Imam Memerintahkan untuk Meluruskan Shaf Shalat Berjamaah
Fiqih Ibadah
&
Berbaik Sangka kepada Allah Ta’ala
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer
Disukai bagi si sakit –khususnya bagi yang telah kedatangan tanda-tanda mendekati kematian– untuk berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Dalam arti, pengharapannya kepada rahmat Allah melebihi perasaan takutnya kepada azab-Nya, selalu mengingat betapa besar kemurahan-Nya, betapa indah pengampunan-Nya, betapa luas rahmat-Nya, betapa sempurna karunia-Nya, dikedepankan-Nya kebaikan dan kebajikan-Nya, membayangkan apa yang dijanjikan-Nya kepada ahli tauhid dan rahmat yang disediakan-Nya untuk mereka pada hari kiamat. Jabir meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
“Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.”90
Hal ini diperkuat oleh hadits qudsi yang telah disepakati kesahihannya, bahwa Allah berfirman: “Aku menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”91
Ibnu Abbas berkata, “Apabila Anda melihat seseorang kedatangan tanda-tanda kematian maka gembirakanlah dia agar dia menghadap kepada Allah dengan berbaik sangka kepada-Nya; dan apabila Anda lihat orang yang hidup –yakni sehat– maka takut-takutilah dia akan Tuhannya Azza wa Jalla.”
Mu’tamir bin Sulaiman berkata, “Ketika akan meninggal dunia, ayah berkata kepadaku, ‘Wahai Mu’tamir, bicaralah kepadaku tentang rukhshah-rukhshah (kemurahan-kemurahan), supaya aku menghadap Allah Ta’ala dengan berbaik sangka kepada-Nya.”92
Imam Nawawi berkata, “Orang yang sedang menunggu orang yang akan meninggal dunia disukai membangkitkan harapannya kepada rahmat Allah, menganjurkannya untuk berbaik sangka kepada Allah, mengingatkannya dengan ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai pengharapan dan ditimbulkan semangatnya. Petunjuk mengenai apa yang saya sebutkan ini banyak terdapat dalam hadits-hadits sahih, diantaranya sejumlah hadits yang saya sebutkan dalam “Kitab al-Jana’iz” dari kitab al-Adzkar. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap Umar bin Khattab r.a. ketika menghadapi maut, juga dilakukan Ibnu Abbas terhadap Aisyah, dan dilakukan pula oleh Ibnu Amr bin Ash terhadap ayahnya. Semua ini tersebut dalam hadits dan riwayat yang sahih.”93
&
Disyariatkan Menjenguk Setiap Orang Sakit
Dr. Yusuf Qardhawi; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer
Dalam hadits-hadits yang menyuruh dan menggemarkan menjenguk orang sakit terdapat indikasi yang menunjukkan disyariatkannya menjenguk setiap orang yang sakit, baik sakitnya berat maupun ringan.
Imam Baihaqi dan Thabrani secara marfu’ meriwayatkan: “Tiga macam penderita penyakit yang tidak harus dijenguk yaitu sakit mata, sakit bisul, dan sakit gigi.”
Mengenai hadits ini, Imam Baihaqi sendiri membenarkan bahwa riwayat ini mauquf pada Yahya bin Abi Katsir. Berarti riwayat hadits ini tidak marfu’ sampai Nabi saw., dan tidak ada yang dapat dijadikan hujjah melainkan yang beliau sabdakan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Mengenai menjenguk orang yang sakit mata terdapat hadits khusus yang membicarakannya, yaitu hadits Zaid bin Arqam, dia berkata: “Rasulullah saw. menjenguk saya karena saya sakit mata.”12
Menjenguk orang sakit itu disyariatkan, baik ia terpelajar maupun awam, orang kota maupun orang desa, mengerti makna menjenguk orang sakit maupun tidak.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam “Kitab al-Mardha” dari kitab Shahih-nya, “Bab ‘Iyadatul-A’rab,” hadits Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. pernah menjenguk seorang Arab Badui, lalu beliau bersabda, “Tidak apa-apa, suci insya Allah.” Orang Arab Badui itu berkata, “Engkau katakan suci? Tidak, ini adalah penyakit panas yang luar biasa pada seorang tua, yang akan mengantarkannya ke kubur.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Oh ya, kalau begitu.”13
Makna perkataan Nabi saw., “Tidak apa-apa, suci insya Allah,” itu adalah bahwa beliau mengharapkan lenyapnya penyakit dan kepedihan dari orang Arab Badui itu, sebagaimana beliau mengharapkan penyakitnya akan menyucikannya dari dosa-dosanya dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Jika ia sembuh, maka ia mendapatkan dua macam faedah; dan jika tidak sembuh, maka dia mendapatkan keuntungan dengan dihapuskannya dosa dan kesalahannya.
