DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah; analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw.
Setelah merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan oleh kaum Quraisy, Rasulullah saw. berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari bani Tsaqif serta mengharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawa dari Allah.
Setibanya di Thaif, beliau menuju ke tempat para pemuka bani Tsaqif sebagai orang-orang yang berkuasa di daerah itu. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepad Allah. Akan tetapi, ajakan beliau itu ditolak mentah-mentah dan dijawab dengan kasar. Rasulullah saw. kemudian bangkit meninggalkan mereka seraya berharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangan ini dari kaum Quraisy, tetapi mereka pun menolaknya.
Mereka lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu sehingga mengakibatkan cedera pada kedua kaki Rasulullah saw. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi beliau, tetapi kewalahan sehingga ia sendiri terluka pada kepalanya.
Setelah Rasulullah saw. sampai ke kebun milik Uqbah bin Rabi’ah, kaum penjahat dan para budak yang mengejar baru berhenti dan kembali. tanpa diketahui ternyata beliau sedang diperhatikan oleh dua anak Rabi’ah yang sedang berada dalam kebun. Setelah merasa tenang di bawah naungan pohon anggur, Rasulullah saw. berdoa:
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan ketidakberdayaan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Mahapenyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah Pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tidak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Berkata doa Rasulullah saw. itu tergeraklah rasa iba dalam hati dua orang anak lelaki Rabi’ah yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya, seorang Nasrani bernama Addas, kemudian diperintahkan, “Ambillah buah anggur dan berikan kepada orang itu!”
Ketika Addas meletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah saw. dan berkata, “Makanlah.” Rasulullah saw. mengulurkan tangannya seraya mengucapkan, “Bismillah.” Kemudian memakannnya.
Mendengar ucapan beliau, Addas berkata, “Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini.” Rasulullah saw. bertanya, “Kamu dari daerah mana dan apa agamamu?” Addas menjawab, “Saya seorang Nasrani dari daerah Ninawa [sebuah desa di Maushil sekarang].” Rasulullah saw. bertanya lagi: “Apakah kamu dari negeri seorang shalih bernama Yunus anak Mathius?” Rasulullah saw. menerangkan, “Yunus bin Mathius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.” Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah saw lalu mencium kepalanya, kedua tangannya, dan kedua kaki beliau.
Ibnu Ishaq berkata, “Setelah itu, Rasulullah saw. meninggalkan Thaif dan kembali ke Makkah. Ketika sampai di Nikhlah, Rasulullah bangun pada tengah malam melaksanakan shalat. Ketika itulah beberapa makhluk yang disebutkan Allah lewat mendengar bacaan Rasulullah saw. Dan begitu Rasulullah selesai shalat, mereka kembali bergegas kembali kepada kaumnya seraya memerintahkan agar beriman dan menyambut apa yang baru mereka dengar. Kisah ini disebutkan Allah dalam firman-Nya, yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum Kami, Sesungguhnya Kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum Kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (al-Ahqaaf: 29-31)
“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,” (al-Jinn: 1)
Rasulullah saw. kemudian bersama Zaid bin Haritsah berangkat menuju Makkah. Saat itu Zaid bertanya kepada Rasulullahs saw, “Bagaimana engkau hendak pulang ke Makkah, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?” Beliau menjawab, “Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.”
Nabi saw. lalu mengutus seorang lelaki dari bani Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin Adi dan mengabarkan bahwa Rasulullah saw. ingin masuk Makkah dengan “perlindungan” darinya. Keinginan Nabi saw. ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah saw. kembali memasuki Makkah.
BEBERAPA IBRAH
1. Semua bentuk penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullah saw. khususnya dalam perjalanan hijrah ke Tha’if ini, hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan tablighnya kepada manusia.
