Tag Archives: hijrah

Hijrah Rasulullah saw.

21 Mei

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah;
analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah

dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa setelah Abu Bakar ra. melihat kaum Mukminin sudah banyak yang berangkat hijrah ke Madinah, ia datang kepada Rasulullah saw. meminta izin untuk berhijrah. Dijawab oleh Rasulullah sa. : “Jangan tergesa-gesa, aku ingin memperoleh izin terlebih dahulu [dari Allah].” Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau juga menginginkannya?” jawab Nabi saw.: “Ya.” Abu Bakar ra. kemudian menangguhkan keberangkatannya untuk menemani Rasulullah saw. lalu ia membeli dua ekor unta dan dipeliharanya selama empat bulan. (Bukhari. 4/255)

selama masa tersebut, kaum Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah memiliki pendukung dan shahabat-shahbat dari luar Makkah. Mereka khawatir jangan-jangan Rasulullah saw. keluar dari Makkah kemudian menghimpun kekuatan di sana dan menyerang mereka.

oleh kerena itu, diadakanlah pertemuan di Darun Dadwah [rumah Qushayyi bin Kilab, tempat kaum Quraisy memutuskan segala perkara] untuk membahas apa yang harus dilakukan terhadap Muhammad saw. akhirnya diperoleh kata sepakat untuk mengambil seorang pemuda yang kuat dan perkasa dari setiap kabilah Quraisy. Kepada masing-masing pemuda diberikan pedang yang ampuh, kemudian secara bersama-sama mereka serentak membunuhnya. Ini dilakukan agar bani Adi Manaf tidak berani melancarkan serangan terhadap semua orang Quraisy. Setelah ditentukan hari pelaksanaannya, Jibril as. datang kepada Rasulullah saw. untuk memerintahkannya berhijrah dan melarangnya tidur di tempat tidur pada malam itu. (Sarah Ibnu Hisyam 1/155 dan Thabaqat Ibnu Sa’ad 1/212)

dalam riwayat Bukhari, Aisyah ra. mengatakan, “Pada suatu hari, kami duduk di rumah Abu Bakar ra. tiba-tiba ada seseorang yang berkata kepada Abu Bakar, ‘Rasulullah saw. datang, padahal beliau tidak biasa datang kemari pada saat seperti ini.’ Abu Bakar kemudian berkat, ‘Demi Allah, Rasulullah saw. datang pada saat seperti ini tentu ada sesuatu yang penting.’”

Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. kemudian datang dan minta izin untuk masuk. Setelah dipersilakan oleh Abu Bakar, Rasulullah saw. pun masuk ke rumah dan berkata kepada Abu Bakar, ‘Suruhlah keluargamu keluar rumah.’ Abu Bakar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tidak ada siapa-siapa kecuali keluargaku.’ Rasulullah saw. menjelaskan, ‘Allah telah mengizinkan aku berangkat hijrah.’ Abu Bakar bertanya, ‘Apakah aku jadi menenamani anda, ya Rasulullah?’ Jawab Nabi saw. ‘Ya benar, engkau menemani aku.’ Abu Bakar kemudian berkata, ‘Ya Rasulullah, ambillah salah satu dari dua ekor untaku.’ Jawab Rasulullah, ‘Ya, tapi dengan harga.’

Lebih jauh, Aisyah ra. menceritakan, ‘Kami kemudian mempersiapkan segala keperluan secepat mungkin dan kami buatkan bekal makanan yang kami bungkus dalam kantung yang terbuat dari kulit. Asma’ binti Abu Bakar lalu memotong ikat pinggangnya untuk mengikat kantong itu sehingga dia mendapat sebutan “pemilih dua ikat pinggang”. (Thabaqat Ibnu Sa’ad menyebutkan bahwa dia memotong ikat pinggangnya menjadi dua: yang satu diikat ke perut kantong, yang satu lagi ke mulut [tutup] kantong. Itu sebabnya, ia disebut sebagai “orang yang memiliki dua ikat pinggang”)

Rasulullah saw. kemudian menemui Ali bin Abi Thalib dan memerintahkannya untuk menunda keberangkatannya hingga selesai mengembalikan barang-barang titipan orang lain yang ada pada Rasulullah saw. Pada masa itu, setiap orang Makkah yang khawatir terhadap barang miliknya yang berharga, mereka selalu menitipkannya kepada Rasulullah saw. karena mereka mengakui kejujuran dan kesetiaan beliau dalam menjaga barang-barang amanat.

Sementara itu, Abu Bakar memerintahkan anak lelakinya, Abdullah, supaya menyadap berita-berita yang dibicarakan orang banyak di luar untuk disampaikan pada sore harinya kepadanya di dalam goa. Selain Abdullah, kepada bekas budaknya, bernama Amir bin Fahirah, Abu Bakar juga memerintahkan supaya mengembalikan kambingnya di siang hari dan pada sore harinya supaya digiring ke goa untuk diperah air susunya, disamping menghapus jejak. Kepada Asma’, Abu Bakar menugaskan membawa makanan kepadanya setiap sore.

Ibnu Ishaq dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Yahya bin Ibad bin Abdillah bin Zubair dari Asma’ binti Abu Bakar ra. ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. berangkat bersama Abu Bakar, Abu Bakar membawa semua hartanya sejumlah enam atau lima ribu dirham.” Selanjutnya Asma’ menceritakan, “Kemudian kakekku yang buta, Abu Quhafah datang kepada kami seraya berkata, ‘Demi Allah aku melihat Abu Bakar berangkat meninggalkan kamu dengan membawa seluruh hartanya.’ Aku menjawab, ‘Tidak wahai kakek. Dia telah meninggalkan kebaikan yang banyak kepada kami.’ Aku lalu mengambil beberapa batu kemudian aku letakkan di tempat biasannya Abu Bakar menaruh uangnya, lalu aku tutupi dengan kain, kemudian aku pegang tangannya dan aku katakan kepadanya, ‘Letakkan tanganmu di atas uang ini.’ Dia kemudian meletakkan tangannya di atasnya seraya berkata, ‘Tidak apa-apa jika dia telah meninggalkan untukmu dan ini cukup untukmu.’” Asma’ berkata, “Demi Allah, sebenarnya dia tidak meninggalkan sesuatu untuk kami, tetapi dengan cara itu aku hanya menyuruh kakek diam.” (Sirah Ibnu Hisyam. 1/88 dan Tartibu Musnadil Imam Ahmad, 2/282.)

Pada malam hijrah Nabi saw., orang-orang musyrik telah menunggu di pintu Rasulullah saw. Mereka mengintai hendak membunuhnya. Akan tetapi Rasulullah saw. lewat di hadapan mereka dengan selamat karena Allah telah mendatangkan kantuk pada mereka. sementara itu, Ali bin Abi Thalib dengan tenang tidur di atas tempat tidur Rasulullah saw. setelah mendapatkan jaminan dari beliau bawha mereka tidak akan berbuat kejahatan kepadanya.

