Tag Archives: hidup

Hadapi Hidup Ini Apa Adanya!

7 Jan

La Tahzan; Jangan bersedih!
DR. ‘Aidh al-Qarni; Qisthi Press

Kondisi dunia ini penuh kenikmatan, banyak pilihan, penuh rupa, dan banyak warna. Semua itu bercampur baur dengan kecemasan dan kesulitan hidup. Dan, Anda adalah bagian dari dunia yang berada dalam kesukaran. Anda tidak akan pernah menjumpai seorang ayah, isteri, kawan, sahabat, tempat tinggal, atau pekerjaan yang padanya tidak terdapat sesuatu yang menyulitkan. Bahkan, kadangkala justru pada setiap hal itu terdapat sesuatu yang buruk dan tidak Anda sukai. Maka dari itu, padamkanlah panasnya keburukan pada setiap hal itu dengan dinginnya kebaikan yang ada padanya. Itu kalau Anda mau selamat dengan adil dan bijaksana. Pasalnya, betapapun setiap luka ada harganya.

Allah menghendaki dunia ini sebagai tempat bertemunya dua hal yang saling berlawanan, dua jenis yang saling bertolak belakang, dua kubu yang saling berseberangan, dan dua pendapat yang saling berseberangan. Yakni, yang baik dengan yang buruk, kebaikan dengan kerusakan, kebahagiaan dengan kesedihan. Dan setelah itu, Allah akan mengumpulkan semua yang baik, kebagusan dan kebahagian itu di surga. Adapun yang buruk, kerusakan dan kesedihan akan dikumpulkan di neraka.

“Dunia ini terlaknat, dan terhhnat semua yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan semua yang berkaitan dengannya, seorang yang ‘alim dan seorang yang belajar,” begitu hadist
berkata.

Maka, jalanilah hidup ini sesuai dengan kenyataan yang ada. Jangan larut dalam khayalan. Dan, jangan pernah menerawang ke alam imajinasi. Hadapi kehidupan ini apa adanya; kendalikan jiwa Anda untuk dapat menerima dan menikmatinya! Bagaimanapun, tidak mungkin semua teman tulus kepada Anda dan semua perkara sempurna di mata Anda. Sebab, ketulusan dan kesempurnaan itu ciri dan sifat kehidupan dunia. Bahkan, isteri Anda pun tak akan pernah sempurna di mata Anda. Maka kata hadist,

“Janganlah seorang mukmin mencela seorang mukminah (isterinya), sebab jika dia tidak suka pada salah satu kebiasaannya maka dia bisa menerima kebiasaannya yang lain.”

Adalah seyogyanya bila kita merapatkan barisan, menyatukan langkah, saling memaafkan dan berdamai kembali, mengambil hal-hal yang mudah kita lakukan, meninggalkan hal-hal yang menyulitkan, menutup mata dari beberapa hal untuk saat-saat tertentu, meluruskan kangkah, dan mengesampingkan berbagai hal yang mengganggu.

Renungan Hidup

11 Sep

Assalaamu’alaikum wr.wb.
Terus terang saja, jika kita fikirkan perjalanan hidup ini, maka akan sederhana jadinya; yakni dilahirkan, tumbuh dewasa, renta lalu meninggal. Lalu segalanya berakhir kontrak hidup di dunia ini.

Bagi mereka yang merasa hidup ini adalah peluang untuk bersenang-senang, maka akan mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya untuk meraih dunia ini. Kalau perlu dengan berbagai cara untuk meraih apa yang menjadi gejolak hati. Kuasai materi dan raih kesenangan hidup. Naif memang, akan tetapi itulah kenyataan yang banyak terjadi pada diri manusia.

Jika demikian maka manusia telah memilih kedudukannya yang tidak berbeda dengan hewan, yakni hidup hanya untuk urusan perut dan bawah perut. Ini tentu menyakitkan dan menyalahi kodratnya sebagai makhluk yang diunggulkan (baca: jadi khalifah di muka bumi) karena memposisikan sama dengan hewan.

Manusia sedikit sekali sampai pada pemahaman bahwa cita-cita tertinggi itu bukanlah sukses di dunia ini. Akan tetapi lebih dari itu. Yakni meraih kesuksesan dunia sebagai jalan/ jembatan untuk memperoleh kemuliaan di akhirat yang abadi. Dan ini hanya bisa diperoleh apabila manusia mengikuti dan mengimani ajaran Islam.

Kenapa harus Islam ? Karena hanya Islam lah yang menawarkan konsep hidup yang logis dan jelas, mudah diterima oleh akal fikiran dan tidak bertentangan dengan kodrat manusia. Islam adalah mudah dan menuntun pada jalan keselamatan. Akan tetapi tentu syaitan tidak akan rela membiarkan manusia berjalan menuju Tuhannya. Dia akan senantiasa bekerja siang dan malam untuk menjerumuskan manusia hingga menjadi sesat dari tujuan itu. Dan syaitan pun mempunyai grup atau agen-agen yang mengusung visi dan misi yang menentang agama Islam.

Itulah mengapa dunia ini penuh dengan gejolak. Tidak lain adalah karena pertentangan antara keimanan pada Allah swt versus syaitan yang memaksakan jalan pada manusia, yakni jalan selain tuntunan Allah…..

Arah dan Tujuan Hidup

24 Feb

Arah dan Tujuan Hidup
Arah dan Tujuan Hidup; Opini dan Dakwah

Ada yang mengatakan bahwa hidup ini tidak perlu dibikin pusing karena sudah memusingkan. Ada juga yang bilang bahwa hidup ini bersenang-senanglah karena hidup ini Cuma sekali. Atau yang lebih ekstrim adalah: Hidup ini harus edan, sebab kalau tidak edan maka tidak keduman [tidak kebagian]. Betulkan begitu? Pernahkan kita berfilsafat, berkelana dengan fikiran kita lalu melintas sebuah pertanyaan: Dari mana aku hidup? Bagaimana seharusnya aku hidup? Dan, kemana setelah hidup ini?

Sesungguhnya hanya orang-orang yang tidak mempunyai pegangan dan misi yang tidak jelas saja yang akan melontarkan kalimat dan pendapat yang aneh. Sebab jika kita cari tahu dalam agama Islam, maka ternyata segala persoalan dalam hidup kita ini telah dijelaskan sejelas-jelasnya, termasuk bagaimana jalan keluarnya. Semuanya sudah ada opsi terbaiknya. Kita sebagai manusia tidak perlu bersusah payah bikin aturan dan sistem, tetapi tinggal mengikuti saja jalan yang sudah disediakan itu. Yakni jalan yang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta beserta seluruh isinya.

