Beriman Kepada Allah adalah Sebuah Konsep Ketuhanan
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi
Penyerahan diri dan keyakinan akan adanya Allah serta keberadaan-Nya sebagai Pencipta alam semesta ini belumlah dapat dikatakan sebagai aqidah yang memadai dan dapat menyelamatkan kita dari adzab Allah. Kaum kafir Quraisy pun mempunyai keyakinan seperti itu. Dan ternyata Allah memandang mereka sebagai orang-orang yang berpaling dari seruan Islam. Lewat firman-Nya Allah mencela keberpalingan mereka dari keyakinan bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi, misalnya “….maka betapa mereka [dapat] dipalingkan [dari jalanyang benar].” (al-Ankabuut: 61)
Pada dasarnya, keimanan kepada Allah swt. harus mencakup tiga konsep atau unsur dasar, yaitu:
1. Mengetahui dan memahami konsep ketuhanan. Konsep inilah yang ditolak oleh kaum musyrikin karena mereka tidak mau menisbatkan ketuhanan kepada Allah Yang Maha Esa dan menolak menghilangkan tuhan-tuhan lain dalam konsep peribadatan mereka.
2. Menetapkan konsep ketuhanan hanya kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung.
3. Meniadakan konsep ketuhanan kepada selain Allah.
Agama-agama di luar Islam memiliki deskripsi ketuhanan yang salah, tidak lengkap, atau terkontaminasi oleh penyerupaan, reinkarnasi, dan proses keturunan. Satu-satunya kitab yang berisi penyempurnaan deskripsi tentang ketuhanan adalah al-Qur’an. Abu A’la al-Maududi menyimpulkan konsep ketuhanan al-Qur’an itu lewat bukunya al-Hadharah al-Islaminyah, halaman 138-139:
1. Pertama, yang menjadi Tuhan itu hanyalah Yang menjadi tempat bergantung, Yang Hidup, Yang Kekal, Yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, Yang berasal dari azali sehingga tiada sesuatu pun sebelumnya; Dia kekal untuk selamanya sehingga tiada sesuatu sesudah-Nya; pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, rahmat-Nya menyelimuti segala sesuatu, kekuatan-Nya mendominasi segala sesuatu, hikmah-Nya Mahasuci dari segala kekurangan, dan keadilan-Nya Mahasuci dari segala kecacatan, Dia Mahakuasa, Dia Pembuat syariat dan Dia Hakim yang mutlak, Yang memberi kehidupan, Yang menyiapkan segala sebab dan sarananya, Yang memiliki segala kekuatan baik untuk memberi manfaat maupun mudlarat. Semua pihak selain Dia membutuhkan pemberian-Nya serta memerlukan penjagaan dan pemeliharaan-Nya. Kepada Dialah tempat kembali segala makhluk. Dialah yang menghisab dan membalas setiap perilaku pihak selain Dia.
2. Kedua, di dalam al-Qur’an, selain terdapat deskripsi ketuhanan yang shahih, sempurna, dan jelas, melalui kata-kata yang sangat kuat berupa dalil penguat dan aneka metode penjelasan yang terarah, terdapat juga petunjuk bahwa di alam semesta ini tiada suatu kekuatan atau perkara pun yang dapat menuju deskripsi ketuhanan tersebut karena segala yang ada di alam ini tunduk kepada-Nya dan tidak dapat berdiri sendiri. Segala yang ada di alam semesta ini tidak kekal selamanya dan tidak mampu menolak kemudlaratan yang ada pada dirinya. Sesuatu yang mendorong lahirnya perilaku bukan berasal dari dirinya sendiri dan kekuatan yang mendorongnya bisa eksis atau melakukan sesuatu merupakan pengaruh dari pihak lain. Jika demikian, bagaimana mungkin ia memberikan manfaat kepada orang lain?
