Tag Archives: Allah

Tujuan Pendidikan Islam

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Karena pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berkesadaran dan bertujuan, Allah telah menyusun landasan pendidikan yang jelas bagi seluruh manusia melalui syariat Islam. Konsep ketinggian dan keuniversalan pendidikan Islam harus dipahami sebelum kita beranjak pada metode dan karakteristik pendidikan tersebut. Pengkajian alam semesta yang disertai pemahaman atas kejelasan landasan dan tujuan penciptaan akan memperkuat keyakinan dan keimanan manusia atas keberadaan Allah.

Allah menciptakan alam semesta ini dengan tujuan yang jelas. Dia menciptakan manusia dengan tujuan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini melalui ketaatan kepada-Nya. Untuk mewujudkan tujuan itu, Allah memberikan hidayah serta berbagai fasilitas alam semesta kepada manusia. Artinya, manusia dapat memanfaatkan alam semesta ini sebagai sarana merenungi kebesaran Penciptanya. Hasil perenungan itu memotivasi manusia untuk lebih menaati dan mencintai Allah. Di sini Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih pekerjaan mana yang akan dipilih manusia, kebaikan atau keburukan. Namun, melalui para Rasul, Allah memberikan petunjuk kepada manusia agar memahami tujuan hidup yang semata-mata untuk beribadah kepada Allah.

Dalam memaknai tujuan hidup ini, manusia diberi kesempatan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Allah melalui musnahnya kehidupan duniawi ini. Dari situ, Allah menjadikan manusia dan semesta sebagai makhluk baru yang kemudian dihisab dan dibalas sesuai dengan amal perbuatan. Allah akan membalas kekufuran dengan jahannam, dan kebaikan dengan kenikmatan surga abadi.

Konsepsi tentang alam semesta memperjelas tujuan dasar keberadaan manusia di muka bumi ini, yaitu penghambaan, ketundukan kepada Allah, dan kekhalifahannya di muka bumi ini. Kesadaran akan tugas kekhalifahan di muka bumi ini akan menjauhkan manusia dari sikap eksploitasi alam. Yang ada hanya sikap memakmurkan alam semesta melalui perwujudan ketaatan pada syariat Allah. Al-Qur’an pun telah jelas-jelas menegaskan tujuan penciptaan manusia ini melalui firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzaariyaat: 56)

Jika tugas manusia dalam kehidupan ini demikian penting, pendidikan harus memiliki tujuan yang sama dengan tujuan penciptaan manusia. Bagaimanapun, pendidikan Islam sarat dengan pengembangan nalar dan penataan perilaku serta emosi manusia dengan landasan dinul Islam. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial.

&

Sasaran Pendidikan Islam

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Karena terdorong oleh kerakusan naluriah, sebagian orang melakukan sesuatu tanpa mengenal atau memahami sasaran yang dituju oleh perilakunya. Artinya orang tersebut menjadikan dorongan naluriah sebagai landasan perbuatannya. Hal itu bisa diibaratkan orang yang tidur yang secara reflek menarik tangannya ketika ditusuk jarum. Gerak reflek tersebut terdorong oleh kecintaan pada hidup walaupun orang yang sedang tidur itu sama sekali tidak menyadari kehidupan selama ia tidur.

Biasanya manusia yang hidup terarah, berakal, serta berkesadaran akan berfikir dan berperilaku sesuai dengan sasaran tertentu, ibarat seorang mahasiswa yang sungguh-sungguh belajar dengan tujuan berhasil meraih nilai bagus, ilmu yang bermutu tinggi, status sosial yang tinggi, atau penghasilan yang memadai. Namun perlu diingat bahwa tidak semua hasil itu bisa dicapai, atau bahkan tidak ada satu pun yang tercapai. Dengan demikian, hasil suatu usaha terkadang tidak sesuai dengan sasaran yang ditentukan. Begitu juga, motivasi atau dorongan sebuah perilaku bukanlah tujuan dari perilaku itu sendiri.

Hasil adalah perolehan yang bersumber dari sebuah perilaku dan dicapai oleh yang ada, baik hasil itu merealisasikan sasaran atau tidak. Sasaran itu sendiri adalah tujuan yang digambarkan oleh manusia dan diletakkan di depannya sehingga dia mengatur segala perilakunya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Motivasi adalah penggerak fisik atau psikis yang mendorong manusia untuk berperilaku. Motivasi pun dapat mensuplai kekuatan pendorong berperilaku ke dalam jiwa dan tubuh, kemudian secara dinamis dan sesuai dengan kondisi manusia menggerakkan dan mengaktifkannya sehingga dia dapat mewujudkan tujuan.

Jika manusia diperintah untuk berjalan di jalur tertentu, tanpa penjelasan mengapa ia harus berjalan di jalan itu, niscaya dia berjalan dalam keraguan, tanpa motivasi dan dalam ketidakjelasan. Namun jika padanya diberi kejelasan tujuan, dia akan melangkah dengan pasti. Misalnya ketika seseorang yang menempuh perjalanan jauh dan merasa ingin makan kita beri petunjuk sepeti ini: “Berjalanlah di jalan ini, di ujung sana anda akan menemukan kebun yang bagus milik orang-orang dermawan yang suka mengundang orang-orang yang datang untuk makan” niscaya kita akan menemukan orang itu kegirangan sehingga dia akan berjalan ke arah kebun itu dengan semangat dan tekad yang kuat melalui pengerahan potensi yang dimilikinya.

Dari ilustrasi itu kita menemukan bahwa penentuan sasaran itu akan membentuk sasaran menjadi sarana imperatif sehingga melahirkan perilaku yang berkesadaran. Jika demikian, sudah tentu bahwa penentuan sasaran itu akan jauh lebih penting jika diterapkan dalam dunia pendidikan. Dengan begitu, kita dapat membimbing generasi kita untuk menjadi umat utama dan menentukan pola perilaku dalam kehidupan individu maupun kelompok sehingga manusia melintasi kehidupan ini dengan bahagia, sistematis, kerja sama, harmonis, optimis, dinamis, berkesadaran, dan bernalar.
&

Beriman Pada Takdir Allah

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Allah lah yang menakdirkan segala perkara yang akan terjadi pada alam semesta ini. Karenanya keimanan kepada takdir Allah ini merupakan bagian terpenting dalam konsep keimanan kepada Allah. Yang jelas, Allah telah mengatur seluruh proses semesta ini, mulai dari hal yang menyangkut penciptaan alam semesta ini, hubungan manusiawi, hubungan manusia dengan alam semesta, dan seterusnya.

Pada dasarnya, keimanan pada takdir Allah ini, takdir baik maupun takdir buruk, merupakan landasan pendidikan Islam. Karena itu Rasulullah saw. menjadikan keimanan tersebut sebagai rujukan tersendiri. Dari keimanan tersebut, banyak dampak edukatif yang dapat diambil oleh orang beriman.

1. Munculnya kekuatan tekad dan hilangnya keraguan. Dalam komunitas manusia, tidak akan ada tekad yang setajam tekadnya seorang mukmin dalam menghadapi takdir Allah. Jika seoran mukmin menghadapi berbagai permasalahan, lantas berniat untuk meminta nasehat kepada orang lain dan beristikharah kepada Rabb-nya, dia akan memiliki kemantapan hati serta meniatkan dan mengerjakan segalanya tanpa ragu, takut, atau termangu. Dia sangat meyakini bahwa seluruh situasi dan kemungkinan yang akan terjadi itu betul-betul di luar kemampuan. Semuanya merupakan bagian dari perkara yang ada dalam pengetahuan dan takdir Allah. Dia sangat yakin bahwa Allah akan menolongnya dengan memilih yang terbaik untuknya. Jika dia merasa bahwa Allah memudahkan pelaksanaan suatu niat, dia yakin bahwa Allah telah memberikan kepadanya sesuatu yang terbaik. Dia yakin bahwa Allah memeliharanya dari keburukan-keburukan.

2. Tidak menyesali atau merasa rugi terhadap sesuatu yang tidak dapat dia raih. Seorang mukmin tidak akan pernah meratapi hal-hal yang telah terjadi melalui penyesalan atau kesedihan yang berlebihan sebab dia menyadari bahwa penyesalan itu tidak akan dapat mengembalikan apa yang tidak dapat ia raihnya itu. Ia hanya bertekad untuk semaksimal mungkin meraih apa yang telah ditetapkan Allah untuknya dan tidak ada dalam benaknya upaya untuk menghalangi takdir Allah selama sesuatu telah terjadi. Untuk sesuatu yang membuatnya salah langkah, dia senantiasa mengambil hikmah dari semuanya, kemudian bertobat. Dia bertekad untuk tidak digigit ular dua kali pada lubang yang sama.