Selanjutnya berangkatlah Rasulullah saw. bersama Abu Bakar menuju goa Tsur. Peristiwa ini menurut riwayat yang paling kuat terjadi pada tanggal 2 Rabu’ul Awal, bertepatan dengan 20 Sepetember 622 M, tiga belas tahun setelah bi’tsah. Abu Bakar kemudian memasuki goa terlebih dahulu untuk melihat barangkali di dalamnya ada binatang buas atau ular. Di goa inilah keduanya menginap selama tiga hari. Setiap malam, Abdullah bin Abu Bakar menginap bersama mereka kemudian turun ke Makkah pada waktu subuh. Sementara itu, Amir bin Fahirah datang ke goa dengan kambing-kambingnya untuk menghapus jejak kaki Abdullah.

Pada saat itu, kaum musyrik –setelah mengetahui keberangkatan Nabi Saw- mencari Rasulullah saw. dengan mengawasi semua jalan ke arah Madinah dan memeriksa setiap persembunyian, bahkan sampai ke goa Tsur. Saat itu, Rasulullah saw. dan Abu Bakar mendengar langkah-langkah kaki kaum musyrik di sekitar goa sehingga Abu Bakar merasa khawatir dan berbisik kepada Nabi saw., “Seandainya di antara mereka ada yang melihat ke arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kami.” Tetapi dijawab oleh Rasulullah saw, “Wahai Abu Bakar, jangan kamu kira kita hanya berdua saja. sesungguhnya Allah bersama kita.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Allah menutup mata kaum musyrik sehingga tak seorang pun melihat ke gua itu dan tak seorang pun di antara mereka yang berpikir tentang apa yang ada di dalamnya.
Setelah tidak ada yang mencari dan setelah datang Abdullah bin Uraiqith –seorang pemandu jalan yang dibayar untuk menunjukkan jalan rahasia ke Madinah- berangkatlah keduanya menyusuri jalan pantai dengan dipandu oleh Abdullah bin Uraiqith itu.

Pada waktu itu, kaum Quraisy mengumumkan tawaran bahwa siapa saja yang dapat menangkap Muhammad saw. dan Abu Bakar akan diberi hadiah sebesar harga diyat [tebusan] masing-masing dari keduanya.

Pada suatu hari, ketika sejumlah orang dari bani Mudjil sedang mengadakan pertemuan, di antara mereka terdapat Suraqah bin Ja’tsam, tiba-tiba datang kepada mereka seorang lelaki sambil berkata, “Saya barusaja melihat beberapa bayangan di pantai. Saya yakin mereka adalah Muhammad dan Shahabatnya.” Suraqah pun mafhum bahwa mereka adalah Muhammad saw., tetapi dengan berpura-pura dia berkata, “Bukan, mereka adalah fulan dan si fulan yang sedang bepergian untuk suatu keperluan.” Ia berhenti sejenak, kemudian menunggang kudanya untuk mengejar rombongan itu, sehingg sampai di dekat Rasulullah saw., tiba-tiba kudanya tersungkur dan diapun jatuh terpelanting. Dia kemudian bangun dan mengejar kembali sampai mendengar bacaan Nabi saw. Berkali-kali Abu Bakar menoleh ke belakang, sedangkan Rasulullah saw. berjalan terus dengan tenang. Tiba-tiba Suraqah terhempas lagi dari punggung kudanya dan jatuh terpelanting. Ia bangun lagi dengan berlumuran tanah kemudian berteriak memanggil-manggil meminta diselamatkan.

Tatkala Rasulullah saw. dan Abu Bakar menghampirinya, ia meminta maaf dan memohon supaya Nabi saw. sudi berdoa memohonkan ampunan untuknya dan kepada Nabi saw. ia menawarkan bekal perjalanan. Nabi saw. menjawab tawaran itu, “Kami tidak membutuhkan itu. Yang kuminta supaya engkau tidak menyebarkan berita tentang kami.” Suraqah menyambut, “Baiklah.” (Muttafaq ‘alaih, rinciannya disebutkan Bukhari 4/255-256)

Setelah itu, pulanglah Suraqah dan setiap bertemu dengan orang-orang yang mencari-cari Rasulullah saw, ia menyarankan supaya kembali saja. demikian kisah Suraqah. Di pagi hari ia berjuang untuk membunuh Nabi saw. tetapi di sore hari berbalik menjadi pelindungnya.

&

Nabi Muhammad saw. Mengizinkan Para Shahabat Hijrah ke Madinah

20 Mei

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah;
analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah

Ibnu Sa’ad di dalam kitabnya ath-Thabaqat menyebutkan riwayat dari Aisyah ra., “Ketika jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang, Rasulullah saw. merasa senang karena Allah telah membuatkannya “benteng pertahanan” dari suatu kaum yang memiliki keahlian dalam peperangan, persenjataan, dan pembelaan. Akan tetapi penyiksaan adan permusuhan kaum musyrik terhadap kaum Muslimin semakin gencar dan berat. Mereka menerima cacian dan penyiksaan yang sebelumnya tidak pernah mereka alami sehingga para shahabat mengadu kepada Rasulullah saw. dan meminta izin untuk berhijrah. Pengaduan dan permintaan izin ini dijawab oleh Rasulullah saw., “Sesungguhnya akupun telah diberitahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa yang ingin keluar maka hendaklah keluar ke Yatsrib.”

Para shahabat pun kemudian bersiap-siap, mengema semua keperluan perjalanan, lalu berngkat ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Shahabat yang pertama kali sampai di Madinah adalah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab’ah bersama istrinya, laila binti Abi hasyamah; dialah wanita yang pertama datang di Madinah dengan kendaraan menggunakan sekedup. Setelah itu para shahabat Rasulullah saw. datang secara bergelombang. Mereka turun di rumah-rumah kaum Anshar mendapatkan tempat dan perlindungan.

Tidak seorang pun dari shahbat Rasulullah saw. yang berani berhijrah secara terang-terangan kecuali Umar Ibnul Khaththab ra.
Ali bin Abi Thalib ra. meriwayatkan bahwa ketika Umar ra. hendak berhijrah, ia membawa pedang, busur, panah, dan tongkat di tangannya menuju Ka’bah. Sambil disaksikan oleh tokoh-tokoh Quraisy, Umar ra. kemudian melakukan thawaf tujuh kali dengan tenang. Lalu datang ke Maqam mengerjakan shalat kemudian berdiri seraya berkata, “Semoga celakalah wajah-wajah ini! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah! Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini!”

Selanjutnya Ali ra. mengatakan, “Tidak seorang pun berani mengikut Umar kecuali beberapa kaum lemah yang yang telah diberitahu oleh Umar. Umar kemudian berjalan dengan aman.”

Demikianlah secara berangsur-angsur kaum Muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah kecuali Rasulullah saw., Abu Bakar ra, Ali ra., orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang tidak mampu keluar.

BEBERAPA IBRAH

Cobaan berat yang dihadapi oleh para shahabat Rasulullah saw. semasa di Makkah berupa gangguan, penyiksaan, cacian, dan penghinaan dari kaum musyrik. Setelah Rasulullah saw. mengizinkan mereka berhijrah, cobaan berat itu kini berupa meninggalkan rumah, tanah air, harta kekayaan dan keluarga.

