayit menginap dalam kubur, yang sebelumnya sama sekali belum pernah menginap di sana, dan malam yang esok harinya disusul dengan hari kiamat.” &

Bukan Hanya 70.000 Tapi 100.000

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Abu Nu’aim menuturkan dari Qatadah, dari Anas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda:
“Tuhanku telah menjanjikan kepadaku akan memasukkan ke dalam surga seratus ribu orang dari umatku.”
(Mendengar itu), maka berkatalah Abu Bakar ra, “Ya Rasulallah, tambahlah untuk kami.”
Rasul berkata, “Dan seperti itu pula. Sulaiman bin Harb berisyarat dengan sejumlah itu dengan tangannya.
Abu Bakar berkata lagi, “Ya Rasulallah, tambah lagi untuk kita.”
Maka Umar ra pun berkata, “Sesungguhnya Allah kuasa memasukkan manusia ke surga sepenuh telapak tangan.”
“Umar benar,” kata Rasulullah saw. (Hilyah al-Auliya’ [2/334])

Hadits ini gharib dari jalur Qatadah, dari Anas. Karena, hanya Abu Hilal sendiri yang meriwayatkan dari Qatadah. Nama Abu Hilal adalah Muhammad bin Sulaim ar-Rasibi, orang yang tsiqah, dari Basrah.

&

Beberapa Golongan Lainnya yang Masuk Surga Tanpa Hisab

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Hadits-hadits berikut menyebutkan bahwa mereka adalah orang yang penyantun, penyabar, pemberi maaf, tetangga Allah, yakni mereka yang saling berkunjung dan bergaul serta bertukar fikiran karena Allah. Dan yang lain ialah orang yang mengenal [ma’rifat] kepada Allah, orang yang gemar berbuat kebajikan, pemuji Allah, orang yang gemar melakukan shalat malam, orang yang gemar berdzikir tanpa terganggu oleh perdagangan, dan orang yang senantiasa patuh kepada Allah dan memelihara janji-Nya.

Abu Nu’aim menuturkan dari Ali bin al-Husain ra, dia berkata, “Apabila hari kiamat telah terjadi, ada penyeru yang menyerukan: ‘Mana di antara kamu sekalian yang mempunyai keutamaan?’ Maka berdirilah beberapa orang manusia, lalu dikatakan, ‘Pergilah ke surga.’

Kedatangan mereka disambut para malaikat seraya bertanya, ‘Hendak kemana kamu sekalian?’
‘Ke surga,’ jawab mereka. para malaikat bertanya, ‘Sebelum diadakan hisab?’ ‘Ya,’ jawab mereka. ‘Siapa kamu sekalian?’ tanya para malaikat pula, dan dijawab, ‘Kami adalah orang-orang yang mempunyai keutamaan.’
‘Apa keutamaanmu ?’
‘Dulu jika kami dianggap bodoh, kami bersikap santun. Jika dianiaya kami bersabar; dan jika disakiti kami memaafkan.’
‘Kalau begitu masuklah surga.’ Kata para malaikat, ‘Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.’’

Kemudian ada seruan lagi dari penyeru, ‘Berdirilah orang-orang yang sabar.’ Maka berdirilah beberapa orang manusia, mereka sedikit jumlahnya, lalu dikatakan kepada mereka, ‘Pergilah ke surga.’

Kedatangan mereka disambut para malaikat seraya ditanya seperti tadi, maka mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang bersabar.’
‘Apa kesabaran kamu sekalian?’ tanya para malaikat, dan dijawab, ‘Kami menekan diri kami supaya tetap bersabar dalam mematuhi Allah, dan kami tekan diri supaya tetap bersabar dalam menghindari maksiat kepada Allah.’
‘Kalau begitu masuklah surga,’ kata para malaikat, ‘Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.’

Ali melanjutkan riwayatnya, “Kemudian, penyeru tadi menyerukan pula, ‘Berdirilah para tetangga Allah.’ Maka berdirilah beberapa orang, mereka juga sedikit jumlahnya, lalu dikatakan kepada mereka, ‘Pergilah ke surga.’

Kedatangan mereka juga disambut para malaikat seraya ditanya seperti tadi, yakni kata para malaikat, ‘Kenapa kamu sekalian mengaku bertetangga dengan Allah di negeri-Nya?’
Mereka menjawab, ‘Kami saling berkunjung dan bergaul karena Allah, dan saling bertukar fikiran karena Allah ‘Azza wa Jalla.’
‘Kalau begitu masuklah surga,’ kata para malaikat, ‘Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.’”
(Hilyah al-Auliya’ [3/139])

Abu Nu’aim menyebutkan pula sebuah hadits dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda:

“Apabila Allah telah mengumpulkan umat-umat terdahulu dan umat-umat yang terakhir di suatu tanah lapang, maka ada penyeru yang menyeru di bawah ‘Arsy, ‘Manakah orang-orang yang ma’rifat [mengenal] Allah ? Mana orang-orang yang gemar berbuat kebajikan?’