Dan terlebih lagi, dengan sifatnya yang congkak dan jelek inilah yang menghalangi banyaknya kebaikan yang seharusnya sampai kepadanya. Betapa tidak. Karena dia merasa pintar dan pandai menciptakan sistem yang canggih maka akan ditolaknya semua ilmu yang sesungguhnya merupakan jalan keselamatan itu. Dia telah terpedaya oleh fikirannya sendiri. Dengan kebodohannya dia menyangkan dirinya pandai. …..

&

Menikmati Lagu Nostalgia dan Kenangan Untuk Ketenangan Jiwa

13 Feb

Menikmati Lagu Nostalgia dan Kenangan Untuk Ketenangan Jiwa
Opini; Mencari Arti Kebahagiaan

Terkadang dalam hidup ini kita mengalami kegersangan jiwa. Dan merasakan ada sesuatu yang kurang, atau semacam rasa haus akan sesuatu. Padahal segala sesuatunya sudah tersedia di sekeliling kita. Rumah berikut perabotannya sudah ada, bagi yang sudah nikah tentu saja sudah memiliki pasangan hidup tempat berbagi duka dan lara. Di sisi lain karier boleh dibilang sukses meski tidak terlalu tinggi, namun sebanding dengan bekal modal yang dimiliki.

Berbagai macam trik dilakukan untuk menenangkan jiwa, misalnya dengan mendatangi tempat-tempat sepi untuk melakukan renungan terhadap makna hidup ini, atau pergi ke mall-mall untuk melihat (kalau cocok memborong) produk-produk yang sesuai dengan selera, atau menonton sebuah konser musik. Atau bahkan hanya mendengarkan lagu-lagu klasik lewat file musik yang murah meriah. Lalu ramailah orang melakukan kegiatan itu demi sebuah ketenangan jiwa setelah mengaku suntuk dan lelah terhadap aktifitas rutin sehari-hari. Benarkan mereka mendapatkan kepuasan dari semua itu?

Jika anda seorang petualang sejati, mengapa anda tidak mencoba untuk berpetualang “mencari ilmu”. Bukankah kegiatan ini tidak kalah seru dan asyiknya dengan hobi-hobi lainnya ? Bahkan bagi sebagian orang hal ini melebihi dari sekedar hobi yang banyak membuang energi dan biaya tanpa mendapat makna yang memadai.

Pernahkah anda mengalami suatu massa, dimana anda sedang sendirian atau bersama-sama orang lain sementara jiwa anda sedang merindukan sesuatu? Pada saat itu terdengar alunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang masuk ke relung jiwa, bagai sebuah belaian lembut dan menyisakan kerinduan mendalam untuk mendapatkannya lagi. Jiwa kita akan hanyut dalam keindahan susunan kalimat dan nada sang Qari (pembaca al-Qur’an) meskipun kita tidak memahami makna dan arti dari ayat-ayat suci tersebut.

Berbeda dengan ketika anda mendengarkan musik atau lagu-lagu kenangan, dimana disana kita mendengar bait-bait syair yang berisi suara keputus asaan, kerapuhan jiwa, kekecewaan dan lain-lain ungkapan sebagai tanda lemahnya jiwa. Dan tentu saja syair yang demikian itu akan berfungsi sebagai “hipnotis” terhadap jiwa pendengarnya yang saat itu memang sedang galau dan risau karena sedang mengalami kekosongan. Maka jadilah jiwa itu bertambah gersang dan tersiksa ketika mendengarkan alunan lagu-lagu kenangan dan nostalgia. Bahkan pada taraf yang terparah adalah jiwanya berkesimpulan untuk mengakhiri hidup ini karena putus cinta yang dialaminya telah menyengsarakan jiwanya dan merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia ini, apalagi mendapat “restu” dari syair-syair lagu yang ia dengarkan.

Maka apabila anda memang orang yang berakal sehat dan intelek sejati, cobalah untuk mencari jawaban atas kegersangan jiwa anda itu dengan mempelajari Islam dengan baik, langsung dari sumbernya, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw. Firman Allah yang artinya:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (al-Fajr: 27-30)

&

Tujun Hidup Manusia

13 Feb

Tujun Hidup Manusia
Kenapa Manusia Hidup? Seharusnya Bagaimana? Dan Bagaimana Sesudahnya?

“Masa kecil disayang, masa muda bersenang-senang, masa tua sukses, matinya masuk surga.” Demikianlah. Apakah anda pernah mendengar kalimat yang brilian ini? Atau anda geleng-geleng kepala karena beranggapan bahwa orang yang melontarkan pernyataan seperti itu adalah orang yang terlalu jenius sekaliber Einstein? Atau ungkapan orang sableng tak waras?

Mari kita mencoba melihatnya dari kacamata yang berbeda. Begini, jika yang dimaksud adalah serba foya-foya, maka jelas hal itu sangat ganjil dan melanggar kaidah alami yang ada. Kecuali jika ia adalah seorang anak konglomerat yang tak perlu merisaukan tentang sarana hidupnya, mungkin masih ada korelasinya. Akan tetapi jika yang memegang prinsip demikian adalah para generasi muda yang seharusnya belajar dan bekerja keras sedang taraf hidup keluarganya sederhana, maka artinya dia dalam bahaya yang serius. Bahkan sesungguhnya berlaku juga bagi anak seorang konglomerat.

Namun akan sangat memotivasi jika ditafsirkan demikian:

1. Masa kecil disayang, artinya dia menjadi anak shalih/shalihah yang bertingkah laku dan berakhlak mulia, patuh terhadap nasehat yang baik, dan tidak menuntut hal-hal yang diluar kemampuan orang tua, tentu saja dia akan disayang oleh banyak orang, bukan hanya oleh orang tuanya saja.

2. Masa muda bersenang-senang. Boleh jadi. Caranya begini: senang menuntut ilmu yang bermanfaat, senang membantu orang tua juga senang beribadah dan lain-lain. Intinya ia selalu menyenangi hal-hal yang baik dan mulia. Maka dirinya dan lingkungan sekitarnya tentu akan turut senang.

3. Masa tua sukses. Jelas. Jika sejak usia belia telah akrab dengan kebaikan dan usaha yang teguh dan konsisten, kenapa tidak di usia tuanya dia tidak sukses? Meskipun sukses tidak serta merta diartikan banyak harta benda. Tidak. Namun sukses adalah kondisi dimana seseorang akan merasa tenteram dan senantiasa bersyukur, hingga dapat menyelesaikan setiap persoalan hidupnya dengan baik dan benar. Bukankah hidup ini rangkaian dari ujian yang mesti dicari jalan pemecahannya? Nah referensi ilmu yang telah dikumpulkanya akan menjawab banyak soal yang dia hadapi dalam hidupnya.