Para shahabat dengan setia dan ikhlas kepada Allah menghadapi kedua bentuk cobaan tersebut. Semua penderitaan dan kesulitan mereka hadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Hingga ketika Rasulullah saw. memerintahkan mereka hijrah ke Madinah, tanpa merasa berat, mereka berangkat meninggalkan tanah air, kekayaan, dan rumah mereka. mereka tidak bisa membawa harta benda dan kekayaan mereka karena harus berangkat secara sembunyi-sembunyi. Semua itu mereka tinggalkan di Makkah untuk menyelamatkan agamanya dan mendapatkan ganti rugi berupa ukhuwah yang menantikan mereka di Madinah.

Inilah gambaran yang benar tentang pribadi Muslim yang mengikhlaskan agamanya kepada Allah, tidak memedulikan harta kekayaan, tanah air, dan kerabat demi menyelamatkan agama dan aqidahnya. Itulah yang dilakukan oleh para shahabat Rasulullah saw. di Makkah.

Bagaimana halnya para penduduk Madinah yang telah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka? sesungguhnya mereka telah menunjukkan keteladanan yang baik tentang ukhuwah Islamiyah dan cinta kepada Allah.

Tentu anda telah tahu bahwa Allah telah menjadikan persaudaraan aqidah lebih kuat ketimbang persaudaraan nasab. Karena itu, pewarisan harta kekayaan di awal Islam didasarkan pada asas aqidah, ukhuwah, dan hijrah di jalan Allah.

Hukum waris berdasarkan hubungan kerabat tidak ditetapkan kecuali setelah sempurnanya Islam di Madinah dan terbentuknya Darus Islam yang kuat. Firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (al-Anfaal” 72)

Dari persyaratan hijrah ini, dapat diambil dua hukum syar’i:
Yang pertama, wajib berhijrah dari Darul harbi ke Darul Islam. Al-Qurthuby meriwayatkan pendapat Ibnu Arab, “Sesungguhnya, hijrah ini wajib pada masa Rasulullah saw. dan tetap wajib sampai hari kiamat. Hijrah yang terputus dengan fathul Makkah itu hanya di masa Nabi saw. Karena itu jika ada orang tetap tinggal di Darul Harbi, berart ia melakukan maksiat.”

Yang dimaksud dengan Darul Harbi adalah tempat dimana orang Muslim tidak dapat melakukan syiar-syiar Islam seperti shalat, puasa, berjamaah, adzan, dan hukum-hukum lain yang bersifat lahiriyah. Pendapat ini berdasarkan firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : “Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),” (an-Nisa’: 97-98)

Kedua, selama masih memungkinkan, sesama kaum muslimin wajib memberikan pertolongan sekalipun berlainan negara dan belahan bumi. Para Imam dan ulama sepakat bahwa kaum Muslimin, apabila mampu, wajib menyelamatkan orang-orang muslim yang tertindas, ditawan, atau dianiaya dimana saja. jika mereka tidak melakukannya, mereka berdosa besar.

Abu Bakar Ibnu Arabi berkata, “Jika ada di antara kaum Muslimin yang ditawan atau ditindas, kaum muslimin lainnya wajib menolong dan menyelamatkannya. Jika jumlah kita memadai untuk membebaskan mereka, kita wajib keluar atau megerahkan seluruh harta kekayaan kita, bila perlu sampai habis untuk membebaskan mereka.”

Sesama kaum Muslimin wajib saling menolong dan memberikan loyalitas. Akan tetapi, pemberian loyalitas, saling menolong atau persaudaraan ini tidak boleh dilakukan antara kaum Muslimin dan orang-orang non muslim. Secara tegas, Allah menyatakan hal ini dalam firman-Nya:
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (al-Anfaal: 73)

Ibnu Arabi berkata, “Allah memutuskan walayah [perwalian] antara orang-orang kafir dengan orang Mukmin, kemudian menjadikan orang-orang mukmin sebagian mereka menjadi pelindung bagi bagian yang lain. Sedangkan orang-orang kafir sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Mereka saling menolong dan saling menentukan sikap berdasarkan agama dan aqidah mereka masing-masing.”

Tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran Ilahi seperti ini merupakan asas dan pengkal kemenangan kaum Muslimin pada setiap masa. Sebaliknya, penbaian kaum muslimin terhadap ajaran-ajaran ini merupakan pangkal kelemahan dan kekalahan kaum muslimin yang kita saksikan sekarang ini di setiap tempat.

&

Hijrah Rasulullah

9 Mei

Sejarah Rasulullah saw.
Al-Hafiz Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisy
Penerjemah: Team Indonesia; Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah; IslamHouse.com

Rasulullah SAW hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar as-Siddiq ra dan budaknya Amir bin Fuhairah serta seorang penunjuk jalan Abdullah bin al-Uraiqit al-Laitsi yang masih kafir. Selanjutnya Rasulullah SAW berdakwah di Madinah selama sepuluh tahun

&

Hijrah Rasulullah ke Thaif

19 Mar

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah; analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw.

Setelah merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan oleh kaum Quraisy, Rasulullah saw. berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari bani Tsaqif serta mengharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawa dari Allah.

Setibanya di Thaif, beliau menuju ke tempat para pemuka bani Tsaqif sebagai orang-orang yang berkuasa di daerah itu. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepad Allah. Akan tetapi, ajakan beliau itu ditolak mentah-mentah dan dijawab dengan kasar. Rasulullah saw. kemudian bangkit meninggalkan mereka seraya berharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangan ini dari kaum Quraisy, tetapi mereka pun menolaknya.

Mereka lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu sehingga mengakibatkan cedera pada kedua kaki Rasulullah saw. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi beliau, tetapi kewalahan sehingga ia sendiri terluka pada kepalanya.

Setelah Rasulullah saw. sampai ke kebun milik Uqbah bin Rabi’ah, kaum penjahat dan para budak yang mengejar baru berhenti dan kembali. tanpa diketahui ternyata beliau sedang diperhatikan oleh dua anak Rabi’ah yang sedang berada dalam kebun. Setelah merasa tenang di bawah naungan pohon anggur, Rasulullah saw. berdoa:

“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan ketidakberdayaan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Mahapenyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah Pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tidak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”

Berkata doa Rasulullah saw. itu tergeraklah rasa iba dalam hati dua orang anak lelaki Rabi’ah yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya, seorang Nasrani bernama Addas, kemudian diperintahkan, “Ambillah buah anggur dan berikan kepada orang itu!”
Ketika Addas meletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah saw. dan berkata, “Makanlah.” Rasulullah saw. mengulurkan tangannya seraya mengucapkan, “Bismillah.” Kemudian memakannnya.

Mendengar ucapan beliau, Addas berkata, “Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini.” Rasulullah saw. bertanya, “Kamu dari daerah mana dan apa agamamu?” Addas menjawab, “Saya seorang Nasrani dari daerah Ninawa [sebuah desa di Maushil sekarang].” Rasulullah saw. bertanya lagi: “Apakah kamu dari negeri seorang shalih bernama Yunus anak Mathius?” Rasulullah saw. menerangkan, “Yunus bin Mathius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.” Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah saw lalu mencium kepalanya, kedua tangannya, dan kedua kaki beliau.

