Tag Archives: Berjamaah

Anjuran Berjamaah Shalat Subuh dan Isya’

1 Mei

Riyadhush shalihin, Imam Nawawi,
Akhlak dan Tuntunan Kaum Muslimin

Dari Usman r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya’ dengan jamaah, maka seolah-olah ia mendirikan shalat separuh malam dan barangsiapa yang mengerjakan shalat Subuh dengan jamaah, maka seolah-olah ia mendirikan shalat semalam suntuk.” (Riwayat Muslim)

Dalam riwayat Imam Termidzi dari Usman r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barangsiapa yang menghadhiri shalat Isya’ dengan jamaah maka baginya adalah pahala mengerjakan shalat selama separuh malam dan barangsiapa yang bersembahyang Isya’ dan Subuh dengan jamaah, maka baginya adalah pahala seperti mengerjakan shalat semalam suntuk.”
Imam Termidzi mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih.

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Andaikata para manusia itu mengetahui betapa besar pahalanya mengerjakan shalat Isya’ dan Subuh – dengan berjamaah, niscayalah mereka akan mendatangi kedua shalat itu, sekalipun dengan berjalan merangkak.” (Muttafaq ‘alaih)

Dan Hadis ini telah dahulu secara lengkapnya yang panjang.

Dari Abu Hurairah r.a. pula katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidak ada suatu shalatpun yang terlebih berat dirasakan oleh orang-orang munafik itu daripada shalat Subuh dan Isya’, tetapi andaikata mereka mengetahui betapa besar pahalanya kedua shalat itu, niscayalah mereka akan mendatanginya sekalipun dengan berjalan merangkak – ke tempat jamaahnya.” (Muttafaq ‘alaih)

&

Shalat Berjamaah

11 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Empat imam madzab sepakat bahwa shalat berjamaah disyariatkan. Shalat berjamaah wajib ditampakkan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu jika semua anggota masyarakat dalam suatu tempat meninggalkan shalat bejamaah, hendaknya mereka diperangi.

Para imam madzab sepakat bahwa jumlah minimal jamaah shalat fardlu, selain shalat Jum’at, adalah dua orang, yaitu seorang imam dan seorang makmum yang berdiri di sebelah kanan imam. Menurut Hambali: jika makmum hanya seorang dan berdiri di sebelah kiri imam, maka shalatnya batal.

Para imam madzab berbeda pendapat tentang shalat fardlu berjamaah, selain shalat Jum’at, apakah hukumnya wajib? Syafi’i: shalat berjamaah adalah fardlu kifayah. Inilah pendapat yang paling shahih. Pendapat ini juga yang merupakan pendapat paling shahih menurut para ulama muhaqqiq pengikut Syafi’i. Ada yang berpendapat bahwa shalat berjamaah adalah sunah. Pendapat ini termasyur di kalangan ulama Syafi’i. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat fardlu berjamaah adalah fardlu ‘ain.

Maliki berpendapat: Shalat berjamaah adalah hukumnya sunnah. Hanafi: shalat berjamaah fardlu kifayah. Namun sebagian besar ulama pengikut Hanafi berpendapat: Shalat berjamaah adalah sunnah. Hambali: shalat berjamaah adalah wajib ‘ain, tetapi bukan syarat sahnya shalat. Oleh karena itu, apabila seseorang shalat sendirian, padahal ia sanggup shalat berjamaah, ia berdosa, tetapi shalatnya tetap sah.

Jamaah perempuan di rumah lebih utama, tetapi tidak dimakruhkan mereka shalat berjamaah di masjid. Demikian pendapat Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi dan Maliki: dimakruhkan perempuan shalat berjamaah di masjid.

Para imam madzab sepakat bahwa makmum diwajibkan berniat shalat berjamaah. Sedangkan bagi imam tidak diwajibkan, tetapi sunnah. Demikian pendapat Malik dan Syafi’i, kecuali dalam shalat Jum’at. Hanafi: jika di belakang imam ada jamaah perempuan, maka ia wajib berniat sebagai imam. Sementara itu jika makmumnya adalah laki-laki semua, imam tidak perlu berniat sebagai imam, kecuali shalat Jum’at, shalat di Arafah, dan shalat hari raya. Dalam ketiga shalat ini wajib niat menjadi imam secara mutlak. Hambali: niat menjadi imam merupakan syarat.

Menurut kesepakatan para imam madzab, orang yang shalat sendirian, lalu didirikan shalat berjamaah, maka ia tidak boleh membatalkan shalatnya, kemudian ia menggabungkan diri ke dalam jamaah tersebut. Jika ia berniat masuk ke dalam jamaah tanpa membatalkan shalatnya maka dalam hal ini terdapat dua pendapat dari Syafi’i, tetapi pendapat yang paling shahih menyatakan shalatnya sah. Pendapat ini pun masyhur di kalangan madzab Maliki dan Hambali. Sementara itu Hanafi berpendapat: shalatnya tidak sah.