4. Mati masuk surga? Insyaa Allah. Apakah ini artinya dia belum tentu masuk surga karena dikatakan “insya Allah” ? Ingat, dalam Islam tak ada yang bisa memastikan kecuali Allah. Sebab hanya Dia yang tahu niat sesungguhnya seseorang melakukan suatu amal. Niat ikhlash dan sikap tawadlu’ (rendah hati) adalah dasar dari akhlak mulia. Jadi kita tetap memohon kepada Allah agar kita diizinkan oleh Allah masuk surga. Kata “pasti” menurut manusia seyogyanya diartikan sebagai “Berperluang besar”. Demikian Islam mengajarkan agar manusia tidak menjadi sombong besar kepala dalam setiap perkara. Jika anda pasti 99% itu artinya anda berpeluang besar. Tapi ingat itu belum 100%. Sebagaimana anda membuat jembatan yang panjangnya 100 cm. Jika anda punya bahan 99 cm itu artinya masih kurang. Kenapa? Sebab ibadah manusia tidak akan pernah sebanding dengan karunia yang telah Allah anugerahkan kepada manusia. Dan mudah-mudahan Allah akan menganggap lunas harga yang harusnya dibayar itu dengan nominal yang kita pastikan 99% itu. Silakan anda renungkan sendiri, sebab manusia adalah makhluk berakal yang pandai matematika, namun sering lupa mengkalkulasi pemberian orang lain karena lebih suka menghitung apa yang telah ia berikan….

&

Islam sebagai Pedoman Hidup

10 Okt

Islam sebagai Pedoman Hidup
Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Sebagai pedoman hidup, Islam memberi konsepsi yang lengkap dan sempurna tentang seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu sisi kehidupan pun yang terlewati dari pembahasannya. Demikian itu karena kitab sucinya adalah wahyu yang diturunkan Allah Yang Mahaluas pengetahuan-Nya.
“Tidaklah Kami lewatkan sesuatu pun dalam kitab itu.” (al-An’am: 38)
Sebagai pedoman hidup yang integral dan menyeluruh ia meliputi konsepsi yang benar tentang:

1. Masalah keyakinan
Keyakinan tentang Tuhan, nama-nama dan sifat-Nya, kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, wewenang-Nya, hak-hak-Nya, pengawasan-Nya, pembalasan-Nya di dunia dan di akhirat, tentang nabi dan rasul, tentang alam ghaib, malaikat, jin, iblis, setan, tentang kehidupan sesudah mati, alam barzakh, kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan masalah-masalah ghaib lainnya yang hanya akan benar kalau datang dari Allah. Keyakinan tentang hal-hal demikian apabila bukan berdasarkan wahyu hanya akan menyesatkan manusia dan menjadikan mereka sebagai budak bagi sesama makhluk. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah: 255.

2. Masalah /akhlak
Moral/ akhlak manusia terhadap Allah, terhadap dirinya, terhadap sesama manusia, maupun terhadap alam semesta hanya akan benar dan lurus apabila ia memiliki keyakinan yang benar tentang Allah dan hari akhir. Demikian itu karena aqidah akan membentuk kesadaran untuk selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan yang tidak terpuji, bahkan ketika ia sendang sendirian sekalipun. Moral yang tidak didasarkan kepada aqidah yang lurus seringkali hanya merupakan kemunafikan dan bersifat temporal, karena memang tidak jelas standarnya. Adapun akhlak Islam sudah jelas dan lugas, yakni al-Qur’an. Sebagaimana tersebut dalam surah al-A’raaf: 96 dan ar-Ra’du: 28.

3. Tingkah laku
Tingkah laku terimplikasi pada aspek psikomotorik. Ia sangat diwarnai dan ditentukan oleh aqidah dan akhlak. Tidak ada perbedaan antara aspek lahir dan batin kecuali orang munafik. Demikian itu karena tingkah laku adalah bentuk implementasi dan ejawantah dari fikiran dan jiwa manusia. Ketika melihat orang shalat tetapi anggota badannya tidak khusu’, Rasulullah saw. bersabda: “Sekiranya hati orang ini khusyu’, tentu khusyu’ pula anggota badannya.” Sebagaimana pula tersebut di dalam surah al-Baqarah: 138.

4. Perasaan
Suka dan duka, cinta dan benci, sedih dan gembira, sensitive atau tidak, juga sangat dipengaruhi oleh aqidah dan akhlak. Karena itu Rasulullah saw. mengatakan bahwa di antara kesempurnaan iman seseorang adalah ketika seseorang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi atau tidak memberi karena Allah. Dalam materi maksan syahadatain telah dibicarakan bahwa di antara konsekuensinya adalah mencintai apa dan siapa yang dicintai Allah serta membenci apa dan siapa yang dibenci Allah. Sebagaimana tersebut dalam surah asy-Syu’araa’: 192-195 dan ar-Ruum: 30.

5. Tarbawi [pendidikan]
Setiap orang membutuhkan pendidikan untuk mencapai kesempurnaannya. Di samping itu ia juga menghendaki agar anak keturunannya dapat meneruskan tugas dan perjuangannya. Karenanya ia melakukan pendidikan untuk mereka. Secara sadar atau tidak, setiap masyarakat melakukan proses pendidikan ini dengan kualitas dan intensitas yang berbeda. Islam sebagai pedoman hidup juga harus dipahami dengan baik dan diwariskan pemahamannnya kepada generasi penerus agar mereka tidak sesat. Tentunya proses tersebut hanya berhasil melalui pendidikan. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah: 151 dan Ali ‘Imraan: 164.

6. Sosial
Dalam hidup ini manusia tidak dapat berdiri sendiri. Karena keterbatasannya ia selalu membutuhkan pihak lain. Ia butuh berdialog, bekerja sama, saling membantu, dan tolong menolong. Interaksi sosial inipun tidak lepas dari sentuhan Islam. Islam mengatur sedemikian rupa sehingga tercipta hubungan sosial yang harmonis, penuh kasih sayang, dan bebas dari permusuhan. Sebagaimana tersebut dalam surah An-Nuur: 2-10

7. Politik
Manusia diciptakan sebagai khalifah Allah di bumi. Karena itu kehidupan tidak akan pernah lepas dari masalah politik, baik sebagai subyek maupun sebagai obyek. Politik yang tidak didasarkan pada aqidah dan akhlak selalu hanya merupakan cara untuk meraih kekuasaan dengan segala cara. Sejarah telah mencatat bahwa banyak penguasa yang berlaku dhalim kepada rakyatnya. Bahkan ada di antara mereka yang mengklaim dirinya sebagai tuhan lantas memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Allah sendiri, padalah Dialah yang menciptakan dan memberi rizky kepada mereka. Dengan Islam, Allah mengatur sebagaimana seharusnya politik dan berpolitik itu. Sebagaimana tersebut dalam surah Yusuf: 40.