Tetapi orang Badui itu sangat kasar tabiatnya, dia menolak harapan dan doa Nabi saw., lalu Nabi mentolerirnya dengan menuruti jalan pikirannya seraya mengatakan, “Oh ya, kalau begitu.” Artinya, jika kamu tidak mau, ya baiklah, terserah anggapanmu.
Disebutkan juga dalam Fathul-Bari bahwa ad-Daulabi dalam al-Kuna dan Ibnu Sakan dalam ash-Shahabah meriwayatkan kisah orang Badui itu, dan dalam riwayat tersebut disebutkan: Lalu Nabi saw. bersabda, “Apa yang telah diputuskan Allah pasti terjadi.” Kemudian orang Badui itu meninggal dunia.
Diriwayatkan dari al-Mahlab bahwa ia berkata, “Pengertian hadits ini adalah bahwa tidak ada kekurangannya bagi pemimpin menjenguk rakyatnya yang sakit, meskipun dia seorang Badui yang kasar tabiatnya; juga tidak ada kekurangannya bagi orang yang mengerti menjenguk orang bodoh yang sakit untuk mengajarinya dan mengingatkannya akan hal-hal yang bermanfaat baginya, menyuruhnya bersabar agar tidak menggerutu kepada Allah yang dapat menyebabkan Allah benci kepadanya, menghiburnya untuk mengurangi penderitaannya, memberinya harapan akan kesembuhan penyakitnya, dan lain-lain hal untuk menenangkan hatinya dan hati keluarganya.
Diantara faedah lain hadits itu ialah bahwa seharusnya orang yang sakit itu menerima nasihat orang lain dan menjawabnya dengan jawaban yang baik.”14
&
Euthanasia
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer
PENGANTAR
Ini merupakan satu persoalan yang sampai kepada saya di antara sekian banyak persoalan mengenai kedokteran Islam dan hukum-hukumnya serta adab-adabnya, yang disampaikan lewat surat oleh Ikatan Dokter Islam Afrika Selatan. Persoalan pertama mengenai masalah berikut:
QATL AR-RAHMAH ATAU TAISIR AL-MAUT (EUTANASIA)
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Beberapa contoh di antaranya:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan
yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai “orang mati” yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut al-munfa’il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya seperti berikut:
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati –padahal masih ada kemungkinan untuk diobati– akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan –tanpa diberi pengobatan—apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kemampuan/control pada kandung kencing dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.
Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.
Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah
perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
PERTANYAAN
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apakah memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) ditolerir oleh Islam?
2. Apakah memudahkan proses kematian secara pasif (eutanasia negatif) juga diperbolehkan dalam Islam?
JAWABAN
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara’. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Adapun contoh kedua dari eutanasia positif ini kita tunda dahulu pembahasannya setelah kita bicarakan euthanasia negatif.
EUTANASIA NEGATIF (MENGHENTIKAN/TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu –baik dalam contoh nomor satu maupun nomor dua– berkisar pada “menghentikan pengobatan” atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak
ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara’ ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,1 dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “‘Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. ‘Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.’ Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.”2
Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka’ab dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.3
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam “Kitab at-Tawakkul” dari Ihya’ Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.4
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi –lebih sedikit dari golongan kedua– berpendapat wajib.
Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta’ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimanayang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma’ad.5 Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya –yaitu para dokter—maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat,
apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan –dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern– dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) –kalau boleh diistilahkan demikian– semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengizinkannya– dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
MEMUDAHKAN KEMATIAN DENGAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ALAT BANTU PERNAPASAN
Sekarang saya akan menjawab contoh kedua dari euthanasia positif menurut pertanyaan tersebut –bukan negatif—yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap sudah “mati” atau “dihukumi telah mati” karena jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu telah rusak.
Kalau yang dilakukan dokter itu semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian, keadaannya seperti keadaan lain yang diistilahkan dengan ath-thuruq al-munfa’ilah (jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).
Karena itu, saya berpendapat bahwa eutanasia seperti ini berada di luar daerah “memudahkan kematian dengan cara aktif” (eutanasia positif), tetapi masuk ke dalam jenis lain (yaitu eutanasia negatif; Penj.)
Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara’, tidak terlarang. Lebih-lebih peralatan-peralatan tersebut hanya dipergunakan penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir –yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah/denyut nadi saja– padahal dilihat dari segi aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Saya telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak beberapa tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu seminar berkala yang diselenggarakan oleh Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fiqih dan dokter itu menerima pendapat tersebut.
Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi petunjuk kepada kita ke jalan Islam ini, dan tidaklah kita akan mendapat petunjuk kalau bukan Allah yang menunjukkan kita.
Catatan kaki:
1 Al-Fatawa al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, juz 4, hlm. 260, terbitan Mathba’ah Kurdistan al-Ilmiah, Kairo.
2 Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam “Kitab al-Mardhaa” dan Muslim dalam “Kitab al-Birr wash-Shilah,” hadits nomor 2265.
3 Ibnu Taimiyah, op cit.
4 Ihya ‘Ulumuddin, juz 4, hlm. 290 dan seterusnya.
5 Zadul-Ma’ad, juz 3, terbitan ar-Risalah, Beirut.
&
Peranan Hawa dalam Pengusiran Adam dari Surga
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer
Pertanyaan:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibu kita, Hawa, merupakan penyebab diusirnya bapak kita, Adam, dari surga. Dialah yang mendorong Adam untuk memakan buah terlarang, sehingga mereka terusir dari surga dan menyebabkan penderitaan bagi kita (anak cucunya) di dunia.
Pendapat ini dijadikan sandaran untuk merendahkan kedudukan kaum wanita. Berlandaskan peristiwa tersebut, wanita sering dituding sebagai cikal bakal datangnya segala musibah yang terjadi di dunia, baik pada orang-orang dahulu maupun sekarang.
Pertanyaan saya, apakah benar semua pendapat di atas? Adakah dalam Islam dalil yang menunjukkan hal itu, atau kebalikannya?
Kami harap Ustadz berkenan menjelaskannya. Semoga Allah memberikan pahala kepada Ustadz dan menolong Ustadz.
Jawaban:
Pendapat yang ditanyakan saudara penanya, tentang kaum wanita -seperti ibu kita Hawa – yang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan hidup manusia, dengan mengatakan bahwa Hawa yang menjerurnuskan Adam untuk memakan buah terlarang … dan seterusnya, tidak diragukan lagi adalah pendapat yang tidak islami.
Sumber pendapat ini ialah Kitabb Taurat dengan segala bagian dan tambahannya. Ini merupakan pendapat yang diimani oleh kaum Yahudi dan Nasrani, serta sering menjadi bahan referensi bagi para pemikir, penyair, dan penulis mereka. Bahkan tidak sedikit (dan ini sangat disayangkan) penulis muslim yang bertaklid buta dengan pendapat tersebut.
Namun, bagi orang yang membaca kisah Adam dalam Al-Qur’an yang ayat-ayatnya (mengenai kisah tersebut) terhimpun dalam beberapa surat, tidak akan bertaklid buta seperti itu. Ia akan menangkap secara jelas fakta-fakta seperti berikut ini.
1. Taklif ilahi untuk tidak memakan buah terlarang itu ditujukan kepada Adam dan Hawa (bukan Adam saja). Allah berfirman: “Dan Kami berfirman, ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim.'” (al-Baqarah: 35)
2. Bahwa yang mendorong keduanya dan menyesatkan keduanya dengan tipu daya, bujuk rayu, dan sumpah palsu ialah setan, sebagaimana difirmankan Allah: “Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula …” (al-Baqarah: 36)
Dalam surat lain terdapat keterangan yang rinci mengenai tipu daya dan bujuk rayu setan: “Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup bagi mereka yaitu auratnya, dan setan berkata, Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orangyang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya termasuk orangyang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan rnereka menyeru mereka, ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’ Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orangyang merugi.'” (al-A’raf: 20-23)
Dalam surat Thaha diceritakan bahwa Adam a.s. yang pertama kali diminta pertanggungjawaban tentang pelanggaran itu, bukan Hawa. Karena itu, peringatan dari Allah tersebut ditujukan kepada Adam, sebagai prinsip dan secara khusus. Kekurangan itu dinisbatkan kepada Adam, dan yang dipersalahkan – karena pelanggaran itu – pun adalah Adam. Meskipun istrinya bersama-sama dengannya ikut melakukan pelanggaran, namun petunjuk ayat-ayat itu mengatakan bahwa peranan Hawa tidak seperti peranan Adam, dan seakan-akan Hawa makan dan melanggar itu karena mengikuti Adam.
Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang. Maka kami berkata, ‘Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagõ istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan didalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari didalamnya. ‘Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dengan berkata, ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesalah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya. Maka dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 115-122)
3. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah untuk suatu tugas yang sudah ditentukan sebelum diciptakannya. Para malaikat pada waktu itu sangat ingin mengetahui tugas tersebut, bahkan mereka mengira bahwa mereka lebih layak mengemban itu daripada Adam. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa ayat surat al-Baqarah yang disebutkan Allah SWT sebelum menyebutkan ayat-ayat yang membicarakan bertempat tinggalnya Adam dalam surga dan memakan buah terlarang.