Ibnu Ishaq berkata, “Setelah itu, Rasulullah saw. meninggalkan Thaif dan kembali ke Makkah. Ketika sampai di Nikhlah, Rasulullah bangun pada tengah malam melaksanakan shalat. Ketika itulah beberapa makhluk yang disebutkan Allah lewat mendengar bacaan Rasulullah saw. Dan begitu Rasulullah selesai shalat, mereka kembali bergegas kembali kepada kaumnya seraya memerintahkan agar beriman dan menyambut apa yang baru mereka dengar. Kisah ini disebutkan Allah dalam firman-Nya, yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum Kami, Sesungguhnya Kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum Kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (al-Ahqaaf: 29-31)

“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,” (al-Jinn: 1)

Rasulullah saw. kemudian bersama Zaid bin Haritsah berangkat menuju Makkah. Saat itu Zaid bertanya kepada Rasulullahs saw, “Bagaimana engkau hendak pulang ke Makkah, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?” Beliau menjawab, “Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.”

Nabi saw. lalu mengutus seorang lelaki dari bani Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin Adi dan mengabarkan bahwa Rasulullah saw. ingin masuk Makkah dengan “perlindungan” darinya. Keinginan Nabi saw. ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah saw. kembali memasuki Makkah.

BEBERAPA IBRAH

1. Semua bentuk penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullah saw. khususnya dalam perjalanan hijrah ke Tha’if ini, hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan tablighnya kepada manusia.

Diutusnya Rasulullah saw. bukan hanya untuk menyampaikan aqidah yang benar tentang alam dan penciptaannya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan muamalah, melainkan juga untuk menyampaikan kepada kaum Muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan Allah dan menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah [melipatgandakan kesabaran] yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga, dan bertawakallah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali ‘Imraan: 200)

Rasulullah saw. telah mengajarkan kita cara melaksanakan peribadatan dengan peragaan yang bersifat aplikatif, lalu bersabdas: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat [cara] aku shalat.”

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah dariku manasik [cara pelaksanaan ibadah haji]mu.”

Jika hal ini dikaitkan dengan kesabaran, seolah-olah Rasulullah saw. , melalui kesabaran yang dicontohkannya, memerintahkan kita: “Bersabarlah sebagaimana kamu lihat aku bersabar.” Hal ini karena bersabar merupakan salah satu prinsip Islam terpenting yang harus disampaikan kepada semua manusia.

Dalam memandang fenomena hijrah Rasulullah saw. ke Thaif ada orang yang menyimpulkan bahwa Rasulullah saw. telah menemui jalan buntu dan merasa putus asa sehingga dalam menghadapi penderitaan yang sangat berat itu beliau mengucap doa tersebut kepada Allah setiba di kebun kedua anak Rabi’ah.

Sebenarnya Rasulullah saw. telah menghadapi penganiayaan tersebut dengan penuh ridla, ikhlas dan sabar. Seandainya beliau tidak sabar menghadapinya, tetu membalas –jika suka- tindakan orang-orang jahat dan para tokoh bani Tsaqif yang mengerahkan mereka. akan tetapi, ternyata Rasulullah saw. tidak melakukannya.

Di antara dalil yang menguatkan apa yang dikemukakan di sini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra, ia berkata: “Wahai Rasulullah saw.., pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari perang Uhud?” Jawab Nabi saw.: “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaummu. Akan tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari Aqabah saat aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi dia menolak tawaran dakwahku. Aku kemudian kembali dengan perasaan tidak menentu hingga aku tersentak dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata: “Sesungguhnya, Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu dan Allah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu.”
Nabi saw. melanjutkan: “Kemudian malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata: ‘Wahai Muhammad. Sesungguhnya, Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabbmu telah mengutusku untuk engkau perintahkan sesukamu. Jika engkau suka, aku akan membalikkan Gunung Akshyabin ini ke atas mereka.’” Aku berkata: “Aku bahkan menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. ingin mengajarkan kepada para shahabatnya dan umat sesudahnya tentang kesabaran dan seni kesabaran dalam menghadapi segala macam penderitaan di jalan Allah.

Mungkin timbul pertanyaan lain, apa arti pengaduan yang telah disampaikan Rasulullah saw. ? Apa maksud lafal-lafal doanya yang mengungkapkan rasa putus asa dan kebosanan akibat berbagai usaha dan perjuangan yang hanya menghasilkan penderitaan dan penyiksaan? Jawabannya adalah: pengaduan kepada Allah adalah ibadah. Merendahkan diri kepada-Nya dan menghinakan diri di hadapan pintu-Nya adalah perbuatan taqarrub dan ketaatan.

Sesungguhnya, penderitaan dan musibah yang menimpa manusia mempunyai beberapa hikmah. Di antaranya akan membawa orang yang mengalami musibah dan penderitaan itu kepada pintu Allah dan meningkatkan ‘ubudiyah kepada-Nya. Karena itu tidak ada pertentangan antara kesabaran terhadap penderitaan dan pengaduan kepada Allah. Kedua sikap ini merupakan tuntunan yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita. Melalui kesabarannya terhadap penderitaan dan penganiayaan, Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran ini adalah tugas kaum Muslimin umumnya dan da’i secara khususnya. Melalui pengaduan dan taqarrubnya kepada Allah, Rasulullah saw. ingin mengajarkan tentang kewajiban ‘ubudiyah dan segala konsekuensinya kepada kita.

Perlu disadari bahwa betapapun tingginya jiwa manusia, dia tidak akan terlampaui batas kemanusiaannya. Manusia selama tidak dapat menghindarkan diri dari fitrah perasaan; perasaan senang dan sedih, perasaan menginginkan kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan.

Ini berarti bahwa kendatipun Rasulullah saw. telah mempersiapkan diri nya untuk menghadapi berbagai penganiayaan dan penyiksaan di jalan Allah, beliau tetap memiliki perasaan sebagai manusia: merasa sakit bila tertimpa kesengsaraan dan merasa bahagia bila mendapat kesenangan.
Walaupun demikian, Rasulullah saw. rela menghadapi penderitaan berat dan meninggalkan kesenangan demi mengharap ridla Allah dan menunaikan kewajiban ‘ubudiyah. Di sinilah pemberian pahala dan terlihatnya arti taklif [pembebasan] kepada manusia.

2. Kedua, jika anda perhatikan setiap peristiwa sirah Rasulullah saw. bersama kaumnya, akan anda dapati bahwa penderitaan yang dialami oleh Rasulullah kadang sangat berat dan menyakitkan. Akan tetapi, pada setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selalu diberi “Penawar” yang melegakan hati dari Allah. Penawar ini dimaksudkan sebagai hiburan bagi Rasulullah saw. agar faktor-faktor kekecewaan dan perasaan putus asa tidak sampai masuk ke dalam jiwanya.