Syafi’i berpendapat: rakaat yang didapati makmum masbuq (datang terlambat) beserta imam, maka itulah yang dianggap permulaan shalatnya, baik dalam perbuatan maupun hukumnya. Kemudian ia mengerjakan sendiri apa yang tertinggal, seperti doa qunut dalam shalat shubuh.

Hanafi berpendapat: apa yang didapati makmum yang masbuq dari shalat imam (dalam shalat berjamaah) maka itulah permulaan shalatnya mengenai tasyahud dan akhir shalatnya dalam qiraah. Yang masyhur dari Maliki: ia adalah akhir shalatnya. Sementara itu, dari Hambali diperoleh dua riwayat.

Barangsiapa memasuki masjid, lalu ia mendapati imam sudah selesai shalat, jika masjid itu bukan tempat berlalu lintas, dimakruhkan ia mendirikan shalat atau membentuk jamaah shalat lagi di dalamnya. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat: tidak makruh membentuk jamaah sesudah jamah.

Barangsiapa telah shalat sendirian, lalu ia mendapati jamaah sedang shalat, maka disunahkan baginya shalat lagi bersama jamaah tersebut. Demikian menurut Syafi’i. Demikian juga menurut Maliki kecuali shalat maghrib.

Apabila seseorang telah shalat berjamaah, lalu ia mendapati jamaah shalat lagi, maka apakah ia mengulangi shalat bersama mereka? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat Syafi’i adalah: Shalat lagi. Demikian juga pendapat Hambali kecuali dalam shalat shubuh dan asyar. Sementara itu Maliki berpendapat: barangsiapa sudah shalat berjamaah, tidak disukai mengulangi lagi. Sedangkan siapa yang sudah shalat sendirian, disukai mengulanginya dalam jamaah kecuali shalat maghrib. Al-Awza’i berpendapat: hendaknya mengulanginya kecuali shalat subuh dan asyar.

Apabila seseorang mengulangi shalatnya maka yang dipandang fardlu baginya adalah yang pertama. demikian pendapat Syafi’i yang paling kuat. Sedangkan shalat kedua hukumnya sunnah. Demikian juga pendapat Hanafi dan Hambali.
Al-Awza’i dan asy-Sya’bi berpendapat bahwa keduanya adalah fardlu. Apabila imam merasa ada orang mengikuti shalatnya, sedangkan ia dalam keadaan rukuk atau tasyahud akhir, maka apakah disunahkan menantinya? Mengenai hal ini bagi Syafi’i ada dua pendapat, dan yang lebih shahih adalah disunahkan. Demikan juga pendapat Hambali. Menurut pendapat Hanafi dan Maliki adalah makruh. Hal ini juga merupakan salah satu pendapat Syafi’i.

Apabila imam berhadats, apakah ia diperbolehkan minta pengganti? Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat: boleh. Sedangkan bagi Syafi’i ada dua pendapat, dan yang paling shahih adalah boleh.

Apabila imam sudah salam, sedangkan di antara makmum ada yang masbuq, lalu mereka mengajukan salah seorang di antara mereka agar menjadi imam untuk menyempurnakan shalat, jika hal itu dalam shalat Jum’at maka tidak diperbolehkan. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.
Sedangkan jika di luar shalat Jum’at maka dalam madzab Syafi’i terdapat perbedaan pendapat. Pendapat yang paling shahih menurut ar-Rafi’i dan pengarang kitab ar-Rawdhah adalah tidak boleh. Sementara itu, menurut an-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab, yang shahih adalah boleh. An-Nawawi menyuruh mengamalkan pendapat ini.

Jika makmum berniat memisahkan diri dari imam tanpa udzur maka shalatnya tidak batal. Demikian pendapat Syafi’i yang paling kuat. Demikian pula pendapat Hambali. Sementara itu, Hanafi dan Maliki berpendapat: shalatnya batal.

Empat imam madzab sepakat bahwa apabila shaf shalat berderet ke belakang, dan di antara shaf-shaf tersebut tidak ada jalan atau sungai, maka sah mengikuti imam. Namun mereka berbeda pendapat jika di antara imam dan makmum terdapat jalan atau sungai. Dalam hal ini Maliki dan Syafi’i adalah sah. Sedangkan Hanafi berpendapat tidak sah.