3. Ketiga, al-Qur’an telah meniadakan deskripsi ketuhanan dari segala perkara yang ada di alam semesta. Dengan demikian, al-Qur’an hanya menetapkan konsep ketuhanan kepada Dzat Yang Maha Satu, yaitu Allah swt. Al-Qur’an menuntut manusia untuk hanya mengimani Allah Yang Satu. Tidak boleh bersujud kecuali kepada Allah, tidak boleh mengagugkan kecuali mengagungkan-Nya, tidak boleh berserah diri kecuali kepada-Nya. Manusia harus meyakini seyakin-yakinnya, hanya kepada Allah-lah dirinya akan kembali. hanya di hadapan Allah lah dirinya akan dihisab. Dan hanya bergantung pada qadla Allah lah kesudahan baik atau buruknya.
Gambaran konkretnya bisa kita lihat dari perjuangan bangsa Arab atau bangsa lain yang belum mengetahui konsep ketuhanan. Mereka berusaha mengubah perilaku dan mendidik dirinya sendiri sesuai dengan tuntunan konsep ketuhanan. Dengan demikian, Allah telah mengganti bumi mereka dengan bumi yang berbeda dan alam yang mereka taklukkan pun bukan alam yang ada sebelumnya. Hasilnya, lewat kegigihan mereka untuk berubah, mereka telah mengeluarkan manusia dari kedhaliman para thaghut menuju keadilan Allah dan syariat-Nya. Mereka telah mengangkat manusia dari kebohongan dan kurafat. Mereka menjunjung tinggi seluruh ajaran dan kebenaran Islam. Sekarang kita dapat melihat mukjizat yang ditunjukkan Allah bagi orang-orang yang bertauhid. Allah telah memberikan kekuatan kepada umat Islam untuk menaklukkan kejahiliahan dan mengokohkan peradabannya di muka bumi. Maka dalam sejarah peradaban manusia, tercatatlah kekokohan peradaban Islam.
Pada hakekatnya, tauhid telah menata kehidupan psikologis manusia sekaligus menyatukan tendensi, fikiran, dan tujuan hidupnya. Selain itu, segala perasaan, perilaku, dan kebiasaan manusia dijadikan kekuatan yang saling mendukung dan menunjang sehingga semuanya tertuju pada perwujudan yang satu, yaitu ketundukan kepada Allah Yang Maha Esa dengan segala kekuasaan dan sifat-Nya yang dilengkapi dengan kesamaan perasaan ketuhanan dan kasih sayang dalam diri manusia.
Setiap sifat ketuhanan yang fundamental membiasi kehidupan psikologis manusia. Dengan demikian, dia tidak akan memiliki kebahagiaan, keistiqamahan, dan kontrol diri kecuali terkait konsep-konsep ketuhanan yang selaras. Berikut ini ada beberapa gambaran yang dapat memperjelas hal itu:
1. Pertama, sesuai fitrahnya, manusia itu cenderung pada kemakmuran, kecintaan kepada kekekalan, dan bekerja untuk kehidupan duniawi yang semuanya disertai dengan kontrol diri. Ditinjau dari segi kesenangan, fitrah tersebut berpadanan dengan optimisme terhadap rahmat dan surga Allah. Kontrol diri dan keteraturan berpadanan dengan keabadian dan kekekalan Allah serta kefanaan kehidupan dunia. Dengan demikian, wajar jika kita melihat seorang mukmin yang akan bekerja dengan sungguh-sungguh, optimisme, dan penuh harapan. Masalahnya ia menganggap, dunia ini ladang yang hasilnya dapat kita petik di akhirat kelak tanpa menghilangkan perenungan terhadap kematian. Dia tidak mengabaikan akan turunnya berbagai musibah yang harus dia hadapi dengan keikhlasan dan kenikmatan berjumpa dengan Rabbnya.