3. Berani menghadapi kematian. Jiwa ini tidak akan ditimpa kematian kecuali atas izin dan ketetapan dari Allah swt.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya…” (Ali Imraan: 145)
Karena itu, tidak mungkin seorang mukmin sejati sesumbar bahwa dia tidak akan pernah mati. Untuk itu Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” akibat (dari Perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imraan: 156)

Jika seorang mukmin dididik untuk berani menghadapi maut, dia akan berani menghadapi segala tantangan hidup, baik itu berupa kehilangan anak, kekayaan, kedudukan, atau menghadapi musibah dan penyakit karena dia sangat yakin bahwa semua itu adalah rangkaian takdir Allah.

4. Optimis, rela, dan menghindarkan upaya pencarian penyebab musibah melalui ramal-meramal. Tidak mungkin dia mencari penyebab musibahnya melalui suara burung hantu atau seperti ramalan kaum kafir. Tentang itu Allah swt mengisahkannya dalam ayat berikut ini:

“Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.’ Utusan-utusan itu berkata: ‘Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.’ (Yaasiin: 18-19)

Dalam hadits riwayat Dawud dikatakan bahwa Urwah bin Amar telah menuturkan sebuah ramalan kesialan di hadapan Rasulullah saw. Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik ramalan adalah pengharapan yang baik. Ramalan tidak akan menggamangkan seorang muslim. Apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka katakanlah: ‘Ya Allah, tiada yang mendatangkan berbagai kebaikan selain Engkau dan tiada yang dapat menolak berbagai keburukan selain Engkau. Tiada upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.’”

Tidak jarang manusia yang merasa jengkel terhadap penyakit. Padahal jika kita merenungkan lebih jauh, ketika kita tengah menghadapi penyakit, banyak waktu yang bisa kita gunakan untuk berdzikir dan instropeksi diri, sehingga kita berniat untuk menghaluskan budi pekerti dan menebus berbagai kesalahan kita.

Dalam hadits riwayat Muslim dikatakan, Rasulullah saw. pernah bertamu ke rumah Umi Sa’ib [Umi al-Musib]. Ketika itu beliau bertanya, “Mengapa engkau terengah-engah wahai Umi Sa’ib?” Dia menjawab, “Aku demam dan tiada keberkahan Allah di dalamnya.” Rasulullah saw. bersabda, “Jangan engkau memaki demammu, sebab ia dapat menghilangkan kesalahan-kesalahan manusia sebagaimana alat penghembus api [ubub] menghilangkan karat besi.”

Demikian juga kita dilarang mengaitkan kesialan pada suatu kejadian atau mengumpat masa [zaman] sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw. lewat Abu Hurairah ini: “Janganlah sekali-sekali salah seoran dari kamu mengatakan, ‘Hai zaman yang mengecewakan’ karena Allah adalah [pemilik] zaman.”

Rasulullah pun melarang mengaitkan kesialan kepada angin sebagaimana sabdanya melalui Ubai bin Ka’ab berikut ini: “Janganlah kamu memaki angin. Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak kamu sukai, katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya kami memohon angin yang baik dan kebaikannya, dan kami berlindung kepada-Mu dari angin yang jahat dan kejahatannya serta kejahatan perkara yang Engkau suruh.’”

5. Semua dampak edukatif dari keimanan kepada takdir Allah itu mendidik kaum mukminin untuk bernalar dan tidak mengeksploitasi hawa nafsu dalam mencari penyebab suatu persoalan. Seorang mukmin akan mengetahui bahwa segala fenomena alam semesta ini berkisar antara kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, dia harus berwaspada serta hanya memilih kebaikan dan membuang keburukan.

&

Beriman kepada Para Rasul

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Para rasul adalah teladan dan pendidik pertama generasi ideal. Kehidupan Nabi Muhammad saw. adalah metode teladan untuk menyelenggarakan pendidikan Islami.

Pada dasarnya, Allah menyuruh manusia untuk mengimani risalah para rasul yang menuntut manusia untuk memurnikan penghambaan kepada Allah dan mengakui ketuhanan-Nya dengan segala konsepsi atau universalitas konsep-konsep tersebut. Walaupun begitu, keberhasilan pendidikan yang diteladankan oleh para rasul, terutama oleh Rasulullah saw. bergantung pada keyakinan bahwa beliau ditopang oleh wahyu dan petunjuk dari Allah swt. sehingga Allah tidak membiarkan beliau keliru dalam menentukan syariat. Jika keyakinan tersebut menjadi sebuah keimanan yang sempurna, manusia akan merasakan kebahagiaan yang besar setiap kali mengikuti salah satu perintah Rasulullah saw. khususnya ketika mengikuti metode pendidikan beliau.

Pada hakekatnya, ketika menyusun berbagai teori pendidikan, para filosof atau pakar-pakar pendidikan modern hanya melakukan berbagai dugaan kontemporer yang mereka uji cobakan kepada sebagian generasi. Jika ternyata gagal, mereka mengalihkan perhatian pada teori lain seraya meninggalkan generasi yang menjadi kelinci percobaan mereka. sebaliknya, risalah pendidikan Rasulullah saw. bersifat alamiah dan manusiawi sehingga darinya terpancar persaudaraan dan persatuan antarmanusia dari berbagai generasi di bawah metode pendidikan yang mengibarkan panji Sang Pencipta manusia. Untuk itu, Allah swt telah berfirman:

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.” (al-Mu’minun: 51-52)

Allah telah menutup risalah kenabian dengan Rasul Muhammad saw. karenanya tidak ada nabi lagi sesudahnya. Risalah kenabian beliau sangat istimewa, paling sempurna, dan meliputi seluruh alam semesta. Sesuai dengan kesempurnaannya, risalah pendidikan beliau pun dibangun secara alamiah dan selaras dengan fitrah manusia di manapun manusia berada. Allaha telah menyempurnakan risalah-risalah terdahulu dan menyuruh seluruh umat agar mengikuti risalah Rasulullah saw.

&

Beriman kepada Kitab yang Diturunkan Allah

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Kitab yang dimaksud adalah kitab yang berisi syariat, perintah, firman, dan petunjuk Allah yang menyinari jalan kehidupan manusia serta menentukan kewajiban manusia yang menyangkut perkara halal, haram, perintah, larangan, ibadah, dan hal-hal lain yang hendak diajarkan Allah kepada hamba-Nya.

Petunjuk yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dideskripikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Petunjuk yang diturunkan Allah kepada nabi Ibrahim as dan Musa as disifati Allah dengan Shuhuf (lembaran suci) yang juga digunakan al-Qur’an seperti yang tercantum dalam ayat berikut ini:
“[Yaitu] seorang Rasul dari Allah [yakni Muhammad] yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan [al-Qur’an].” (al-Bayyinah: 2)

Yang penting kita ketahui, keimanan kepada kitab-kitab samawi seperti yang dituturkan al-Qur’an merupakan rukun iman yang menjadi tuntutan keislaman. Firman Allah:
“Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (al-Baqarah: 285)

Berkaitan dengan al-Qur’an, manusia diwajibkan mengamalkan segala hal yang terdapat di dalamnya secara rinci sekaligus mengimani bahwa al-Qur’an diturunkan dari Allah dan memiliki berbagai keistimewaan, di antaranya:

– Al-Qur’an itu manusiawi dan ilmiah serta menjadi acuan bagi seluruh umat manusia. Sebaliknya kitab-kitab suci sebelumnya hanya menjadi pedoman umat tertentu.
– Al-Qur’an diturunkan dalam keadaan suci dan terbebas dari berbagai penyimpangan. Seluruh umat Islam sepakat dalam keshahihannya karena penurunannya kepada manusia dilakukan melalui sanad yang juga shahih. Tidak ada kitab samawi manapun selain Al-Qur’an yang sampai kepada manusia dalam keadaan sempurna dan utuh.
– Setiap kitab samawi terdahulu mencakup sebagian aspek kehidupan manusia. Sebaliknya al-Qur’an mencakup seluruh kehidupan manusia dan tampil dalam kondisi yang sempurna karena Allah-lah yang telah menjadikan al-Qur’an sebagai penyempurna muatan kitab-kitab terdahulu.
– Setiap kitab terdahulu menyuruh kepada pengacunya untuk mengikuti al-Qur’an. Namun al-Qur’an tidak menyuruh manusia untuk mengikuti kitab-kitab samawi secara terinci.