Apabila seseorang shalat di rumahnya mengikuti imam yang shalat di masjid, sedangkan di sana terdapat penghalang yang menghalangi pandangannya pada shaf, maka tidak sah shalatnya. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi adalah sah.

Empat imam madzab sepakat bahwa orang yang shalat sunnah dibolehkan mengikuti orang yang shalat fardlu. Namun mereka berbeda pendapat tentang orang yang shalat fardlu mengikuti orang yang shalat sunnah. Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat tidak boleh. Mereka pun berpendapat: tidak boleh shalat fardlu di belakang orang yang shalat fardlu lain. Sedangkan Syafi’i: boleh.
Boleh mengikuti anak kecil yang mumayyiz; dalam shalat selain shalat Jumat, demikian menurut pendapat yang shahih dari Syafi’i.
Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan tiga imam yang lainnya yang menyatakan: tidak sah mengikuti anak kecil yang mumayyiz; dalam shalat fardlu. Sedangkan dalam shalat sunah, mereka berbeda pendapat. Pendapat yang paling kuat dari Syafi’i adalah sah mengikuti dalam shalat Jum’at.

Orang yang baligh lebih utama menjadi imam daripada anak kecil, demikian menurut para imam madzab tanpa perbedaan pendapat.
Orang yang shalat mengikuti budak adalah sah jika bukan shalat Jum’at dengan tidak dimakruhkan. Namun menurut Hanafi adlah makruh jika imam seorang budak.
Menurut kesepakatan para imam madzab, bermakmum kepada orang buta adalah sah dengan tidak dimakruhkan kecuali menurut Ibnu Sirin.

Apakah bermakmum kepada orang yang dapat melihat lebih utama daripada orang yang buta? Menurut Syafi’i sama saja menurut keutamaannya. Sedangkan menurut Hanafi bahwa orang yang melihat lebih utama. Pendapat ini juga menjadi pilihan asy-Syirazi dari ulama madzab Syafi’i.

Dimakruhkan bermakmum kepada orang yang tidak diketahui ayahnya, demikian menurut pendapat tiga imam, sedangkan Hambali berpendapat: tidak makruh.
Sah mengikuti seorang imam yang fasik meskipun dimakruhkan, demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Menurut Maliki: kalau kefasikannya bukan karena suatu penakwilan maka tidak sah mengikutinya, dan hendaknya makmum mengulangi shalatnya. Sedangkan jika penakwilan maka shalatnya diulang selagi masih ada waktu. Sementara itu, dari Hambali diperoleh dua riwayat, yang yang paling masyhur adalah tidak sah.

Para imam sepakat tentang tidak sah orang laki-laki bermakmum pada perempuan, khusus shalat tarawih. Dalam masalah ini, Hambali membolehkan dengan syarat perempuan itu agak ke belakang tempatnya. Pendapat Hambali ini ditolak oleh para ulama Hanafi, Maliki dan Syafi’i.

Empat imam madzab berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, bermakmum kepada ahli fiqih atau bermakmum kepada ahli qiraat? Menurut Hanafi, Maliki dan Syafi’i: ahli fiqih yang dapat membaca al-Fatihah dengan baik adalah lebih utama. Sedangkan menurut Hambali: ahli qiraat yang dapat membaca seluruh al-Qur’an dan mengetahui hukum-hukum shalat adalah lebih utama.

Para imam madzab berbeda pendapat tentang orang yang tidak dapat membaca al-Fatihah dengan baik yang diikuti oleh para ahli qiraat. Hanafi berpendapat bahwa shalat mereka batal. Maliki dan Hambali berpendapat bahwa yang batal shalat ahli qiraat saja. sedangkan Syafi’i: shalat orang ummi adalah sah. Sedangkan tentang shalatnya yang diikuti ahli qiraat, terdapat dua pendapat, dan yang lebih shahih adalah batal.

Menurut empat imam, shalat di belakang orang yang berhadats tidak dibolehkan. Sedangkan jika tidak mengetahuinya, shalatnya sah keculai shalat Jum’at. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali.
Adapun dalam shalat Jum’at, jika jumlah orang yang mengikutinya mencukupi, selain imam, maka shalat makmum di belakangnya adalah sah. Demikian menurut pendapat Syafi’i yang paling kuat. Hanafi dan Hambali berpendapat: Shalat orang di belakang imam yang berhadats adalah batal, baik dia mengetahui atau tidak. Sedangkan Maliki berpendapat: Jika imam lupa bahwa ia berhadats maka shalat orang di belakangnya adalah sah. Tetapi jika mengetahuinya maka shalatnya batal.