Diutusnya Rasulullah saw. bukan hanya untuk menyampaikan aqidah yang benar tentang alam dan penciptaannya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan muamalah, melainkan juga untuk menyampaikan kepada kaum Muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan Allah dan menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah [melipatgandakan kesabaran] yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga, dan bertawakallah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali ‘Imraan: 200)
Rasulullah saw. telah mengajarkan kita cara melaksanakan peribadatan dengan peragaan yang bersifat aplikatif, lalu bersabdas: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat [cara] aku shalat.”
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah dariku manasik [cara pelaksanaan ibadah haji]mu.”
Jika hal ini dikaitkan dengan kesabaran, seolah-olah Rasulullah saw. , melalui kesabaran yang dicontohkannya, memerintahkan kita: “Bersabarlah sebagaimana kamu lihat aku bersabar.” Hal ini karena bersabar merupakan salah satu prinsip Islam terpenting yang harus disampaikan kepada semua manusia.
Dalam memandang fenomena hijrah Rasulullah saw. ke Thaif ada orang yang menyimpulkan bahwa Rasulullah saw. telah menemui jalan buntu dan merasa putus asa sehingga dalam menghadapi penderitaan yang sangat berat itu beliau mengucap doa tersebut kepada Allah setiba di kebun kedua anak Rabi’ah.
Sebenarnya Rasulullah saw. telah menghadapi penganiayaan tersebut dengan penuh ridla, ikhlas dan sabar. Seandainya beliau tidak sabar menghadapinya, tetu membalas –jika suka- tindakan orang-orang jahat dan para tokoh bani Tsaqif yang mengerahkan mereka. akan tetapi, ternyata Rasulullah saw. tidak melakukannya.
Di antara dalil yang menguatkan apa yang dikemukakan di sini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra, ia berkata: “Wahai Rasulullah saw.., pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari perang Uhud?” Jawab Nabi saw.: “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaummu. Akan tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari Aqabah saat aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi dia menolak tawaran dakwahku. Aku kemudian kembali dengan perasaan tidak menentu hingga aku tersentak dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata: “Sesungguhnya, Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu dan Allah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu.”
Nabi saw. melanjutkan: “Kemudian malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata: ‘Wahai Muhammad. Sesungguhnya, Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabbmu telah mengutusku untuk engkau perintahkan sesukamu. Jika engkau suka, aku akan membalikkan Gunung Akshyabin ini ke atas mereka.’” Aku berkata: “Aku bahkan menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. ingin mengajarkan kepada para shahabatnya dan umat sesudahnya tentang kesabaran dan seni kesabaran dalam menghadapi segala macam penderitaan di jalan Allah.
Mungkin timbul pertanyaan lain, apa arti pengaduan yang telah disampaikan Rasulullah saw. ? Apa maksud lafal-lafal doanya yang mengungkapkan rasa putus asa dan kebosanan akibat berbagai usaha dan perjuangan yang hanya menghasilkan penderitaan dan penyiksaan? Jawabannya adalah: pengaduan kepada Allah adalah ibadah. Merendahkan diri kepada-Nya dan menghinakan diri di hadapan pintu-Nya adalah perbuatan taqarrub dan ketaatan.
Sesungguhnya, penderitaan dan musibah yang menimpa manusia mempunyai beberapa hikmah. Di antaranya akan membawa orang yang mengalami musibah dan penderitaan itu kepada pintu Allah dan meningkatkan ‘ubudiyah kepada-Nya. Karena itu tidak ada pertentangan antara kesabaran terhadap penderitaan dan pengaduan kepada Allah. Kedua sikap ini merupakan tuntunan yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita. Melalui kesabarannya terhadap penderitaan dan penganiayaan, Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran ini adalah tugas kaum Muslimin umumnya dan da’i secara khususnya. Melalui pengaduan dan taqarrubnya kepada Allah, Rasulullah saw. ingin mengajarkan tentang kewajiban ‘ubudiyah dan segala konsekuensinya kepada kita.