Maka bangkitlah beberapa orang, hingga akhirnya mereka berdiri di hadapan Allah, maka Dia bertanya, meski sebenarnya Dia lebih tahu, ‘Siapakah kamu sekalian?’
Mereka menjawab, ‘Kami orang-orang yang mengenal Engkau, karena Engkau telah menjadikan kami kenal kepada-Mu, dan telah Engkau jadikan kami patut untuk mengenal-Mu.’
‘Kamu sekalian benar.’ Kata Allah, lalu Dia katakan pula, ‘Tidak ada alasan untuk membinasakan kamu sekalian. Masuklah ke surga dengan rahmat-Ku.’’

Setelah menceritakan seperti itu, Rasulullah saw. tersenyum dan berkata, “Sesungguhnya Allah benar-benar menyelamatkan mereka dari kengerian-kengerian hari kiamat.”

Kata Abu Nu’aim: “Jalur sanad ini baik, andaikan di dalamnya tidak ada al-Harits bin Mansur al-Warraq yang sering keliru.”

Menurut riwayat Ibnul Mubarak dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: “Apabila hari kiamat telah terjadi, ada penyeru yang menyerukan, ‘Hari ini kamu sekalian akan mengetahui siapakah orang-orang yang mulia. Berdirilah orang-orang yang dahulu suka memuji Allah Ta’ala dalam segala keadaan.” Maka mereka pun berdiri, lalu diantarkan menuju surga.

Kemudian penyeru itu menyeru lagi, ‘Hari ini kamu sekalian akan mengetahui siapakah orang-orang mulia. Berdirilah orang-orang yang dahulu “Lambungnya jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepadanya.” (as-Sajdah: 16)
Maka merekapun berdiri lalu diantar menuju surga.

Kemudian penyeru itu menyerukan untuk ketiga kalinya, ‘Hari ini kamu sekalian akan mengetahui siapakah orang-orang yang mulia. Berdirilah orang-orang yang dahulu “tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak [pula] oleh jual beli dari mengingat Allah….” (an-Nuur: 37) maka merekapun diantarkan menuju surga.

Dan diriwayatkan pula, bahwa apabila hari kiamat telah terjadi, ada penyeru yang menyerukan, ‘Manakah hamba-hamba-Ku yang dahulu senantiasa taat kepada-Ku, dan tetap memelihara janji-Ku, meski dalam keadaan sendirian?’

Maka bangkitlah mereka, wajah mereka seperti bulan purnama atau bintang terang bagai mutiara. Mereka naik kendaraan dari cahaya. Kendalinya dari permata yaqut merah. Kendaraan itu terbang membawa mereka di atas kepala seluruh makhluk lainnya, sehingga akhirnya mereka berdiri di depan ‘Arsy. Maka Allah berkata kepada mereka, ‘Sejahtera atas hamba-hamba-Ku yang telah taat kepada-Ku, menjaga janji-Ku di kala sendirian. Aku telah memilih kamu sekalian, Aku telah mencintai kamu sekalian. Dan Aku telah mengutamakan kamu sekalian. Pergilah dan masuklah surga tanpa hisab. Tidak ada ketakutan atas kamu sekalian pada hari ini, dan tidak pula kamu sekalian bersedih hati.’ Mereka pun pergi melintasi shirath bagai kilat menyambar. Seluruh pintu surga dibukakan untuk mereka.

Sementara itu seluruh makhluk lainnya tetap tertahan di Mahsyar. Maka, sebagian mereka bertanya kepada sebagian yang lain, ‘Hai orang-orang, mana Fulan bin Fulan?’ ini terjadi ketika mereka saling bertanya sesamanya. Maka terdengarlah seorang penyeru menyerukan, “Sesungguhnya para penghuni para penghuni surga pada hari ini bersenang-senang dalam kesibukan [mereka].” (Yaasiin: 55)

&

Asal Mula Mengubur Mayat

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Kata Qabr menunjukkan kata tunggal [mufrad], qubuur untuk banyak [jamak] dan aqbur untuk jamak qillah. Adapun tempat dihimpunnya kubur-kubur disebut maqbar [kuburan].