Penelusuran terhadap ayat-ayat yang mensifati al-Qur’an akan membawa kita pada kenyataan bahwa al-Qur’an memperhatikan pendidikan. Pada ayat berikut Allah berfirman:
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada [jalan] yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (al-Isra: 9)

Dengan demikian, al-Qur’an telah mendidik manusia agar istiqamah dan berakhlak lurus. Cukuplah al-Qur’an yang menjadi pedoman karena al-Qur’an berasal dari Dzat Yang Mahabijaksana menyusun syariat dan pelajaran serta yang Mahamengetahui berbagai karakter manusia dan hal-hal yang baik bagi mereka. karenanya, keimanan kepada al-Qur’an diwujudkan melalui aplikasi al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan al-Qur’an sebagai pelurus kehidupan individu atau masyarakat. Untuk itu Allah telah berfirman:

“[Ialah] al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak adaa kebengkokan [di dalamnya] supaya mereka bertakwa.” (az-Zumar: 28)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisa’: 82)

Al-Qur’an pun menyajikan petunjuk yang menuntut pemanfaatan akal, perenungan, dan pemikiran manusia semaksimal mungkin agar manusia mampu memahami aspek kehidupan ini melalui penarikan kesimpulan, analogi, atau penelitian. Artinya, manusia dituntut untuk menerima sesuatu dengan hujjah, argumen, dan pengetahuan yang bertanggung jawab. Ayat-ayat yang berbicara tentang itu, diantaranya adalah:

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
“Dan tatkala kebenaran (Al Quran) itu datang kepada mereka, mereka berkata: “Ini adalah sihir dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingkarinya”. (az-Zukhruf: 30)
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya, dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. ia mendapat kehinaan di dunia dan dihari kiamat Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar.” (al-Hajj: 8-9)
“Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’” (al-Baqarah: 111)
“…tunjukkanlah hujjahmu…” (al-Anbiyaa’: 24)

Dalam memahami hukum, ajaran, dan kemantapan kepada manusia, al-Qur’an menyajikannya dengan perlahan, seksama, dan berangsur-angsur sebagaimana difirmankan Allah ini:

“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Israa’: 106)
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” (al-Qiyamah: 16)
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (al-Furqan: 32)

Jika kita terbiasa membaca al-Qur’an, kita akan menemukan kebiasaan untuk berlisan secara fasih dan jelas. Mukjizat dan kefasihan al-Qur’an membentuk hati pembacanya agar mampu menjelaskan sesuatu dengan baik melalui redaksi bahasa yang jelas sehingga terhindar dari kesalahan komunikasi. Beberapa ayat al-Qur’an mengisyaratkan kefasihan al-Qur’an sebagai berikut:

“Haa miim. Demi Kitab [al-Qur’an] yang menerangkan.” (az-Zukhruf: 1-2)
“Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (al-Ankabut: 49)
“Dan Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: ‘Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’ Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (an-Nahl: 103)

Melalui keakraban dengan bahasa ketuhanan, seperti rasa takut, khusyuk, senang, atau takut, pembiasaan membaca al-Qur’an dapat melembutkan qalbu dan perasaan. Pengaruh tersebut akan lebih dirasakan oleh orang-orang yang membaca al-Qur’an dengan sungguh-sungguh. Untuk itu Allah swt telah berfirman:

“Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin-pun.” (az-Zumar: 23)

Pembaca al-Qur’an yang baik adalah pembaca yang memahami arti al-Qur’an sehingga ketika ia menemui ayat tentang dosa, dia berdoa dengan ayat itu. Jika ia menemukan ayat tentang ancaman atau adzab, dia berlindung kepada Allah. Jika ia menemukan ayat-ayat yang menunjukkan kebesaran Allah, hatinya menjadi khusyu’ dan kedua matanya bersimbah air mata. Mereka itulah yang mengamalkan ajaran al-Qur’an setelah ajaran itu melembutkan hatinya. Allah mensifati mereka dengan firman-Nya:

“Orang-orang yang telah Kami berikan Al kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. dan Barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi.” (al-Baqarah: 121)
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabb-nya, ada dua syurga.” (ar-Rahman: 46)

Al-Qur’an tidak hanya mendidik perasaan untuk teratur, tetapi juga menumbuhkan perasaan suka cita yang melahirkan hasrat dan kemauan untuk beramal shalih serta mencintai Allah. Untuk itu Allah berfirman:

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah….” (al-Baqarah: 165)
“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela…” (al-Maidah: 54)

Ayat tersebut menyajikan isyarat Allah tentang pengaruh kecintaan manusia terhadap Allah yang diantaranya adalah lemah lembut terhadap sesama mukmin serta keras dalam berjihad dan ketika menghadapi orang-orang kafir. Demikianlah melalui pembacaan dan pemahaman al-Qur’an, kita menemukan didikan akal sehingga kita dapat berfikir dengan baik dan merenungkan bukti-bukti keagungan Allah. Rasulullah saw. pun telah mengajarkan metode Qur’ani dalam mebina jiwa, yaitu melalui dzikir dan doa yang dinukil dari al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika bangun tidur, Rasulullah saw memandang langit dan membaca firman Allah yang artinya berikut ini:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka..’” (Ali Imraan: 190-191)

Dan ketika hendak tidur, beliau mengingat firman Allah yang artinya:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan…” (az-Zumar: 42)

Yang dilanjutkan dengan do: allaaHumma in amsakta nafsii fa-irhamHaa, wa in arsaltaHaa fa-ahfadh-Haa bimaa hafadh-ta ‘ibaadakash shaalihiin (“Ya Allah, jika Engkau menahan jiwaku, maka rahmatilah ia dan jika Engkau melepaskannya, maka peliharalah ia dengan apa yang Engkau gunakan untuk memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih”)

Selain hal-hal kompleks di atas, al-Qur’an pun mengajarkan hal-hal lain yang menyangkut etika kesopanan yang agung, baik itu cara memejamkan mata, merendahkan suara, menyederhanakan cara berjalan, berbuat baik kepada orang tua, rendah hati kepada kaum muslimin, tidak menyakiti anak yatim, bershadaqah dengan ikhlas, menghindarkan perbuatan mengumpat dan lain-lain.

Bagi para pendidik yang mengajarkan al-Qur’an kepada anak didiknya, ada beberapa kewajiban yang semaksimal mungkin harus dilaksanakan, yaitu:

– Melatih dan memfasihkan lidah siswa agar membaca al-Qur’an dengan tajwid yang benar.
– Membina kekhusyukan membaca dan menjiwai bacaannya sehingga dalam jiwanya tertanam kerinduan pada surga atau kecintaan kepada Allah.
– Membina anak agar memahami bacaannya sehingga terpatrilah tekad untuk mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari mereka.
– Membina anak agar mereka biasa mengambil intisari al-Qur’an, merenungkan apa yang ditunjukkan al-Qur’an sebagai bukti keagungan al-Qur’an, dan mempersiapkan anak untuk aktif dan kritis ketika menemukan sesuatu yang tidak dipahami.

Kewajiban-kewajiban di atas dapat dilaksanakan setelah anak-anak memahami makna dan tujuan umum setiap kelompok ayat [misalnya melalui pelajaran tilawah] atau sudah memahami makna dan tujuan setiap kata atau kalimat [melalui pelajaran tafsir].

Demikianlah, kita menemukan bahwa pendidikan al-Qur’an dapat menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an telah menyatukan hati umat manusia di atas kesesatan prinsip dan perundang-undangan. Al-Qur’an yang harus menjadi pengaruh pertama dalam berbagai pandangan umat Islam.