Perlu disadari bahwa betapapun tingginya jiwa manusia, dia tidak akan terlampaui batas kemanusiaannya. Manusia selama tidak dapat menghindarkan diri dari fitrah perasaan; perasaan senang dan sedih, perasaan menginginkan kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan.
Ini berarti bahwa kendatipun Rasulullah saw. telah mempersiapkan diri nya untuk menghadapi berbagai penganiayaan dan penyiksaan di jalan Allah, beliau tetap memiliki perasaan sebagai manusia: merasa sakit bila tertimpa kesengsaraan dan merasa bahagia bila mendapat kesenangan.
Walaupun demikian, Rasulullah saw. rela menghadapi penderitaan berat dan meninggalkan kesenangan demi mengharap ridla Allah dan menunaikan kewajiban ‘ubudiyah. Di sinilah pemberian pahala dan terlihatnya arti taklif [pembebasan] kepada manusia.
2. Kedua, jika anda perhatikan setiap peristiwa sirah Rasulullah saw. bersama kaumnya, akan anda dapati bahwa penderitaan yang dialami oleh Rasulullah kadang sangat berat dan menyakitkan. Akan tetapi, pada setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selalu diberi “Penawar” yang melegakan hati dari Allah. Penawar ini dimaksudkan sebagai hiburan bagi Rasulullah saw. agar faktor-faktor kekecewaan dan perasaan putus asa tidak sampai masuk ke dalam jiwanya.
Dalam peristiwa hijrah Rasulullah saw. ke Tha’if dengan segala penderitaan yang diditemuinya, baik berupa penyiksaan maupun kekecewaan hati, dapat anda lihat adanya “penawar Ilahi” terhadap kebodohan orang-orang yang mengejar dan menganiayanya. Penawar ini tercermin pada seorang lelaki Nasrani, Addas, ketika datang kepadanya seraya mencium kepala, kedua tangan, dan kakinya setelah Nabi saw. mengabarkan kepadanya bahwa dirinya adalah seorang Nabi.
Peristiwa ini dilukiskan dengan indah oleh penyair Muslim, Musthafa Shadiq ar-Rafi’, dalam salah satu tulisannya, “Betapa ajaib simbol-simbol takdir yang terdapat di dalam peristiwa ini. Kebaikan, kedermawanan, dan kemuliaan datang begitu cepat memintakan maaf atas kejahatan, kebodohan, dan kedhaliman yang baru saja dialaminya. Kecukupan mesra itu datang setelah umpatan-umpatan permusuhan.
Sesungguhnya, kedua anak Rabi’ah termasuk musuh bebuyutan Islam, bahkan termasuk di antara orang-orang yang mendatangi Abu Thalib, paman Nabi saw. yang meminta agar Abi Thalib menghentikan Muhammad saw. atau membiarkan mereka bertarung melawan Muhammad saw. sampai salah satu di antara dua kelompok hancur binasa. Akan tetapi naluri kebiadaban itu berubah serta merta menjadi naluri kemanusian yang dibawa oleh agama ini karena masa depan agama berkaitan erat dengan pemikiran, bukan dengan naluri.
Demikianlah, seorang Nasrani datang memeluk Islam dan mendukungnya. Sesungguhnya satu agama benar dengan agama benar lainnya ibarat seorang dengan saudara kandungnya. Jika hubungan antara dua orang bersaudara itu adalah hubungan darah, hubungan antara satu agama yang benar dan agama yang benar lainnya adalah hubungan akal dan pemahaman yang benar.