Orang berselisih pendapat, siapakah yang pertama-tama membuat kubur? Konon dia adalah burung gagak, ketika Qabil membunuh Habil. Dikatakan bahwa Qabil waktu itu sebenarnya sudah mengerti bagaimana cara mengubur saudaranya, tetapi ia membiarkannya tergeletak di padang terbuka, karena meremehkannya.

Maka Allah mengirimkan seekor burung gagak. Burung itu menggali-gali tanah untuk mengubur jasad Habil. Ketika itulah Habil berkata, “’Aduhai celaka aku, kenapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku kuburkan mayat saudaraku ini?’ Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (al-Maa-idah: 31)

Qabil menyesal, karena dia melihat penghormatan Allah kepada Habil dengan mendatangkan seekor burung gagak kebapanya untuk mengubur jasad Habil. Penyesalan itu bukanlah penyesalan taubat. Dan ada yang berpendapat bahwa penyesalan Qabil adalah karena merasa kehilangan saudaranya, bukan karena pembunuhan yang telah dilakukannya.

Ibnu Abbas ra berkata, “Andaikan penyesalan Qabil itu lantaran membunuhan yang dilakukannya, maka penyesalannya berarti taubat.”

Ada lagi yang mengatakan, bahwa setelah Qabil berhasil membunuh Habil, maka dia duduk menangis di sisi kepala saudaranya itu. Tiba-tiba datanglah dua ekor burung gagak yang berkelahi. Salah satunya berhasil membunuh yang lain. Lalu burung yang menang menggali lubang untuk yang kalah dan menguburkannya. Kemudian Qabil melakukan seperti itu terhadap saudaranya, perbuatan mana kemudian menjadi sunnah [tradisi] di kalangan Bani Adam untuk menguburkan mayat. Dalam al-Qur’an disebutkan yang artinya:

“Kemudian Allah mematikannya dan menguburnya.” (‘Abasa: 21)

Maksudnya, Allah Ta’ala membuat kubur yang menutupi jasadnya sebagai penghormatan terhadapnya. Allah Ta’ala tidak membiarkan mayat manusia tergeletak begitu saja di atas tanah lalu dimakan burung dan binatang-binatang pemakan bangkai. Demikian kata al-Farra’.

Adapun menurut Abu Ubaidah, “Allah menjadikan kubur untuk mayat manusia, dan menyuruh supaya mayat itu dikubur.” Dan dia katakan pula, tatkala Umar bin Hubairah membunuh Shalih bin Abdurrahman, maka berkatalah Bani Tamim saat menemui mayatnya, “Kami hendak mengubur Shalih.” Maka Umar berkata, “Ambillah dia.”

&

Anjuran Memilih Kuburan Dimana Terdapat Banyak Orang-orang Shalih

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Abu Sa’id al-Malini dalam kitab al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf, dan Abu Bakar al-Khara’ithi dalam kitab al-Qubur telah mengeluarkan sebuah hadits, dari Sufyan ats-Tsauri, dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail, dari Ibnul Hanafiyah, dari Ali ra, dia berkata, “Rasulullah saw. menyuruh kami supaya mengubur mayit-mayit kami di tengah orang-orang shalih, karena sesungguhnya mayit-mayit itu merasa tersiksa ketika tetangganya buruk, sebagaimana orang-orang yang masih hidup merasa tersiksa olehnya.” (Maudlu’; as-Silsilah adh-Dha’ifah [613] karya al-Albani rahimahullah)

Dan dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda:
“Apabila seorang dari keluarga kamu meninggal, maka perbaikilah kafannya, laksanakan wasiatnya dengan segera, gali kuburnya dalam-dalam, dan hindarkan dia dari tetangga yang jahat.”

Seseorang bertanya, “Wahai Rasulallah, apakah tetangga yang shalih bermanfaat di akhirat?” Rasul balik bertanya, “Apakah dia bermanfaat di dunia?”
“Ya,” jawab mereka. Maka beliau bersabda, “Demikian pula dia bermanfaat di akhirat.” (Maudlu’; disebutkan al-Kittani dalam Tanzih asy-Syari’ah; hadits ini disebutkan pula oleh az-Zamakhsyari dalam kitab Rabi’ al-Abrar)

Dan diriwayatkan pula sebuah hadits oleh Abu Nu’aim al-Hafizh dengan isnadnya dari Malik bin Anas, sampai Abu Hurairah ra, dia berkata, sabda Rasulullah saw:
“Kuburlah mayit-mayit kamu sekalian di tengah orang-orang yang shalih, karena sesungguhnya mayit itu merasa tersiksa dengan tetangga yang jahat.” (Maudlu’; as-Silsilah adh-Dha’ifah [563] karya al-Albani;)

&