&

Beriman Kepada Malaikat

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Jika kita meneliti ayat-ayat tentang malaikat, kita akan menemukan konsep bahwa malaikat itu adalah makhluk yang ada (being). Malaikat diciptakan oleh Allah, memiliki tugas dan pekerjaan tertentu. Allah menentukan segolongan malaikat dengan tugas tertentu. Dengan demikian, para malaikat adalah hamba-hamba Allah.
“… yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

Di antara tugas mulia malaikat adalah mengantarkan wahyu kepada para nabi sebagaimana dijelaskan Allah sebagai berikut:
“Katakanlah: ‘Ruhul Qudus [Jibril] menurunkan al-Qur’an itu dari Rabb-mu dengan benar, untuk meneguhkan [hati] orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri [kepada Allah].” (an-Nahl: 102)

Di antara mereka ada yang bertugas memikul ‘Arsy:
“[Malaikat-malaikat] yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb-nya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman….” (al-Mu’min: 7)

Malaikat lainnya diberi tugas menjaga manusia sehingga apabila manusia sudah sampai pada ajalnya, malaikat yang bertugas khusus untuk itu datang dan menjemput ruh manusia, firman Allah:
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (al-An’am: 61)

Allah pun berfirman untuk mensifati para malaikat yang bertugas menjaga manusia:
“Sama saja [bagi Allah], siapa di antara kamu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan [menampakkan diri] di siang hari. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah…” (ar-Ra’d: 10-11)

Setiap al-Qur’an menuturkan ihwal malaikat, kita akan menemukan metode yang memikat dan mendorong kita untuk memahami hakekat malaikat. Para malaikat tidak memiliki hubungan kekerabatan atau pertalian nasab apa pun dengan Allah sebagaimana diduga oleh kaum musyrikin. Al-Qur’an pun menjelaskan, ketika Adam diciptakan, Allah menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam sebagai keyakinan atas keunggulan Allah dan keagungan-Nya melalui apa yang diciptakan-Nya. Dengan itu pun, Allah ingin menunjukkan keunggulan Adam yang telah memperoleh banyak ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan kepada para malaikat. Lewat kelebihan ilmu itulah Allah mengunggulkan Adam daripada malaikat. Maka, bagaimana mungkin manusia yang telah dimuliakan dan diberi keistimewaan oleh Allah itu bersujud kepada selain Allah, atau menyembah malaikat dan sebagainya.

Pada dasarnya, keimanan kepada malaikat merupakan penyempurna keimanan kepada Allah. Artinya keimanan kepada malaikat merupakan syarat mutlak untuk menunjukkan keimanan kepada Allah, dan memperjelas konsep ketuhanan, keagungan Allah, serta kekuasaan Allah yang memiliki tentara dan petugas yang menaati perintah-Nya. Keimanan kepada para malaikat pun mendidik untuk hidup teratur, taat dan menata segala persoalan hidup dengan keyakinan bahwa Allah Yang Mahakuasa telah mewakilkan penataan sebagian masalah alam semesta ini kepada para malaikat. Bertasbihnya para malaikat dan mengagungan mereka terhadap Allah merupakan teladan bagi manusia. Manusia mesti menata hubungan familiar dengan para malaikat. Bahkan para malaikat pemikul ‘Arsy di sisi Allah yang kedudukannya paling tinggi dan kuat, memintakan ampunan untuk orang-orang yang beriman. Hal ini akan menambah kemuliaan, kehormatan, dan pengetahuan manusia, terutama berkaitan dengan kedudukan di sisi Allah. Karena itulah Allah menundukkan para malaikat di hadapan manusia serta memintakan ampunan dan penjagaan manusia dari adzab.

&

Beriman kepada Hari Akhir

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Pada hakekatnya, hasil alamiah dari pandangan Islam terhadap alam semesta dan kehidupan adalah konsep keimanan pada hari akhir. Konsepsi dunia bersifat temporer karena seluruhnya diciptakan untuk masa yang telah ditetapkan oleh-Nya. Jika limit waktu yang telah ditetapkan tiba, maka alam semesta, manusia, dan kehidupan seluruh makhluk akan berakhir. Allah akan memusnahkan alam semesta ini dan mengakhirki kehidupan yang ada di dalamnya. Bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya telah tersedia alam lain yang memiliki sistem atau sendi khas dan memiliki kehidupan abadi. tiada kematian lagi sesudahnya dan mulailah Allah dengan penilaian berbagai amal hamba melalui timbangan yang tetap. Untuk itu Allah berfirman:

“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), Maka Barangsiapa berat timbangan kebaikannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, Maka Itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami.” (al-A’raaf: 8-9)

Pada hari yang telah ditentukan itu, tidak ada satupun niat dan amal manusia yang luput dari penghisaban. Setiap orang akan disibukkan oleh dirinya sendiri sebagaimana yang digambarkan oleh Allah swt lewat firman-Nya:

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (‘Abasa: 34-37)

Pada hari itu, tidak berguna lagi pertolongan, amal sunnah seseorang tidak diterima lagi, anak-anak dan kekayaan tidak akan pernah bermanfaat kecuali manusia yang menghadap Allah dengan hati yang bersih dan murni. Pada hari itu, tatkala Allah memasang timbangan keadilan, terlihat jelaslah keadilan Ilahi. Jika penghisaban selesai, terlihat jelaslah rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Lalu Allah memasukkan mereka ke dalam surga dan mereka kekal di dalamnya. Kemurkaan-Nya pun terlihat jelas ketika kaum kafir terhisab. Lalu Allah menghalau mereka ke neraka jahanam dan mereka kekal di dalamnya.

Buah pendidikan yang dapat kita petik dari keimanan kepada hari akhir adalah motivasi untuk senantiasa merenungi kematian dan mempersiapkan bekal yang akan dibawa nanti menuju alam yang lebih abadi. hal-hal itu antara lain:

1. Pertama, dari sudut pandang pendidikan yang hakiki, keimanan kepada hari akhir merupakan motifasi lahirnya rasa tanggung jawab yang serius dan sejati. Keseriusan dan kesejatian ini tidak akan pernah terbentuk tanpa keimanan tersebut. Di situ kita dapat melihat bahwa penerimaan manusia atas syariat Islam merupakan penerimaan yang penuh ketaatan yang tidak memerlukan ayunan cambuk, ketakutan, atau paksaan. Tidak akan pernah ada penganut syariat sejati yang berupaya mengakali undang-undang Ilahi karena ia meyakini tugas malaikat yang mencatat amalnya. Dengan begitu, setiap manusia yang dididik dengan pendidikan Islam akan mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya dan merasakan kekhawatirannya ketika nanti dia berdiri di hadapan Sang Pencipta.

2. Keimanan pada hari akhir akn membuahkan sikap aplikatif kemuliaan akhlak yang berkesinambungan, kokoh, dan tidak berubah-ubah tanpa kemunafikan atau sikap riyak. Santun, tabah, rela berkorban dari segala kehinaan merupakan hiasan seorang mukmin sebab ia hanya menaati pembalasan dari Allah, bukan dari manusia. Bermodalkan keyakinan bahwa hari pembalasan itu akan tiba sesuai dengan janji Allah, seorang mukmin akan memiliki kestabilan akhlak sehingga tak tergoyahkan oleh kehidupan duniawi mana pun.

3. Karena hanya takut kepada Allah dan hanya mengharapkan kebahagiaan dari surga Allah, seseorang yang beriman kepada hari akhir akan mengontrol dan mengendalikan seluruh motivasi dan naluriahnya. Pada dasarnya, Islam senantiasa memperhatikan dorongan naluriah untuk setiap motivasi manusia, misalnya yang berhubungan dengan kegandrungan atau ketakutan kepada Allah dan sebaliknya yang berhubungan dengan ketidaktaatan kepada syariat Allah.
Agar memberikan hasil yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, Islam menawarkan konsep yang dapat meluruskan motivasi tersebut sehingga tidak akan ada lagi motivasi yang mecerai beraikan kekuatan manusia. Demikianlah Islam memupuk dan mengarahkan motivasi manusia sehingga tidak ada istilah melumpuhkan atau melupakan motivasi. Dengan demikian, tersingkirlah berbagai keyakinan yang berlebihan sehingga melupakan fitrah manusia.

4. Hamba Allah yang mengimani hari akhir akan mengutamakan kepentingan akhirat daripada urusan duniawi dan bersabar ketika menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan hidup, terutama yang berhubungan dengan makar-makar yang dilakukan pengikut setan. Kehidupan Rasulullah saw. telah memberikan konsep yang jelas tentang pengutamaan akhirat atas duniawi. Ketika istri-istri Rasulullah berkumpul dan menuntut pemberian nafkah lahiriah yang berlebih, Allah swt menurunkan ayat berikut:

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: ‘Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (al-Ahzab: 28-29)

Karena ketaatan dan keimanan, istri-istri beliau lebih memilih Allah, Rasul-Nya dan kebahagiaan ukhrawi. Mereka tetap bersabar dalam pengayoman Rasulullah saw. dalam kondisi yang sesulit apapun. Sedangkan melalui firman-Nya, Allah swt berfirman:

“tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’laa: 16-17)

Allah pun mengisyaratkan tempat setiap orang di akhirat:
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (an-Naazi’aat: 37-41)