Firman Allah: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan befirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar?’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman, ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?'” (al-Baqarah: 30-33)
Disebutkan pula dalam hadits sahih bahwa Adam dan Musa a.s. bertemu di alam gaib. Musa hendak menimpakan kesalahan kepada Adam berkenaan dengan beban yang ditanggung manusia karena kesalahan Adam yang memakan buah terlarang itu (lantas dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi sehingga menanggung beban kehidupan seperti yang mereka alami; penj.) . Kemudian Adam membantah Musa dan mematahkan argumentasinya dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi itu sudah merupakan ketentuan ilahi sebelum ia diciptakan, untuk memakmurkan bumi, dan bahwa Musa juga mendapati ketentuan ini tercantum dalam Taurat.
Hadits ini memberikan dua pengertian kepada kita. Pertama, bahwa Musa menghadapkan celaan itu kepada Adam, bukan kepada Hawa. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam Taurat (sekarang) bahwa Hawa yang merayu Adam untuk memakan buah terlarang itu tidak benar. Itu adalah perubahan yang dimasukkan orang ke dalam Taurat.
Kedua, bahwa diturunkannya Adam dan anak cucunya ke bumi sudah merupakan ketentuan ilahi dalam takdir-Nya yang luhur dan telah ditulis oleh kalam ilahi dalam Ummul Kitab (Lauh
al-Mahfuzh), untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan melalui risalah-Nya di atas planet ini, sebagaimana yang dikehendaki Allah, sedangkan apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi.
4. Bahwa surga (jannah), tempat Adam diperintahkan untuk berdiam di dalamnya dan memakan buah-buahannya, kecuali satu pohon, dan disuruh hengkang dari sana karena melanggar larangan (memakan buah tersebut), tidak dapat dipastikan bahwa surga tersebut adalah surga yang disediakan Allah untuk orang-orang muttaqin di akhirat kelak. Surga yang
dimaksud belum tentu surga yang di dalamnya Allah menciptakan sesuatu (kenikmatan-kenikmatan) yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan tidak seperti yang terlintas dalam hati manusia.
Para ulama berbeda pendapat mengenai “surga” Adam ini, apakah merupakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang mukmin sebagai pahala mereka, ataukah sebuah “jannah” (taman/kebun) dari kebun-kebun dunia, seperti firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun
(jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari.” (al-Qalam: 17)
Dalam surat lain Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi seorang diantara keduanya (yang kafir) dua buah kebun (jannatain) anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.” (al-Kahfi: 32-33)
Ibnul Qayyim menyebutkan kedua pendapat tersebut dengan dalil-dalilnya masing-masing dalam kitabnya Miftahu Daaris Sa’adah. Silakan membacanya siapa yang ingin mengetahui lebih jauh masalah ini. Wallahu a’lam.
&
Bank Susu
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer
Pertanyaan:
Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah. Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih disebut rawan, tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang dapat menjalin hubungan nasab dan paling dapat menjadikan jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).
Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi susu selain air susu ibu (ASI).
Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum ibu, kemudian diberikan kepada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan … tanpa saling mengetahui dengan jelas susu siapa dan dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek. Maka, apakah oleh syara’ mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?
Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang memperbolehkannya? Apakah stadz memandang karena tidak menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan –yang jumlah mereka sangat sedikit– dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu tidak mungkin dilacak atau diidentifikasi?
Jawaban:
Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba’du.
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh Islam, untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash Al-Qur’an serta contoh riil kaum muslim.
Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu -yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau anak-anak sebagaimana yang digambarkan penanya– patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala. Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan dibalik kegiatan yang mulia ini?
Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank susu tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya.
Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah dengan putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain –menurut pendapat jumhur fuqaha– karena mereka adalah saudara-saudaranya dari jurusan ayah … serta masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan susuan ini.
Oleh karena itu, saya harus membagi masalah ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.
– Pertama, menjelaskan pengertian radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ untuk menetapkan pengharaman.
– Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan.
– Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.
Pengertian Radhn’ (Penyusuan):
Makna radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha –termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i– ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jalan as-sa’uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus).
Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa’ad, yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa’uth.
Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni dengan memasukkan susu ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung (sa’uth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut.
Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.
Disebutkan di dalam al-Mughni “Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar, mazhab Daud, dan perkataan Atha’ al-Khurasani mengenai sa’uth, karena yang demikian ini bukan penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu lewat hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh.”
Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging”
Hadits yang dijadikan hujjah oleh pengarang kitab al-Mughni ini sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau direnungkan justru menjadi hujjah untuk menyanggah pendapatnya. Sebab hadits ini membicarakan penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan menumbuhkan dagingnya. Hal ini menafikan (tidak memperhitungkan) penyusuan yang sedikit, yang tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali
isapan, karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Maka hadits itu hanya menetapkan pengharaman (perkawinan) karena penyusuan yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu, pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan dominan; Penj.).
Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, “Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama –jika dilakukan melalui penyusuan– serta dapat mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan (perkawinan). Karena hal itu juga merupakan jalan yang membatalkan puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia juga merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut.”
Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni rahimahullah, “Kalau ‘illat-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apa pun, maka wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab transfusi lewat pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum agama tidaklah dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-dusta
perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran.”
Menurut pendapat saya, asy-Syari’ (Pembuat syariat) menjadikan asas pengharamnya itu pada “keibuan yang menyusukan” sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya: “… dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan …” (an-Nisa’: 23)
Adapun “keibuan” yang ditegaskan Al-Qur’an itu tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.
Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari’ di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakanNya itu seluruhnya membicarakan irdha’ dan radha’ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.
Saya kagum terhadap pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini. Beliau berhenti pada petunjuk nash dan tidak melampaui batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran, dan menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.
Saya kutipkan di sini beberapa poin dari perkataan beliau, karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata: “Adapun sifat penyusuan yang mengharamkan (perkawinan) hanyalah yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan kedalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengharamkan (perkawinan), meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.
Alasannya adalah firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan …’ (an-Nisa’:23)
Dan sabda Rasulullah saw.: “Haram karena susuan apa yang haram karena nasab.”
Maka dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan nikah kecuali karena irdha’ (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi): ardha’athu-turdhi’uhu-irdha’an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha’ah dan radha’/ridha (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha’a – yardha’u/yardhi’u radha’an/ridha’an wa radha’atan/ridha’atan. Adapun selain cara seperti itu, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan irdha’, radha’ah, dan radha’, melainkan hanya air susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan, menuangkan ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama sekali yang disebabkan hal-hal seperti ini.
Abu Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa’ad berkata, ‘Memasukkan air susu perempuan melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak
diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman –yakni Daud, imam Ahli Zhahir– dan sahabat-sahabat kami, yakni Ahli Zhahir.”‘
Sedangkan pada waktu menyanggah orang-orang yang berdalil dengan hadits: “Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah karena lapar,” Ibnu Hazm berkata: “Sesungguhnya hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan penyusuan yang berfungsi untuk menghilangkan kelaparan, dan beliau tidak mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu tidak ada pengharaman (perkawinan) karena cara-cara lain untuk menghilangkan kelaparan, seperti dengan makan, minum, menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari tetek dengan mulut dan menelannya), sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. (firman Allah): “… Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)2
Dengan demikian, saya melihat bahwa pendapat yang menenteramkan hati ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha’ (menyusui) dan radha’/ridha’ (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan kekerabatan-kekerabatan lainnya. Maka sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui bank susu, yang melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut –bukan menghisap dari tetek– dan menelannya), sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha.
Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang menghalangi pengharaman (perkawinan). Yaitu, kita tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air susunya diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan –lima kali susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran– dapat menumbuhkan daging, dan mengembangkan tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali?
Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lainnya terhukum sama dengan air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf, bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.
Seperti yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman.
Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni: “Apabila timbul keraguan tentang adanya penyusuan, atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada pengharaman. Kita tidak bisa menghilangkan sesuatu yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya.”3
Sedangkan di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan: “Seorang perempuan yang memasukkan puting susunya kedalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak mengharamkan pernikahan.
Demikian pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja mereka itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampong (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.
Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka menyusui setiap anak kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap hati-hati.”4
Tidaklah samar, bahwa apa yang terjadi dalam persoalan kita ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita terima bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya tidaklah memungkinkan, karena bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.
Arahan yang perlu dikukuhkan menurut pandangan saya dalam masalah penyusuan ini ialah mempersempit pengharaman seperti mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan kedua masalah ini juga ada pendukungnya.
Khulashah
Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam “bank susu” selama bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar’iyah yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para fuqaha yang telah saya sebutkan di muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan argumentasi yang saya kemukakan di atas.
Kadang-kadang ada orang yang mengatakan, “Mengapa kita tidak mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat, padahal mengambil sikap hati-hati itu lebih terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?”
Saya jawab, bahwa apabila seseorang melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang lebih hati-hati dan lebih wara’ (lebih jauh dari syubhat), bahkan lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang terlarang.