2. Kedua, manusia itu mempunyai ketamakan dan kecintaan pada kekayaan. Yang kita lihat dari seorang mukmin adalah penggunaan kekayaan dengan tetap menyadari bahwa kekayaan itu adalah titipan Allah dan segala perkara yang ada pada alam semesta ini adalah milik Allah. Dengan demikian, seorang mukmin akan mengembangkan hartanya tanpa menjadikan hatinya sebagai budak kekayaan. Jika kekayaannya ternyata diperlukan untuk kemaslahatan umat, dia tidak segan-segan mendermakan harta karena dia sangat meyakini bahwa Allah Yang Maha Segalanya adalah Pemberi rizky dan Pemilik kekuasaan Yang Mahaperkasa. Dengan demikian seorang mukmin harus menyikapi kecintaannya kepada kedudukan, keinginannya pada wanita, keinginannya atau kecintaannya kepada anak, serta berbagai penyaluran aspek psikologis lainnya melalui perenungan atas ke-Mahasegalaan Allah. Yang jelas, seorang mukmin sejati memiliki keistimewaan berupa kemuliaan diri untuk tidak diperbudak kekayaan, kedudukan, atau thaghut lainnya.
3. Al-Qur’an telah menjelaskan keutamaan aqidah tauhid dalam mewujudkan intregitas diri manusia, di antaranya adalah:
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (az-Zumar: 29)
Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan antara budak yang dimiliki oleh seorang laki-laki dan budak yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang berserikat. Dalam kondisi pertama, budak tersebut hidup dalam satu perintah atau keinginan sehingga kehidupannya pun tidak kacau oleh banyaknya orang yang menyuruhnya dengan keinginan yang berbeda-beda. Dia akan merasa hidup istiqamah dan hidup dalam satu pola. Sebaliknya dalam kondisi kedua apalagi jika dibumbui dengan perselisihan, seorang budak akan menemukan hidupnya dalam kegamangan dan kekhawatiran.
Demikian halnya hidup seorang musyrik. Melalui fitrahnya, dia memahami keagungan Allah, tetapi dalam hidupnya dia menyekutukan tuhan lain bersama Allah. Maka kita akan menemukan mereka dalam kemunafikan, menuhankan hawa nafsu, atau diperbudak harta. Kadang-kadang diapun terlalu asyik menikmati kehidupan duniawi sehingga lupa pada perenungan tentang kematian atau akan datangnya musibah. Sehingga ketika menghadapi musibah dia akan tampil dalam kegamangan. Dia tidak memiliki Tuhan Yang Satu, Yang dalam kekuasann-Nya lah segala perkara akan terselesaikan.
Dari gambaran di atas, jelaslah untuk mewujudkan dampak edukatif melalui keimanan kepada Tuhan Yang Satu, seluruh sistim pendidikan harus bersumber kepada keesaan Allah swt beserta seluruh aspeknya. Misalnya saja, kajian atas alam semesta [Ilmu Pengetahuan Alam] harus ditujukan untuk menghadirkan keagungan Allah Yang Maha Pencipta, Yang Memiliki alam semesta, Yang Hidup, Yang Abadi, serta yang mengatur segala aktifitas alam semesta. Pelajaran bahasa harus merupakan sarana menghadirkan konsep bahwa Allah akan menghisab tujuan kita berbahasa. Apakah kemampuan berbahasa yang kita miliki itu digunakan untuk memutar balikkan fakta, membela diri ketika salah, atau untuk berbagai kemanfaatan? Hal seperti ini harus dilakukan dalam mata pelajaran lainnya. Jelasnya, pemberian seluruh pelajaran harus memiliki tujuan yang satu, yaitu menyatukan umat Islam di bawah panji ketuhanan dan ketauhidan.