8. Ekonomi
Untuk bertahan hidup, manusia melakukan kegiatan ekonomi, bercocok tanam, berdagang, dan profesi lainnya. Allah telah menciptakan mereka untuk saling tergantung kepada orang lain. Orang kaya membutuhkan orang miskin, dan sebaliknya. Orang pintar membutuhkan orang bodoh dan orang bodoh juga membutuhkan orang piintar dan seterusnya. Ini menuntut mereka untuk menghormati dan menghargai orang lain, siapapun dan apapun kedudukan dan profesinya. Islam mengatur agar motifasi ekonomi itu tidak mendorong mereka untuk mengeruk keuntungan besar sesaat namun menimbulkan kerugian besar dalam waktu yang lama. Sebagaimana tersebut dalam surah at-Taubah: 60.

9. Militer
Karena kepentingan politik, sosial, dan ekonomi, manusia kemudian menyiapkan kekuatan untuk memperoleh dan mempertahankannya. Nafsu manusia yang menjerumuskan selalu didukung oleh setan agar mereka melakukan kejahatan, atau bahkan pengrusakan dalam mencapai tujuannya. Karena itu dunia tidak pernah sepi dari konflik antar pemilik kebenaran dan pemilik kebathilan karena al-haq dan al-bathil tidak akan pernah bertemu. Untuk itu Islam mewajibkan kepada pemilik kebenaran untuk bersiap siaga, menyiapkan kekuatan, dan berjihad membela kebenaran dan memerangi kebathilan. Bahwa jihad merupakan jalan pintas menuju surga. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Anfaal: 60.

10. Peradilan.
Termasuk dalam kaitan ini adalah masalah hukum dan perundang-undangan, baik perdata maupun pidana. Karena dibuat oleh manusia yang tidak lepas dari nafsu dan keterbatasan, undang-undang dan hukum positif selalu menyimpan berbagai kekurangan dan subyektifitas. Selain itu karena ia telanjang dari aqidah dan moral, seringkali hukum dipakai untuk legitimasi bagi kecurangan dan keberpihakan oknum. Islam mewajibkan umatnya untuk berlaku adil, terhadap dirinya sendiri dan terhadap keluarganya. Ini tidak mungkin bila orang tidak merasa bahwa apa yang ia ucapkan dalam peradilan dicatat oleh Allah dan akan mendapat balasan di akhirat. Keyakinan akan hari akhirat inilah yang mendorong mukmin untuk senantiasa adil, bahkan mereka minta dihukum di dunia bila khilaf. Baginya, hukum di dunia tidak seberapa bila dibanding dengan hukuman di akhirat. Sebagaimana tercantum dalam surah al-Anfaal: 60.

Demikian pula sisi-sisi kehidupan manusia yang lain. Semuanya tidak lepas dari pedoman hidup yang diturunkan oleh Allah, Tuhan semesta alam yang merupakan wujud dari pemeliharaan atas makhluk-Nya.

&

Ibnu ‘Abbas

14 Mei

‘Ulumul Qur’an; Riwayat Hidup Mufasir; Mannaa’ Khalil al-Qattaan

Ia adalah Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisy al-Hasyimi, putra paman Rasulullah saw. Ibunya bernama Ummul Fadl Lubanah al-Haris al-Hilaliyah. Ia dilahirkan ketika bani Hasyim berada di Syi’b, tiga atau lima tahun sebelum hijrah; namun pendapat pertama lebih kuat.

Abdullah bin ‘Abbas menunaikan ibadah haji pada tahun ‘Utsman terbunuh, atas perintah ‘Utsman. Ketika terjadi perang Siffin ia berada di al-Maisarah, kemudian diangkat menjadi gubernur Basrah dan kemudian menetap disana sampi Ali terbunuh. Kemudian ia mengangkat Abdullah bin al-Haris, sebagai penggantinya, menjadi gubernur Basrah sedang ia sendiri pulang ke Hijaz. Ia wafat di Taif pada 65 H. Pendapat lain mengatakan pada 67 atau 68 H. Namun pendapat yang terakhir inilah yang dipandang shahih oleh jumhur ulama. Al-Waqidi menerangkan, tidak ada selisih pendapat di antara para imam bahwa Ibnu Abbas dilahirkan di Syi’b ketika kaum Quraisy diboikot Bani Hasyim, dan ketika Nabi wafat ia baru berusia tiga belas tahun.

Kedudukan dan Keilmuannya;
Ibnu Abbas dikenal dengan julukan Turjumaanul Qur’an (juru tafsir al-Qur’an), Habrul Ummah (tokoh ulama umat) dan Ra’isul Mufassirin (pemimpin para mufasir). Baihaqi dalam ad-Dalaa’il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Juru tafsir al-Qur’an paling baik adalah Ibnu ‘Abbas.” Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Mujahid, “Adalah Ibnu ‘Abbas dijuluki orang dengan al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya.” Ibnu Sa’d meriwayatkan pula dengan sanad shahih dari Yahya bin Sa’id al-Anshari: Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Abu Hurairah berkata: “Orang paling pandai umat ini telah wafat, dan semoga Allah menjadika Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”

Dalam usia muda, Ibnu Abbas telah memperoleh kedudukan istimewa di kalangan para pembesar shahabat mengingat ilmu dan ketajaman pemahamannya, sebagai realisasi doa Rasulullah saw. kepadanya. Dalam sebuah hadits berasal dari Ibnu Abbas dijelaskan: “Nabi pernah merangkul dan mendoakannya: “Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah.”
Dalam Mu’jam al-Baghawi dan lainnya, dari Umar, Bahwa Umar mendekati Ibnu Abbas dan berkata: “Sungguh saya pernah melihat Rasulullah mendoakanmu, lalu membelai kepalamu, meludahi mulutmu dan berdoa: ‘Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.’”