Selanjutnya takdir Ilahi menyempurnakan simbolnya di dalam kisah ini dengan pemetikan buah anggur sebagai makanan yang manis dan memuaskan. Setangkai anggur yang telah dipetik ini menjadi simbol bagi ikatan Islam yang agung dan penuh kasih sayang; setiap buah anggur melambangkan sebuah pemerintahan Islam. (Wahyul Qalam. 2/30)
3. Apa yang dilakukan oleh Zaid bin Haritsah, yaitu melindungi Rasulullah saw. dengan dirinya dari lemparan batu orang-orang bani Tsaqif sampai kepalanya menderita luka, merupakan contoh yang harus dilakukan oleh setiap Muslimm dalam bersikap terhadap pemimpin dakwah. Ia harus melindungi pemimpin dakwah dengan dirinya sekalipun harus mengobarkan kehidupannya.
Demikianlah sikap para shahabat terhadap Rasulullah saw. sekalipun beliau sudah tidak ada di antara kita sekarang, kita dapat melakukannya dalam bentuk yang lainnya, yaitu dengan kesiapan diri kita dalam menghadapi segala penderitaan dan penyiksaan di jalan dakwah Islam dan menyumbangkan perjuangan berat sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Pada setiap zaman dan masa harus ada para pemimpin dakwah Islam yang menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad saw. dalam berdakwah, dimana kaum Muslimin semuanya harus menjadi prajurit-prajurit yang setia dan ikhlas di sekitar mereka; mendukung para pemimpin itu dengan harta dan jiwa sebagaimana yang telah dilakukan kaum Muslimin kepada Rasulullah saw.
4. Apa yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq tentang beberapa jin yang mendengarkan bacaan Rasulullah saw. ketika sedang melakukan shalat malam di Nikhlah, merupakan dalil bagi eksistensi jin dan bahwa mereka mukallaf [dibebani kewajiban melaksanakan syariat Islam]. Di antara mereka ada jin-jin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya di samping mereka yang ingkar dan tidak beriman. Dalil ini telah mencapai tingkatan qath’i [pasti] dengan disebutkannya di dalam beberapa nash al-Qur’an yang jelas, seperti beberapa ayat pada awal surah al-Jinn dan seperti firman Allah di dalam surah al-Ahqaaf:
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum Kami, Sesungguhnya Kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (al-Ahqaaf: 29-30)
Ketahuilah, kisah yang disebutkan Ibnu Ishaq dan diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam sirah-nya ini juga disebutkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dengan teks yang hampir sama dan dengan tambahan rincian sedikit. Berikut ini arti teks yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas:
Nabi saw. berangkat bersama sejumlah shahabatnya menuju pasar ‘Ukazh. Ada saat itu, setan-setan telah dihalangi dari memperoleh kabar dan mereka dilempari dengan beberapa bintang sehingga setan-setan itu kembali. mereka bertanya-tanya, ‘Mengapa kita dihalangi dari memperoleh kabar langit dan dilempari dengan beberapa bintang?’ Dijawab: ‘Tidak ada yang menghalangi kamu dari memperoleh berita langit kecuali apa yang telah terjadi. Karena itu pergilah ke segala penjuru dunia, dari ujung timur sampai ujung barat, perhatikan peristiwa apakah yang terjadi itu?’
Mereka lalu pergi melacak dari ujung timur sampai ke ujung barat, mencari apa gerangan yang menghalangi mereka dari mendapatkan kabar dari langit itu. Berangkatlah mereka menuju ke Thihamah menuju ke Rasulullah saw. di Nikhlah hendak ke pasar ‘Ukhazh. Ketika itu Rasulullah saw. sedang mengimami shalat shubuh. Ketika mendengar bacaan al-Qur’an, dengan penuh perhatian, mereka mendengarkannya. Mereka kemudian berkata: “Inilah yang menghalangi kita dari kabar langit.”