4. Keempat, aqidah tauhid dan keimanan kepada Allah mendidik akal manusia agar berpandangan luas, gemar meneliti alam semesta, dan semangat mencari hikmah di balik hal-hal yang terlihat. Segala perkara yang ada di alam semesta ini, baik yang terlihat maupun tidak, adalah milik Allah. Dan segala yang ada baik yang besar maupun kecil, bertasbih memuji Allah dan mempersaksikan keagungan-Nya. sesungguhnya Al-Qur’an memerintahkan kita untuk merenungkan semua itu, merenungkan penciptaan langit, bumi, lautan, sungai dan lain-lain. Tidak ada satu perkara pun yang luput dari perhatian Allah. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya….” (al-An’am: 59)
5. Kelima, aqidah tauhid mendidik manusia untuk tawadlu dan tidak ekstrim. Dia tidak tertipu oleh sifat-sifat kemanusiannya. Jika dia menemukan gejala bahwa dirinya akan tertipu oleh kekuatan dan kemampuan dirinya, dia segera ingat bahwa Allah-lah yang berhak menunjukkan kekuasaan dan menghidupkan dan mematikan manusia sehingga terhindarlah dia dari perbuatan mendhalimi atau jahat kepada orang lain. Jika dia menemukan dirinya akan tertipu oleh kekayaan yang dapat menjerumuskan dirinya pada kehidupan berfoya-foya, tinggi hati, atau takabur,
6. Dengan bertauhid dan mengkhususkan segala sifat ketuhanan hanya kepada Allah, manusia akan terhindar dari harapan yang sia-sia. Tidaklah berguna syafaat kecuali dari orang yang diizinkan dan diridlai Allah. Tidak akan ada pertolongan dari hamba yang dekat dengan Allah kecuali akibat amal shalih kita. Allah tidak mengenal kedekatan hubungan kekeluargaan, hubungan orang tua, atau hubungan persahabatan dengan salah satu makhluk. Semua adalah hamba Allah yang akan dihisab sesuai dengan amal perbuatannya. Allah akan membalas dengan kebaikan jika memang perbuatan hambanya baik. Dan sebaliknya.
7. Ketenteraman, harapan, upaya, dan kerja keras merupakan kondisi yang akan dimiliki manusia-manusia yang beriman kepada Allah. Mereka akan merasakan tenteram karena Allah selalu dekat, menerima tobat, mengabulkan doa, dan merahmati kehidupan mereka. untuk itu Allah berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
“….dan bahwasannya Allah sekali-sekali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Ali ‘Imraan: 182)
“….Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa saja yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (al-A’raaf: 156)
Dengan demikian terdapat keseimbangan antara upaya menjauhi tipu daya dan mempersenjatai diri dengan cita-cita dan harapan. Seorang mukmin akan merasa takut terhadap adzab Allah dan jika terlanjur salah, dia akan senantiasa mengharapkan rahmat Allah. Jika itu terwujud, manusia akan sangat jauh dari keputusasaan, bunuh diri, melarikan diri dari kenyataan, atau melakukan kompensasi dengan obat-obat terlarang atau dengan khamr. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa putus asa bukanlah sifat orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah:
“… dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)
Jika seorang mukmin tergelincir, dia akan memperbarui tekadnya melalui tobat, istighfar, dan berlindung kepada rahmat Allah sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar: 53)
8. Seorang mukmin akan merasakan keterkaitannya dengan Allah, merasa bangga dengan pertolongan-Nya, dan bernaung di bawah panji-Nya. Hanya Allah lah penolong mereka. adakah perkara yang lebih besar daripada keterkaitan dan keterikatan kita dengan Yang Maha Pencipta, Yang merendahkan kaum tiran, serta Pemilik kematian, kehidupan, ba’ats, perkumpulan, dan pembalasan? Firman Allah:
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maaidah: 56)
Untuk mensifati kelompok setan, Allah swt berfirman:
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi.” (Mujadilah: 19)
“Yang demikian itu karena Sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai Pelindung.” (Muhammad: 11)
Mensifati kelompok setan merupakan upaya mendidik manusia untuk selalu melawan dengan para pengikut setan atau kejahatan. Kelompok setanlah yang telah menjerumuskan manusia pada kemaksiatan, melupakan Allah, dan memenuhi syahwat. Selain itupun, umat Islam akan bangga dengan keislamannya sehingga terciptalah kondisi yang saling mengasihi dan tolong-menolong di antara mereka. dengan demikian terciptalah kesatuan pandangan manusia atas landasan kebaikan dan keimanan, tanpa fanatisme unsur tertentu atau pengutamaan kepentingan material-imperial yang mengeksploitasi rakyat.