Bukhari, melalui sanad Sa’id bin Jubair, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan: “Umar mengikutsertakan saya ke dalam kelompok tokoh-tokoh tua perang Badar. Nampaknya sebagian mereka merasa tidak senang lalu berkata: “Kenapa anak ini diikutsertakan ke dalam kelompok kami padahal kamipun mempunyai anak-anak yang sepadan dengannya?” Umar menjawab: “Ia memang seperti yang kamu ketahui.”
Pada suatu hari Umar memanggil mereka dan memasukkan saya bergabung dengan mereka. Saya yakin, Umar memanggilku agar bergabung itu semata-mata hanya untuk “memperlihatkan” saya kepada mereka. Ia berkata: “Bagaimana pendapat tuan-tuan mengenai firman Allah: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (an-Nashr: 1)?” Sebagian mereka menjawab: “Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampunan kepada-Nya ketika Ia memberikan pertolongan dan kemenangan kepada kita.” Sedangkan yang lain bungkam, tidak berkata apa-apa. Lalu ia bertanya kepadaku: “Begitukah pendapatmu hai Ibnu Abbas?” “Tidak,” jawabku. “Lalu bagaimana menurutmu?” tanyanya lebih lanjut. “Ayat itu,” jawabku, “adalah pertanda ajal Rasulullah saw. yang diberitahukan Allah kepadanya. Ia berfirman, apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan itu adalah pertanda ajalmu (Muhammad), maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha Penerima taubat.” Umar berkata: “Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakan.”

Tafsirnya;
Riwayat dari Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya, dan apa yang dinukil darinya itu telah terhimpun dalam sebuah kitab ringkas yang campur aduk yang diberi nama “Tafsir Ibnu Abbas”. Di dalamnya terdapat bermacam-macam riwayat dan sanad yang berbeda-beda, tetapi sanad paling baik adalah yang melalui Ali bin Abi Thalhah al-Hasyimi, dari Ibnu Abbas; sanad ini dipedomani oleh Bukhari dalam kitab shahihnya. Sedangkan sanad yang cukup baik, jayyid, ialah yang melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari ‘Atha’ bin as-Sa’ib.

Di dalam kitab-kitab tafsir besar yang mereka sandarkan kepada Ibnu Abbas terdapat kerancuan sanad. Sanad paling rancu dan lemah adalah sanad melalui al-Kalbi dari Abu Salih. Al-Kalbi adalah Abun Nasr Muhammad bin as-Sa’ib (w.146 H). Dan jika dengan sanad ini digabungkan riwayat Muhammad bin Marwan as-Sadi as-Saghir, maka hal ini akan merupakan silsilah kadzib, mata rantai kedustaan. Demikian juga sanad Muqatil bin Sulaiman bin Bisyr al-Azdi. Hanya saja al-Kalbi lebih baik daripadanya karena pada diri Muqatil terdapat berbagai madzab atau paham yang rendah.

Sementara itu sanad adl-Dlahhak bin Muzahim al-Kufi, dari Ibnu Abbas adalah Munqati’, terputus, karena adl-Dlahhak tidak bertemu langsung dengan Ibnu Abbas. Apabila digabungkan kepadanya riwayat Bisyr bin ‘Imarah maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr adalah lemah. Dan jika sanad itu melalui riwayat Juwaibir, dari adl-Dlahhak, maka riwayat tersebut sangat lemah karena Juwaibir sangat lemah dan ditinggalkan riwayatnya.

Sanad melalui al-‘Aufi, dan seterusnya dari Ibnu Abbas, banyak dipergunakan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, padahal al-‘Aufi itu seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak keterlaluan dan bahkan terkadang dinilai hasan oleh Tirmidzi.

Dengan penjelasan tersebut dapatlah kiranya pembaca menyelidiki jalan periwayatan tafsir Ibn Abbas dan mengetahui mana jalan yang cukup baik dan diterima, serta mana pula jalan yang lemah atau ditinggalkan, sebab tidak setiap yang diriwayatkan dari Ibn Abbas itu shahih dan pasti.
Sekian.

Hidup Sederhana (4)

6 Mei

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; al-Qur’an dan hadits Bukhari-Muslim

Dari Jabir ra. ia berkata: Pada saat perang Khandaq kami menggali parit, tetapi terbentur suatu tanah yang sangat keras, dan kami tidak mampu menggalinya. Kemudian para shahabat mendatangi Nabi saw. dan berkata: “Tanah ini cukup keras dan tidak bisa dibuat parit.” Beliau bersabda: “Aku yang akan menggalinya.” Kemudian beliau berdiri sedangkan perutnya diikat batu; karena sudah tiga hari tidak makan. Nabi saw. mengambil cangkul dan mengayunkannya, maka hancurlah tanah yang keras itu bagaikan debu yang dihamburkan. Kemudian saya berkata: “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya pulang ke rumah.” Sesampainya di rumah, saya bertanya kepada istriku: “Saya melihat Nabi saw. sangat lapar dan nampaknya tidak dapat ditahan lagi, apakah kamu mempunyai makanan?” Istriku menjawab: “Ada, sedikit gandum dan seekor kambing.”
Maka saya menyembelih kambing itu dan gandum itu saya tumbuk. Kambing itu saya letakkan dalam belanga, kemudian saya mendatangi Nabi saw. sedangkan adonan daging yang saya masak di belanga hampir masak, maka saya berkata: “Wahai Rasulullah, saya mempunyai sedikit makanan, kuundang engkau ke rumah dengan seorang atau dua orang saja.” beliau bertanya: “Berapa banyak makanan itu?” Saya mengatakan seberapa banyak makanan itu. Kemudian beliau bersabda: “Cukup banyak. Baiklah. Tetapi katakan kepada istrimu, supaya jangan mengankat belanga dan roti dari tungku sehingga aku datang.” Beliau bersabda kepada para shahabat: “Wahai para shahabatku, ikutlah aku.” Maka para shahabat Muhajirin dan Anshar pun datang ke rumah. Ketika saya masuk rumah, saya berkata kepada istriku: “Aduh celaka, Nabi saw. datang bersama dengan shahabat Muhajirin dan Anshar.” Istriku bertanya: “Apakah beliau telah menanyakan kepadamu tentang makanan yang kita persiapkan?” saya menjawab: “Ya.”
Beliau bersabda kepada para shahabat: “Masuklah dan jangan berdesakkan.” Kemudian beliau memotong roti dan mengambil daging serta beliau menutup kembali belanga itu dan membiarkan belanga tetap direbus, lantas beliau menyajikannya kepada para shahabat. Kemudian beliau kembali dan selalu memotong dan menyajikannya, sehingga mereka kenyang, tetapi dalam belanga itu masih tersisa, kemudian beliau bersaabda kepada istriku: “Makanlah kamu dan bagi-bagikanlah, karena orang-orang sedang tertimpa kelaparan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Jabir berkata: Tatkala parit itu digali , saya melihat Nabi saw. sangat lapar, maka saya segera pulang menemui istriku dan bertanya: “Apakah kamu mempunyai makanan? Saya melihat Rasulullah saw. sangat lapar.” Maka istriku memperlihatkan kepadaku sebuah kantong yang berisi gandum, dan kami mempunyai seekor kambing yang jinak. Kemudian saya menyembelihnya, dan gandum itu saya tumbuk. Setelah memasaknya dan kambing itu telah saya potong-potong, lalu saya masukkan ke dalam belanga, kemudian saya bermaksud untuk memanggil Rasulullah saw. dan istriku berkata: “Engkau jangan bikin malu diriku terhadap Rasulullah saw. dan para pengikutnya.” Maka saya mendatangi Rasulullah saw. dan berbisik: “Wahai Rasulallah, kami menyembelih seekor kambing dan memasak segantang gandum. Kami persilakan engkau dan beberapa orang datang ke rumah.” Kemudian Rasulullah saw. menyeru: “Wahai pasukan Khandaq, sesungguhnya Jabir membuat selamatan, maka marilah kita kesana.” Nabi saw. bersabda kepada saya: “Kamu jangan sekali-sekali mengangkat belanga itu dan memotong-motong adonan roti itu, sampai aku datang.” Saya pulang dulu sebelum Nabi saw. beserta para shahabat datang, dan saya memberitahu hal itu kepada istriku. Istriku menjawab: “Salahmu sendiri (tidak menurut apa yang aku katakan).” Jawabku: “Tetapi aku sudah membisikkan kepada Nabi saw.” Kemudian beliau datang bersama para shahabat, lalu istriku mengeluarkan adonan roti itu dan beliau meniupnya serta berdoa memohon berkah, kemudian beliau menyuruh istriku: “Panggillah tukang roti dan suruh dia bikin roti bersamamu serta aduk-aduklah belanga itu dan janganlah kamu angkat.”
Sedangkan mereka berjumlah seribu orang. Tetapi, demi Allah, sungguh mereka kenyang semua sewaktu meninggalkan rumah, dan dalam belanga itu masih terdengar masakan seperti semula, serta adonan roti itu masih bisa dibuat roti seperti sedia kala.”