Akan tetapi, apabila masalah itu bersangkut paut dengan masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang lebih utama bagi ahli fatwa ialah memberi kemudahan, bukan memberi kesulitan, tanpa melampaui nash yang teguh dan kaidah yang telah mantap.
Karena itu, menjadikan pemerataan ujian sebagai upaya meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan karena kasihan kepada mereka. Jikalau kita bandingkan dengan masyarakat kita sekarang khususnya, maka masyarakat sekarang ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.
Hanya saja yang perlu diingat disini, bahwa memberikan pengarahan dalam segala hal untuk mengambil yang lebih hati-hati tanpa mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita menjadikan hukum-hukum agama itu sebagai himpunan “kehati-hatian” dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat berpijaknya agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran. “(HR al-Kharaithi)
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan, tidak diutus untuk memberikan kesulitan.” (HR Tirmidzi)
Manhaj (metode) yang kami pilih dalam masalah-masalah ini ialah pertengahan dan seimbang antara golongan yang memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan: “Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan …” (al-Baqarah: 143)
Allah memfirmankan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Catatan kaki:
1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk mengharamkan perkawinan kecuali … (Pen;.).
2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11.
3 Al-Mughni ma’a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.
4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120; dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him. 2-3.
&
Definisi Fiqh
Madzab Fiqih, Kedudukan dan Cara Menyikapinya
Abdullah Haidir; islamhouse.com
Dari segi bahasa, Fiqh bermakna : Faham atau mengerti. Seperti firman Allah ta’ala :
qaaluu yaa syu’aibu maa nafqaHu katsiiram mimmaa taquulu (“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.”) (QS Hud : 91)
Perhatikan juga Surat An-Nisa, ayat 78 dan surat Thaha, ayat 27-28.
Sedangkan menurut istilah, fiqih adalah :
“Hukum-hukum praktis dalam syariat yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.” (Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy; at-Tasyri’ wa aI fiqh, Manna’ al-Qaththan, hal. 183.)
Definisi Mazhab
Madzab Fiqih, Kedudukan dan Cara Menyikapinya
Abdullah Haidir; islamhouse.com
Mazhab secara bahasa adalah jalan yang ditempuh atau yang dilewati. Mazhab juga diartikan dengan sesuatu yang dituju manusia, baik bersifat materi ataupun non materi.
Mazhab berasal dari kata yang umumnya diartikan: pergi atau berlalu. Namun selain itu dapat juga berarti: Berpendapat. Maka, jika seseorang mengambil pendapat orang lain, dikatakan: Dia berpendapat dengan pendapat si Fulan (Lihat al-Mu jam al-Wasith, 1/ 316.)
Dari makna inilah, kata mazhab lebih mendekati maknanya, yang secara bahasa umumnya diartikan dengan istilah: aliran, doktrin atau ajaran. Bahkan kata mazhab itu sendiri sudah menjadi Bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan menurut istilah, mazhab adalah: jalan atau cara yang telah digariskan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik dalam masalah keyakinan, prilaku, hukum atau lainnya (AI-Madkhol ilaa Diroosatil Mazahib wa Dirosatil Fiqhiyyah, DR Umar Sulaiman al-Asyqor, hal. 48.)
Disebutkan dalam al-Mu jamuI Wasith, bahwa Mazhab menurut para ulama adalah kumpulan pandangan dan teori ilmiah serta filsafat yang satu sama lain saling berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan yang erat” (al-Mu jam al-Wasith, 1/317)
&
Madzab Fiqih, Kedudukan dan Cara Menyikapinya
Abdullah Haidir; islamhouse.com
Pengertian Mazhab
Mazhab secara bahasa adalah jalan yang ditempuh atau yang dilewati. Mazhab juga diartikan dengan sesuatu yang dituju manusia, baik bersifat materi ataupun non materi.
Mazhab berasal dari kata yang umumnya diartikan: pergi atau berlalu. Namun selain itu dapat juga berarti: Berpendapat. Maka, jika seseorang mengambil pendapat orang lain, dikatakan: Dia berpendapat dengan pendapat si Fulan (Lihat al-Mu jam al-Wasith, 1/ 316.)
Dari makna inilah, kata mazhab lebih mendekati maknanya, yang secara bahasa umumnya diartikan dengan istilah: aliran, doktrin atau ajaran. Bahkan kata mazhab itu sendiri sudah menjadi Bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan menurut istilah, mazhab adalah: jalan atau cara yang telah digariskan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik dalam masalah keyakinan, prilaku, hukum atau lainnya (AI-Madkhol ilaa Diroosatil Mazahib wa Dirosatil Fiqhiyyah, DR Umar Sulaiman al-Asyqor, hal. 48.)