Dalam peristiwa hijrah Rasulullah saw. ke Tha’if dengan segala penderitaan yang diditemuinya, baik berupa penyiksaan maupun kekecewaan hati, dapat anda lihat adanya “penawar Ilahi” terhadap kebodohan orang-orang yang mengejar dan menganiayanya. Penawar ini tercermin pada seorang lelaki Nasrani, Addas, ketika datang kepadanya seraya mencium kepala, kedua tangan, dan kakinya setelah Nabi saw. mengabarkan kepadanya bahwa dirinya adalah seorang Nabi.
Peristiwa ini dilukiskan dengan indah oleh penyair Muslim, Musthafa Shadiq ar-Rafi’, dalam salah satu tulisannya, “Betapa ajaib simbol-simbol takdir yang terdapat di dalam peristiwa ini. Kebaikan, kedermawanan, dan kemuliaan datang begitu cepat memintakan maaf atas kejahatan, kebodohan, dan kedhaliman yang baru saja dialaminya. Kecukupan mesra itu datang setelah umpatan-umpatan permusuhan.

Sesungguhnya, kedua anak Rabi’ah termasuk musuh bebuyutan Islam, bahkan termasuk di antara orang-orang yang mendatangi Abu Thalib, paman Nabi saw. yang meminta agar Abi Thalib menghentikan Muhammad saw. atau membiarkan mereka bertarung melawan Muhammad saw. sampai salah satu di antara dua kelompok hancur binasa. Akan tetapi naluri kebiadaban itu berubah serta merta menjadi naluri kemanusian yang dibawa oleh agama ini karena masa depan agama berkaitan erat dengan pemikiran, bukan dengan naluri.

Demikianlah, seorang Nasrani datang memeluk Islam dan mendukungnya. Sesungguhnya satu agama benar dengan agama benar lainnya ibarat seorang dengan saudara kandungnya. Jika hubungan antara dua orang bersaudara itu adalah hubungan darah, hubungan antara satu agama yang benar dan agama yang benar lainnya adalah hubungan akal dan pemahaman yang benar.

Selanjutnya takdir Ilahi menyempurnakan simbolnya di dalam kisah ini dengan pemetikan buah anggur sebagai makanan yang manis dan memuaskan. Setangkai anggur yang telah dipetik ini menjadi simbol bagi ikatan Islam yang agung dan penuh kasih sayang; setiap buah anggur melambangkan sebuah pemerintahan Islam. (Wahyul Qalam. 2/30)

3. Apa yang dilakukan oleh Zaid bin Haritsah, yaitu melindungi Rasulullah saw. dengan dirinya dari lemparan batu orang-orang bani Tsaqif sampai kepalanya menderita luka, merupakan contoh yang harus dilakukan oleh setiap Muslimm dalam bersikap terhadap pemimpin dakwah. Ia harus melindungi pemimpin dakwah dengan dirinya sekalipun harus mengobarkan kehidupannya.

Demikianlah sikap para shahabat terhadap Rasulullah saw. sekalipun beliau sudah tidak ada di antara kita sekarang, kita dapat melakukannya dalam bentuk yang lainnya, yaitu dengan kesiapan diri kita dalam menghadapi segala penderitaan dan penyiksaan di jalan dakwah Islam dan menyumbangkan perjuangan berat sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.

Pada setiap zaman dan masa harus ada para pemimpin dakwah Islam yang menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad saw. dalam berdakwah, dimana kaum Muslimin semuanya harus menjadi prajurit-prajurit yang setia dan ikhlas di sekitar mereka; mendukung para pemimpin itu dengan harta dan jiwa sebagaimana yang telah dilakukan kaum Muslimin kepada Rasulullah saw.

4. Apa yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq tentang beberapa jin yang mendengarkan bacaan Rasulullah saw. ketika sedang melakukan shalat malam di Nikhlah, merupakan dalil bagi eksistensi jin dan bahwa mereka mukallaf [dibebani kewajiban melaksanakan syariat Islam]. Di antara mereka ada jin-jin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya di samping mereka yang ingkar dan tidak beriman. Dalil ini telah mencapai tingkatan qath’i [pasti] dengan disebutkannya di dalam beberapa nash al-Qur’an yang jelas, seperti beberapa ayat pada awal surah al-Jinn dan seperti firman Allah di dalam surah al-Ahqaaf:

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum Kami, Sesungguhnya Kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (al-Ahqaaf: 29-30)

Ketahuilah, kisah yang disebutkan Ibnu Ishaq dan diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam sirah-nya ini juga disebutkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dengan teks yang hampir sama dan dengan tambahan rincian sedikit. Berikut ini arti teks yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas:

Nabi saw. berangkat bersama sejumlah shahabatnya menuju pasar ‘Ukazh. Ada saat itu, setan-setan telah dihalangi dari memperoleh kabar dan mereka dilempari dengan beberapa bintang sehingga setan-setan itu kembali. mereka bertanya-tanya, ‘Mengapa kita dihalangi dari memperoleh kabar langit dan dilempari dengan beberapa bintang?’ Dijawab: ‘Tidak ada yang menghalangi kamu dari memperoleh berita langit kecuali apa yang telah terjadi. Karena itu pergilah ke segala penjuru dunia, dari ujung timur sampai ujung barat, perhatikan peristiwa apakah yang terjadi itu?’
Mereka lalu pergi melacak dari ujung timur sampai ke ujung barat, mencari apa gerangan yang menghalangi mereka dari mendapatkan kabar dari langit itu. Berangkatlah mereka menuju ke Thihamah menuju ke Rasulullah saw. di Nikhlah hendak ke pasar ‘Ukhazh. Ketika itu Rasulullah saw. sedang mengimami shalat shubuh. Ketika mendengar bacaan al-Qur’an, dengan penuh perhatian, mereka mendengarkannya. Mereka kemudian berkata: “Inilah yang menghalangi kita dari kabar langit.”
Setelah itu mereka kembali ke kepada kaum mereka seraya berkata: “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar al-Qur’an [bacaan] yang menakjubkan yang menunjukkan kepada kebenaran lalu kami mempercayainya dan kami tidak menyekutukan Rabb kami dengan siapapun.” Allah lalu menurunkan [ayat] kepada Nabi-Nya, “Katakanlah, ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya telah mendengarkan sekumpulan jin [akan al-Qur’an]…” (al-Bukhari 6/73)

Teks yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi sama dengan riwayat ini, hanya saja terdapat tambahan di awal hadits, “Rasulullah saw. tidak membacakan kepada jin, juga tidak melihat mereka…. Beliau berangkat bersama sejumlah sahabatnya…”

Al-Asqalani berkata: “Seolah-olah Bukhari sengaja membuang lafal ini karena Ibnu Mas’ud menyebutkan bahwa Nabi saw. membacakan keapada jin. Riwayat Ibnu Mas’ud didahulukan daripada penafsiran Ibnu Abbas. Muslim bahkan telah mengisyaratkan hal ini kemudian meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud setelah hadits Ibnu Abbas ini. Nabi saw. bersabda, “Telah datang kepadaku seorang penyeru dari bangsa jin lalu aku berangkat bersamanya, kemudian aku bacakan al-Qur’an kepadanya.” Antara dua riwayat ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi beberapa kali.” (Fathul Bari, 8/473)

Riwayat Muslim, Bukhari dan Tirmidzi ini berbeda dengan riwayat ibnu Ishaq dalam dua segi, pertama, riwayat Ibnu Ishaq tidak menyebutkan bahwa Nabi saw. shalat bersama para shahabatnya. Riwayat Ibnu Ishaq menjelaskan bahwa Nabi saw. shalat sendirian, padahal riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw. mengimani shahabatnya. Kedua, riwayat Ibnu Ishaq tidak menentukan shalat shubuh, sedangkan riwayat-riwayat lainnya menyebutkannya.