Dari Anas ra. ia berkata: Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim (istrinya): “Saya mendengar suara Rasulullah saw. sangat lemah, dan saya tahu beliau sangat lapar. Apakah kamu mempunyai makanan?” Istrinya menjawab: “Ya, ada.” Ia mengeluarkan beberapa potong roti dari gandum kemudian ia mengambil kain kerudungnya sebagai pembungkus roti dan dimasukkan ke bawah bajuku. Sisanya diberikan kepada saya, dan ia menyuruh saya agar lekas memanggil Rasulullah saw.. Maka saya pergi untuk memanggil beliau, dan saya dapatkan Rasulullah saw. duduk di masjid dikelilingi oleh para shahabat, saya lantas menampakkan diri di tengah-tengah mereka, kemudian Rasulullah beranya: “Apakah kamu diutus oleh Abu Thalhah?” Saya menjawab: “Benar.” Beliau bertanya lagi: “Apakah untuk makan?” Saya menjawab: “Benar, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Marilah kita kesana bersama-sama.” Para shahabat berangkat, dan saya lebih dulu pergi memberitahukan hal itu kepada Abu Thalhah, maka Abu Thalhah berkata kepada istrinya: “Wahai Ummu Sulaim (istriku), Rasulullah saw. datang bersama para shahabat, padahal kita tidak menyediakan makanan untuk dihidangkan kepada mereka.” Ummu Sulaim berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Abu Thalhah lalu menjemput Rasulullah saw. sehingga bertemu dengan beliau. Kemudian Rasulullah saw. bersama Abu Thalhah masuk rumah lebih dahulu, dan Rasulullah saw. bersabda: “Bawalah kemari makanan yang akan kamu hidangkan wahai Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim menyajikan roti itu. Maka Rasulullah menyuruh untuk memotong-motongnya dan menyuruh Ummu Sulaim mengolesinya dengan minyak samin sebagai lauknya. Kemudian Rasulullah bersabda di hadapan roti itu: “Maa syaa AllaaHu ayyaquul,” beliau lantas bersabda: “Silakan sepuluh orang makan sampai kenyang kemudian keluar.” Beliau bersabda lagi: “Silakan sepuluh orang makan dulu.” Akhirnya semua orang makan dan kenyang, padahal mereka berjumlah tujuh puluh atau delapan puluh orang.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di dalam riwayat lain dikatakan: “Maka saling bergantian, sepuluh orang masuk dan sepuluh orang keluar sehingga tidak ada seorangpun di antara mereka melainkan ia masuk dan makan sampai kenyang. Kemudian mereka meninggalkannya, sedangkan roti itu masih seperti sedia kala.”

Dalam riwayat lain dikatakan: “Maka makanlah sepuluh orang-sepuluh orang (saling bergantian), sehingga yang demikian itu dilakukan oleh delapan puluh orang. Terakhir Nabi saw. beserta keluarga Abu Thalhah makan, dan mereka masih meninggalkan sisa yang masih banyak.”

Dalam riwayat lain dikatakan: “Mereka masih meninggalkan sisa yang dapat diberikan kepada tetangga.”

Dalam riwayat lain dikatakan: “Bersumber dari Anas ra. ia berkata: “Pada suatu hari saya datang kepada Nabi saw. dan mendapatkan beliau sedang duduk bersama para shahabat, sedangkan perut beliau dibalut. Maka saya menanyakan kepada salah seorang shahabat: “Mengapa Rasulullah saw. membalut perutnya?” Mereka menjawab: “Beliau lapar.” Kemudian saya pergi ke rumah ayahku, Abu Thalhah, ia adalah suami Ummu Sulaim (binti Milhan), dan saya berkata: “Wahai ayahku, saya melihat Rasulullah saw. membalut perutnya kemudian kutanya kepada salah seorang shahabatnya, mereka menjawab: Beliau dalam keadaan lapar.” Kemudian Abu Thalhah masuk menemui ibuku, dan berkata: “Apakah kita mempunyai makanan?” Ibuku menjawab: “Ya, saya mempunyai beberapa potong roti dan kurma. Andaikan Rasulullah saw. datang sendirian, maka sudah dapat untuk mengenyangkan beliau, tetapi jika beliau datang bersama dengan yang lain, maka sangat sedikit persediaan untuk mereka.” Hadits ini masih ada lanjutannya.
Sekian.