Setelah itu mereka kembali ke kepada kaum mereka seraya berkata: “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar al-Qur’an [bacaan] yang menakjubkan yang menunjukkan kepada kebenaran lalu kami mempercayainya dan kami tidak menyekutukan Rabb kami dengan siapapun.” Allah lalu menurunkan [ayat] kepada Nabi-Nya, “Katakanlah, ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya telah mendengarkan sekumpulan jin [akan al-Qur’an]…” (al-Bukhari 6/73)
Teks yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi sama dengan riwayat ini, hanya saja terdapat tambahan di awal hadits, “Rasulullah saw. tidak membacakan kepada jin, juga tidak melihat mereka…. Beliau berangkat bersama sejumlah sahabatnya…”
Al-Asqalani berkata: “Seolah-olah Bukhari sengaja membuang lafal ini karena Ibnu Mas’ud menyebutkan bahwa Nabi saw. membacakan keapada jin. Riwayat Ibnu Mas’ud didahulukan daripada penafsiran Ibnu Abbas. Muslim bahkan telah mengisyaratkan hal ini kemudian meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud setelah hadits Ibnu Abbas ini. Nabi saw. bersabda, “Telah datang kepadaku seorang penyeru dari bangsa jin lalu aku berangkat bersamanya, kemudian aku bacakan al-Qur’an kepadanya.” Antara dua riwayat ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi beberapa kali.” (Fathul Bari, 8/473)
Riwayat Muslim, Bukhari dan Tirmidzi ini berbeda dengan riwayat ibnu Ishaq dalam dua segi, pertama, riwayat Ibnu Ishaq tidak menyebutkan bahwa Nabi saw. shalat bersama para shahabatnya. Riwayat Ibnu Ishaq menjelaskan bahwa Nabi saw. shalat sendirian, padahal riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw. mengimani shahabatnya. Kedua, riwayat Ibnu Ishaq tidak menentukan shalat shubuh, sedangkan riwayat-riwayat lainnya menyebutkannya.
Menyangkut riwayat Ibnu Ishaq, tidak ada masalah. Akan tetapi menyangkut peristiwa-peristiwa lain, timbul dua kemusykilan. Pertama, Nabi saw. berangkat ke Thaif dan pulang dari sana, sebagaimana anda ketahui, hanya disertai oleh Zaid bin Haritsah. Karena itu bagaimana mungkin Nabi saw. shalat bersama para shahabatnya? Kedua, shalat lima waktu tidak disyariatkan kecuali setelah malam Mi’raj, sedangkan Mi’raj terjadi setelah peristiwa hijrah Rasulullah saw. ke Thaif, menurut pendapat jumhur: bagaimana mungkin Rasulullah saw. melaksanakan shalat shubuh pada waktu itu?
Menyangkut kemusykilan dapat dijawab bahwa mungkin saja Rasulullah saw. ketika di Nikhlah [sebuah tempat dekat Makkah] bertemu dengan para shahabatnya lalu shalat shubuh bersama mereka di tempat tersebut.
Menyangkut kemusykilan kedua dapat dijawab bahwa peristiwa mendengarnya jin terhadap al-Qur’an ini terjadi lebih dari sekali. Pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud bahwa kedua riwayat ini sama-sama shahih. Pendapat inilah yang diambil oleh jumhur ulama peneliti. Ini dapat diyakini jika mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa isra’ mi’raj terjadi setelah hijrah ke Thaif. Akan tetapi jika mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa isra miraj terjadi sebelum hijrah ke Thaif, tidak ada kemusykilan.
Yang perlu diketahui, setelah penjelasan di atas, bahwa setiap Muslim wajib mengimani adanya jin, bahwa mereka adalah makhluk Allah yang hidup juga dibebani oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana kita kendatipun semua panca indera kita tidak dapat menjangkaunya. Hal ini karena Allah memang menjadikan eksistensi mereka di luar kemampuan kita yang hanya bisa melihat beberapa benda tertentu, dengan ukuran tertentu, dan dengan syarat-syarat tertentu.