5. Keimanan pada hari akhirat dapat memperkaya akal manusia dengan fitrah yang sehat karena pemikiran setiap insan terhadap alam semesta ini tidak dikotori oleh hawa nafsu. Pemikiran yang disertai fitrah yang sehat akan menghasilkan kesimpulan berikut:

i) Seluruh aspek dunia ini berproses melalui kehidupan, kematian, kebinasaan, kelemahan, kekuatan yang berangsur-angsur hilang, terbit, terbenam dan seterusnya yang semuanya menuju pada kehancuran dan bergerak di luar kemampuan diri.
ii) Seluruh manusia menghabiskan jatah usianya melalui berbagai cara, baik melalui kerja keras, permusuhan, atau cara-cara lain yang semuanya dapat digolongkan menjadi sesuatu yang baik atau buruk. Ketika dia meninggal, hilanglah seluruh gerak hidupnya. Lantas samakah kedudukan dan tempat mereka di akhirat nanti? Melalui akal yang lurus dan fitrah yang sehat, manusia akan meyakini bahwa semesta yang sistematis dan menakjubkan ini akan berakhir pada kepunahan melalui sasaran dan tujuan yang jelas, yaitu kehidupan yang lebih kekal dan sesuai dengan niat dan amal setiap manusia.
iii) Alam semesta adalah pembukti adanya Sang Pencipta yang menciptakan alam ini dengan kejelasan tujuan. Artinya, dengan tujuan itulah Allah menciptakan alam semesta ini. Kesimpulan seperti ini hanya akan dicapai oleh akal yang sehat.
iv) Allah Mahakuasa dalam menciptakan alam semesta ini dan Mahakuasa juga membinasakannya serta menghidupkannya kembali sebagai makhluk baru di akhirat kelak. Analogi rasional terhadap penciptaan alam semesta, akan membawa akal yang sehat pada kesimpulan bahwa Dzat Pencipta alam semesta ini pun Mahakuasa menciptakan, memusnahkan, dan menghidupkan lagi manusia.

Perenungan-perenungan terhadap alam semesta merupakan basis pembuktian adanya Allah, hari akhir, alam ba’ats, atau hari perkumpulan. Melalui pendidikan, Islam senantiasa mengembangkan akal manusia agar mampu berfikir sehat dan melakukan pengaitan secara logis antara landasan pemikiran dan kesimpulan [antara premis dan konklusi]. Pendidikan Islam pum meletakkan dasar yang kuat untuk konsep kehidupan sehingga manusia tidak menganggap penciptaan alam semesta ini sebagai hal yang main-main, tanpa tujuan, atau kebetulan belaka sebagaimana dijelaskan Allah melalui firman-Nya:
“Dan Dia tidak meridlai kekafiran bagi hamba-Nya…” (az-Zumar: 7)

Pada dasarnya kekafiran terhadap keberadaan Allah dan hari akhir menunjukkan tunduknya akal pada hal yang main-main, kebetulan, dan tanpa alasan yang jelas.

&

Beriman Kepada Allah adalah Sebuah Konsep Ketuhanan

10 Jul

Beriman Kepada Allah adalah Sebuah Konsep Ketuhanan
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi

Penyerahan diri dan keyakinan akan adanya Allah serta keberadaan-Nya sebagai Pencipta alam semesta ini belumlah dapat dikatakan sebagai aqidah yang memadai dan dapat menyelamatkan kita dari adzab Allah. Kaum kafir Quraisy pun mempunyai keyakinan seperti itu. Dan ternyata Allah memandang mereka sebagai orang-orang yang berpaling dari seruan Islam. Lewat firman-Nya Allah mencela keberpalingan mereka dari keyakinan bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi, misalnya “….maka betapa mereka [dapat] dipalingkan [dari jalanyang benar].” (al-Ankabuut: 61)

Pada dasarnya, keimanan kepada Allah swt. harus mencakup tiga konsep atau unsur dasar, yaitu:
1. Mengetahui dan memahami konsep ketuhanan. Konsep inilah yang ditolak oleh kaum musyrikin karena mereka tidak mau menisbatkan ketuhanan kepada Allah Yang Maha Esa dan menolak menghilangkan tuhan-tuhan lain dalam konsep peribadatan mereka.
2. Menetapkan konsep ketuhanan hanya kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung.
3. Meniadakan konsep ketuhanan kepada selain Allah.

Agama-agama di luar Islam memiliki deskripsi ketuhanan yang salah, tidak lengkap, atau terkontaminasi oleh penyerupaan, reinkarnasi, dan proses keturunan. Satu-satunya kitab yang berisi penyempurnaan deskripsi tentang ketuhanan adalah al-Qur’an. Abu A’la al-Maududi menyimpulkan konsep ketuhanan al-Qur’an itu lewat bukunya al-Hadharah al-Islaminyah, halaman 138-139:

1. Pertama, yang menjadi Tuhan itu hanyalah Yang menjadi tempat bergantung, Yang Hidup, Yang Kekal, Yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, Yang berasal dari azali sehingga tiada sesuatu pun sebelumnya; Dia kekal untuk selamanya sehingga tiada sesuatu sesudah-Nya; pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, rahmat-Nya menyelimuti segala sesuatu, kekuatan-Nya mendominasi segala sesuatu, hikmah-Nya Mahasuci dari segala kekurangan, dan keadilan-Nya Mahasuci dari segala kecacatan, Dia Mahakuasa, Dia Pembuat syariat dan Dia Hakim yang mutlak, Yang memberi kehidupan, Yang menyiapkan segala sebab dan sarananya, Yang memiliki segala kekuatan baik untuk memberi manfaat maupun mudlarat. Semua pihak selain Dia membutuhkan pemberian-Nya serta memerlukan penjagaan dan pemeliharaan-Nya. Kepada Dialah tempat kembali segala makhluk. Dialah yang menghisab dan membalas setiap perilaku pihak selain Dia.

2. Kedua, di dalam al-Qur’an, selain terdapat deskripsi ketuhanan yang shahih, sempurna, dan jelas, melalui kata-kata yang sangat kuat berupa dalil penguat dan aneka metode penjelasan yang terarah, terdapat juga petunjuk bahwa di alam semesta ini tiada suatu kekuatan atau perkara pun yang dapat menuju deskripsi ketuhanan tersebut karena segala yang ada di alam ini tunduk kepada-Nya dan tidak dapat berdiri sendiri. Segala yang ada di alam semesta ini tidak kekal selamanya dan tidak mampu menolak kemudlaratan yang ada pada dirinya. Sesuatu yang mendorong lahirnya perilaku bukan berasal dari dirinya sendiri dan kekuatan yang mendorongnya bisa eksis atau melakukan sesuatu merupakan pengaruh dari pihak lain. Jika demikian, bagaimana mungkin ia memberikan manfaat kepada orang lain?

3. Ketiga, al-Qur’an telah meniadakan deskripsi ketuhanan dari segala perkara yang ada di alam semesta. Dengan demikian, al-Qur’an hanya menetapkan konsep ketuhanan kepada Dzat Yang Maha Satu, yaitu Allah swt. Al-Qur’an menuntut manusia untuk hanya mengimani Allah Yang Satu. Tidak boleh bersujud kecuali kepada Allah, tidak boleh mengagugkan kecuali mengagungkan-Nya, tidak boleh berserah diri kecuali kepada-Nya. Manusia harus meyakini seyakin-yakinnya, hanya kepada Allah-lah dirinya akan kembali. hanya di hadapan Allah lah dirinya akan dihisab. Dan hanya bergantung pada qadla Allah lah kesudahan baik atau buruknya.

Gambaran konkretnya bisa kita lihat dari perjuangan bangsa Arab atau bangsa lain yang belum mengetahui konsep ketuhanan. Mereka berusaha mengubah perilaku dan mendidik dirinya sendiri sesuai dengan tuntunan konsep ketuhanan. Dengan demikian, Allah telah mengganti bumi mereka dengan bumi yang berbeda dan alam yang mereka taklukkan pun bukan alam yang ada sebelumnya. Hasilnya, lewat kegigihan mereka untuk berubah, mereka telah mengeluarkan manusia dari kedhaliman para thaghut menuju keadilan Allah dan syariat-Nya. Mereka telah mengangkat manusia dari kebohongan dan kurafat. Mereka menjunjung tinggi seluruh ajaran dan kebenaran Islam. Sekarang kita dapat melihat mukjizat yang ditunjukkan Allah bagi orang-orang yang bertauhid. Allah telah memberikan kekuatan kepada umat Islam untuk menaklukkan kejahiliahan dan mengokohkan peradabannya di muka bumi. Maka dalam sejarah peradaban manusia, tercatatlah kekokohan peradaban Islam.