Menyangkut riwayat Ibnu Ishaq, tidak ada masalah. Akan tetapi menyangkut peristiwa-peristiwa lain, timbul dua kemusykilan. Pertama, Nabi saw. berangkat ke Thaif dan pulang dari sana, sebagaimana anda ketahui, hanya disertai oleh Zaid bin Haritsah. Karena itu bagaimana mungkin Nabi saw. shalat bersama para shahabatnya? Kedua, shalat lima waktu tidak disyariatkan kecuali setelah malam Mi’raj, sedangkan Mi’raj terjadi setelah peristiwa hijrah Rasulullah saw. ke Thaif, menurut pendapat jumhur: bagaimana mungkin Rasulullah saw. melaksanakan shalat shubuh pada waktu itu?

Menyangkut kemusykilan dapat dijawab bahwa mungkin saja Rasulullah saw. ketika di Nikhlah [sebuah tempat dekat Makkah] bertemu dengan para shahabatnya lalu shalat shubuh bersama mereka di tempat tersebut.
Menyangkut kemusykilan kedua dapat dijawab bahwa peristiwa mendengarnya jin terhadap al-Qur’an ini terjadi lebih dari sekali. Pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud bahwa kedua riwayat ini sama-sama shahih. Pendapat inilah yang diambil oleh jumhur ulama peneliti. Ini dapat diyakini jika mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa isra’ mi’raj terjadi setelah hijrah ke Thaif. Akan tetapi jika mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa isra miraj terjadi sebelum hijrah ke Thaif, tidak ada kemusykilan.

Yang perlu diketahui, setelah penjelasan di atas, bahwa setiap Muslim wajib mengimani adanya jin, bahwa mereka adalah makhluk Allah yang hidup juga dibebani oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana kita kendatipun semua panca indera kita tidak dapat menjangkaunya. Hal ini karena Allah memang menjadikan eksistensi mereka di luar kemampuan kita yang hanya bisa melihat beberapa benda tertentu, dengan ukuran tertentu, dan dengan syarat-syarat tertentu.

Karena keberadan makhluk itu didasarkan atas berita yang mutawatir dari al-Qur’an dan sunnah, kaum Muslimin telah sepakat bahwa setiap orang yang mengingkari atau meragukan keberadaan jin adalah murtad dan keluar dari Islam. Hal ini karena mengingkari keberadaan mereka berarti mengingkari sesuatu yang bersifat aksiomatik di dalam Islam disamping merupakan pendustaan terhadap khabar mutawatir yang datang kepada kita dari Allah dan dari Rasul-Nya.

Jangan sampai ada orang yang berakal sehat yang terjerumus ke dalam kedunguan karena tidak mau meyakini sesuatu yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan kemudian menolak keberadaan jin karena dia tidak melihat jin.
“Kebodohan intelektual” seperti ini akan mengharuskan pengingkaran terhadap setiap benda atau makhluk ghaib hanya kareana tidak dapat dilihat, padahal kaidah ilmiah yang sudah terkenal mengatakan, “Tidak dapat dilihatnya sesuatu tidak berarti tidak ada sesuatu tersebut.”

5. Kelima, apa pengaruh dari semua peristiwa yang disaksikan dan dialami oleh Rasulullah saw. selama perjalanannya ke Tha’if ini darinya?
Jawabannya adalah tampak jelas dalam jawaban Rasulullah saw. kepada Zaid bin Haritsah ketika Zaid bertanya kepadanya dengan penuh keheranan: “Bagaimana engkau akan pulang ke Makkah wahai Rasulullah, sedangkah penduduknya telah mengusir engkau dari sana?” dengan tenang dan penuh keyakinan, Rasulullah saw. menjawab: “Hai Zaid. Sesungguhnya Allah lah yang akan memberi kita jalan keluar sebagaimana engkau lihat nanti. Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.”

Jelaslah bahwa semua yang disaksikan dan dialaminya di Tha’if setelah penyiksaan dan penganiayaan yang dialaminya di Makkah, tidak memiliki pengaruh sama sekali kepada keyakinannya terhadap Allah atau melemahkan kekuatan tekadnya yang positif di dalam jiwanya.

Demi Allah, ini bukanlah ketabahan manusia biasa yang memiliki kekuatan lebih dalam dalam menghadapi penderitaan dan tekanan. Akan tetapi ini adalah keyakinan Nubuwah yang telah menghujam dalam hatinya. Rasulullah saw. mengetahui bahwa segala tindakan itu semata-mata untuk menjalankan perintah Allah dan berjalan di atas jalan yang diperintahkan-Nya. Karenanya, beliau tidak pernah ragu sedikitpun bahwa Allah pasti akan memenangkan urusan-urusan-Nya dan bahwa Dia telah menjadikan ketentuan bagi setiap sesuatu.

Pelajaran yang dapat kita ambil dalam hal ini adalah semua penderitaan dan rintangan yang ada di jalan dakwah Islam tidak boleh menghalangi atau menghentikan perjuangan kita atau mengakibatkan kegentaran dan kemalasan dalam diri kita, selama kita berjalan di atas petunjuk keimanan kepada Allah. Siapa saja yang telah mengambil bekal kekuatannya dari Allah, dia tidak akan pernah mengenal putus asa atau malas. Selama Allah yang memerintahkan, pasti Dia akan menjadi Penolong dan Pembela.

Kehinaan, kemalasan, dan putus asa akibat penderitaan dan rintangan hanya akan dialami oleh orang-orang yang menganut prinsip dan ideologi yang tidak diperintahkan oleh Allah. Hal ini karena mereka hanya mengandalkan kekuatannya sendiri; kekuatan manusia yang sangat terbatas. Segala bentuk kekuatan dan ketabahan manusia akan berubah dan terancam kehancuran dan kelesuan manakala mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang panjang; mengingat ukuran kekuatan manusia yang serba terbatas.

&

Hijrah Pertama dalam Islam

19 Feb

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah; analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw.

Ketika Nabi saw. melihat keganasan kaum musyrik kian hari bertambah keras, sedangkan beliau tidak dapat memberikan perlindungan kepada kaum Muslimin, beliau berkata kepada mereka, “Alangkah baiknya jika kamu dapat berhijrah ke negeri Habasyah karena di sana terdapat raja yang adil sekali. Di bawah kekuasaannya tidak boleh seorang pun dianiaya. Karena itu, pergilah kamu ke sana sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kita karena negeri itu adalah negeri yang cocok bagi kamu.”