Hidup Sederhana (3)

6 Mei

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; al-Qur’an dan hadits Bukhari-Muslim

Dari Sahl bin Sa’ad ra. ia berkata: “Rasulullah saw. tidak pernah melihat roti yang terbuat dari tepung yang halus sejak beliau diutus Allah Ta’ala sampai beliau wafat.” Ada seseorang yang bertanya kepada Sahl: “Apakah pada masa Rasulullah saw. tidak ada pengayaan?” Ia menjawab: “Beliau tidak pernah melihat pengayaan sejak beliau diutus Allah Ta’ala sampai beliau wafat.” Yang lain pun bertanya: “Bagaimana kalian makan gandum tanpa diayak terlebih dahulu?” Ia menjawab: “Kami menumbuk dan meniup-niupnya, dan sisanya kami masak.” (HR Bukhari)

Dari Abu Umamah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu memberikan kelebihan hartamu, maka itu lebih baik bagimu dan jika kamu menahannya, maka itu sangat jelek bagimu. Kamu tidaklah dicela dalam kesederhanaan. Dan dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu.” (HR Tirmidzi)

Dari ‘Ubaidilah bin Mihshan al-Anshariy (al-Khathmiy) ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja di antara kalian yang pada waktu pagi merasa aman rumah tangganya, sehat badannya, dan mempunyai persediaan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia telah mendapatkan kebahagiaan dunia dan semua kesempurnaannya.” (HR Tirmidzi)

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh beruntung orang yang telah Islam, rizkynya cukup, dan Allah memberikan kepuasan terhadap apa yang telah dikaruniakannya.” (HR Muslim)

Dari Abu Muhammad Fadhalah bin ‘Ubaid al-Anshariy ra. ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Berbahagialah orang yang mendapat petunjuk masuk Islam, berkecukupan kehidupannya, dan ia merasa puas.” (HR Tirmidzi)

Dari Ibnu ‘Abbas ra. ia berkata: “Ada kalanya Rasulullah saw. dan keluarganya lapar beberapa malam berturut-turut, karena tidak mempunyai apa-apa untuk makan malam, dan roti yang sering mereka makan adalah roti gandum.” (HR Tirmidzi)

Dari Fadhalah bin Ubaid ra. ia berkata: Apabila Rasulullah saw. mengimami shalat, sering ada orang-orang yang jatuh tersungkur dalam shalat, karena lapar. Mereka adalah ahli suffah, sedangkan orang-orang Badui berkata: “Mereka adalah orang-orang gila.” Sehingga ketika Rasulullah saw. selesai shalat, mereka mendekati mereka dan bersabda: “Andaikan kalian mengetahui pahala yang telah disediakan Allah, niscaya kalian akan meningkatkan kemiskinan dan kelaparan.” (HR Tirmidzi)

Dari Abu Karimah al-Miqdad bin Ma’dikariba ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Seseorang yang selalu memenuhi perutnya, lebih berbahaya daripada memenuhi bejana. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Andaikata ia tidak mampu berbuat seperti itu, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR Tirmidzi)

Dari Abu Umamah Iyash bin Tsa’labah al-Anshariy al-Haritsy ra. ia berkata: Pada suatu hari, para shahabat Rasulullah saw. membicarakan masalah dunia, kemudian Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kalian tidak mendengar? Apakah kalian tidak mendengar? Sesungguhnya kesederhanaan itu bagian dari iman, sesungguhnya kesederhanaan itu bagian dari iman.” (HR Abu Daud)

Dari Abu Abdullah Jabir bin Abdullah ra. ia berkata: Rasulullah saw. mengutus kami di bawah pimpinan Abu Ubaidah untuk menghadang pasukan Quraisy dan beliau memberi bekal satu kantong kurma, karena yang ada hanya itu. Abu Ubaidah memberi kami masing-masing satu butir kurma. Ketika Jabir ditanya: “Apakah yang bisa diperbuat dengan sebutir kurma itu?” Jawabnya: “Kami mengisapnya sebagaimana anak-anak kecil mengisap, kemudian kami minum air, maka yang demikian itu dapat mencukupi sampai malam hari.”
Kemudian kami menumbuk dedaunan dengan tongkat, setelah kami basahi dengan air, dan memakannya. Kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke pantai, di sana kami melihat seperti ada gundukan tanah menyerupai bukit, kemudian kami menuju tempat itu, dan ternyata seekor ikan yang besar dan panjang sekali menyerupai sebuah bukit. Abu Ubaidah berkata: “Bangkai.” Tetapi ia berkata lagi: “Namun tidak apa-apa kalian adalah utusan Rasulullah saw. dan berjuang di jalan Allah, sedangkan kalian dalam keadaan yang terpaksa, maka makanlah bangkai itu.” Kami di situ bertahan hingga satu bulan. Rombongan kami terdiri dari tiga ratus orang, satu bulan di sana membuat kami gemuk. Kami masih ingat pada waktu kami mengambil mata ikan itu dengan tempayan dipergunakan sebagai tempat lemak, kemudian memotong-motong sebesar lembu. Abu Ubaidah mengambil tigabelas orang dari rombongan kamidan disuruh duduk pada lobang bekas mata, mengambil satu tulang rusuk dan ditegakkan, kemudian ia menuntun seekor unta yang terbesar untuk berjalan di bawahnya, maka kami mengikutinya, membawa daging dan dendeng ikan tersebut. Ketika sampai di Madinah, kami menghadap Rasulullah saw. dan menceritakan hal itu. Kemudian beliau bersabda: “Itu adalah rizky yang dikaruniakan Allah untuk kalian. Apakah kalian masih menyimpan sisa daging itu untuk kami?” Kemudian kami membawakan daging ikan itu kepada Rasulullah saw. dan beliau memakannya.” (HR Muslim)

Dari Asma’ bin Yazid ra. ia berkata: “Lengan baju Rasulullah saw. adalah sampai pergelangan tangan.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
(bersambung ke bagian 4)

Hidup Sederhana (2)

6 Mei

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; al-Qur’an dan hadits Bukhari-Muslim