Pada hakekatnya, tauhid telah menata kehidupan psikologis manusia sekaligus menyatukan tendensi, fikiran, dan tujuan hidupnya. Selain itu, segala perasaan, perilaku, dan kebiasaan manusia dijadikan kekuatan yang saling mendukung dan menunjang sehingga semuanya tertuju pada perwujudan yang satu, yaitu ketundukan kepada Allah Yang Maha Esa dengan segala kekuasaan dan sifat-Nya yang dilengkapi dengan kesamaan perasaan ketuhanan dan kasih sayang dalam diri manusia.

Setiap sifat ketuhanan yang fundamental membiasi kehidupan psikologis manusia. Dengan demikian, dia tidak akan memiliki kebahagiaan, keistiqamahan, dan kontrol diri kecuali terkait konsep-konsep ketuhanan yang selaras. Berikut ini ada beberapa gambaran yang dapat memperjelas hal itu:

1. Pertama, sesuai fitrahnya, manusia itu cenderung pada kemakmuran, kecintaan kepada kekekalan, dan bekerja untuk kehidupan duniawi yang semuanya disertai dengan kontrol diri. Ditinjau dari segi kesenangan, fitrah tersebut berpadanan dengan optimisme terhadap rahmat dan surga Allah. Kontrol diri dan keteraturan berpadanan dengan keabadian dan kekekalan Allah serta kefanaan kehidupan dunia. Dengan demikian, wajar jika kita melihat seorang mukmin yang akan bekerja dengan sungguh-sungguh, optimisme, dan penuh harapan. Masalahnya ia menganggap, dunia ini ladang yang hasilnya dapat kita petik di akhirat kelak tanpa menghilangkan perenungan terhadap kematian. Dia tidak mengabaikan akan turunnya berbagai musibah yang harus dia hadapi dengan keikhlasan dan kenikmatan berjumpa dengan Rabbnya.

2. Kedua, manusia itu mempunyai ketamakan dan kecintaan pada kekayaan. Yang kita lihat dari seorang mukmin adalah penggunaan kekayaan dengan tetap menyadari bahwa kekayaan itu adalah titipan Allah dan segala perkara yang ada pada alam semesta ini adalah milik Allah. Dengan demikian, seorang mukmin akan mengembangkan hartanya tanpa menjadikan hatinya sebagai budak kekayaan. Jika kekayaannya ternyata diperlukan untuk kemaslahatan umat, dia tidak segan-segan mendermakan harta karena dia sangat meyakini bahwa Allah Yang Maha Segalanya adalah Pemberi rizky dan Pemilik kekuasaan Yang Mahaperkasa. Dengan demikian seorang mukmin harus menyikapi kecintaannya kepada kedudukan, keinginannya pada wanita, keinginannya atau kecintaannya kepada anak, serta berbagai penyaluran aspek psikologis lainnya melalui perenungan atas ke-Mahasegalaan Allah. Yang jelas, seorang mukmin sejati memiliki keistimewaan berupa kemuliaan diri untuk tidak diperbudak kekayaan, kedudukan, atau thaghut lainnya.

3. Al-Qur’an telah menjelaskan keutamaan aqidah tauhid dalam mewujudkan intregitas diri manusia, di antaranya adalah:
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (az-Zumar: 29)

Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan antara budak yang dimiliki oleh seorang laki-laki dan budak yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang berserikat. Dalam kondisi pertama, budak tersebut hidup dalam satu perintah atau keinginan sehingga kehidupannya pun tidak kacau oleh banyaknya orang yang menyuruhnya dengan keinginan yang berbeda-beda. Dia akan merasa hidup istiqamah dan hidup dalam satu pola. Sebaliknya dalam kondisi kedua apalagi jika dibumbui dengan perselisihan, seorang budak akan menemukan hidupnya dalam kegamangan dan kekhawatiran.

Demikian halnya hidup seorang musyrik. Melalui fitrahnya, dia memahami keagungan Allah, tetapi dalam hidupnya dia menyekutukan tuhan lain bersama Allah. Maka kita akan menemukan mereka dalam kemunafikan, menuhankan hawa nafsu, atau diperbudak harta. Kadang-kadang diapun terlalu asyik menikmati kehidupan duniawi sehingga lupa pada perenungan tentang kematian atau akan datangnya musibah. Sehingga ketika menghadapi musibah dia akan tampil dalam kegamangan. Dia tidak memiliki Tuhan Yang Satu, Yang dalam kekuasann-Nya lah segala perkara akan terselesaikan.

Dari gambaran di atas, jelaslah untuk mewujudkan dampak edukatif melalui keimanan kepada Tuhan Yang Satu, seluruh sistim pendidikan harus bersumber kepada keesaan Allah swt beserta seluruh aspeknya. Misalnya saja, kajian atas alam semesta [Ilmu Pengetahuan Alam] harus ditujukan untuk menghadirkan keagungan Allah Yang Maha Pencipta, Yang Memiliki alam semesta, Yang Hidup, Yang Abadi, serta yang mengatur segala aktifitas alam semesta. Pelajaran bahasa harus merupakan sarana menghadirkan konsep bahwa Allah akan menghisab tujuan kita berbahasa. Apakah kemampuan berbahasa yang kita miliki itu digunakan untuk memutar balikkan fakta, membela diri ketika salah, atau untuk berbagai kemanfaatan? Hal seperti ini harus dilakukan dalam mata pelajaran lainnya. Jelasnya, pemberian seluruh pelajaran harus memiliki tujuan yang satu, yaitu menyatukan umat Islam di bawah panji ketuhanan dan ketauhidan.

4. Keempat, aqidah tauhid dan keimanan kepada Allah mendidik akal manusia agar berpandangan luas, gemar meneliti alam semesta, dan semangat mencari hikmah di balik hal-hal yang terlihat. Segala perkara yang ada di alam semesta ini, baik yang terlihat maupun tidak, adalah milik Allah. Dan segala yang ada baik yang besar maupun kecil, bertasbih memuji Allah dan mempersaksikan keagungan-Nya. sesungguhnya Al-Qur’an memerintahkan kita untuk merenungkan semua itu, merenungkan penciptaan langit, bumi, lautan, sungai dan lain-lain. Tidak ada satu perkara pun yang luput dari perhatian Allah. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya….” (al-An’am: 59)

5. Kelima, aqidah tauhid mendidik manusia untuk tawadlu dan tidak ekstrim. Dia tidak tertipu oleh sifat-sifat kemanusiannya. Jika dia menemukan gejala bahwa dirinya akan tertipu oleh kekuatan dan kemampuan dirinya, dia segera ingat bahwa Allah-lah yang berhak menunjukkan kekuasaan dan menghidupkan dan mematikan manusia sehingga terhindarlah dia dari perbuatan mendhalimi atau jahat kepada orang lain. Jika dia menemukan dirinya akan tertipu oleh kekayaan yang dapat menjerumuskan dirinya pada kehidupan berfoya-foya, tinggi hati, atau takabur,

6. Dengan bertauhid dan mengkhususkan segala sifat ketuhanan hanya kepada Allah, manusia akan terhindar dari harapan yang sia-sia. Tidaklah berguna syafaat kecuali dari orang yang diizinkan dan diridlai Allah. Tidak akan ada pertolongan dari hamba yang dekat dengan Allah kecuali akibat amal shalih kita. Allah tidak mengenal kedekatan hubungan kekeluargaan, hubungan orang tua, atau hubungan persahabatan dengan salah satu makhluk. Semua adalah hamba Allah yang akan dihisab sesuai dengan amal perbuatannya. Allah akan membalas dengan kebaikan jika memang perbuatan hambanya baik. Dan sebaliknya.