Akhirnya, berangkatlah kaum Muslimin ke negeri Habasyah demi menghindari fitnah dan lari menuju Allah dengan membawa agama mereka. Hijrah ini merupakan hijrah pertama dalam Islam. Di antara kamu muhajir yang terkemuka adalah Utsman bin Affan beserta istrinya, Raqayah binti Rasulullah saw., Abu Hudzaifah berserta istrinya, Zubair bin Awwam, Mush’ab bin Umair, dan Abdur Rahman bin Auf. Sampai akhirnya para shahabat Rasulullah saw. sebanyak delapan puluh orang lebih berkumpul di Habasyah.

Ketika kaum Quraisy mengetahui peristiwa itu, mereka segera mengutus Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amr bin Ash (sebelum masuk Islam) menemui Najasy dengan membawa berbagai hadiah. Hadiah-hadiah itu diberikan kepada raja, para pembantu dan pendetanya dengan harapan agar mereka menolak kehadiran kaum Muslimin dan mengembalikan mereka kepada musyrik Makkah.

Ketika kedua utusan itu berbicara kepada Najasy tentang kaum muhajir itu –sebelumnya kedua utusan ini telah melobi para pembantu dan uskupnya seraya menyerahkan hadiah yang dibawanya dari Makkah –ternyata Najasy menolak untuk menyerahkan kaum Muslimin kepada kedua utusan tersebut sebelum dia menanyai mereka tentang agama baru yang dianutnya. Kaum Muslimin dan kedua utusan tersebut kemudian dihadapkan kepada Najasy. Raja Najasy bertanya kepada kaum Muslimin, “Agama apakah yang membuat kamu meninggalkan agama yang dipeluk oleh masyarakat kamu dan kamu tidak masuk dalam agamaku dan agama lainnya?

Ja’far bin Abi Thalib, selaku juru bicara kaum Muslim menjawab, “Baginda Raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah, menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat kejahatan, memutuskan hubungan persaudaraan, berlaku buruk terhadap tetangga, dan yang kuat menindas yang lemah. Allah kemudian mengutus seorang Rasul kepada kami, orang yang kami kenal asal keturunannya, kesungguhan tutur katanya, kejujuran dan kesucian hidupnya. Ia mengajak kami supaya mengesakan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun juga. Ia memerintahkan kami supaya berkata benar, menunaikan amanah, memelihara persaudaraan, berlaku baik terhadap tetangga, menjauhkan diri dari segala perbuatan haram dan pertumpahan darah, melarang kami berbuat jahat, berdusta, dan memakan harta milik anak yatim. Ia memerintahkan kami supaya shalat dan berpuasa. Kami kemudian beriman kepadanya, membenarkan semua tutur katanya, menjauhi apa yang diharamkan olehnya, dan menghalalkan apa yang dihalalkan bagi kami. Karena itulah, kami dimusuhi oleh masyarakat kami. Mereka menganiaya dan menyiksa kami, memaksa supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala. Ketika mereka menindas dan memperlakukan kami dengan sewenang-wenang dan merintangi kami menjalankan agama kami, kami terpaksa pergi ke negeri baginda. Kami tidak menemukan pilihan lain kecuali baginda dan kami tidak akan diperlakukan sewenang-wenang di negeri baginda.”

Najasy bertanya, “Apakah kamu dapat menunjukkan kepada kami sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah saw. dari Allah?”

Ja’far menjawab: “Ya.” Ja’far lalu membacakan surah Maryam. Mendenger firman itu, Najasy berlinang air mata. Najasy lalu berkata, “Apa yang engkau baca dan apa yang dibawa oleh ‘Isa sesungguhnya keluar dari pancaran sinar yang satu dan sama.” Najasy lalu menoleh kepada kedua orang utusan kaum musyrik seraya berkata, “Silakan kalian berangkat pulang. Demi Allah, mereka tidak akan kuserahkan kepada kalian.”

Keesokan harinya, utusan kaum musyrik itu menghadap Najasy. Mereka berkata, “Wahai baginda Raja, sesungguhnya mereka menjelek-jelekkan ‘Isa putra Maryam. Panggillah mereka dan tanyakanlah pandangan mereka tentang ‘Isa.” Mereka dihadapkan sekali lagi kepada Najasyu untuk ditanyakan tentang pandangan mereka terhadap ‘Isa al-Masih. Ja’far menerangkan, “Pandangan kami mengenai ‘Isa sesuai dengan apa yang diajarkan kepada kami oleh Nabi kami, yaitu bahwa Isa adalah hamba Allah, utusan Allah, ruh Allah, dan kalimat-Nya yang diturunkan kepada perawan Maryam yang sangat tekun bersembah sujud.”

Najasy kemudian mengambil sebatang lidi yang terletak di atas lantai kemudian berkata, “Apa yang engkau katakan tentang Isa tidak berselisih kecuali hanya sebesar lidi ini.”

Najasy kemudian mengembalikan barang-barang hadiah dari kaum musyrik Quraisy kepada kedua utusan itu. Sejak saat itulah, kaum Muslim tinggal di Habasyah dengan tenang dan tenteram. Sementara itu, kedua utusan Quraisy itu kembali ke Makkah dengan tangan hampa. Setelah beberapa waktu tinggal di Habasyah, sampailah kepada mereka berita tentang masuk Islamnya penduduk Makkah. Mendengar berita ini, mereka segera kembali ke Makkah hingga ketika sudah hampir masuk kota Makkah, mereka baru mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar. Karena itu, tidak seorang pun dari mereka yang masuk Makkah kecuali dengan perlindungan (dari salah seorang tokoh Quraisy) atau dengan sembunyi-sembunyi. Mereka seluruhnya berjumlah tiga puluh orang. Di antara mereka yang masuk Makkah dengan “perlindungan” ialah Utsman bin Mazh’un, ia masuk jaminan perlindungan dari al-Walid ibnul Mughirah, dan Abu Salamah dengan jaminan perlindungan Abu Thalib.

BEBERAPA IBRAH:

1. Pertama, berpegang teguh dengan agama dan menegakkan sendi-sendinya merupakan landasan dan sumber bagi setiap kekuatan, juga merupakan pagar untuk melindungi setiap hak, baik berupa harta, tanah, kebebasan, maupun kehormatan. Karena itu, para penyeru kepada Islam dan mujahid di jalan Allah wajib mempersiapkan diri secara maksimal untuk melindungi agama dan prinsip-prinsipnya serta menjadikan negeri, tanah air, harta kekayaan, dan kehidupan sebagai sarana untuk mempertahankan aqidah sehingga apabila diperlukan, ia siap mengorbankan segala sesuatu di jalannya.

Apabila agama sudah terkikis atau terkalahkan, tidak ada lagi artinya negeri, tanah air, dan harta kekayaan; bahkan tanpa keberadaan agama dalam kehidupan, kehancuran akan melanda segala sesuatu. Akan tetapi, jika agama tegak, terpencar sendi-sendinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan aqidahnya terhujam dalam lubuk hati setiap orang, segala sesuatu yang dikorbankan di jalannya akan segera kembali, bahkan akan kembali lebih kuat dari sebelumnya karena dikawal oleh pagar kedermawanan, kekuatan, dan kesadaran.