Disebutkan dalam al-Mu jamuI Wasith, bahwa Mazhab menurut para ulama adalah kumpulan pandangan dan teori ilmiah serta filsafat yang satu sama lain saling berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan yang erat” (al-Mu jam al-Wasith, 1/317)
Pengertian Fiqh
Dari segi bahasa, Fiqh bermakna : Faham atau mengerti. Seperti firman Allah ta’ala :
“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu” (QS Hud : 91)
Perhatikan juga Surat An-Nisa, ayat 78 dan surat Thaha, ayat 27-28.
Sedangkan menurut istilah, fiqih adalah :
“Hukum-hukum praktis dalam syariat yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.” (Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy; at-Tasyri’ wa aI fiqh, Manna’ al-Qaththan, hal. 183.)
Mazhab Fiqh
Dengan demikian mazhab fiqh adalah: metode yang ditempuh oleh seorang ahli fiqh (ulama) yang memiliki derajat mujtahid, di mana dia memiliki ciri khas tersendiri di kalangan ahli fiqh dalam menentukan sejumlah hukum-hukum dalam bidang furu’ (cabang agama).
Ada hal yang perlu diperjelas dalam masalah ini, yaitu bahwa: ruang lingkup mazhab fiqh hanya berkisar pada hukum-hukum praktis, tidak masuk pada ruang lingkup aqidah. Artinya dalam masalah aqidah tidak dikenal adanya mazhab Syafi’i, atau Maliki, karena semuanya berada dalam satu garis aqidah yang sama; yaitu aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, sebagaimana pendahulunya dari kalangan tabi’in dan para shahabat radhiallahu ‘anhum.
Sedangkan yang terkait dengan hukum, juga tidak semua hukum dapat dikatagorikan dalam istilah mazhab. Hukum-hukum yang dalilnya bersifat qath’i (tegas dan jelas) baik dari status dalilnya ataupun petunjuk pemahamannya -seperti masalah wajibnya shalat atau puasa Ramadhan- tidak dapat dimasukkan dalam pembahasan ini. Karena itu tidak dikatakan misalnya bahwa: Menurut mazhab Syafi i, shalat itu wajib atau menurut mazhab Hanafi puasa Ramadhan itu wajib. Karena perkara tersebut sudah jelas hukumnya dalam al-Quran (al-Madkhal ilaa Diraasatil Mazahib wa Diraasatil Fiqhiyyah hal 51)
&
Dampak Negatif Fanatisme Madzhab
Madzab Fiqih, Kedudukan dan Cara Menyikapinya
Abdullah Haidir; islamhouse.com
Berpedoman terhadap satu mazhab dan kemudian menolak mentah-mentah pendapat di luar mazhabnya yang jelas-jelas didukung oleh dalil yang kuat berdasarkan al-Quran dan Sunnah, disamping hal tersebut merupakan sikap yang tidak diajarkan dalam ajaran Islam, bertentangan dengan sunnah Rasulullah para shahabatnya dan salafushshaleh, hal tersebut juga memberikan dampat negatif yang tidak sedikit; baik bagi pelakunya ataupun umat Islam secara umum.
Di antara dampak-dampak tersebut adalah :
1. Lahirnya sikap (diakui atau tidak) yang menjadikan pendapat-pendapat mazhabnya lebih dihormati dan diagungkan daripada Al-Quran dan As-Sunnah.
Hal tersebut dapat terjadi manakala seseorang melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya bertentangan menurut al-Quran dan as-Sunnah. Namun karena dia sudah terlanjur meyakini bahwa itulah pendapat mazhabnya, maka apa yang nyata-nyata terdapat dalam al-Quran dan as- Sunnah dia abaikan.
2. Lahirnya sikap beragama yang tidak berdasarkan dalil dan pemahaman yang akhirnya menghilangkan sikap kritis terhadap suatu permasalahan.
Karena seseorang yang berpedoman dengan mazhab tertentu merasa bahwa sebuah ajaran sudah cukup untuk dijadikan pedoman manakala telah dikatakan kepadanya bahwa inilah ajaran dalam mazhab yang dia anut, terlepas apakah hal tersebut ada dalilnya atau tidak. Padahal sikap tersebut dikecam oleh Allah ta’ala :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS. al-Isra’ : 36)
Rasulullah saw juga telah berpesan:
“Siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak bersumber dari ajaran kami, maka dia tertolak” (Riwayat Muslim)
Tidak ada manusia yang ma’shum selain para nabi dan rasul. Itu artinya apa yang disampaikan oleh seseorang -betapapun kedudukannya- ada kemungkinan salah atau benar. Dan untuk menilainya, maka al-Quran dan as-Sunnah harus dijadikan barometernya.
