Percakapan (Hiwar) Bahasa Arab: Menyatakan Pendapat
Belajar Bahasa Arab
Percakapan Bahasa Arab (Hiwar): Menyatakan Pendapat
27 MeiPercakapan Bahasa Arab (Hiwar): Menawarkan Bantuan
27 MeiPercakapan (Hiwar) Bahasa Arab: Menawarkan Bantuan
Belajar Bahasa Arab
Percakapan Bahasa Arab (Hiwar): Ungkapan “Selamat”
27 MeiPercakapan (Hiwar) Bahasa Arab: Ungkapan “Selamat”
Belajar Bahasa Arab
Percakapan Bahasa Arab (Hiwar): “Di Ruang Belajar”
27 MeiBerbagai Contoh Pembahasan Bahasa Arab;
Belajar Bahasa Arab
Percakapan Bahasa Arab (Hiwar): “Di Ruang Makan”
27 MeiBerbagai Contoh Pembahasan Bahasa Arab;
Belajar Bahasa Arab
Percakapan Bahasa Arab (Hiwar): “Ke Kamar Mandi / Toilet”
27 MeiBerbagai Contoh Pembahasan Bahasa Arab;
Belajar Bahasa Arab
Macam-Macam Amtsaal dalam al-Qur’an
19 MarIlmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Amtsaal dalam al-Qur’an ada tiga macam: amtsaal musarrahah, amtsaal kaaminah dan amtsaal mursalah.
1. Amtsaal Musarrahah, ialah yang di dalamnya dijelaskan dengan lafaz masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amtsaal seperti ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an dan berikut ini di antaranya:
a. Firman Allah mengenai orang munafik:
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 17-20)
Di dalam ayat ini Allah membuat dua perumpamaan [matsaal] bagi orang munafik: matsaal yang berkenaan dengan api [naar] dalam firman-Nya: “adalah seperti orang yang menyalakan api…” karena di dalam api terdapat unsur cahaya. Dan matsaal yang berkenaan dengan air [maa’]: “…atau seperti [orang-orang yang ditimpa] hujan lebat dari langit…” karena di dalam air terdapat materi kehidupan.
Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan; mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam.
Namun di sisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-nya terhadap hati mereka [munafik] karena Allah menghilangkan cahaya [nur] yang ada dalam api tersebut: “Allah menghilangkan cahaya [yang menyinari] mereka,” dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mereka matsaal mereka yang berkenaan dengan air [maa’], Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari-jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa al-Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan, dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya seperti petir yang turun sambar menyambar.
b. Allah menyebutkan pula dua macam matsaal, maa’i dan naari, dalam surah ar-Ra’d, bagi yang hak dan yang batil:
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (ar-Ra’d: 17)
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dan tumbuh-tumbuhan. Dan hati diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir di lembah membawa buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadap nafsu dan syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah matsaal maa’i dalam firman-Nya yang artinya: “Dia telah menurunkan air [hujan] dari langit…” demikianlah Allah membuat matsaal bagi yang hak dan yang batil.
Mengenai matsaal naari, dikemukakan dalam firman-Nya: “Dan dari apa [logam] yang mereka lebur dalam api…” Logam, baik emas, perak, tembaga maupun besi, ketika dituangkan ke dalam api, maka api akan menghilangkan kotoran, karat yang melekat padanya, dan memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfaatkan sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia. Begitu pula syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
2. Amtsaal kaaminah, yaitu yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil [pemisalan] tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan pada orang yang serupa dengannya. Untuk matsaal ini mereka mengajukan beberapa contoh, di antaranya:
# Ayat-ayat yang senada dengan perkataan: “Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya”, yaitu:
a. Firman Allah tentang sapi betina:
“Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara kedua itu…” (al-Baqarah: 68)
b. Firman-Nya tentang Nafkah:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (al-Furqaan: 67)
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (al-Israa’: 110)
d. Firman-Nya mengenai infaq:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.” (al-Israa’: 29)
# Ayat yang senada dengan perkataan: “Kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri.” Misalnya frman Allah tentang Ibrahim as.:
“Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu ?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar bertambah mantap hatiku.” (al-Baqarah: 260)
# Ayat yang senada dengna perkataan: “Sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar.” Misalnya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu..” (an-Nisaa’: 123)
# Ayat yang senada dengan perkataan: “Orang mukmin tidak akan disengat dua kali pada lubang yang sama.” Misalnya pada firman-Nya melalui lisan Ya’qub:
“Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?” (Yusuf: 64)
3. Amtsaal Mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsaal. Berikut ini contoh-contohnya:
a. “Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (Yusuf: 51)
b. “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” (an-Najm: 58)
c. “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya [kepadaku].” (Yusuf: 41)
d. “Bukankah subuh itu sudah dekat?” (Huud: 81)
e. “Untuk tiap-tiap berita [yang dibawa oleh rasul-rasul] ada [waktu] terjadinya.” (al-An’am: 67)
f. “Dan rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.” (Fathir: 43)
g. “Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (al-Israa’: 84)
h. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu amat baik bagi kamu.” (al-Baqarah: 216)
i. “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (al-Muddatstsir: 38)
j. “Adakah balasan kebaikan selain dari kebaikan [pula]?” (ar-Rahmaan: 60)
k. “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka [masing-masing].” (al-Mu’minuun: 53)
l. “Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah [pulalah] yang disembah.” (al-Hajj: 73)
m. “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja!” (ash-Shaffat: 61)
n. “Tidak sama yang buruk dengan yang baik.” (al-Ma’idah: 100)
o. “Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (al-Baqarah: 249)
p. “Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (al-Hasyr: 14)
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amtsaal mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai matsaal?
Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagai telah keluar dari adab al-Qur’an. Berkata ar-Razi ketika menafsirkan ayat: “Untukmu-lah agamamu, dan untukku-lah agamaku.” (al-Kaafiruun: 6): “Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai matsaal [untuk membela, membenarkan perbuatannya] ketika ia meninggalkan agama, padahal hal demikian tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsaal, tetapi untuk direnungkan lalu diamalkan kandungannya.”
Golongan lain berpendapat, tak ada halangan apabila seseorang mempergunakan al-Qur’an sebagai matsal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya ia merasa sedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan: “Tidak ada yang menyingkapnya selain Allah.” (an-Najm: 58)
Atau ia diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti ajarannya itu, maka ia menjawab: “Untukmu-lah agamamu dan untukku-lah agamaku.” (al-Kaafiruun: 6). Tetapi berdosa besarlah seseorang yang dengan sengaja pura-pura pandai lalu ia menggunakan al-Qur’an sebagai matsal, sampai-sampai ia terlihat bagai sedang bersenda-gurau. (Balaaghatul Qur-aan, hal. 33)
&
Macam-Macam Naskh dalam al-Qur’an
19 MarIlmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Naskh dalam al-Qur’an ada tiga macam:
1. Pertama, naskh tilawah dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari ‘Aisyah ra, ia berkata:
“Di antara yang diturunkan kepada beliau ialah ‘sepuluh susunan yang maklum itu menyebabkan muhrim,’ kemudian [ketentuan] ini dinaskh oleh ‘lima susunan yang maklum.’ Maka ketika Rasulullah saw. wafat, ‘lima susunan’ ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca [matlu’].
Kata-kata ‘Aisyah: “lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca,” pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’alaq, dari Umar).
Yang jelas ialah bahwa tilawah-nya itu telah dinaskh [dihapuskan], tetapi penghapusan itu tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
Qadi Abu Bakar menceritakan dalam al-Intisaar tentang kaum yang mengingkari naskh seperti ini, sebab khabar yang berkaitan dengannya adalah khabar ahad. Padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah al-Qur’an atau menasakh al-Qur’an dengan khabar ahad. Khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian, tetapi yang ditunjukkannya hanya bersifat dugaan.
Pendapat ini dijawab, bahwa penetapan naskh adalah suatu hal sedang penetapan sesuatu sebagai al-Qur’an adalah hal lain. Penetapan naskh cukup dengan khabar ahad yang dhanni, tetapi penetapan sesuatu sebagai al-Qur’an harus dengan dalil qath’i, yakni khabar mutawatir. Pembicaraan kita di sini adalah mengenai penetapan naskh, bukan penetapan al-Qur’an, sehingga cukuplah dengan khabar ahad. Dan andaikata dikatakan bahwa qira’ah ini tidak ditetapkan dengan khabar mutawatir, maka hal ini adalah benar.
2. Kedua, naskh hukum sedang tilawahnya tetap. Misalnya naskh hukum ayat ‘idah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak dikarang kitab-kitab yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah diteteliti, ayat-ayat seperti ini hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi.
Dalam hal ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua segi:
a. al-Qur’an, disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah yang membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
b. Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingat akan nikmat dihapuskannya kesulitan [masyaqqah].
3. Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh. Di antaranya ayat rajam yang artinya:
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Dan di antaranya pula adalah apa yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain, dari Anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh dekat sumur Ma’unah, sehingga Rasulullah saw. berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: “Dan berkenaan dengan mereka turunlah [ayat] al-Qur’an yang kami baca sampai ia diangkat kembali yaitu: an ballaghuu ‘annaa qaumanaa annaa laqainaa rabbanaa faradliya ‘annaa wa ardlaanaa (“Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami, maka Dia ridla kepada kami dan menyenangkan kami.”). ayat ini kemudian dinasakh tilawahnya.