7. Ketenteraman, harapan, upaya, dan kerja keras merupakan kondisi yang akan dimiliki manusia-manusia yang beriman kepada Allah. Mereka akan merasakan tenteram karena Allah selalu dekat, menerima tobat, mengabulkan doa, dan merahmati kehidupan mereka. untuk itu Allah berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)

“….dan bahwasannya Allah sekali-sekali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Ali ‘Imraan: 182)

“….Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa saja yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (al-A’raaf: 156)

Dengan demikian terdapat keseimbangan antara upaya menjauhi tipu daya dan mempersenjatai diri dengan cita-cita dan harapan. Seorang mukmin akan merasa takut terhadap adzab Allah dan jika terlanjur salah, dia akan senantiasa mengharapkan rahmat Allah. Jika itu terwujud, manusia akan sangat jauh dari keputusasaan, bunuh diri, melarikan diri dari kenyataan, atau melakukan kompensasi dengan obat-obat terlarang atau dengan khamr. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa putus asa bukanlah sifat orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah:

“… dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)

Jika seorang mukmin tergelincir, dia akan memperbarui tekadnya melalui tobat, istighfar, dan berlindung kepada rahmat Allah sebagaimana firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar: 53)

8. Seorang mukmin akan merasakan keterkaitannya dengan Allah, merasa bangga dengan pertolongan-Nya, dan bernaung di bawah panji-Nya. Hanya Allah lah penolong mereka. adakah perkara yang lebih besar daripada keterkaitan dan keterikatan kita dengan Yang Maha Pencipta, Yang merendahkan kaum tiran, serta Pemilik kematian, kehidupan, ba’ats, perkumpulan, dan pembalasan? Firman Allah:

“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maaidah: 56)

Untuk mensifati kelompok setan, Allah swt berfirman:
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi.” (Mujadilah: 19)
“Yang demikian itu karena Sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai Pelindung.” (Muhammad: 11)

Mensifati kelompok setan merupakan upaya mendidik manusia untuk selalu melawan dengan para pengikut setan atau kejahatan. Kelompok setanlah yang telah menjerumuskan manusia pada kemaksiatan, melupakan Allah, dan memenuhi syahwat. Selain itupun, umat Islam akan bangga dengan keislamannya sehingga terciptalah kondisi yang saling mengasihi dan tolong-menolong di antara mereka. dengan demikian terciptalah kesatuan pandangan manusia atas landasan kebaikan dan keimanan, tanpa fanatisme unsur tertentu atau pengutamaan kepentingan material-imperial yang mengeksploitasi rakyat.

Setiap orang yang beriman kepada Allah adalah kelompok Allah, apapun jenis kelaminnya, rasnya, atau warna kulitnya. Dan setiap orang kafir akan senantiasa memerangi kelompok Allah atau menentang dakwah sehingga bagaimanapun ras dan warna kulitnya, dia jelas-jelas kafir. Orang-orang yang berwali kepada Allah disifati-Nya melalui ayat berikut:

“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)

Agar rasa bangga terhadap keterkaitan dengan Allah dan kelompok-Nya tetap dalam rangka keimanan kepada Allah, seorang hamba harus berani melawan kelompok setan, menjauhi kaum kafir, dan tidak cenderung kepada mereka. untuk itu Allah berfirman:

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (an-Nisaa’: 138-139)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin…” (an-Nisaa’: 144)

Lebi jauh lagi, Allah swt telah menjadikan perwalian dengan-Nya, Rasul-Nya, dan kelompok kaum muslimin berada di atas perwalian orang tua, kerabat, dan orang-orang yang dekat. Sebagaimana firman-Nya ini:

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)

Konsep-konsep di atas merupakan segi-segi penting dalam pendidikan yang harus menjadi dasar seluruh tujuan pendidikan masyarakat. Seluruh buku acuan, baik itu buku Geografi, Sejarah dan lain-lainnya harus ditinjau ulang menurut landasan tersebut karena perwalian kepada Allah dan kelompok-Nya merupakan kesempurnaan dalam mengesakan dan menyembah-Nya. Sebaliknya, perwalian kita kepada kaum kafir merupakan aspek yang dapat meniadakan ketauhidan.

Kenyataannya dewasa ini, kita menemukan ilmu-ilmu sosial rujukan mayoritas sistem pengajaran di negara-negara Arab, bahkan negara Islam, dibangun atas landasan kekafiran, agnotisme, serta anggapan bahwa negara-negara barat merupakan sentral yang di sekelilingnya berorientasi. Artinya, dari sentral itulah bersumber segala sejarah dunia sehingga periodisasi sejarahpun didasarkan atas landasan dan anggapan barat. Padahal, dalam realita sejarah, Islamlah sumber kebangkitan ilmiah dan peradaban dunia itu.

Untuk itu para cendekiawan Islam mempunyai tugas untuk meninjau ulang penyusunan terminologi ilmu-ilmu sosial menurut realita yang sebenarnya dan berpihak pada kebenaran. Kodifikasi tersebut harus bertitik tolak dari sejarah kenabian dan pasang surutnya akidah tauhid. Pada dasarnya, al-Qur’an pun telah mengisyaratkan hal itu, khususnya ketika al-Qur’an menyajikan berita-berita tentang umat terdahulu.

Menurut konvensi al-Qur’an, sejarah manusia berpusat pada konflik antara wali Allah dan wali setan atau antara kekafiran dan keimanan yang berlangsung sepanjang masa. Penyajian tersebut diarahkan untuk menjadi cermin dan pelajaran sehingga kita mampu menjauhkan diri dari sesuatu yang buruk yang berasal dari kekafiran, kelemahan, dan kejauhan dari Allah. Dengan demikian, terlahirlah manusia-manusia shalih yang memakmurkan bumi dengan keimanan, keadilan, cara hidup yang baik, pengesaan Allah, dan penghambaan diri kepada-Nya. Dengan penyajian seperti itu, pendidikan akan tampil berdasarkan perwalian kepada Allah swt.

&

Hikmah Kependidikan Ibadah

10 Jul

Hikmah pendidikan ibadah
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Melalui peribadahan, banyak hal yang dapat diperoleh oleh seorang muslim yang kepentingannya bukan hanya mencakup individual, melainkan bersifat luas dan universal. Di antara hikmah pendidikan yang dapat kita ambil adalah:

a. Pertama, dalam konsepsi Islam, melalui ibadah manusia diajari untuk memiliki intensitas kesadaran berfikir. Dilihat dari segi syaratnya, ibadah yang diterima Allah adalah ibadah yang memiliki syarat. Syarat yang dimaksud adalah:
– Keikhlasan dan ketaatan kepada Allah.
– Pelaksanaan ketaatan sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
b. Kedua, dimanapun seorang muslim berada, melalui kegiatan yang ditujukan semata-mata untuk ibadah kepada Allah, ia akan selalu merasa terikat oleh ikatan yang berkesadaran, sistematis, kuat, serta didasarkan atas perasaan jujur dan kepercayaan diri. Dikatakan kesadaran karena pada dasarnya tidak ada ikatan yang luput dari perhatian masyarakat atau dilakukan secara membabi buta.

Sesungguhnya amal ibadah yang dilakukan melalui kerja sama antara seorang muslim dengan muslim lainnya akan melahirkan rasa kebersamaan dan kekuatan yang besar. Selain itu secara pribadi pun, muslim akan merasakan kelezatan dari sikap mengutamakan Allah sebagai sumber. Hasilnya, jika ternyata ikatan itu pecah karena masalah yang prinsipil, setiap individu muslim tidak akan merasakan kehilangan jati diri.

Tanpa bersatu secara lahir, landasan kesamaan akidah akan tetap menyatukan mereka. selain itu, dalam diri seorang muslim, selama dia mampu, selalu tertanam keutamaan beribadah secara berjamaah daripada munfarid. Jika ternyata langkah penyatuan umat Islam mendapatkan hambatan, mereka akan menyatukan hati dan jiwa melalui keimanan sehingga mereka menjadi tubuh dan jiwa yang satu.

c. Ketiga, dalam Islam, ibadah dapat mendidik jiwa seorang muslim untuk merasakan kebanggaan dan kemuliaan kepada Allah. Dia adalah Yang Paling Besar dari segala yang besar dan Paling Agung dari segala yang agung. Dalam kekuasaan Allah-lah kehidupan kaum tirani; Allah dapat menjatuhkan mereka kapanpun Dia kehendaki. Dalam kekuasaan-Nya lah kematian, kehidupan, rizky, kerajaan, keagungan dan kekuasaan. Konsep seperti itulah yang senantiasa diulang-ulang oleh seorang muslim dalam ibadah hariannya hingga ibadah tahunannya. Para khatib pun senantiasa mengulang konsep tersebut dalam ibadah mingguan, shalat Jum’at. Jika rasa bangga tersebut mengakar dalam jiwa umat Islam, dalam kehidupan individual atau dalam kehidupan masyarakatnya, setiap insan akan istiqamah dan senantiasa berada dalam batas-batas yang tetap hingga sirnalah kedhaliman, kecongkakan, eksploitasi, kehinaan, perbudakan, atau rasialisasi. Semua akan berada di bawah kibaran panji Allah.

d. Keempat, ibadah yang terus menerus dilakukan dalam kelompok yang padu, dibawah panji Allah yang satu, dan semuanya bermunajat kepada Rabb yang satu, akan melahirkan rasa kebersamaan sehingga kita terdorong untuk saling kenal, saling menasehati, atau bermusyawarah. Dari situ akan lahir umat Islam yang selalu bermusyawarah dengan dasar kerjasama, persamaan, dan keadilan.