Dari Abu Musa al-Asy’ariy, ia berkata: Aisyah ra. mengeluarkan sebuah kain dan sarung yang tebal kepada kami seraya berkata: “Sewaktu Rasulullah saw. menghembuskan nafasnya yang terakhir, beliau memakai kain dan sarung ini.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. ia berkata: “Sesungguhnya saya termasuk orang pertama dari bangsa Arab yang melempar dengan panah berjuang di jalan Allah. Dan sungguh kami berperang bersama-sama Rasulullah saw. tanpa berbekal makanan kecuali daun pohon. Sehingga apabila kami buang air besar, maka kotorannya seperti kotoran kambing dan tidak ada campurannya sama sekali.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: “Rasulullah saw. berdoa: Ya Allah, berilah keluarga Muhammad rizky yang dapat menghilangkan rasa lapar saja.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia. saya sering menekan rongga perutku ke tanah karena lapar, juga sering mengikatkan batu di perutku karena lapar. Pada suatu hari saya duduk di jalan yang biasa dilewati orang. Kemudian Nabi saw. lewat dan tersenyum ketika melihat saya dan beliau tahu apa yang sedang menimpa diri saya. Beliau bersabda: “Wahai Abu Hirr, mari ikut aku.” Maka saya pun mengikuti beliau. Beliau masuk rumah dan saya minta izin untuk masuk, beliaupun mengizinkan saya. Ketika beliau masuk, disitu ada semangkuk susu, dan beliau bertanya kepada istrinya: “Dari mana susu ini?” Ia menjawab: “Si fulan atau si fulanah menghadiahkan susu ini buat engkau.” Beliau bersabda: “Wahai Abu Hirr.” Saya menjawab: “Ada apa wahai Rasulallah.” Beliau bersabda: “Temuilah ahli Suffah dan ajaklah mereka kemari.” Abu Hurairah berkata: “Ahli suffah adalah tamu-tamu Islam yang tidak mempunyai keluarga, harta dan saudara. Apabila beliau mendapatkan sedekah maka beliau mengirimkannya untuk mereka dan beliau tidak mengambilnya sedikitpun. Tetapi apabila beliau mendapatkan hadiah, maka beliau mengirimkannya untuk mereka dan beliau hanya mengambil sebagian dari hadiah itu. Saya sangat haus dan ingin sekali minum susu itu, dalam hati saya berkata: “Mengapa susu itu diberikan kepada ahli suffah? Saya lebih pantas untuk minum susu itu agar kekuatan saya pulih kembali. Apabila mereka datang, beliau pasti menyuruh saya untuk memberikan susu itu kepada mereka dan kemungkinan saya tidak mendapat bagian dari susu itu. Tetapi taat kepada Allah dan Rasul-Nya harus diutamakan.” Oleh karena itu, saya berangkat dan memanggil mereka. Kemudian mereka datang dan minta izin kepada Nabi, dan beliau pun mengizinkan mereka duduk di rumah beliau. Beliau memanggil: “Wahai Abu Hirr.” Saya menjawab: “Ya. Wahai Rasulallah.” Beliau bersabda: “Ambillah mangkuk susu itu dan berikan kepada mereka.” Maka saya mengambil mangkuk itu dan memberikan kepada orang pertama, maka ia minum sampai nampak segar. Mangkuk itu diberikan kepada saya kembali, dan saya berikan kepada yang lain untuk meminumnya sampai nampak segar. Mangkuk itu dikembalikan kepada saya sehingga sampai pada giliran Nabi saw. anehnya mereka sudah minum semua, tetapi susu belum habis. Kemudian beliau mengambil mangkuk itu dan dipegangnya, serta memandang saya sambil tersenyum, lantas beliau bersabda: “Wahai Abu Hirr.” Saya menjawab: “Ya, wahai Rasulallah.” Beliau bersabda: “Tinggal aku dan kamu yang belum.” Saya menjawab: “Benar, wahai Rasulallah.” Beliau bersabda: “Duduklah kamu dan minumlah.” Maka saya duduk dan minum. Beliau bersabda lagi: “Minumlah.” Beliau selalu mengulanginya sampai saya berkata: “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran, perut saya tidak muat lagi.” Maka saya memberikan mangkuk itu kepada beliau, kemudian beliau memuji Allah Ta’ala dan membaca basmalah lalu meminum sisanya.” (HR Bukhari)

Dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah ra. ia berkata: “Sungguh saya pernah jatuh pingsan di antara mimbar Rasulullah saw. dan jalan yang menuju ke bilik Aisyah ra., kemudian seseorang mendatangiku dan menginjakkan kakinya ke leherku, ia menyangka bahwa saya gila. Padahal saya tidak gila, hanya saja terlalu lapar.” (HR Bukhari)

Dari Aisyah ra. ia berkata: “Pada waktu Rasulullah saw. wafat, baju besinya baru digadaikan kepada orang Yahudi sebagai tanggungan dari 30 gantang (75 kg) gandum.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Anas ra. ia berkata: Nabi saw. pernah menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan hutang gandum, dan saya pernah datang ke tempat nabi saw. dengan membawa roti gandum dan minyak gajih. Sungguh saya pernah mendengar beliau bersabda: “Tidak ada bagi keluarga Muhammad saw. pada waktu pagi kecuali segantang gandum, begitu juga pada waktu sore, sedangkan keluarga beliau terdiri dari sembilan rumah.” (HR Bukhari)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: “Saya melihat tujuh puluh ahli suffah, di antara mereka tidak ada seorangpun yang memiliki kain panjang, tidak lebih dari satu sarung atau kain yang diikatkan ke lehernya sampai betis, yang disimpulkan dan ditarik-tarik dengan tangannya khawatir kalau-kalau auratnya terbuka.” (HR Bukhari)

Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: “Alas tidur Rasulullah saw. terbuat dari kulit yang berisi sabut.” (HR Bukhari)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah saw. tiba-tiba datang seorang shahabat Anshar memberikan salam kepada beliau. Ketika akan meninggalkan kami, Rasulullah saw. bertanya: “Wahai saudara Anshar, bagaimana keadaan saudaraku Sa’ad bin ‘Ubadah?” Ia menjawab: “Baik-baik saja.” Rasulullah kembali bertanya: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjenguknya bersamaku?” Maka beliau berdiri dan kami pun menyertainya, semua berjumlah belasan orang, dan tak satupun yang memakai sendal, sepatu, kopiah dan kemeja. Kami semua berangkat dengan pakaian yang amat sederhana. Sesampainya di rumah Sa’ad, keluarga yang mengelilinginya mundur, sehingga Rasulullah saw. dan para shahabatnya mendekatinya.” (HR Muslim)

Dari Imran bin Hushain ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang hidup pada masaku, kemudian orang-orang sesudahnya, dan yang sesudahnya lagi.” Imran berkata: “Saya tidak tahu pasti, apakah Nabi saw. mengucapkan dua kali atau tiga kali.” (Nabi bersabda lagi): “Sesudah mereka akan datang suatu kaum yang mau menjadi saksi meskipun tidak diminta, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernadzar, tetapi tidak menepatinya. Mereka tampak gemuk dan besar perut.” (HR Bukhari dan Muslim)
(bersambung ke bagian 3)