Sementara itu sebagian ahli Ilmu tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dengan khabar ahad.
Ibnu Hassar menjelaskan, naskh ini sebenarnya kembali ke nukilan [kutipan keterangan] yang jelas dari Rasulullah, atau dari shahabat, seperti perkataan “Ayat ini menasakh ayat anu.”
Naskh, jelasnya lebih lanjut, dapat ditetapkan pula ketika terdapat pertentangan pasti [tidak dapat dipertemukan] serta diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu dan mana pula yang datang kemudian.
Di samping itu, naskh tidak dapat didasarkan pada pendapat pada mufasir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para mujtahid, tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh mengandung arti penghapusan dan penetapan sesuatu hukum yang telah tetap pada masa Nabi.
Jadi yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada di antara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang mufasir atau mujtahid. Dan yang benar adalah kebalikan dari kedua pendapat ini. (lihat al-Itqaan, jilid 2 hal 24).
Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya ayat dan hukum yang ditunjukkannya adalah dua hal yang saling berkaitan, sebab ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian jika ayat dinasakh maka secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal tersebut akan menimbulkan kekaburan.
Pendapat demikian dijawab: bahwa ketetapan antara ayat dengan hukum tersebut dapat diterima jika Syaari’ [Allah, Rasul] tidak menegakkan dalil atas naskh tilawah dan ketetapan hukumnya. Tetapi jika Syaari’ telah menegakkan dalil bahwa sesuatu tilawah telah dihapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun batil. Dan kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar’i yang menunjukkan naskh tilawah sedang hukumnya tetap.
&
Pembagian Naskh
18 MarIlmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Naskh ada empat bagian:
1. Pertama, naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya ayat tentang ‘idah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana akan dijelaskan contohnya.
2. Kedua, naskh al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
a. Naskh al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad adalah dhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum [jelas diketahui] dengan yang madhnun [diduga].
b. Naskh al-Qur’an dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman yang artinya:
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya].” (an-Najm: 3-4), dan firman-Nya pula yang artinya:
“Dan Kami wahyukan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl: 44). Dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Dalam pada itu asy-Syafi’i, Ahli Dhahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah yang artinya:
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106). Sedang hadits tidak lebih baik atau sebanding dengan al-Qur’an.
3. Naskh sunnah dengan al-Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinaskh-kan oleh al-Qur’an dengan firman-Nya yang artinya:
“Maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil Haram.” (al-Baqarah: 144)
Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga dinasakh oleh firman Allah yang artinya:
“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadlan, hendaklah ia berpuasa…” (al-Baqarah: 185).
Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam suatu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh al-Qur’an. Dan apa saja yang ditetapkan al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4. Naskh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a. Naskh mutawatir dengan mutawatir
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Naskh ahad dengan mutawatir
d. Naskh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi perbedaan pendapat seperti halnya naskh al-Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun naskh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.
&
Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketetapannya
18 MarIlmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep “al-badaa’” yakni nampak jelas setelah kabur [tidak jelas]. Yang mereka maksud ialah, naksh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak tampak. Ini berarti suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, karena masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi, pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Dia membawa hamba-hamba-Nya dari suatu hukum ke hukum lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan syariat sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman yang artinya:
“Semua makanan adalah hala bagi bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil [Ya’qub] untuk dirinya sendiri.” (Ali ‘Imraan: 93)
Dan firman-Nya yang artinya:
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku.” (al-An’am: 146)
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah itu dicabut kembali.
2. Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-badaa’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi.
Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali ra. secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah yang artinya:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan [apa yang Dia kehendaki].” (ar-Ra’d: 39), dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapus dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap al-Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapus sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Di samping itu, penghapusan dan penetapan terjadi dalam bentuk banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dan kebaikan:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan [dosa] perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)
Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan mereka. Hal demikian itu tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Dia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
3. Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya naskh dalam al-Qur’an berdasarkan firman-Nya yang artinya:
“Yang tidak datang kepadanya [al-Qur’an] kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Rabb Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.” (Fushshilat: 42). Dengan pengertian bahwa hukum-hukum al-Qur’an tidak akan dibatalkan selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh, semuanya ia takhsiskan.
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebu ialah bahwa al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi pula dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Dia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dia lah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b. Nas-Nas Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antara lain:
Firman Allah yang artinya: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…” (an-Nahl: 101) dan firman-Nya yang artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibnu Abbas ra, Umar ra. berkata: “Yang paling paham dan paling menguasai al-Qur’an di antara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya karena ia mengatakan: ‘Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw.’ padahal Allah telah berfirman: ‘Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya…’ (al-Baqarah: 106).”
&