Shalat orang yang berdiri di belakang orang yang shalatnya duduk adalah sah. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Dari Maliki ada dua pendapat. Hambali berpendapat: hendaknya mereka shalat di belakangnya dengan cara duduk pula.
Orang yang mampu untuk rukuk dan sujud, boleh melakukan keduanya dengan syarat. Demikian pendpat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki berpendapat: tidak boleh.

Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat: seyogyanya imam berdiri setelah selesai iqamat hingga shaf lurus. Hanafi: apabila muadzin sudah mengucapkan: hayya ‘alash shalaaH; dalam iqamat, hendaknya imam berdiri diikuti oleh makmum. Apabila muadzin mengucapkan: qad qaamatish shalaaH; dalam iqamatnya, hendaknya imam bertakbiratul ihram. Apabila muadzin sudah selesai iqamatnya, imam mulai membaca al-Fatihah.

Apabila makmum hanya seorang laki-laki, hendaknya ia berdiri di sebelah kanan imam. Jika ia berdiri di sebelah kirinya, sedangkan di sebelah kanannya tidak ada orang, maka shalatnya tidak batal. Demikian pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Sementara Hambali berpendapat: batal.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Musayyab berpendapat: hendaknya makmumm berdiri di sebelah kiri imam.
An-Nakha’i berpendapat: makmum berdiri di belakang imam hingga rukuk. Kalau sampai rukuk tidak ada makmum lain, hendaknya ia bergeser ke sebelah imam ketika rukuk.
Menurut kesepakatan imam madzab: jika datang dua orang makmum (laki-laki) hendaknya membentuk shaf di belakangnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra: “Sesungguhnya imam itu berdiri di antara keduanya.”
Sedangkan apabila yang datang itu anak kecil dan beberapa orang dewasa, maka dalam hal ini, menurut Syafi’i: orang laki-laki dewasa berdiri pada barisan pertama, lalu anak kecil berdiri di belakang mereka. Di antara para imam pengikut Syafi’i ada yang berpendapat bahwa anak-anak kecil berdiri di antara tiap-tiap dua orang dewasa agar ia mengetahui cara-cara mereka shalat. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Maliki.
Apabila yang hadir itu perempuan, hendaknya mereka berdiri di belakang anak-anak. Apabila perempuan itu berdiri pada shaf awal bersama laki-laki maka shalatnya tidak batal. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.

Diriwayatkan dari Hanafi: batal shalat orang laki-laki yang berdiri di sebelah kiri, kanan dan belakang perempuan tersebut. Tetapi shalat perempuan itu tidak batal.
Seseorang yang berdiri di belakang shaf sendirian, shalatnya adalah sah tetapi makruh, demikian menurut tiga imam madzab. Sedangkan Hambali berpendapat: shalatnya batal jika (hingga) imam rukuk ia masih sendirian. An-Nakha’i berpendapat: tidak sah shalat seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian.

Apabila makmum sedikit berada sedikit di depan imam maka batal shalatnya, demikian menurut Hanafi dan Hambali. Menurut Maliki: shalatnya adalah sah. Menurut Syafi’i ada dua pendapat: qaul jadid serta yang kuat menyatakan batal.
Makmum yang tempatnya lebih tinggi dari imam, atau sebaliknya adalah makruh. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab kecuali ketika ada hajat. Jika demikian, hukumnya adalah sunnah. Demikian menurut Syafi’i.

Jika berjamaah di dalam masjid maka tidak diperlukan musyahadah dan tidak ada pemisah antara shaf satu dengan lainnya, demikian pendapat Syafi’i. Yang diperlukan hanyalah mengetahui shalat imam.
Jika jamaah berada di luar masjid, sedang imam di dalam masjid, kalau tidak ada penghalang shaf dengan orang yang berada di dalam masjid, maka shalatnya sah. Jika di antara dua shaf terdapat perselangan yang tidak jauh, yaitu kira-kira 300 hasta dan kurang dari itu, serta mereka mengetahui shalat imam maka shalatnya sah.

Maliki berpendapat: jika seseorang shalat di rumahnya mengikuti imam yang berada di dalam masjid, dan makmum itu dapat mendengar suara takbir imam, maka sah mengikuti dengan cara demikian kecuali shalat Jum’at. Yang terakhir tidak sah, kecuali dilakukan di dalam masjid jami’ dan pekarangan yang berhubungan dengannya. Hanafi berpendapat: mengikuti imam yang demikian adalah sah, baik dalam shalat Jum’at maupun shalat lain.
‘Atha’ berpendapat: yang dititik beratkan dalam masalah ini ialah mengetahui shalat imam, bukan melihat dan tidak adanya penghalang. Pendapat ini diriwayatkan juga dai an-Nakha’i dan al-Hasan al-Bashri.

Sekian.