e. Kelima, Sayyid Quthub dalam Manhaj at-Tarbiyat al-Islamiyah hal 39-40, mengatakan bahwa ibadah, seorang muslim akan terdidik untuk memiliki kemampuan dalam melakukan berbagai keutamaan secara konstan dan mutlak. Artinya setiap gerak seorang muslim tidak terbatas pada batasan geografis, bangsa, kepentingan nasional, atau partai yang berkuasa. Jelasnya, pergaulan seorang muslim itu meliputi seluruh manusia. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasi hamba-Nya, dimanapun dia berada, seorang muslim tetap sebagai muslim yang berakhlak mulia dan memperhatikan segi kemanusiaan.

f. Keenam, pendidikan yang berdasarkan ibadah dapat membekali manusia dengan muatan kekuatan yang intensitasnya tinggi dan abadi karena semuanya bersumber dari kekuatan Allah, kepercayaan kepada Allah, optimisme yang bersumber dari pertolongan Allah dan pahala surga, serta kesadaran dan cahaya yang bersumber dari Allah. Muatan inilah yang mendorong seorang muslim untuk tampil, memberinya kemampuan yang terus menerus untuk berjuang dan berjihad, serta menyuguhkan kepada manusia kekuatan yang hidup produktif, dan berkesadaran. Setiap muslim harus mempunyai muatan yang dinamis yang dapat menyiagakan kalbu dan menerangi jalan. Dengan demikian maka setiap muslim akan bangkit dari keterpurukannya sekaligus memperoleh cahaya Ilahi ketika sekelilingnya gulita sehingga dia akan menunjukkan segala perbuatan, muamalah dan penyiapan bekal untuk akhiratnya melalui ibadah kepada Allah.

Dalam Islam konsep perbuatan yang digolongkan ibadah sangat jelas, yaitu selama tujuan pelaksanaan perbuatan tersebut diarahkan kepada Allah. Untuk itu Allah berfirman:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)

Itulah manhaj ibadah yang ditetapkan Islam. Otomatis, metode dan program pendidikan Islam pun didirikan di atas landasan manhaj yang mengandung kejujuran dan ketakwaan kepada Allah melalui komunikasi yang kekal dengan Allah.

g. Ketujuh, sesungguhnya mendidik seorang muslim dengan ibadah akan mempengaruhi jiwa yang bukan hanya karena di dalamnya ada muatan cahaya, kekuatan, perasaan dan harapan, melainkan karena melalui ibadah seorang muslim memiliki sarana untuk mengekspresikan tobatnya. Dengan tobat itu, kesalahan dan dampak dosa yang dilakukan anggota tubuh akan hilang.

Terjadinya sebuah dosa menunjukkan berpalingnya manusia dari kebenaran, ketaatan, dan ibadah kepada Allah, yang disertai dengan niat dan realisasi untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa tersebut. Melalui tobat, perbuatan dosa itu diganti dengan amal shalih.

Tobat merupakan ekspresi ibadah yang bertumpu pada kesadaran bahwa Allah, dengan segala nikmat, keperkasaan, dan hukum-Nya. Kesadaran itu menuntut adanya penyesalan atas apa yang luput dari kewaspadaan manusia untuk selalu menaati Allah. Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. menyunahkan tobat. Setiap hari beliau memohon ampun sebanyak 70 kali setiap selesai shalat fardlu bahkan Allah memerintahkan untuk bertobat:

“…. dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 31)

Allah pun berjanji atas diri-Nya untuk menghapus berbagai kesalahan orang-orang yang bertobat dan mengampuni mereka seperti firman-Nya:

“…Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, [yaitu] bahwa barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-An’am: 54)

Rasulullah saw. mengajarkan bentuk tobat dan istighfar yang baik lewat sayyidul istighfar:
AllaaHumma anta rabbii laa ilaaHa illaa anta, khalaqtanii wa ana ‘abduka, wa ana ‘alaa ‘aHdika wa wa’dika mastatha’tu, a-‘uudzubika min syarri maa shana’tu, abuu-ulaka bini’matika ‘alayya wa abuu-u bidzanbii faghfirlii, innaHuu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta.
(“Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menepati janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari perbuatanku yang jahat. Aku mengakui atas nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan aku pun mengakui dosaku. Maka ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau.”

Hal ini diperjelas dengan hadits berikut ini:
“Barangsiapa yang mengucapkannya pada pagi hari dengan yakin, kemudian dia mati pada hari itu, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mengucapkannya pada sore hari dengan yakin, kemudian malam harinya meninggal, maka dia akan masuk surga.” (HR Bukhari).

Pakar psikologi, kedokteran, dan kesehatan mental sepakat mengatakan bahwa tobat dapat menyembuhkan berbagai krisis dan penyakit psikologis melalui pengembalian manusia pada adaptasi dengan diri, prinsip-prinsip, idealisme, dan dengan masyarakat muslim. Melalui tobat pun, masyarakat dapat terdidik untuk saling menumbuhkan sikap toleransi antar anggota. Sehubungan dengan konsep toleransi ini, Allah berfirman:

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nuur: 22)

Contoh konkritnya terjadi pada zaman Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia pernah bersumpah untuk tidak memberikan shadaqah, yang biasa dia berikan kepada Masthah karena dia telah memfitnah putrinya, ‘Aisyah. Namun setelah ayat tersebut turun, Abu Bakar memaafkannya. Dengan demikian tobat dan permintaan ampun kepada Allah telah mengajari Abu Bakar untuk memaafkan Masthah.

&

Hakekat Ibadah

10 Jul

Hakekat Ibadah
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Setiap sistem berfikir memerlukan sarana perealisasian atau perwujudan yang dilengkapi dengan penyemangat, usaha, dan gerak anggota tubuh yang sistematis. Jika perwujudan ini dilakukan secara berkelompok, maka setiap kelompok dibentuk berdasarkan usia, intelektual, dan kedudukan seseorang. Dengan demikian, kelompok tersebut dapat selaras dalam hal karakter psikologis, daya intelektual dan kemampuan fisik. Hal di atas membuktikan bahwa dunia manusia itu dunia yang tidak dapat memisahkan tubuh, akal, dan spiritualnya. Konsep seperti itulah yang dewasa ini dianut oleh manusia-manusia modern.

Lebih dari itu, sejak lama, Islam telah memiliki sistem berfikir yang lebih sempurna, bersifat edukatif, dan tidak dapat disamai oleh sistem manapun. Misalnya saja, dalam melakukan olah raga, manusia sekarang lebih menitikberatkan tujuan pada penyia-nyiaan waktu, sebab olah raga dilakukan tanpa mengaitkannya dengan berfikir dan bernalar sehat, apalagi dengan fitrah psikologi manusia. “[yaitu] orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka…” (al-A’raaf: 51)

Dengan kesempurnaan sistem berfikir itu, berbagai ibadah dalam Islam lebih merupakan amal shalih dan latihan spiritual yang berakal dan diikat oleh makna yang hakiki dan bersumber dari fitrah manusia. Pelaksanaan ibadah merupakan pengaturan hidup seorang muslim, baik itu melalui pelaksanaan shalat, pengaturan pola makan tahunan melalui puasa, pengaturan kehidupan sosial ekonomi muslim yang bertanggung jawab melalui zakat, pengaturan atau penghidupan integritas seluruh umat Islam dalam ikatan perasaan sosial melalui haji. Yang jelas, pelaksanaan ibadah telah menyatukan umat Islam dalam satu tujuan, yaitu penghambaan kepada Allah semata serta penerimaan berbagai ajaran Allah, baik itu untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Firman Allah:

“….walaupun kamu membelanjakan semua [kekayaan] yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka…” (al-Anfaal: 162-163)

Setiap detik, menit, jam atau hari yang diisi dengan ibadah oleh seorang muslim, tiada lain, kecuali sebagai hubungan yang abadi antara dirinya dengan Allah sekaligus sebagai penjinak nafsu agar senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah. Karena itu seorang muslim bangun pada saat fajar atau tidur setelah isya untuk berdzikir kepada Allah; hanya memakan makanan yang halal dan menahan diri dari makanan yang dilarang oleh Allah; mengeluarkan harta yang wajib dikeluarkan; menyalurkan syahwat sesuai dengan jalan Allah; menahan syahwat yang hina, membahayakan, dan manusia telah dilindungi daripadanya oleh Allah; memasuki rumah, tidur dan kegiatan lainnya selalu disertai doa mengingat Allah; atau berdzikir kepada Allah ketika dianugerahi anak.

&