Sudah menjadi sunnatullah di alam semesta sepanjang sejarah bahwa kekuatan moral merupakan perlindungan bagi peradaban dan kekuatan material. Jika suatu umat memiliki akhlak yang baik, aqidah yang sehat, dan prinsip-prinsip sosial yang benar, kekuatan materialnya akan semakin kukuh, kuat dan tegar. Akan tetapi, jika akhlaknya bejat, aqidahnya menyimpang, dan sistem sosialnya tidak benar, kekuatan materialnya tidak akan lama pasti mengalmi keguncangan dan kehancuran.

Mungkin anda akan melihat suatu bangsa yang secara material berdiri tegak dalam puncak kemajuannya, padahal sistem sosial dan akhlaknya tidak benar, sesungguhnya bangsa ini sedang berjalan dengan cepat menuju kehancurannya. Mungkin anda tidak dapat melihat dan merasakan “perjalanan yang cepat” ini karena pendeknya umur manusia dibanding dengan umur sejarah dan generasi. Perjalanan seperti ini hanya dapat dilihat oleh “mata sejarah” yang tidak pernah tidur, bukan oleh mata manusia yang picik dan terbatas.

Mungkin juga anda akan melihat suatu bangsa yang tidak pernah segan-segan mengorbankan segala kekuatannya demi mempertahankan aqidah yang benar dan membangun sistem sosial yang sehat, tetapi tidak lama kemudian bangsa pemilik aqidah yang benar dan sistem sosial yang sehat ini berhasil mengembalikan negerinya yang hilang dan harta kekayaannya yang dirampok, bahkan kekuatannya kembali jauh lebih kuat dari sebelumnya.

Anda tidak akan mendapat gambaran yang benar tentang alam, manusia, dan kehidupan kecuali di dalam aqidah Islam yang menjadi agama Allah bagi hamba-Nya di dunia. Demikian pula anda tidak akan mendapatkan sistem sosial yang adil dan benar keucali dalam sistem Islam. Pengorbanan inilah yang menjamin keselamatan harta, negeri, dan kehidupan Muslim.

Karena itulah, prinsip hijrah ini disyariatkan di dalam Islam, Rasulullah saw. memerintahkan para shahabatnya berhijrah dan meninggalkan Makkah setelah menyaksikan penyiksaan yang dilancarkan kaum musyrik terhadap para shahabatnya dan kerena khawatir akan terjadinya fitnah pada keimanan mereka.

Hijrah ini sendiri merupakan salah satu bentuk siksaan dan penderitaan demi mempertahankan agama. Ia bukan tindakan menghindari gangguan dan mencari kesenangan, melainkan merupakan penderitaan lain di balik penantian akan datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.

Tentu andapun mengetahui bahwa Makkah pada waktu itu belum menjadi Darul Islam sehingga tidak dapat digugat mengapa para shahabat itu meninggalkan Darul Islam demi mencari keselamatan jiwa mereka di negeri kafir? Makkah dan Habasyah juga negeri-negeri lainnya pada saat itu tidak berbeda kondisinya. Karena itu, negeri mana saja yang lebih memungkinkan bagi para shahabat melaksanakan agama-nya dan berdakwah kepadanya adalah lebih patut dijadikan tempat tinggal.

Dalam Islam, berhijrah dari Darul Islam (negeri Islam) memiliki tiga hukum antara wajib, boleh dan haram.

Wajib berhijrah dari darul Islam manakala seorang Muslim tidak dapat melaksanakan syiar-syiar Islam, seperti shalat, puasa, adzan, haji dan sebagainya di negeri tersebut. Boleh berhijrah dari Darul Islam manakala seorang Muslim menghadapi bala (cobaan) yang menyulitkannya di negeri tersebut. Dalam kondisi ini, ia boleh keluar darinya menuju negeri Islam yang lainnya. Haram berhijrah dari Darul Islam manakala hijrahnya itu mengakibatkan terabaikannya kewajiban Islam yang memang tidak dapat dilaksanakan oleh orang selainnya. (lihat tafsir al-Qurthubi, 5/35 dan Ahkamul Qur’an oleh Ibnu Arabi. 2/887.

2. Kedua, menunjukkan adanya titik persamaan antara prinsip Nabi Muhammad saw. dan Nabi ‘Isa as. Ia (Najasyi) asalah seorang yang mukhlis dan jujur dalam kenasraniannya. Salah satu bukti keikhlasannya adalah bahwa ia tidak mengikuti ajaran yang menyimpang dan tidak berpihak kepada orang yang aqidahnya berbeda dengan ajaran Injil dan apa yang dibawa oleh Isa as.

Seandainya kepercayaan “Isa anak Allah” dan “tritunggal” yang didakwakan oleh para pengikut Isa itu benar, niscaya Najasy (sebagai orang yang paling jujur) dan ikhlas kepada kenasraniannya akan berpegang teguh kepada kepercayaan tersebut dan pasti akan menolak penjelasan kaum Muslimin serta membela kaum Quraisy.

Akan tetapi, ternyata Najasyi berkomentar tentang pandangan al-Qur’an terhadap kehidupan Isa as (yang dibacakan oleh Ja’far) dengan ucapannya: “Apa yang engkau baca dan apa yang dibawa oleh Isa sesungguhnya keluar dari pancaran sinar yang satu dan sama.”

Komentar ini diucapkan oleh Najasy di hadapan para uskup dan tokoh al-Kitab yang ada di sekitarnya.

Hal ini membuktikan kepada kita bahwa semua Nabi membawa aqidah yang sama. Perselisihan di antara Ahli Kitab terjadi, sebagaimana dijelaskan Allah, setelah mereka mendapatkan pengetahuan karena kedengkian yang ada pada diri mereka.

3. Ketiga, bila diperlukan, kaum Muslimin boleh meminta “perlindungan” kepada non-Muslim, baik dari Ahli Kitab, seperti Najasy yang waktu itu masih Nasrani (tetapi setelah itu masuk Islam) atau dari orang musyrik, seperti mereka yang dimintai perlindungan oleh kaum Muslimin ketika kembali ke Makkah, antara lain Abu Thalib, paman Rasulullah saw. ketika masuk Makkah sepulangnya dari Thaif.

Tindakan ini dibenarkan selama perlindungan tersebut tidak membahayakan dakwah Islam, mengubah sebagian hukum agama, atau menghalangi nahi munkar. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka seorang muslim tidak dibenarkan meminta perlindungan kepada non Muslim. Sebagai dalil ialah sikap Rasulullah saw. ketika diminta oleh Abu Thalib untuk menghentikan dakwahnya dan tidak mengecam tuhan-tuhan kaum musyrik maka ketika itu Rasulullah saw. menyatakan diri keluar dari perlindungan pamannya dan menolak mendiamkan sesuatu yang harus dijelaskan kepada umat manusia.

&