Setiap orang yang beriman kepada Allah adalah kelompok Allah, apapun jenis kelaminnya, rasnya, atau warna kulitnya. Dan setiap orang kafir akan senantiasa memerangi kelompok Allah atau menentang dakwah sehingga bagaimanapun ras dan warna kulitnya, dia jelas-jelas kafir. Orang-orang yang berwali kepada Allah disifati-Nya melalui ayat berikut:
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)
Agar rasa bangga terhadap keterkaitan dengan Allah dan kelompok-Nya tetap dalam rangka keimanan kepada Allah, seorang hamba harus berani melawan kelompok setan, menjauhi kaum kafir, dan tidak cenderung kepada mereka. untuk itu Allah berfirman:
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (an-Nisaa’: 138-139)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin…” (an-Nisaa’: 144)
Lebi jauh lagi, Allah swt telah menjadikan perwalian dengan-Nya, Rasul-Nya, dan kelompok kaum muslimin berada di atas perwalian orang tua, kerabat, dan orang-orang yang dekat. Sebagaimana firman-Nya ini:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)
Konsep-konsep di atas merupakan segi-segi penting dalam pendidikan yang harus menjadi dasar seluruh tujuan pendidikan masyarakat. Seluruh buku acuan, baik itu buku Geografi, Sejarah dan lain-lainnya harus ditinjau ulang menurut landasan tersebut karena perwalian kepada Allah dan kelompok-Nya merupakan kesempurnaan dalam mengesakan dan menyembah-Nya. Sebaliknya, perwalian kita kepada kaum kafir merupakan aspek yang dapat meniadakan ketauhidan.
Kenyataannya dewasa ini, kita menemukan ilmu-ilmu sosial rujukan mayoritas sistem pengajaran di negara-negara Arab, bahkan negara Islam, dibangun atas landasan kekafiran, agnotisme, serta anggapan bahwa negara-negara barat merupakan sentral yang di sekelilingnya berorientasi. Artinya, dari sentral itulah bersumber segala sejarah dunia sehingga periodisasi sejarahpun didasarkan atas landasan dan anggapan barat. Padahal, dalam realita sejarah, Islamlah sumber kebangkitan ilmiah dan peradaban dunia itu.
Untuk itu para cendekiawan Islam mempunyai tugas untuk meninjau ulang penyusunan terminologi ilmu-ilmu sosial menurut realita yang sebenarnya dan berpihak pada kebenaran. Kodifikasi tersebut harus bertitik tolak dari sejarah kenabian dan pasang surutnya akidah tauhid. Pada dasarnya, al-Qur’an pun telah mengisyaratkan hal itu, khususnya ketika al-Qur’an menyajikan berita-berita tentang umat terdahulu.
Menurut konvensi al-Qur’an, sejarah manusia berpusat pada konflik antara wali Allah dan wali setan atau antara kekafiran dan keimanan yang berlangsung sepanjang masa. Penyajian tersebut diarahkan untuk menjadi cermin dan pelajaran sehingga kita mampu menjauhkan diri dari sesuatu yang buruk yang berasal dari kekafiran, kelemahan, dan kejauhan dari Allah. Dengan demikian, terlahirlah manusia-manusia shalih yang memakmurkan bumi dengan keimanan, keadilan, cara hidup yang baik, pengesaan Allah, dan penghambaan diri kepada-Nya. Dengan penyajian seperti itu, pendidikan akan tampil berdasarkan perwalian kepada Allah swt.
&
Tag:Abdurrahman, Abdurrahman An-Nahlawi, ad-diin, Al-qur'an, Allah, An-Nahlawi, Beriman Kepada Allah, Beriman Kepada Allah adalah Sebuah Konsep Ketuhanan, islam, Masyarakat, pendidikan, rabb, Rumah, Sebuah Konsep Ketuhanan, Sekolah, tarbiah, Tarbiyah