Namun hal tersebut tidak terjadi pada mereka yang sudah fanatik terhadap mazhab tertentu, apa saja yang di sampaikan oleh mereka yang dianggap berasal dari mazhabnya pasti diterima. Tidak ada dorongan untuk mengkaji atau bertanya lebih jauh lagi tentang dalilnya atau alasannya.
Padahal imam Syafi’i berkata :
“Jika aku menyampaikan suatu masalah, maka cocokkanlah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, jika -cocok, terimalah, namun jika bertentangan, maka tolaklah dan lemparlah pendapatku keluar pagar”‘)
Sikap tidak kritis inilah yang banyak dimanfaatkan oleh mereka yang ingin menyebarkan bid’ah dan khurafat di tengah masyarakat. Karena hanya dengan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ajaran dalam mazhab yang mereka anut, sudah cukup menjadi alasan bagi seseorang untuk menerimanya dan mengamalkannya, tanpa meneliti kebenarannya atau sekedar bertanya tentang dalilnya.
Contoh: Di masyarakat kita yang mayoritas menganut mazhab Syafi’i. Banyak praktek bid’ah bahkan kesyirikan, yang terjadi di kuburan; misalnya dengan mengapur kuburan atau mendirikan bangunan di atasnya dan kemudian mohon kepada penghuninya.
Di antara sebabnya adalah karena masyarakat menerima hal tersebut tanpa sikap kritis, ketika dikatakan kepada mereka bahwa inilah ajaran dalam mazhab kita (mazhab Syafi’i) mereka menerimanya begitu saja bulat-bulat.
Padahal jelas disebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah melarang hal tersebut, sebagaimana hadits riwayat Muslim:
“Rasulullah t melarang mengapur kuburan, dan duduk di atasnya serta mendirikan bangunan di atasnya”
Bahkan hal itulah yang menjadi pendirian Imam Syafi’i serta murid-muridnya, karena adanya dalil yang jelas dari hadits Rasulullah (Lihat: Pandangan Ulama Bermazhab Syafii tentang Syirik (terjemah), Abdullah bin Abdurrahman al-Khumais, Penerbit: Kantor Da’wah al-Sulay.)
Karena itu dikatakan bahwa taklid buta merupakan salah satu sumber tersebarnya banyak perbuatan bid’ah di tengah masyarakat.
4. Tertutupnya pintu-pintu kebaikan dan pemahaman terhadap agama.
Sikap fanatisme terhadap suatu mazhab, sering membuat seseorang terhalang menerima nasihatnasihat atau ajaran agama yang benar.
Seringkali seseorang yang sudah terlanjur berpedoman dengan mazhab tidak bersedia sama sekali untuk menerima masukan atau pemahaman yang datang dari orang yang menurut rriereka berbeda mazhabnya atau menghadiri majlis ilmunya padahal di lingkungannya tidak dia dapatkan selain itu. Bahkan tidak jarang ada orang yang tidak bersedia ikut shalat berjamaah, karena mereka nilai tata caranya berbeda dari apa yang dia kenal dalam
mazhabnya, tanpa menyelediki sejauh mans hal tersebut memiliki landasan dalam ajaran Islam.
5. Timbulnya Perpecahan di Kalangan Umat.
Dampak paling nyata dari sikap fanatisme mazhab adalah, terjadinya pengkotak-kotakkan dalam masyarakat Islam yang kemudian sangat besar peranannya dalam menimbulkan perpecahan umat.
Sejarah telah mencatat, betapa fanatisme mazhab telah membuat umat terkotak-kotak sedemikian rupa bahkan timbul permusuhan dan kebencian di antara umat Islam sendiri. Mereka mendirikan komunitas masyarakat sendiri-sendiri, masjidnya masing-masing, sekolahnya masing-masing, Ialu membuat organisasi masing-masing atas nama mazhabnya.
Bahkan pada masanya, di Masjidilharam, setiap pengikut mazhab memiliki mihrabnya sendiri-sendiri. Mereka yang bermazhab Syafi’i tidak ikut bermakmum kepada yang bermazhab Hanafi, yang bermazhab Hambali tidak ikut bermakmum kepada yang bermazhab Maliki. Namun al-Hamdulillah hal tersebut dapat dihilangkan sehingga kaum muslimin dapat shalat di mesjidilharam dengan satu imam.
Dapat kita bayangkan jika kondisi seperti dahulu terus berlanjut hingga sekarang, betapa akan terjadi kekacauan setiap kali akan dilaksanakan shalat.
&