Karena keberadan makhluk itu didasarkan atas berita yang mutawatir dari al-Qur’an dan sunnah, kaum Muslimin telah sepakat bahwa setiap orang yang mengingkari atau meragukan keberadaan jin adalah murtad dan keluar dari Islam. Hal ini karena mengingkari keberadaan mereka berarti mengingkari sesuatu yang bersifat aksiomatik di dalam Islam disamping merupakan pendustaan terhadap khabar mutawatir yang datang kepada kita dari Allah dan dari Rasul-Nya.
Jangan sampai ada orang yang berakal sehat yang terjerumus ke dalam kedunguan karena tidak mau meyakini sesuatu yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan kemudian menolak keberadaan jin karena dia tidak melihat jin.
“Kebodohan intelektual” seperti ini akan mengharuskan pengingkaran terhadap setiap benda atau makhluk ghaib hanya kareana tidak dapat dilihat, padahal kaidah ilmiah yang sudah terkenal mengatakan, “Tidak dapat dilihatnya sesuatu tidak berarti tidak ada sesuatu tersebut.”
5. Kelima, apa pengaruh dari semua peristiwa yang disaksikan dan dialami oleh Rasulullah saw. selama perjalanannya ke Tha’if ini darinya?
Jawabannya adalah tampak jelas dalam jawaban Rasulullah saw. kepada Zaid bin Haritsah ketika Zaid bertanya kepadanya dengan penuh keheranan: “Bagaimana engkau akan pulang ke Makkah wahai Rasulullah, sedangkah penduduknya telah mengusir engkau dari sana?” dengan tenang dan penuh keyakinan, Rasulullah saw. menjawab: “Hai Zaid. Sesungguhnya Allah lah yang akan memberi kita jalan keluar sebagaimana engkau lihat nanti. Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.”
Jelaslah bahwa semua yang disaksikan dan dialaminya di Tha’if setelah penyiksaan dan penganiayaan yang dialaminya di Makkah, tidak memiliki pengaruh sama sekali kepada keyakinannya terhadap Allah atau melemahkan kekuatan tekadnya yang positif di dalam jiwanya.
Demi Allah, ini bukanlah ketabahan manusia biasa yang memiliki kekuatan lebih dalam dalam menghadapi penderitaan dan tekanan. Akan tetapi ini adalah keyakinan Nubuwah yang telah menghujam dalam hatinya. Rasulullah saw. mengetahui bahwa segala tindakan itu semata-mata untuk menjalankan perintah Allah dan berjalan di atas jalan yang diperintahkan-Nya. Karenanya, beliau tidak pernah ragu sedikitpun bahwa Allah pasti akan memenangkan urusan-urusan-Nya dan bahwa Dia telah menjadikan ketentuan bagi setiap sesuatu.
Pelajaran yang dapat kita ambil dalam hal ini adalah semua penderitaan dan rintangan yang ada di jalan dakwah Islam tidak boleh menghalangi atau menghentikan perjuangan kita atau mengakibatkan kegentaran dan kemalasan dalam diri kita, selama kita berjalan di atas petunjuk keimanan kepada Allah. Siapa saja yang telah mengambil bekal kekuatannya dari Allah, dia tidak akan pernah mengenal putus asa atau malas. Selama Allah yang memerintahkan, pasti Dia akan menjadi Penolong dan Pembela.
Kehinaan, kemalasan, dan putus asa akibat penderitaan dan rintangan hanya akan dialami oleh orang-orang yang menganut prinsip dan ideologi yang tidak diperintahkan oleh Allah. Hal ini karena mereka hanya mengandalkan kekuatannya sendiri; kekuatan manusia yang sangat terbatas. Segala bentuk kekuatan dan ketabahan manusia akan berubah dan terancam kehancuran dan kelesuan manakala mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang panjang; mengingat ukuran kekuatan manusia yang serba terbatas.
&
Tag:agama, bahasa indonesia, hijrah, islam, muhammad, Nabawiyah, Nabi, pergerakan, ramadhan al-buthy, rasulullah, religion, sejarah, Sirah, Sirah nabawiyah, thaif